Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:
"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah "pintu wanita."
Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah Jum'at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis."
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw. Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah, dan sebagainya.
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw. menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangatcekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudianmenuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit, mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."