Filsafat Ketika filsafat dijadikan sebagai alat untuk mendukung jalannya ijtihad, pemikiran keagamaan Islam mulai menapaki era baru, pencerahan. Melalui struktur logis yang dibangun dalam tradisi filsafat, para intelektual muslim berupaya mengembangkan ilmu keislaman menjadi beragam disiplin ilmu seperti kalam, fiqh, tafsir dan lain-lain. Sayangnya penggunaan filsafat tidak sepenuhnya diterima oleh para ulama. Akibatnya, bangunan pemikiran Islam mengalami stagnasi, bahkan keruntuhan. Makalah ini berupaya mengkaji signifikansi filsafat sebagai alat studi ilmu-ilmu keislaman dan beragam kritik terhadap kelemahannya. Sekaligus juga mengemukakan beberapa alternatif pendekatan untuk menyempurnakannya. Filsafat Sebagai Pendekatan Kritik Nalar Islam Oleh Hasyim Muhammad* Kata Kunci: mainstream, ortodoksi, kritik Epistemologis, analisis silkulermultidimemensional Pendahuluan Sejak abad ke-13 M. pemikiran Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti. Bangunan pemikiran konservatif telah mendominasi alam pikir mayoritas umat Islam hingga saat ini. Alam pikir konservatif telah menjadi pandangan dunia Islam (world view) yang mapan sejak masa pembentukannya. Sejak saat itu, hampir tidak ada geliat pemikiran yang berarti, karena setiap upaya kelompok tertentu yang berusaha keluar dari mainstream selalu harus berhadapan dengan kekuatan status quo yang sulit ditaklukkan. Pada awal pertumbuhannya pemikiran Islam bergerak secara dinamis dan menghasilkan khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi, bagai mercusuar yang sulit tertandingi. Namun, sejak abad ke- 13, khazanah pemikiran Islam mengalami kemandekan, justru di saat Barat mulai menampakkan kreatifitasnya dalam membangun peradaban. Hingga pada akhirnya, Barat berhasil menyusul dan mengunggulinya. 20 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad Hingga saat ini, perkembangan literatur keislaman tidak tampak menunjukkan orisinalitasnya, bahkan cenderung mengulang-ulang apa yang telah ditulis para pendahulu. Menurut catatan para ahli, perkembangan pemikiran Islam mengalami lompatan sejak pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, yakni pada masa Bani Umaiyah. Pada saat itu umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup dijawab dengan Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad. Kota Baghdad merupakan pusat kekuasaan Islam wilayah Timur dan Cordova sebagai pusat kekuasaan Islam di Barberupaya mengkaji at. Dalam pandangan Amin Abdullah, pesatnya perkembangan pemikiran umat Islam pada masa kebesaran Islam di Baghdad adalah karena mereka mampu menggunakan filsafat sebagai alat untuk berijtihad.1 Dengan struktur . ilmiah yang terbangun dalam tradisi filsafat, umat Islam berupaya mengkaji khazanah keislaman dan mengembangkannya dalam beragam disiplin ilmu, seperti kalam, Fiqh, nahwu, tafsir, tasawuf dan lain-lain. Tanpa dukungan filsafat, ilmu keislaman akan mengalami kelumpuhan, karena ketidak mampuannya mengembangkan pemikiran melalui struktur logis yang ditawarkannya. Terbukti, ketika umat Islam mulai menjauhi filsafat dan bahkan memusuhinya, bangunan berfikir umat Islam mengalami stagnasi bahkan keruntuhan. Belenggu Ortodoksi Muhammad Arkoun mensinyalir terjadinya proses pensyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diniy) sejak abad ke-12 hingga abad ke-19, di mana teks keagamaan tidak bisa dikaji ulang (ghairu qabilin li al-niqas).2 Ia mengemukakan, bahwa pemikiran teologi Islam dalam sejarahnya telah mengkristal dalam bentuk format ortodoksi, di mana hal ini berimbas pada disiplin keilmuan lain di luar teologi, seperti pendidikan, hukum, etika, sosial budaya dan filsafat. Sayangnya, pemikiran tersebut mengalami stagnasi, tidak beranjak dari hasil rumusan abad tengah, baik menyangkut tatanan sosial kemasyarakatan maupun ilmu pengetahuan.3 Corak pemikiran Islam justru masih diwarnai oleh alam Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 21 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad pikir Yunani. Di tengah lompatan perubahan yang dialami Eropa baik dalam bidang ilmu, filsafat maupun agama, mengikuti arus perkembangan zaman. Pendek kata, saat ini Eropa telah jauh rneninggalkan Yunani.4 Menurut Fazlur Rahman, proses ortodoksi terjadi pada semua wilayah pemikiran, baik dikalangan Sunni maupun Syi’i.5 Dalam banyak kesempatan Arkoun mengemukakan, bahwa syariat Islam ibarat inti bumi yang secara geologis dilapisi oleh kerak-kerak bumi selama berabad-abad sejak abad ke 12 M. Akibat proses pelapisan tersebut syariat Islam menjadi tidak kelihatan orisinalitasnya. Selama itu pula umat Islam menafikan aspek ‘historisitas’ kemanusiaan yang selalu dalam on going process