301. Suatu perintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Nicolau Lobato menuduh Francisco Xavier do Amaral sebagai seorang pengalah dan pengkhianat, serta “kejahatankejahatan” lain seperti korupsi, poligami, sabotase, kekerasan, feodalisme dan pembunuhan.406 Dia juga dituduh memulai gerakan saingan yang akan melemahkan Fretilin. Dia dipenjara di sebuah lubang, dipukuli dan diperlakukan dengan kejam.407 Akibat serangan ofensif ABRI, Francisco Xavier do Amaral melarikan diri pada tahun 1978, dan belakangan ditangkap oleh ABRI. 302. Pada tanggal 16 Oktober Nicolau Lobato terpilih sebagai Presiden baru. Tekanan dalam periode ini mendorong Fretilin untuk mangadopsi ideologi yang lebih radikal. Marxisme diumumkan,408 dan bersamaan dengan itu muncul sikap yang tidak toleran pada perbedaan pendapat. Penangkapan Amaral menjadi awal dari pembersihan di dalam tubuh Fretilin.409 Terjadi berbagai eksekusi publik,410 dan banyak orang yang ditahan, diperlakukan dengan kejam dan dipaksa untuk mengadukan orang lain.411 Siapa pun yang diketahui berhubungan dekat dengan Amaral atau yang berkolaborasi dengan militer Indonesia ditangkap dan ditahan (lihat Bab 7.2: Pembunuhan tidak Sah dan Penghilangan Paksa, dan Bab 7.4.: Penahanan, Penyiksaan dan Perlakuan Buruk). ABRI mengintensifkan operasi militer: pengepungan dan penghancuran, Agustus 1977 sampai Agustus 1978 303. Operasi militer antara pertengahan tahun 1977 sampai pada awal 1979 seringkali disebut sebagai kampanye “pengepungan dan penghancuran.” Kampanye tersebut mempunyai dua tujuan yaitu, untuk menghancurkan kepemimpinan Fretilin dan untuk memaksa penduduk sipil yang tinggal di pedalaman yang bergunung-gunung menyerahkan diri kepada ABRI di dataran rendah.412 - 80 - 304. Pada bulan Agustus 1977 ABRI melancarkan sebuah operasi militer besar baru,413 yang didahului dengan pengerahan pasukan yang besar.414 Data Komisi menunjukkan sebuah peningkatan dari tiga sampai lima batalyon pada bulan Juli menjadi tujuh belas batalyon pada bulan Agustus. Fokus awal dari ofensif ini adalah sektor barat, yang dikenal dengan nama sandi Operasi Sisir.* 415 Seperti pada berbagai operasi sebelumnya, dukungan Artileri Angkatan Laut dan Udara adalah faktor penting bagi kemenangan ABRI. Di Fatumean, misalnya, pemboman udara adalah alasan utama menyerahnya pasukan Falintil/Fretilin dan penduduk sipil pada bulan November.416 Di sektor Timur, Marinir menjalankan Operasi Bedah Marinir 77 dengan tujuan untuk menguasai jalur antara Quelicai dan Uatucarbau.417 Penghancuran sumber pangan, Fretilin mundur ke gunung bersama penduduk sipil 305. Militer Indonesia bergerak keluar dari kota dan koridor jalan yang telah mereka kuasai pada bagian pertama Operasi Seroja. Fretilin terpaksa mundur, dan bukannya menyuruh penduduk untuk menyerah, Fretilin memutuskan untuk membawa serta penduduk sipil dengan mereka. Komisi diberitahu mengenai pembunuhan ternak dan penghancuran sumber pangan lainnya oleh militer Indonesia selama operasi-operasi ini. Manuel Carceres da Costa dari Laclo, Distrik Manatuto bersaksi: Ketika kami menebang sebuah pohon sagu, datang prajurit Indonesia dan menyerang kami…Ketika tentara menembak seorang anggota Falintil bernama Hermenegildo, kami terpaksa meninggalkan makanan kami dan melarikan diri. Setelah serangan itu militer Indonesia menduduki daerah tersebut sehingga kami tidak dapat kembali lagi. Kerbau-kerbau dan ternak kami semua ditembak mati atau diusir. Kebun-kebun dan sawah kami dihancurkan.418 306. Pemboman udara juga dilakukan terhadap lahan pertanian, sehingga memaksa Fretilin dan penduduk sipil mundur lebih jauh ke gunung-gunung, dan membuat hidup menjadi semakin sulit. Dengan tanaman pangan hancur, dan penduduk sipil tidak lagi dapat tinggal di daerah pemukiman di mana mereka dapat bercocok tanam, tetapi terpaksa harus tetap bergerak, banyak orang kemudian mati. Komisi mendengar banyak kesaksian mengenai penderitaan berat dan ketidakberdayaan penduduk sipil di gunung selama operasi militer ini. Orang tua dan anak-anak adalah yang paling banyak mati.419 Militer Indonesia mematahkan basis-basis perlawanan Fretilin (bases de apoio) satu persatu, dan penduduk yang tersisa mundur ke daerah-daerah yang makin terpojok. Kehadiran demikian banyak penduduk sipil membuat Fretilin harus memmikirkan perlindungan mereka, sehingga mengurangi kemampuannya untuk melakukan serangan balasan kepada ABRI. Serangan di wilayah Tengah 307. Militer Indonesia terus melancarkan serangan selama musim hujan dan selama paruh pertama tahun 1978. Jumlah pasukan di wilayah tengah, yang sebelumnya hanya sedikit, ditambah sampai sebanyak yang berada di barat. Beroperasi di bawah komando Resimen Tempur (RTP) 11, pasukan ini melancarkan sebuah serangan di daerah Same-Kablaki- Fatuberliu.420 Akan tetapi, jumlah pasukan di bagian timur, jumlah pasukan tetap jauh lebih sedikit, dengan hanya empat sampai lima batalyon.