serta on going formation.6 Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perkembangannya, pemikiran Islam khususnya ilmu kalam bermula dari pergulatan politik di kalangan umat Islam. Tak pelak, nuansa politis dalam setiap diskursus yang terlahir dari kelompok tertentu begitu kental. Betapa tidak, setiap kelompok melahirkan rumusan tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain tentang pribadi Tuhan berikut sifat-sifat dan pekerjaan-Nya, serta implikasinya bagi kebebasan umat manusia dalam menentukan pilihan hidupnya. Masing-masing kelompok menganggap bahwa rumusannyalah yang benar dan yang lain salah atau bahkan sesat.7 Masing-masing kelompok menggunakan ayat-ayat al- Qur’an atau hadis Nabi sebagai alat untuk pembenaran pendapatnya dan menunjukkan kesesatan pihak lain, tanpa mengenal alternatif atau kesadaran akan relatifitas “kebenaran” yang dirumuskannya. Kuatnya dominasi kekuasaan dalam setiap rumusan ilmu kalam menyebabkan hilangnya nilai-nilai substantif dari pemikiran ketuhanan. Para ulama Kalam seakan tidak lagi mempedulikan nilai-nilai etis dan spiritual yang terkandung dalam setiap diktum ketuhanan. Literaturliteratur keagamaan yang berkembang dikalangan umat Islam cenderung menjadi sangat kering, kaku dan formal, jauh dari nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang elastis dan bersifat dinamis. Tak heran, jika jargonjargon sosial yang muncul cenderung bersifat dikotomis, muslim-kafir, halal-haram. Literatur-literatur model begitulah yang dibaca oleh umat Islam selama berabad-ahad dan melahirkan banyak intelektual di seantero dunia. Karena para intelektual muslim lahir dari tradisi keilmuan yang bersifat dogmatis maka kajian-kajian keislaman yang lebih komprehensif dan 22 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad holistik tidak mendapat porsi yang memadai. Jarang sekali ditemukan literatur yang komprehensif dan inklusif sebagaimana yang tergambar dalam ayat-ayat al-Qur’an yang begitu progresif merespon setiap problem kehidupan umat baik yang bersifat umum maupun khusus, yang bersifat sosial maupun individu. Al-Qur’an dipenuhi nilai-nilai etik yang bersifat fudamental meski berproses hanya dalam waktu 23 tahun. Pertanyaannya adalah, mengapa pemikiran Islam cenderung stagnan sementara pemikiran Barat berkembang pesat? Arkoun menjawab pertanyaan ini dengan tegas, bahwa stagnasi pemikiran Islam adalah akibat pengaruh para penguasa Muslim yang berupaya menciptakan stabilitas negara. Para penguasa muslim berupaya menggiring pemahaman teologis rakyatnya pada pandangan teologis tertentu untuk alasan stabilitas dan menutup kemungkinan munculnya alternatif pemahaman keagamaan. Di pihak lain, demi “keamanan”, masyarakat Islam lebih merasa nyaman dengan rumusan teologi klasik tanpa upaya evaluasi ataupun pembaharuan yang bersifat kreatif terhadap teologi yang telah sedemikian mapan tersebut. Di pihak lain, para ulama pendukung teologi konservatif berupaya mencari dalil-dalil pendukung, baik dari Qur’an maupun hadits Nabi yang ditafsirkan sesuai kepentingan dan pemahaman mereka. Begitu sebaliknya, para penguasa juga berupaya melindungi dan menjaga aspirasi para ulama pendukungnya. Proses saling ketergantungan antara penguasa negara dan agama (daulah dan din) ini semakin memperkokoh stagnasi pemikiran keislaman sejak abad pertengahan hingga saat ini. Dialektika din dan daulah ini nampaknya dianggap sebagai situasi yang ideal bagi kelangsungan masyarakat Islam di berbagai negara. Tak heran, jika situasi “kong kalikong” ini juga ditiru oleh negara-negara lain di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Oleh karenanya, setiap upaya untuk keluar dari mainstream akan selalu berhadapan dengan negara, karena dianggap meresahkan dan mengganggu stabilitas umum. Di Indonesia, fenomena ini tampak jelas dalam berbagai kasus yang dianggap “SARA”, yang melahirkan fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pluralisme, Ahmadiyah, Lia Aminuddin dan beragam kasus keagamaan lain yang dibarengi aksi kekerasan massa umat Islam yang didukung pemerintah. Kasus penangkapan dan jeratan hukum terhadap para tokoh “sempalan” tersebut menunjukkan, betapa negara telah sedemikian jauh melakukan intervensi terhadap pemahaman keagamaan demi alasan Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 23 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad stabilitas. Sebenarnya kepentingan penguasa adalah bersifat pragmatis. Mereka tidak ingin kehilangan massa mayoritas, sehingga massa minoritas akan selalu dikorbankan. Filsafat Sebagai Pendekatan Secara etimologis, filsafat berasal dari kata philo yang berarti kebenaran, ilmu dan hikmah. Filsafat juga berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.8 Secara terminologi, filsafat didefinisikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-. asas, hukum, dan, sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.9 Dalam definisi yang lebih umum dikatakan, bahwa filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakekat mengenai segala sesuatu yang ada.10 Disiplin filsafat pada dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan studi agama (theology). Setidaknya pernyataan ini dinyatakan oleh Betrand Russet Dalam pendahuluan karya monumetalnya, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Sosial Circumstances from the Earlierst Times to the Present Day, ia menyatakan: Filsafat, sejauh pemahaman saya, adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiranpemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia dari pada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu. Semua pengetahuan definitif - saya menyebutnya demikian - termasuk ke dalam sains; semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif, termasuk dalam teologi. Tetapi, di antara teologi dan sains terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, yang tidak terlindung dari serangan keduanya; wilayah tak bertuan ini adalah filsafat.11 Pernyataan Russell di atas tentu tidak berlebihan, karena pada dasarnya, baik filsafat maupun agama sama-sama berbicara tentang nilainilai fundamental (fundamental values) dan nilai-nilai etik (ethical values). Dalam pandangan Amin Abdullah, hanya pendekatan agamis-filosofis yang dapat membantu verifikasi dan menjernihkan kategori-kategori sosio-politik yang terlanjur mapan dan kokoh terpatri dalam khazanah 24 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad literatur Islam maupun dalam alam pergaulan masyarakat. Namun, sayangnya pendekatan filosofis dalam kajian agama justru cenderung sedapat mungkin dihindari oleh para teolog.12 Bisa jadi hal ini merupakan imbas dari pergulatan pemikiran antara Ibn Sina (980 - 1037) dan al- Ghazali (1058-1111 M.) pada abad pertengahan. Al-Ghazali yang menjadi arus mainstream diasumsikan menolak metode filsafat yang ditawarkan oleh Ibn Sina dan para filosuf muslim yang lain. Sementara, jika ditelaah secara mendalam, al-Ghazali sebenarnya tidak menolak pendekatan filosofis. Yang tidak diterima oleh al-Ghazali hanyalah pemikiran metafisika-spekulatif Ibn Sina dan para fiosuf paripatetik lainnya. Namun ia tidak melarang orang belajar logika, tabi’iyyat, matematika dan lainnya. Menurut Muhamad Ahmed Sherif, sangat sulit dipahami jika alGhazali menulis karya monumentalnya, Ihya’ Ulum al-Din jika ia tidak menguasai seluk beluk filsafat.13 Bahkan menurut Sayyed Husein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Amin Abdulah, kitab Maqasid al falasfah karya alGhazali merupakan terjemah dari karya ibn, Sina Danishnamahi ‘ala’i.14 Penguasaan al-Ghazali terhadap filsafat juga dibuktikan dalam karyanya alMunqid min al-Dlalal. Di mana, dengan kemampuan filosofisnya, al-Ghazali melakukan kritik tajam terhadap karya Ibn Sina dan filosuf lainnya.15 Ironinya, semangat al-Ghazali dalam berfilsafat ini tidak diikuti oleh gencrasi berikutnya. Generasi berikutnya lebih berminat pada produk jadi made in alGhazali dan bukan metodologi berfikir (manhaj al-Fikr) yang dikembangkannya. Dalam sejarahnya, sosok al-Ghazali justru lebih dipahami sebagai figur anti filsafat. Tak heran jika tradisi kritis yang dibangun dan dikembangkan oleh al-Ghazali justru tenggelam oleh arus ortodoksi yang lebih diminati pengikut-pengikutnya.16 Menurut kacamata Arkoun, hal ini terkait dengan perkembangan politik Islam saat itu yang cenderung menekankan stabilitas (status quo) dari pada mendorong kreatifitas berfikir yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan sosial-politik. Sejak masa klasik, dialektika agama dan filsafat selalu bergulat dengan pertanyaan dasar tentang apa kaitan filsafat dan agama? Menjawab pertanyaan ini, Rob Fisher mengidentifikasi empat posisi penting yang muncul dalam sejarah perdebatan filsafat dan agama: Posisi pertama, filsafat sebagai agama, sebagaimana yang di Barat banyak disuarakan oleh para pakar kenamaan, seperti Plato, Plotinus, Porphiry, Spinoza, Iris Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 25 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad Murdoch, Hartshorne dan Griffen. Misis utama pendekatan ini adalah dalam rangka merefleksikan watak tealitas tertinggi, kebaikan Tuhan (God), ketuhanan (devine) yang memberikan sistem nilai bagi kehidupan sehari-hari.17 Posisi kedua, Filsafat sebagai pelayan agama, yang tercermin dalam pergulatan pemikiran Aquinas, John Lock, Basil