† Selama musim hujan pasukan di timur menyerang pertahanan Fretilin di perbatasan Baucau-Viqueque antara Gunung Ossoala dan Gunung Mundo Perdido, dan juga melanjutkan penyerangan di bagian utara kaki Gunung * Hal Ini melibatkan Batalyon Infanteri 131, 511, 527, 612, 621, 733, dan 741. † Termasuk Batalyon Infanteri 502 dan 503 Kostrad, Batalyon Infanteri 408, dan satu Batalyon Infanteri Marinir. - 81 - Matebian.421 Selama periode ini kekuatan angkatan udara * digunakan di sektor barat dan tengah:422 Setelah pengeboman atas Kablaki mereka pergi ke Dululau dan Mamelau…Empat pesawat udara mengebom Dululau, dan…roket dan…meriam.423 308. Komisi mendengar kesaksian langsung para korban yang selamat dari berbagai serangan pengepungan ini, di mana banyak penduduk sipil yang mati. Maria José da Costa menceritakan kepada Komisi mengenai pengalamannya di wilayah pegunungan tengah: Pada tahun 1978 musuh mengepung kami di Dolok dan banyak orang meninggal karena kelaparan. Semua persediaan makanan milik rakyat dibakar. Mereka mengepung kami dengan menyerang dari laut dengan kapal perang, dari udara dengan pesawat terbang, dan dari darat dengan membakar alang-alang dan mengirim pasukan angkatan darat. Pada waktu itu bulan Agustus yang merupakan musim kemarau. Tentara membuat api yang besar yang menjalar dengan cepat ibarat menyemprotkan bensin ke alang-alang. Banyak orang mati karena tidak dapat menghindari api yang mengepung kami.424 309. Tekanan dari pengepungan dan serangan yang tiada henti menciptakam gelombang manusia yang perlahan-lahan menyerahkan diri kepada militer Indonesia. Operasi (atau Gerakan Cahaya): dengan sasaran para pemimpin Fretilin 310. Pada tanggal 6 April 1978 Letnan Jenderal Mohammad Yusuf ditunjuk sebagai Panglima ABRI. Dia mengambil alih kendali secara pribadi berbagai operasi di Timor-Leste, memotong wewenang Moerdani dan Kalbuadi.425 Di musim kering pada bulan Mei 1978 Operasi Cahaya pun dilancarkan.426 Operasi baru ini secara khusus mentargetkan para pemimpin Fretilin. Tujuannya adalah agar para pemimpin yang berpengaruh menyerahkan diri sehingga masyarakat pun ikut menyerahkan diri secara besar-besaran, dengan demikian memisahkan masyarakat dari para gerilya. Komisi mendengar kesaksian Xanana Gusmão bahwa Operasi Cahaya ini lebih tepat disebut sebagai sebuah “gerakan”, dan bahwa Menteri Informasi dan Keamanan Fretilin Alarico Fernandes merupakan sekutu utama militer Indonesia setelah dia menyerahkan diri pada bulan Sepember 1978: Pada bulan Oktober atau November 1978 kami yang dikepung mendengar bahwa Alarico sudah melaksanakan Operasi Cahaya … Kami mendengar di radio bahwa Alarico sudah melakukan gerakan …Dia bisa melihat bahwa Indonesia sangat kuat dan dia mengikuti Indonesia dan mencanangkan Operasi Cahaya.427 311. Walaupun secara geografis konflik ini terus berubah sampai awal 1978, seiring berjalannya waktu dan Resistensi semakin terdesak ke daerah yang lebih sempit, sifat konflik ini berubah menjadi suatu pengepungan. Karena semakin terdesak, para pemimpin Fretilin berupaya untuk mempertahankan resistensi yang terpadu. Sebuah naskah pidato Nicolau Lobato pada tanggal 20 Mei 1978 menunjukkan tekanan yang dihadapi Fretilin: * Pesawat Bronco OV-10 yang disalurkan oleh AS. - 82 - “Akan tetapi mereka yang tidak bisa diyakinkan akan fakta tentang pertanyaan yang tidak bisa dijawab bahwa perjuangan kita adalah adil dan benar, bagi mereka yang beroposisi dan bekerjasama secara fanatik dengan musuh untuk mengakhiri perjuangan kita, beberapa dari mereka yang telah gagal dalam hidup, mereka adalah bukan anggota Fretilin, mereka bukan bagian dari rakyat Maubere, mereka adalah musuh rakyat, mereka adalah penghianat Ibu Pertiwi. Persatuan ideologi yang telah diumumkan hanya akan dinyatakan ketika kita melaksanakannya secara praktis.” *.428 Operasi-operasi militer Indonesia di wilayah tengah dan timur, akhir tahun 1978: jatuhnya Matebian 312. Titik balik utama dalam operasi terjadi pada pertengahan tahun 1978. Antara bulan Agustus dan Desember 1977, pasukan tempur terkonsentrasi di sektor barat, dan selama paruh pertama tahun 1978 pasukan tempur tersebar dengan jumlah yang sama kuat di sektor barat dan pusat; sementara pengerahan pasukan di timur jauh lebih rendah. Pada pertengahan tahun 1978, perimbangan kekuatan akhirnya bergeser ke timur, dengan 13 batalyon tempur yang ditugaskan di timur di bawah komando RTP 18 Kostrad.429 Pengerahan ini melanjutkan proses pengepungan penduduk dan memuncak pada penyerangan terhadap Gunung Matebian. Operasi ini diatur dengan seksama, melibatkan sejumlah Batalyon Kostrad, Batalyon Infanteri Teritorial non-organik (eksternal), Batalyon Bantuan Tempur, Marinir, dan Angkatan Udara. Seorang mantan perwira Kostrad yang diwawancarai di Indonesia menceritakan tentang taktik yang digunakan selama penyerangan di Gunung Matebian: Semua unit memiliki rute mereka sendiri dan menyerang dari berbagai arah. Sebelum melaksanakan serangan mereka berkoordinasi untuk menghindari saling tembak antar unit. Kami berencana menyerang pada waktu yang bersamaan dengan memakai formasi L. [Ini] semua dilakukan dengan pertimbangan keamanan dalam upaya menghindari terbunuhnya kawan seperjuangan kami.430 313. Ini menjadi serangan terbesar terakhir dalam operasi pengepungan dan penghancuran. Fretilin telah mempersiapkan Matebian sebagai wilayah pemunduran, dengan persediaan makanan. Ketika kampanye ini dimulai, Fretilin membawa orang-orang ke gunung, yang dipertahankan dengan kuat. Wilayah ini pada akhirnya jatuh pada tanggal 22 November, zona bebas terakhir yang ditundukkan. 314. Yang menjadi kunci kemenangan dalam serangan di Gunung Matebian adalah pemboman udara dengan menggunakan pesawat OV-10 Bronco, F-5 dan Sky Hawk A-4. Sebagian besar sumber mengatakan bahwa pemboman udara di Gunung Matebian dimulai pada bulan September atau Oktober 1978 dan berlangsung hingga pertengahan November.431 Banyak pernyataan yang menggambarkan pengeboman yang tidak pandang bulu terhadap penduduk sipil dan pembantaian yang membinasakan.432 Tomas Soares da Silva, yang pada saat itu berumur 16 tahun, menceritakan pemboman di Gunung Matebian itu: * Naskah ini kemudian diringkas dan disiarkan melalui radio dan dikirim ke Perwakilan Amerika Di PBB mengatakan: Lobato menyerukan, antara lain, persatuan rakyat Timor-Leste, semua pejuang dalam Komite Sentral Fretilin dan seruan persatuan ideologis. Persatuan ideologis yang dicanangkan hanya akan menjadi tulus ketika kami (Fretilin) menerapkannya.” Juga, bahwa mereka yang tidak masuk dalam Fretilin adalah musuh penduduk—(mereka adalah) “pengkhianat ibu pertiwi [sic]. Telegram, US Mission UN New York to Secretary State Washington, East Timor Question, 7 Juli 1978. - 83 - Di Gunung Matebian, pengeboman mulai terjadi bulan Oktober dan November. Satu [jenis] bom adalah bom gas. Apabila para pengebom menjatuhkan bom-bom tersebut pada pagi hari, banyak orang menjadi korban. Kita dapat melihat kapan terjadi ledakan ketika rumput terbakar. Bombom membakar rumput, dan di wilayah ini semuanya dihancurkan. Bilamana terjadi ledakan baunya seperti solar atau bensin.