Mitchell, dan Richard Swinburne. Menurut Aquinas, wahyu adalah komunikasi Tuhan tentang kebenaran yang tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh dengan sendirinya. Nalar manusia adalah awal dari keimanannya. Senada dengan Aquinas, John Locke menyatakan bahwa akal membuat standar kebenaran yang berlawanan dengan standar yang ditetapkan oleh pengetahuan yang diwahyukan. Menurutnya, standar kebenaran wahyu tidak boleh bertentangan dengan akal.18 Posisi ketiga, filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan. Hal ini tergambar dalam pemikiran William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantinga. Dalam kaca mata para pakar tersebut, refleksi filosofis hanya akan semakin mempertegas keterbatasannya dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan tentang agama, membuka peluang bagi agama dan menjelaskan ketergantungan manusia terhadap wahyu.19 Posisi keempat, filsafat sebagai studi analisis terhadap agama. Dipelopori oleh Antony Flew, Paul Van Buren, R.B. Braith Wait, dan D.Z. Philips. Filsafat dalam hal ini berfungsi untuk menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa agama, menemukan cara kerjanya, dan makna yang dibawanya (jika ada). Filsafat berfungsi untuk memahami bahasa ketuhanan umat beragama, dasar-dasar pengetahuan agama, dalam hubungannya dengan cara hidup mereka.20 Posisi kelima, filsafat sebagai metode nalar keagamaan. Dikembangkan oleh David Pailin, Maurice Wiles, dan John Hick. Tujuan dari refleksi filsafat pada posisi ini adalah melihat secara teliti konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasi faktor-faktor , yang mempengaruhi keyakinan mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan ritus dan doktrin yang diyakini. Yang menjadi titik tekan dalam hal ini adalah kebudayaan yang menjadi faktor formatif yang mempengaruhi keberagamaan. Posisi ini membutuhkan perangkat historis, ilmiah, dan hermeneutik sebagai alat analisisnya. Lebih lanjut Pailin merekomendasikan perlunya pendidikan teologis guna menemukan 26 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad bentuk filsafat agama.21 Dalam konteks Islam, menurut Hassan Hanafi, filsafat baru berkembang pada wilayah mantiqiyyah (logika), tabi’iyyah dan ilahiyyah (ketuhanan).22 Hal ini tercermin dalam pemikiran para filosuf Islam klasik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al-Ghazali. Sementara wilayah kesejarahan (tarikhiyyah), dan kemanusiaan atau humaniora (insaniyyah) belum banyak dikembangkan.23 Hal ini dapat dipahami, karena filsafat Islam klasik sangat dipengaruhi oleh Platonism dan Neoplatonisme. Pendekatan kesejarahan dalam studi Islam baru muncul dalam pemikiran Ibn Khaldun (1332-1406), namun tidak berkembang lebih lanjut karena kejayaan Islam keburu runtuh ke tangan kolonialisme. Kritik Terhadap Filsafat Kehadiran filsafat sebagai sebuah pendekatan tentu saja bukan tanpa kelemahan. Rob Fisher menyebutkan tiga persepsi umum yang mendiskriditkan filsafat.24 Pertama, menyangkut watak filsafat. Filsafat banyak membicarakan tentang hal-hal di luar realitas. Dengan kata lain, filsafat dipersepsikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang tidak memiliki relevansi dengan fakta-fakta riil. Para filosuf suka memperdebatkan halhal yang tidak berguna, tanpa ada penyelesaian, atau kesimpulan yang menjawab persoalan yang dibicarakan. Masing-masing orang memiliki haknya sendiri-sendiri dalam mengemukakan pendapat. Dengan demikian para filosuf hanya menghabiskan waktu tanpa guna. Dengan nada geram, Turtelian, sebagaimana dikutip Fisher, menyebut kaum Stoik dan Platonis sebagai “anjing-anjing kecil yang menggonggong yang terus dalam keingintahuan dalam membahas watak manusia, eksistensi jiwa dan kebaikan Tuhan.” Persepsi kedua, filsafat seringkali dipersepsikan sebagai disiplin yang sulit dan hanya ada pada wilayah intelektual. Oleh karenanya hanya orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tertentu yang dapat berbicara tentang filsafat. Ketiga, persepsi yang mengarah pada “filsafat popular” yang seringkali dijadikan sebagai landasan bagi individu atau kelompok tertentu. Biasanya berupa ungkapan atau anekdot yang melandasi gerak dan langkah seseorang atau komunitas tertentu dalam menjalani kehidupan atau karirnya.25 Persepsi “negative” tentang filsafat tersebut seringkali muncul akibat Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 27 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad kesalahpahaman, sehingga filsafat dianggap tidak berguna atau tidak relevan dengan disiplin agama. Tentu saja, anggapan bahwa filsafat tidak relevan dengan agama merupakan pernyataan ambigu. Karena, pada dasarnya berbicara mengenai relevansi sangat bergantung pada siapa dan apa criteria yang digunakan? Bagi teolog normative seperti Turtelian, akan cenderung beranggapan bahwa filsafat tidak ada hubungannya dengan agama. Jika filsafat digandengkan dengan agama, maka akan cenderung mendistorsi dan merusaknya. Namun sebalinya, teolog modernis dan liberal akan beranggapan bahwa penjelasan filosofis terhadap agama merupakan hal yang niscaya, jika ingin agama diterima dan dipahami sepanjang masa. Dialektika norma agama dan pengalaman aktual manusia akan sulit dikompromikan tanpa bantuan filsafat sebagai alat untuk mengurai benang merah dan klarifikasi terhadapnya. Klaimklaim keagamaan akan sulit dipertangungjawabkan dan berdialektika dengan pengalaman manusia tanpa proses rasional. Kredibilitas sebiah doktrin akan sangan ditentukan oleh sejauhmana argument-argumen logis dapat menjelaskan dan membenarkannya. Proses rasioonal inilah yang menjadi peran strategis dari pendekatan filsafat. Hal yang harus dipahami adalah bahwa filsafat merupakan kerja gradual dan berkelanjutan, tanpa ada batas waktu. Pemahaman filsafat terhadap fakta tidak akan pernah sampai pada kesimpulan akhir, atau memberikan solusi pasti terhadap persoalan tertentu. Oleh karenanya, seseorang akan kecewa jika mengharapkan jawaban pasti dari hasil kerja filsafat. Karena filsafat adalah “ketidakpastian” itu sendiri dan akan dengan setia memberikan klarifikasi dan penjelasan terhadap ketidakpastian itu. Salah satu sebab kenapa filsafat tidak begitu popular dalam wilayah agama, karena filsafat menentang otoritas doktrin apapun termasuk agama. Sementara, agama sangat identik dengan hal-hal yang bersifat otoritatif. Dengan filsafat, kita berupaya memproduksi argumen-argumen logis untuk membenarkan dan menjelaskan prinsip atau keyakinan yang kita pegangi. Dengan demikian, filsafat tidak sekedar pendapat atau omong kosong tak berarti. Orang yang meyakini doktrin agama tertentu, memerlukan argumen-argumen rasional untuk mendukung keyakinannya itu. Sebagai seorang manusia yang memiliki potensi pikir, tidak mungkin membiarkan begitu saja apa yang melekat dalam keyakinannya tanpa memikirkannya. Proses memikirkan inilah sesungguhnya kerja filsafat. 28 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad Menanggapi tuduhan bahwa filsafat merupakan kerja intelektual yang sulit, barangkali memang benar. Namun, sebagaimana dikatakan Fisher, kesulitan dan kerumitan filsafat pada dasarnya lebih disebabkan oleh ketidak mampuan para penulis untuk mengartikulasikannya, sehingga, terbaca oleh orang awam sebagai hal yang teramat rumit dan sulit. Kerumitan juga bisa jadi disebabkan oleh karena kebanyakan orang tidak terbiasa mempertanyakan hal-hal yang dipertanyakan oleh filsafat. Pada umumnya orang cenderung merasa puas dengan apa yang ada dalam dirinya dan di lingkungan sekitarnya. Sementara, filsafat selalu mempertanyakan mengapa? Dan dari mana asal usulnya? Filsafat berupaya memahami dunia dan diri kita secara mendalam. Dengan berfilsafat kita dapat merefleksikan pengalaman, keyakinan, dan pandangan-pandangan kita secara logis dan teliti. Dalam konteks keberagamaan, seorang menganut keyakinan tertentu dapat merumuskan argumen-argumen logis atau nalar pada setiap diktum hukum atau norma yang diyakininya. Kritik dan Analisis Epistemologis Tradisi Kritik Epistimologis Nuansa historis dan humaniora dalam pendekatan kajian Islam baru mulai bangkit kembali setelah munculnya para pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan Hassan Hanafi. Ketiga tokoh ini merupakan pelopor pendekatan historis dalam kajian Islam yang kemudian segera diikuti oleh para pemikir berikutnya seperti Nasr Hamid Abu Zaid, alJabiri dan lain-lain. Dalam rangka membangun teorinya, para pemikir kontemporer ini berupaya melakukan kritik epistemologi. Epistemologi merupakan cabang; filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu. Kritik epistemologis sering juga disebut sebagai metode “kritik nalar”. Dengan karakternya yang berbeda-beda, masing-masing tokoh tersebut berupaya mengkaji ulang metode studi Islam mainstream yang selama ini menjadi payung ortodoksi. Mereka berupaya untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi dan teks yang selama ini menjadi sumber kebekuan pemikiran Islam. Yang menjadi fokus dari kritik nalar ini tidak lain adalah mengkaji ulang asumsi-asumsi keagamaan yang selama ini membelenggu pemikiran Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 29 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad Islam dan menjadi benteng ortodoksi. Asumsi-asumsi yang selama ini ada pada wilayah yang “tak dapat dipikirkan” (unthinkable). Asumsi-asumsi tersebut, menurut