* 433 Penyerahan diri: turun dari Matebian 315. Pada pertengahan November pemboman itu memaksa para pemimpin Fretilin menyerukan penduduk sipil untuk menyerahkan diri kepada musuh. Dalam otobiografinya Xanana Gusmão menulis: Segera musuh bergerak maju dan saya dikirim ke barat Matebian. Ledakan, kematian, bombardir, tangisan, dan mundur. Namun orang-orang tenang: mungkin pasrah, mungkin kami semua benar-benar siap untuk mati di sana. Pasukan kami mundur dan musuh merangsek maju. Satu dini hari, saya terbangun karena pengeras suara Pasukan Indonesia, yang menyerukan nama saya: “Adjunto Xanana, tidak perlu meneruskan pertempuran. Perintahkan orang-orang untuk menyerah!” Mereka masuk dari Uatucarbau sepanjang malam dan menguasai titik strategis.434 316. Pada tanggal 22 November, diambil keputusan untuk menyerahkan diri di Matebian. Ketika penduduk sipil menuruni puncak gunung dan lembah panjang yang memisahkan Matebian Mane dan Matebian Feto, mereka disambut oleh para pasukan yang sudah menunggu. Beberapa orang dimasukkan ke kamp penahanan sementara, yang lainnya diinterogasi, dan yang lainnya disuruh kembali ke daerah asal mereka, baik di bawah pengawalan atau kembali sendiri. 317. Walaupun beberapa komandan Falintil seperti Xanana Gusmão berhasil lolos, hal ini memporakporandakan perlawanan Fretilin/Falintil. Dampak kehancuran dari kekalahan Fretilin sangat besar, dan Operasi Cahaya pada akhirnya mencapai beberapa kesuksesannya yang paling penting. Setelah sebelumnya Alarico Fernandes menyerah pada bulan September, empat anggota Komite Sentral lainnya menyerahkan diri pada akhir 1978 di Sektor Tengah Utara, di Remexio. Dengan penyerahan diri Alarico Fernandes, Fretilin kehilangan satu-satunya radio, yang merupakan alat koordinasi yang sangat penting. Kesuksesan utama ABRI diraih pada tanggal 31 Desember 1978 ketika tim Kopassus berhasil menyergap Presiden Fretilin Nicolau Lobato yang mengakibatkan luka parah di sebuah sungai dekat Maubisse.435 318. Komisi mendengar kesaksian ahli dari Pat Walsh mengenai hasil intensifikasi kampanye militer ini: Dari sudut pandang militer, ofensif ini sangat berhasil dalam menghancurkan Resistensi, meski sementara. Dari sisi kemanusian, ofensif ini merupakan bencana.436 * Kesaksian semacam ini menegaskan penggunaan bahan kimia terhadap penduduk sipil yang ditargetkan oleh Pasukan Udara Indonesia. Komisi memegang rekaman dokumenter mengenai pesawat OV-10 yang sedang dimuati dengan Opalm (napalm dalam versi Soviet) di pelabuhan udara Baucau pada akhir tahun 1970-an. - 84 - Setelah Matebean: serangan ABRI di wilayah tengah dan timur 319. Dengan jatuhnya basis Fretilin di Gunung Matebian dan penyerahan puluhan ribu warga sipil, pada awal 1979 militer Indonesia mengalihkan perhatiannya kepada sisa pasukan Fretilin dan penduduk sipil yang masih berada di Fatubesi, Distrik Ermera, dan Gunung Kablaki, yang terbentang di sepanjang perbatasan Ainaro-Manufahi, dan di lembah sungai Dilor. Serangan ABRI di Fatubesi mengakibatkan perpecahan dalam kepemimpinan Fretilin setempat, dan pada awal Februari salah satu faksinya menyerahkan diri, sementara mereka yang menolak untuk menyerah terus diburu. Di Gunung Kablaki, operasi infanteri memaksa sejumlah kelompok penduduk sipil yang tersisa untuk turun ke dataran yang lebih rendah di mana mereka menyerahkan diri atau ditangkap oleh pasukan yang sudah menunggu.437 320. Di selatan Manatuto Marinir, dengan didukung oleh pesawat, melakukan operasi lanjutan, yang diberi nama Operasi Pembersihan.438 Sememtara itu, unit militer yang terlibat dalam penggempuran di Gunung Matebean berpindah dari Baucau ke Lautem dalam rangka pencarian sekelompok kecil pemimpin Fretilin dan para tentara Falintil yang lolos dari pengepungan.439 Pada bulan Februari Mau Lear pemimpin wilayah Timur ditangkap dan dibunuh.440 Orang-orang yang tertangkap dalam berbagai operasi ini dibawa ke kamp penampungan. Pada tanggal 26 Maret 1979 Operasi Seroja dibubarkan, dan ABRI menyatakan bahwa Timor-Leste ”sudah ditaklukkan”. - 85 - 3.13 Penyerahan diri, pemukiman kembali dan kelaparan Tinjauan 321. Periode antara akhir tahun 1977 sampai 1979 merupakan masa tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Timor-Leste. Kelaparan hebat terjadi akibat operasi militer besar-besaran Indonesia untuk menumpas Resistensi Fretilin. Tujuan militer lebih penting daripada korban manusia. Pengamat dari luar tidak diperkenankan masuk sampai krisisnya benar-benar memuncak dan jumlah kematian amat tinggi. 