Arkoun adalah: 1) ada kontinuitas sejarah antara masa lalu dengan masa sekarang di dunia Muslim, juga disebut “Islam, sejak masa hidup pendirinya hingga hari ini...; 2) Islam identik dengan negara; 3) Pada titik ini Islam berbeda dengan agama-agama besar dunia lain; 4) Mentalitas orang beriman, yang terdidik secara teori dan praktek dengan pengidentikan ini, melekat selamanya; mentalitas itu mengelak dari perubahan historis; ia bebas dari historisitas; sebaliknya dianut dengan teguh sehingga mentalitas tersebut melekat secara terus menerus dalam sejarah masyarakat-masyarakat Muslim; 5) Agama bagi umat Islam merupakan landasan penting dan pusat identitas dan kesetiaan; 6) Islam merupakan kekuatan pemersatu dan pemberi dorongan. Ringkasnya: dalam seluruh asumsi ini, Islam identik dengan Agama, Agama identik dengan Islam, dan Islam dengan Dunia Muslim.26 Asumsi-asumsi di atas tentu. saja mengabaikan disiplin-disiplin ilmiah. Dalam konteks Sosiologi-Historis tidak akan dapat menerima Islam dijumbuhkan dengan negara, Islam sama dengan Muslim. Disiplin Antropologi akan menolak pengidentikan Islam, agama dan negara. Semua agama terartikulasi dalam berbagai mitos, presentasi naratif, simbol, parable, ritual, representasi yang mengarahkan imaginaire (angan-angan) kolektif; alat-alat artikulasi ini bukan hanya ada pada agama-agama tetapi ada pada seluruh tradisi budaya. Dengan. demikian menjadi sulit untuk dapat memisahkan budaya dari agama dan politik, dan sulit membedakan antara Islam dengan agama-agama besar lainnya. Asumsi di atas juga mengabaikan kaidah-kaidah linguistik sebagai sebuah alat untuk mengkritisi teks kitab suci.27 Hal yang perlu digarisbawahi di sini, sebagaimana peringatan Ali Harb, adalah bahwa kritik epistemologi yang dimaksud di sini adalah bukan bertujuan untuk mengkritisi metodologi pemikiran yang dipakai oleh generasi terdahulu. Namun berupaya mengkritisi apa yang kita lakukan saat ini. Termasuk bagaimana pemahaman kita terhadap produk pendahulu dan bagaimana cara kita memperlakukannya. Para pendahulu telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang sangat berharga. Namun produk mereka adalah konsep yang terbuka untuk dipikirkan dan dikaji ulang, dengan syarat kita mampu menangkap dengan baik persoalan yang mereka kemukakan, serta membaca aspek-aspek yang 30 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad tidak terbaca oleh mereka. Sumbangan kita adalah obyek perdebatan itu sendiri yang harus dikritik. 28 Analisis Sirkuler-Multidimensional Kritik epistemologis sebagaimana di kemukakan di atas dimaksudkan untuk mengkaji seluruh bangunan keilmuan Islam, dengan memandangnya sebagai produk sejarah yang berdimensi relatif. Analisis epistemologis harus dapat digunakan untuk mengkaji teks suci maupun profan, historis maupun filosofis, teologis maupun yuridis, sosiologis maupun antropologis, terlepas dari kedudukanya sebagai sebuah tradisi keyakinan, pemikiran maupun pemahaman.29 Dengan demikian akan dapat dihasilkan pemahaman yang lebih komprehensif dan kontekstual Tentu saja, filsafat sebagai sebuah pendekatan dalam kajian agama tidak dapat bekerja sendiri. Kajian yang bersifat linier, yang hanya mengandalkan satu disiplin keilmuan sebagai pendekatan, tidak akan menghasilkan pemahaman yang konprehensif terhadap obyek kajian. Disiplin lain seperti, antropologi, sosiologi, psikologi dan sejarah diperlukan sebagai pendekatan dalam menganalisis beragam dimensi yang melingkupi teks atau doktrin keagamaan. Beragam pendekatan tersebut kemudian dianalisis secara sirkuler-multidimensional. Yakni dengan meramu masingmasing pendekatan ilmu sedemikian rupa menjadi satu unit analisis, bukan menempatkan masing-masing sebagai unit kajian yang berdiri sendiri secara paralel. Dengan dukungan beragam pendekatan ilmu-ilmu social seperti psikologi, sosiologi dan antropologi, filsafat tidak hanya bergerak pada wilayah mantiqiyyah (logika), tabi’iyyah dan ilahiyyah (ketuhanan), tetapi dapat menjangkau dimensi tarikhiyyah (kesejarahan), dan insaniyyah (kemanusiaan) sebagaimana harapan Hassan Hanafi di muka.30 Karena kajian keislaman yang hanya berwacana “di atas langit,” hanya akan menjauhkan Islam dari pemeluknya yang “berjibaku di atas bumi”. Pendekatan ilmu-ilmu sosial yang lebih membumi akan membawa kajian keislaman masuk pada wilayah kemanusiaan dan menghantarkannya berdialektika dengan problem-problem kemanusiaan yang bersifat majmuk (plural) dan terus-menerus bergerak secara dinamis. Untuk dapat masuk pada wilayah kemanusiaan, pemahaman terhadap manusia sebagai obyek tradisi keagamaan mutlak diperlukan. Inilah alasan pentingnya pendekatan disiplin ilmu Humaniora (kemanusiaan). Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 31 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad Memahami manusia sebagai individu memang teramat sulit, bahkan bisa jadi mustahil. Karena masing-masing individu telah menggunakan warna lingkungannya, sehingga warna sejati mereka sulit dikenali. Dengan demikian, mempelajari manusia yang berubah tidak akan menghasilkan pengetahuan tentang subyek yang autentik, yang natural nan murni. “Manusia natural” sebagaimana dikemukakan Abdul Karim Soroush, tidak dapat ditemukan. Karena semua manusia menjadi sasaran perubahan .31 Lingkungan merupakan menghalang bagi upaya mengenali manusia, karena ia terus menerus menodainya. 32 Untuk dapat mengenali menusia tidak cukup dengan pendekatan psikologis tetapi juga antropologis dan histories. Dalam ungkapannya Soroush menyatakah: Manusia tidak mengungkapkan dirinya di manapun selain dalam sejarah. Ada jawaban jelas untuk pertanyaan ini, megapa masyarakat manusia (tidak hanya: pen) menghasilkan perang, ketidakadilan, kemurtadan, dan dosa, tetapi juga ilmu, ibadat, seni, dan kompetisi? Biang keladi dari semua kebaikan dan kejahatan ini adalah tabiat kehidupan manusia dalam masyarakat. Ketika manusia berkumpul, fenomena ini muncul, Sejarah manusia yang tidak mengandung ilmu dan kemurtadan tentulah tidak dapat dibuat di mana pun, kecuali manusia berhenti menjadi menusia yang kita kenal saat ini.33 Ungkapan Soroush ini menggambarkan betapa kerdilnya sebuah kajian yang hanya mengandalkan satu disiplin ilmu tertentu sebagai pendekatan. Karena manusia adalah makhluk multidimensi. Manusia bahkan tidak dapat dilihat dalam konteks psikologis yang berdimensi individu. Pendekatan sosiologis juga diperlukan, karena ia adalah makhluk social. Tetapi ini saja tidak cukup, karena sebagai makhluk historis disamping ia terus-menerus berubah secara dinamis ia adalah juga produk sejarah, maka pendekatan antropologi dan sejarah diperlukan untuk dapat mengungkap manusia dalam konteks ini. Muhammad Said al-Asymawi, dalam pengantar tulisannya menyatakan: “Sesungguhnya, karakter manusia – dalam wataknya yang ada – dibentuk oleh kehidupan masa lalu – walaupun salah dan menentang hal-hal baru – meskipun benar. Dari watak ini, para maha guru yang agung – baik rasul atau nabi – berusaha untuk mengangkat derajat kehidupan manusia dari bingkaibingkai kehidupan menuju kehidupan yang penuh dengan spirit kemanusiaan.”34 Disamping pendekatan ilmu-ilmu sosial, pendekatan teologis juga 32 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad diperlukan untuk mengungkap dimensi ideologis yang melandasi setiap gerak langkah dan pemikiran. Tradisi keagamaan, disamping berdimensi ilahiyah (ketuhanan) adalah juga berdimensi insaniyah (kemanusiaan). Oleh karenanya beragam disiplin ilmu, baik yang berdimensi ketuhanan maupun kemanusiaan, sangat mutlak diperlukan dalam setiap upaya pemahaman terhadap teksteks yang terlahir dari tradisi keagamaan tertentu. Karena jika tidak demikian, maka watak manusiawi dari teks keagamaan akan hilang. Tentu saja, setiap upaya menempatkan agama sebagai obyek kajian ilmiah menurut Waardenburg akan dihadapkan pada dua hal yang sulit: Pertama, seorang pengkaji harus dapat mengambil jarak terhadap obyek kajiannya. Dalam konteks kajian agama, seorang pengkaji tentu sulit melepaskan hal yang selama ini menjadi bagian dari dirinya. Kedua, selama ini agama diyakini sebagai sesuatu yang sakral dan bernilai luhur. Suatu kesulitan tersendiri jika harus menempatkan sesuatu yang suci dan mulia sebagai obyek yang netral, karena bisa dianggap melecehkan atau menodai keluhurannya.35 Meski demikian, sebagai bagian dari idealisme akademis yang harus secara konsisten dijaga, tidak seharusnya mundur hanya karena alasan-alasan klasik di atas. Perjuangan menegakkan nalar akademis seharusnya menjadi bagian dari jihad yang tentu saja memerlukan keberanian mengambil resiko dan kerelaan untuk berkorban. Penutup Model sirkuler-multidimensioanal yang dikemukakan di atas diharapkan akan mendorong kajian keislaman yang lebih konprehensif dan mengeliminasi ketagangan diantara para pengkaji Islam yang masingmasing cenderung menganggap pendekatan ilmu tertentu lebih baik dibanding yang lain. Kesulitan dalam mempertemukan beragam Catatan Akhir: *Penulis adalah dosen Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, saat ini sedang menempuh studi program Doktor di IAIN Walisongo. Alamat Jl. Karonsih Selatan VIII/624, Ngaliyan Semarang. Telp. 7620245. Hp. 08122544908 1Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1995, h. 19 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 33 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad 2M. Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al Siyasah, terj. Hasyim Saleh, (Beirut: Markaz al- Inma’ al-Qaumy, 1990), h. 172-173 3M. Arkoun, Tarikhiyyatu al-Filer al-Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al- Inma’ al-Qaumy, 1986), h. 87-89 4Ibid, h. 298 5Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Wahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984) 6Arkoun, al-Akhlaq wa al-Siyasah, h. 173 7Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburg at the University Press, 1962), h. 149 8Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25 9J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 280 10Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 15 11Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya dengan Kondisi Sosio- Politik Zaman Kuno hingga sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2002), h. xiii 12Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 39 13Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, (Albani: University of New York ress, 1975), h. 24 14Amin Abdulah, Falsafah Kalam, op. cit., h. 40 15Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dlalal, (Qahira, Mathbaah al-I’lamiyyah, 1303 H.), h. 13-15 16Amin Abdullah, Falsafah Kalam, h. 41 17Peter Connolly, (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Imam Khoiri (terj), (Yogyakarta: Lkis, 2002), h. 165-166. 18Ibid, h. 166 19Loc. cit., 20Ibid, h. 167 21Ibid, h. 167-168 22Argumen mengenai hat ini dapat dilihat dalam Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir, Maktabat al-Anjilu al-Misriyah, tth., h. 130-133. 23Lihat Ibid, h. 393-415 24Peter Connolly, op. cit, h. 153-155 25Biasanya produk filsafat populer tersebut berupa anekdot, atau motto hidup, atau pandangan hidup bagi seseorang. Pada komunitas tertentu juga mengenal ungkapan-ungkapan filosofis, untuk dalam komunitas persepakbolaan muncul filsafat sepak bola, filsafat kerja, filsafat hidup, dan lain-lain. 34 Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad 26Muhammad Arkoun, “Kritik Konsep Reformasi Islam” dalam Abdullahi Ahmed an- Naim dkk, Dekonstruksi Syari’ah II, Kritik Konsep dan Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajdi, (Yogyakarta: WS, 1996), h. 14 27Ibid, h. 15 28Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog,terj. Umar Bukhory & Ghazi Mubarak, (Yogyakarta: IRCiSod, 2001). h. 129 29Ibid, h. 13 30Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, (Mesir, Maktabat al-Anjilu al- Misriyah, tth.), h. 130-133. 31Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), h. 276 32Ibid, h. 277 33Ibid, h. 278 34Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj. Tuthfi Thomafi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. x 35Jacques Waardenburg, Clasical Approach to Study of Religion, (London: The Hague, 1973), h. 2 DAFTAR PUSTAKA Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Al-Munqidh min al- Dlala, Qahira, Mathbaah al-I’lamiyyah, 1303 H. al-Asymawi, Muhammad Said Nalar Kritis Syari’ah, terj. Tuthfi Thomafi, Yogyakarta: LKiS, 2004 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995 Betrans Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2002 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Wahyudin, Bandung: Pustaka, 1984 Harb, Aliya, Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog,terj. Umar Bukhory & Ghazi Mubarak, Yogyakarta: IRCiSod, 2001 Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir, Maktabat al-Anjilu al-Misriyah, Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 35 Filsafat Sebagai Pendekatan...Oleh Hasyim Muhammad tt., h. 130-133. Jacques Waardenburg, Clasical Approach to Study of Religion, London: The Hague, 1973 J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991 Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, Albani: University of New York Press, 1975 M. Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Salch, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1990 —————, Tarikhiyyatu al-Fikr al-Arabi al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ alQaumi, 1986 —————, “Kritik Konsep Reformasi Islam” dalam Abdullahi Ahmed an- Naim dkk, Dekonstruksi Syari’ah II, Kritik Konsep dan Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajdi, Yogyakarta: WS, 1996 Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Peter Connolly, (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Imam Khoiri (terj), Yogyakarta: Lkis, 2002 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 Soroush, Abdul Karim, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2002 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, Edinburg at the University Press, 1962