322. Penduduk sipil di beberapa gunung menyerahkan diri dalam jumlah besar mulai akhir tahun 1978. Setelah berbulan-bulan hidup selalu dalam pelarian untuk menghindari serangan, dan sumber pangannya dihancurkan oleh militer Indonesia, orang-orang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan ketika mereka menyerah. Mereka ditampung dalam kemah-kemah sementara, tanpa persediaan pangan dan obat-obatan yang mencukupi. Penderitaan mereka diperburuk oleh kontrol militer atas operasi bantuan domestik Indonesia, dan larangan bagi lembaga internasional untuk masuk ke wilayah tersebut. Media internasional juga dilarang. Setelah pemindahan penduduk ke dalam kamp-kamp penampungan, prioritas pihak militer Indonesia atas keamanan sangat membatasi gerak-gerik penduduk sipil sehingga juga membatasi kemampuan mereka untuk bertani dan bercocok tanam pangan, yang semakin memperburuk kelaparan, kematian dan penderitaan dalam jumlah yang amat besar. Keinginan penguasa untuk memisahkan penduduk sipil dari Fretilin/Falintil mencapai puncaknya dengan pengungsian penduduk sipil ke pulau Ataúro mulai tahun 1980. Ribuan orang ditahan di pulau penjara itu, dan menderita penyakit dan kelaparan. 323. Setelah penundaan yang cukup lama, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan organisasi non-pemerintah Amerika Serikat Catholic Relief Services (CRS) diijinkan untuk memasuki wilayah tersebut pada akhir tahun 1979. Bekerja di bawah tekanan yang amat berat, upaya mereka sedikit banyak meringankan penderitaan penduduk dan menyelamatkan banyak nyawa. Penyerahan dan eksekusi tahanan 324. Sebagian besar penyerahan terjadi sepanjang tahun 1978 ketika kampanye pengepungan semakin mendekat ke sejumlah posisi Resistensi. Kampanye pembomn dan pengepungan yang ketat, ditambah tawaran amnesti Presiden Soeharto pada tahun 1977 kepada para pejuang, tekanan akibat Operasi Cahaya mendorong penyerahan diri sejumlah tokoh Fretilin. Banyak di antara mereka yang awalnya diberi amnesti belakangan menghilang. Di antara mereka terdapat pemimpin-pemimpin terkemuka seperti Sera Key,441 juga para kader, seperti mereka yang dieksekusi pada saat menyerahkan diri di Quelicai awal tahun 1979.442 Ketika mereka turun dari gunung orang-orang diinterogasi oleh militer Indonesia guna mengidentifikasi dan memisahkan anggota Fretilin dan Falintil. Luis da Costa adalah Pastor di gunung pada saat itu. Ia selamat, dan pada tahun 1988 ia bersaksi di Lisabon mengenai penyerahan diri sekelompok kecil orang, yang sebagian besar kemudian dieksekusi: - 86 - Orang-orang mulai mati kelaparan, dan kami membawa banyak orang yang terluka, juga anak-anak dan keluargakeluarga. Ingatan terburuk saya adalah mengenai jasadjasad yang saya lihat ketika melewati Natarbora pada bulan Desember 1978 – ada jenazah setiap sepuluh meter, jasad-jasad yang mengering dari orang-orang yang mati kelaparan, ada yang berpelukan, ada yang bersandar di pohon-pohon. Saya menyerahkan diri di Barique pada tanggal 13 Maret 1979 dengan enam orang lainnya. Selama sebulan lamanya kami hanya makan dedaunan. Penyerahan diri kami dinegosiasi melalui perantara. Saya satu-satunya orang yang tidak dieksekusi.443 325. Pada tahun 1981 Administrator Apostolik Timor-Leste, Monsignor Martinho da Costa Lopes menantang Presiden Soeharto sendiri tentang bukti sejumlah penghilangan ini.444 Kamp-kamp penampungan sementara 326. Orang-orang yang tidak dibawa oleh militer kemudian ditahan. Selama akhir dasawarsa 1970-an dan sampai pertengahan dasawarsa 1980-an berbagai macam kamp digunakan untuk menampung penduduk yang menyerahkan diri. Berbagai kamp ini dikenal dengan banyak nama. Indonesia menyebutnya kamp pemukiman kembali, sementara beberapa pengamat internasional, dan banyak korban selamat orang Timor yang bersaksi di hadapan Komisi, menggunakan istilah “kamp konsentrasi.” Semua kamp ini memiliki ciri yang sama, yakni penelantaran dan pembatasan kebebasan bergerak. Tujuan penahanan ini adalah untuk memutuskan hubungan antara orang yang telah menyerah kepada ABRI dengan Falintil, untuk memutuskan dukungan penduduk sipil kepada pejuang gerilya, dengan demikian menghancurkan sisa-sisa resistensi yang tercerai berai di gunung dan hutan. 327. Pada tahap awal penyerahan diri, orang-orang ditampung dimana saja, termasuk di sekolah, toko-toko tua, barak-barak militer, atau bahkan di tempat terbuka. Awalnya tidak ada infrastruktur khusus untuk menampung mereka. Komisi mendengarkan kesaksian ahli dari Gilman dos Santos, yang pada tahun 1977 bekerja untuk pemerintah provinsi: Orang-orang yang lari ke gunung turun pada tahun 1977, 1978 dan 1979. Mereka yang menyerah atau yang ditangkap oleh militer Indonesia, semuanya ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi, yang sangat tidak layak dihuni manusia manapun. Orang-orang ditempatkan di tendatenda besar darurat, yang dibuat dari daun palem atau rumput, dan mereka menahan semuanya, tanpa membatasi jumlah orang.445 328. Orang-orang pada umumnya berada dalam kondisi fisik yang lemah. Mereka sering kali menyerah setelah pengalaman yang buruk di gunung dimana banyak orang meninggal. Orangorang yang datang ke kamp, tidak hanya luput dari kematian akibat perang, tapi juga dari kekurangan makan dan obat-obatan. Pengalaman kelaparan berlanjut di sejumlah kamp yang tidak memiliki fasilitas seperti sanitasi ataupun pasokan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang mendesak. 329. Pada tahun 1978, banyak kamp didirikan. Konon tujuan berbagai kamp ini adalah untuk memproses orang-orang yang telah menyerahkan diri sebelum dimukimkan di tempat lain. Menurut teori, proses ini seharusnya memakan waktu tiga bulan. Pengamanan sangat ketat, dan kamp-kamp tersebut dikelilingi oleh pos-pos militer dan Hansip. Gerak-gerik orang umumnya dibatasi pada radius 300 meter, sehingga sangat membatasi kemampuan mereka untuk - 87 - bercocok tanam atau mengumpulkan makanan. Orang-orang bertahan hidup dengan makanan apa saja yang dapat mereka kumpulkan di sekitar, ubi atau sagu kalau mujur, akar-akar dan umbi-umbian beracun kalau sial(lihat Bab 7.3.: Pemindahan Paksa dan Kelaparan). 330. Lamanya waktu dalam kamp-kamp ini bervariasi sesuai dengan tingkat kerawanan suatu daerah, dan tergantung pada individu yang ditahan dan persepsi ABRI mengenai ancaman bahaya orang tersebut.446 Kamp penahanan jangka panjang dan strategi keamanan ABRI 331. Beberapa kamp penampungan sementara terus dipertahankan sebagai kamp penahanan jangka panjang. Desa pemukiman baru dibangun guna mendukung maksud ABRI menjalankan pemisahan penduduk sipil dari Fretilin dan Falintil. Pada akhir tahun 1979 jumlah penduduk di kamp penahanan melampaui 300.000,447 dan bila berbagai angka yang dilaporkan ABRI dari masa itu akurat, bisa saja melampaui 370.000.448 Militer perlu mengontrol jumlah orang yang sangat besar ini, sementara itu juga tetap fokus pada tugas menumpas resistensi gerilya bersenjata. Dalam beberapa kasus, kamp-kamp ini dibangun dimana sebelumnya tidak pernah ada pemukiman sama sekali. Seluruh desa dibawa dan dipaksa pindah, khususnya bila berada di daerah-daerah yang rawan. Pergerakan penduduk sangat dibatasi. Dokumen militer Indonesia dari masa itu menjelaskan bagaimana menjalankan kebijakan ini: Setiap kali siapa pun keluar dari desa, ia harus memiliki surat jalan, dan setiap orang yang masuk ke suatu desa dari desa lain wajib lapor. Tidak boleh ada kebun atau sawah penduduk yang letaknya jauh dari pemukiman atau desa.449 332. Keadaan ini menghasilkan kontrol atas penduduk sipil yang begitu ketat di sejumlah kamp sehingga mereka tidak dapat bercocok tanam sesuai pola tanam yang normal dan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga mereka. Kontrol ini mengakibatkan penderitaan besar bagi banyak penduduk sipil yang ditahan dalam berbagai kamp ini, dan mengakibatkan kelaparan.450 333. Militer Indonesia terus mencurigai adanya hubungan antara penduduk yang ditahan dengan pejuang gerilya Fretilin. ABRI menggunakan anggota Hansip Timornya untuk memantau gerak-gerik penduduk. Hal ini menimbulkan keadaan saling curiga dan ketegangan di beberapa komunitas kamp. Di Dili dan kota-kota dimana penduduk sipil telah kembali juga terdapat banyak pusat penahanan. Penangkapan sewenang-wenang oleh militer marak terjadi, dan tidak pernah ada pengadilan resmi atas tahanan politik sampai bulan Desember 1983. (Lihat Bab 7.4: Penahanan, Penyiksaan dan Pengadilan Politik.) Selama tahun 1979-80 banyak orang yang ditahan kemudian menghilang. Militer Indonesia menggunakan beberapa tempat sebagai lokasi pembunuhan, seperti di Quelicai setelah penyerahan diri massal dari Matebian,451 dan di pinggiran Dili di Areia Branca dan Tasitolu.452 Wilayah tertutup 334. Selama periode ini Timor-Leste ditutup dari dunia luar. Walaupun Indonesia telah menyatakan Timor-Leste sudah ditaklukkan, wilayah ini dalam banyak hal tetap terasa sebagai wilayah perang. Menutupi apa yang sebenarnya terjadi dari publik Indonesia, atau masyarakat internasional yang lebih luas, merupakan komponen penting dari strategi Indonesia untuk menguasai Timor-Leste. Akses media Indonesia ke Timor-Leste dikontrol dengan ketat, dan media internasional praktis dilarang. Lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan internasional tidak diperkenankan masuk ke Timor-Leste, dan delegasi resmi hanya diizinkan datang dalam berbagai kunjungan yang dikontrol ketat. - 88 - 335. Komisi mendengarkan kesaksian dari Gilman dos Santos, mengenai isolasi ini: Bahkan wartawan Indonesia tidak diizinkan untuk masuk ke sini. Mengenai telekomunikasi, izin untuk melakukan hubungan telefon jarak jauh atau internasional tidak diberikan. Dengan kondisi seperti ini, tidak ada informasi yang dapat keluar dari sini. Dipisahkannya Timor-Leste dari dunia luar oleh Pemerintah Indonesia, khususnya ABRI, jelas menunjukkan bahwa kebijakan Indonesia adalah untuk mempersulit masuknya bantuan dari negaranegara lain.453 336. Gereja Katolik merupakan satu-satunya organisasi independen yang tetap berada di Timor-Leste dengan jaringan internasional yang luas. Gereja perlahan membocorkan berita mengenai krisi yang melanda Timor-Leste, biasanya melalui surat-surat yang diselundupkan ke luar wilayah ini. 337. Pada bulan Juli 1979, Pat Walsh menyusun laporan mengenai krisis kemanusiaan di Timor-Leste untuk Action for World Development, sebuah LSM berbasis gereja di Australia. Ia memberi kesaksian pada Komisi bahwa laporan tersebut menyimpulkan bahwa di masa ini: Upaya bantuan kemanusiaan Indonesia adalah prioritas yang jauh lebih rendah ketimbang operasi militer dan lembaga-lembaga independen tidak akan diizinkan masuk sampai Indonesia telah mencapai tujuan militernya.454 338. Walaupun berbagai LSM Australia mencoba untuk menginternasionalisasikan krisis kemanusiaan di Timor-Leste, pemerintah Australia memandang periode ini sebagai permulaan pengakuan de jure-nya bagi kedaulatan Indonesia atas wilayah ini. Posisi ini bertentangan dengan sebagian besar negara anggota di Perserikatan Bangsa-Bangsa.* Sementara itu, warga Timor-Leste di luar wilayah tersebut juga mencoba untuk meningkatkan kesadaran internasional akan krisis kemanusiaan tersebut. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, submisi-submisi diajukan kepada Komite Dekolonisasi PBB di New York, dan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB pada masa itu mulai mengacu pada kelaparan dan berbagai kebutuhan humaniter orang Timor-Leste. Hal ini memperkuat usaha yang dilakukan José Ramos-Horta dan rekan-rekannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa.455 339. Pemerintahan sipil Indonesia dan Palang Merah Indonesia (PMI) menjadi satu-satunya lembaga yang memberi bantuan sampai 1979. Kekurangan sumber daya, dan ditambah dengan kontrol ketat militer Indonesia terhadap operasinya, bermacam lembaga ini tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak penduduk. Obat-obatan jarang tersedia; dan bantuan yang disalurkan melalui PMI seringkali masuk ke pasar gelap, di luar kemampuan orang Timor-Leste untuk membelinya.456 340. Setelah berbagai laporan mengenai bencana kemanusiaan dipublikasikan, pada bulan September 1978 sebelas Duta Besar negara asing dan beberapa wartawan mengunjungi Timor- Leste didampingi oleh Menteri Luar Negeri Dr Mochtar Kusumaatmadja.† Mereka mewakili pemerintah Kanada, AS, Australia, Jepang, Selandia Baru, India, Korea Selatan, Bangladesh, Mesir, Siria dan Irak. Mereka diberi tahu bahwa sekitar 125.000 orang telah turun dari gunung * Pemerintah Australia menjadikan 14 Februari 1979 sebagai tanggal Australia memulai proses pemberian pengakuan de jure kedaulatan Indonesia atas Timor-Leste. Hari ini menandai dimulainya negosiasi antara Australia dan Indonesia mengenai cadangan minyak Laut Timor. Lihat bab Penentuan Nasib Sendiri. † Sejumlah organisasi kemanusiaan melaporkan situasi ini; termasuk Australia Council for Overseas Aid (ACFOA); perwakilan World Vision Indonesia; dan Palang Merah Indonesia. Lihat kesaksian Pat Walsh kepada CAVR dalam audiensi publik nasional tentang Kelaparan dan Pemindahan Paksa, 28-29 Juli 2003. - 89 - dengan 20-30.000 dari mereka berada dalam kondisi yang amat mengenaskan. Empat Duta Besar (dari Australia, Kanada, Jepang dan AS) menyerukan untuk segera dilakukan operasi bantuan kemanusiaan internasional.457 Walaupun dalam keadaan mendesak seperti itu, satu tahun berlalu sebelum ICRC dan LSM Amerika Catholic Relief Services (CRS) tiba di Timor- Leste untuk menyediakan bantuan darurat. Hal ini terjadi setelah ABRI merampungkan Operasi Seroja, seperti yang disebut di atas. Bantuan ICRC dan CRS 341. LSM Amerika Serikat Catholic Relief Services (CRS) menjalankan misi survei awalnya pada bulan Mei 1979. Komisi menerima submisi dari CRS, termasuk berbagai dokumen dari masa itu, yang memberi banyak informasi mengenai skala krisis tersebut dan kurangnya sumber daya untuk menanggulanginya. Pada bulan Oktober 1979, CRS dan ICRC memulai operasi bantuan darurat. Salah satu yang terlibat adalah Gilman dos Santos, yang meninggalkan posisinya sebagai pegawai negeri pada tahun 1979 dan bergabung dengan tim darurat CRS. Ia bersaksi di hadapan Komisi bahwa kantornya bekerja 18-20 jam sehari, tujuh hari per minggu. Ia mengatakan kepada Komisi bahwa sementara banyak orang dalam pemerintahan sipil Indonesia yang membantu kerja darurat CRS dan ICRC, pihak militer dan polisi Indonesia bersikap tidak mendukung dan menciptakan banyak halangan bagi pekerja bantuan.458 342. Jelas bahwa Indonesia tidak menggunakan sumber dayanya secara memadai untuk mencegah atau menanggapi kelaparan. CRS pernah dua kali kekurangan pasokan dan terpaksa meminjam beras kepada Bulog (Badan Urusan Logistik), yakni badan penyalur beras pemerintah Indonesia, yang menyimpan stok berlebih di Dili pada masa di mana sejumlah besar penduduk menderita kelaparan dan penyakit yang berkaitan dengan kelaparan di dalam kamp-kamp yang dikuasai militer.459 343. Komisi mendengarkan kesaksian dari Pat Walsh bahwa CRS dan ICRC bekerja keras dan efisien. Ia mengatakan kepada Komisi bahwa selama 18 bulan berikutnya, ICRC bersama Palang Merah Indonesia membantu 80.000 pengungsi di 15 desa dan menyelamatkan banyak nyawa. Walsh mengatakan bahwa selama periode ini, CRS menghabiskan AS$4 juta mendistribusikan 17.000 ton pangan serta obat-obatan, pakaian, sabun, benih, peralatan pertanian dan kerbau.460 Mengingat skala krisis, dan dibandingkan dengan jumlah lembaga bantuan internasional dan tingkat bantuan yang diberikan dalam krisis di Timor-Leste pada akhir tahun 1999, paket bantuan ini relatif kecil dan penyampaiannya yang tertunda terbukti sangat terlambat bagi banyak orang. Kontrol militer Indonesia atas pendistribusian bantuan adalah hambatan utama usaha pemberian bantuan. Sementara Komisi menerima banyak kesaksian mengenai bagaimana pentingnya bantuan yang terbatas ini, baik CRS maupun ICRC tidak membahas persoalan dasar konflik internasional tersebut yang menjadi penyebab bencana kelaparan tersebut. Ataúro sebagai pulau penjara 344. Ataúro memiliki sejarah digunakan sebagai pulau penjara oleh rezim yang silih berganti di Timor-Leste. Pemerintahan Kolonial Portugis sudah lama menggunakannya, seperti halnya pasukan pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Rezim pendudukan Indonesia memulai kebijakan serupa pada tahun 1980. Komisi menerima kesaksian ahli bahwa ini merupakan kepanjangan dari kebijakan memisahkan penduduk sipil yang dianggap dapat menjadi basis dukungan di masa mendatang bagi Resistensi bersenjata. Gilman dos Santos memberikan kesaksian: - 90 - Pada tahun 1980, ABRI dan pemerintah setempat kembali memindahkan secara paksa orang-orang yang dicurigai memiliki keluarga yang menjadi pejuang kemerdekaan yang berada di hutan-hutan, ke pulau Ataúro.461 345. Para korban selamat juga bersaksi kepada Komisi bahwa kebijakan ini dijalankan bersama oleh militer dan pemerintahan sipil.462 346. Sebagian orang pertama yang dikirim ke Ataúro adalah mereka yang ikut dalam pemberontakan (levantamentos) selama masa ini. Para tersangka pendukung serangan 10 Juni 1980 atas stasiun TV di Dili dibawa ke Ataúro setelah ditahan dan disiksa mereka di Dili.463 Orang yang datang kemudian termasuk sejumlah keluarga pejuang Resistensi, yang banyak datang dari berbagai distrik setelah operasi ‘pagar betis’ tahun 1981.464 Komisi mendengarkan kesaksian warga Mauxiga di pegunungan tengah yang diasingkan di Ataúro pada bulan Agustus 1982, setelah percobaan pemberontakan.465 347. Komisi mendengarkan kesaksian ahli dari Ceu Lopes Federer, seorang pekerja kemanusiaan Timor bersama ICRC di Ataúro antara tahun 1980-82. Ia menceritakan kepada Komisi bahwa kapal yang datang dengan tahanan di Ataúro pada umumnya adalah perempuan, anak-anak dan orang tua. Ia mengatakan kepada Komisi bahwa banyak yang diperdaya sampai percaya bahwa mereka hanya akan dibawa dari rumahnya selama satu atau dua hari, dan bahwa mereka datang hampir dengan tangan hampa.466 348. Tigkat kematian sangat tinggi. Ceu Lopes Federer mengingat kembali terjadinya wabah epidemi kolera akibat kondisi kamp-kamp yang mengenaskan, dan tingkat kematian yang tinggi di antara anak-anak.467 Walaupun pengamanan di Ataúro lebih longgar dibandingkan di daratan utama, pulau ini dikenal memiliki sumber makanan dan air yang terbatas, dan ribuan tahanan yang datang menghadapi berbagai kesulitan berat. 349. Laporan ICRC ketika itu membenarkan bahwa pemindahan penduduk ke Ataúro telah “menipiskan” sumber makanan di pulau tersebut, sehingga lembaga tersebut menerapkan progam makanan darurat.468 Kesaksian kepada Komisi dari para korban selamat menceritakan mengenai pentingnya nilai bantuan ini dalam menyelamatkan nyawa.469 Perkiraan jumlah total populasi tahanan bervariasi, dan kemungkinan besar melampaui 4000.470 Ceu Lopes Federer mengatakan kepada Komisi bahwa ia membuat daftar sampai tahun 1982, ketika ia meninggalkan pulau tersebut, yang mencantumkan 6.400 nama orang yang pernah ditahan di Ataúro.471 Komisi juga diberi tahu bahwa Militer Indonesia melakukan pelanggaran seksual terhadap banyak perempuan di pulau tersebut.472 350. Pada pertengahan 1980-an para tahanan dipindahkan keluar pulau tersebut, walaupun dalam banyak kasus tampaknya mereka dipindahkan ke berbagai kamp di daratan utama yang disebut desa binaan, dan bukannya dikembalikan ke daerah asal mereka, dimana mereka menjalani proses indoktrinasi ideologi Pancasila Indonesia.473 Berbagai kamp Penahanan ditutup 351. Pada tahun 1982-1983 sebagian besar orang diizinkan untuk meninggalkan kamp penahanan. Beberapa orang kembali ke desa asal mereka, apabila memungkinkan. Yang lainnya mendirikan desa baru, yang sering diberikan nama desa aslinya, yang kini telah ditinggalkan. Yang lainnya bermukim di desa jenis baru, yang disebut desa pemukiman.474 352. Penduduk di ibu kota Dili bertambah pesat pada awal dasawarsa 1980-an. Pada tahun 1975 penduduknya kurang lebih 28.000 jiwa, akan tetapi Kantor Statistik Indonesia menghitung jumlah penduduk di distrik Dili 67,039 jiwa pada tahun 1980.475 Pola baru urbanisasi ini memungkinkan aparat militer Indonesia untuk memantau penduduk lebih mudah. Jaringan - 91 - informan, Kartu Tanda Penduduk dan kebebasan gerak yang terbatas serta penahanan sewenang-wenang menjadi ciri dari masyarakat yang dikontrol ketat ini.476 353. Selama periode ini, antara tahun 1978 dan awal dasawarsa 1980-an, Militer Indonesia menjalankan program pemukiman yang secara radikal dan permanen mengubah pola pemukiman di Timor-Leste. Masyarakat Timor secara tradisional tinggal di dusun-dusun kecil yang terdiri dari beberapa rumah dimana beberapa keluarga inti tinggal, yang dalam bahasa Tetum disebut knua. Pola pemukiman terdahulu yang tersebar di pegunungan diubah dengan paksa menjadi penduduk yang pada umumnya tinggal di pesisir yang terkonsentrasi di berbagai kota sepanjang jalan utama. Tujuan strategis untuk memisahkan penduduk sipil dari pejuang Resistensi di gunung-gunung, dan menahan mereka di wilayah dimana mereka dapat dengan mudah dipantau, merupakan pergeseran fundamental dalam gaya hidup orang Timor. Walaupun suasana penahanan ini melonggar pada pertengahan dasawarsa 1980-an dengan diizinkannya penduduk untuk meninggalkan kamp mereka, pola perubahan pemukiman dasar ini masih terasa sampai sekarang. - 92 - 3.14 Operasi Keamanan Tinjauan 354. Dengan Timor-Leste dinyatakan takluk pada bulan Maret 1979, Militer Indonesia memfokuskan diri pada operasi-operasi pembersihan yang lebih kecil dan pengawasan ketat terhadap penduduk di seluruh wilayah. Sisa-sisa Resistensi bersenjata ada di sejumlah kantong yang terisolasi. 355. Pada bulan Juni 1980, satu dari sejumlah kelompok yang mampu bertahan ini melancarkan serangan ke ibu kota Dili, yang mengejutkan ABRI, dan menunjukkan bahwa Resistensi masih aktif. Militer Indonesia menanggapi serangan ini dengan melakukan ratusan penahanan dan lebih dari 100 pembunuhan. Banyak tahanan yang dipenjara pada masa ini dikirim ke Ataúro (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa). 356. Pada tahun 1981 Militer Indonesia melancarkan serangan besar-besaran yang bertujuan menghancurkan sisa-sisa kelompok Resistensi. Serangan ini menggunakan taktik yang dikenal dengan sebutan kikis, atau “pagar betis.” Sejumlah besar penduduk sipil, yang masih menderita akibat konflik di pegunungan dan penganiayaan di berbagai kamp tahanan ABRI, dipaksa bertugas untuk berjalan kaki melintasi wilayah itu dalam barisan seperti “pagar”, dengan maksud untuk menjebak anggota Resistensi bersenjata yang masih tersisa. Perempuan, anak-anak dan lelaki, termasuk orang tua, dipaksa ikut operasi ini. Kelaparan, sakit dan perlakuan buruk oleh militer merupakan pengalaman lazim yang dirasakan penduduk sipil. Banyak yang mati. Tugaspaksa ini juga mengalihkan sejumlah besar penduduk sipil dari ladang mereka selama musim tanam, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap kelaparan, terutama karena gangguan terhadap pertanian selama tahun-tahun operasi militer besar-besaran sebelumnya. 357. Secara militer, operasi ini gagal menghancurkan gerakan Resistensi bersenjata yang sering bisa lolos dari “pagar” itu. Lebih dari 4000 orang yang dianggap sebagai “simpatisan Fretilin” ditahan dan dipenjarakan di pulau Ataúro ataupun kamp pemukiman-kembali lainnya yang dikontrol ABRI. Situasi di Dili dan di seluruh Timor-Leste, 1979-1980 358. Dengan tertangkap atau terbunuhnya para pemimpin utama gerakan Resistensi, Resistensi bersenjata dihancurkan dan mayoritas penduduk sipil Timor-Leste di pegunungan ditangkap dan menyerahkan diri di bawah kontrol mereka, militer Indonesia pada awal tahun 1980 merasa yakin bahwa operasi militer besar di Timor-Leste telah selesai. Komando Pasukan Gabungan Operasi Seroja dibubarkan, dan Komando Operasi Militer pun dipindahkan dari Dili ke Bali, yang berarti bahwa Timor-Leste kini berada dalam struktur komando regional standar ABRI. Pada saat yang sama, kendali pemerintahan sipil secara resmi dialihkan dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) kepada Kementerian Dalam Negeri (Depdagri). Secara militer, ABRI meneruskan berbagai operasi pembersihan untuk mengamankan kekuasaannya, namun secara umum, periode setelah penutupan Operasi Seroja secara komparatif cukup sepi dalam hal operasi militer. 359. Militer Indonesia terus mempertahankan peran dominan di dalam dan selama pengembangan pemerintahan sipil. Kehidupan bagi sebagian besar warga sipil pada masa itu penuh ketegangan dan ketakutan.477 Dalam sebuah submisi dari Asosiasi Mantan Tahanan Politik Timor-Leste (Associação dos Ex-Prisoneiros e Detidos Politicos de Timor Leste, Assepol), Komisi mendengar bahwa sepanjang masa ini, dengan membengkaknya jumlah penduduk di Dili, para agen intelijen Indonesia terlihat di mana-mana. Assepol mengatakan kepada Komisi bahwa tidak ada proses peradilan di tahun-tahun akhir dasawarsa 1970-an dan awal dasawarsa 1980- an ini, dan militer memiliki kekuasaan yang tak terbatas untuk melakukan penangkapan dan - 93 - penyiksaan sewenang-wenang.478 Banyak kesaksian individu kepada Komisi mendukung hal ini, dan menceritakan bahwa mereka diambil dari rumah mereka pada malam hari, atau dikumpulkan oleh militer untuk diinterogasi dan disiksa.479 Komisi telah membuat peta pusat penahanan dan interogasi di Dili dan Baucau selama tahun-tahun ini, banyak di antaranya tidak resmi, namun dioperasikan oleh militer Indonesia. Jumlah pusat penahanan dan interogasi ini jauh melebihi kebutuhan wajar sebuah negara demokratik yang dikelola berdasarkan aturan hukum (lihat Lampiran dari Laporan ini). 360. Di seluruh Timor-Leste militer Indonesia mengembangkan struktur territorialnya disertai dengan pemindahan penduduk dan berbagai perubahan demografis, sebagai akibat dari perpindahan besar pada periode itu. Di setiap desa di Timor-Leste ABRI menempatkan seorang petugas babinsa, dan khususnya di sejumlah wilayah rawan, ada tim orang-orang seperti ini yang disebut Tim Pembina Desa (TPD). Pos-pos militer ini bekerja erat dengan Pertahanan Sipil (Hansip) yang beranggotakan orang-orang Timor, dan membantu militer Indonesia untuk mengontrol ketat segala lapisan masyarakat Timor-Leste. Dengan demikian di banyak wilayah negeri ini, orang-orang tinggal di beberapa desa pemukiman yang baru di bawah pengawasan ketat militer. 361. Situasi kelaparan akut yang terkait dengan sejumlah kampanye militer tahun 1977-78 dan berbagai kamp tahanan militer telah distabilkan oleh sejumlah upaya dari lembaga bantuan internasional, CRS dan ICRC. Namun demikian, pada tahun 1980, komunitas-komunitas belum mendapat peluang untuk pulih dari tahun-tahun traumatis akibat konflik ini. Peninggalan yang menyengsarakan itu mencakup kerentanan terhadap kelaparan dan sakit akibat penganiayaan selama konflik serta hilangnya tahun-tahun masa tanam dan panen yang normal. Pemberontakan pertama: Dili, Juni 1980 362. Pada tanggal 10 Juni 1980, Falintil melancarkan sebuah serangan ke Dili, ke pemancar televisi baru di Marabia.480 Serangan ini benar-benar mengejutkan ABRI. Ini adalah pemberontakan (levantamento) besar pertama setelah kekalahan telak Fretilin pada akhir tahun 1978. Nama levantamento [kebangkitan] digunakan oleh Gerakan Resistensi untuk memberi suatu rasa tujuan bersama bagi sesuatu yang sebenarnya merupakan serangan militer terbatas yang dilakukan oleh berbagai kelompok kecil Falintil yang masih bertahan, yang telah menyususn kekuatan kembali pada bulan-bulan sebelumnya. Serangan ke Dili membuktikan daya tahan Gerakan Resistensi serta perlawanan bersenjatanya terhadap pemerintahan Militer Indonesia. Serangan tersebut dilancarkan sampai Lahane dan Becora di pinggiran Dili. Salah seorang anggota pasukan penyerang mengatakan kepada Komisi bahwa tujuan dari serangan itu adalah “untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Fretilin masih ada.”481 363. Sebuah komunike kedutaan Amerika Serikat menyebutkan bahwa serangan itu mungkin akan menimbulkan tanggapan yang sangat keras: Serangan pemberontak ke daerah pinggiran ibu kota propinsi ini telah mendatangkan kesulitan dan rasa malu bagi para pejabat keamanan, dan bisa diperkirakan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya serangan itu.482 364. Pihak Militer Indonesia terkejut sekaligus dipermalukan dengan keberanian serangan dari pihak Resistensi yang dianggap sudah dikalahkan. Ratusan orang ditahan dalam pembersihan militer di ibukota. Komisi menerima informasi bahwa lebih dari 100 orang terbunuh, dan bahwa penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya terhadap para tahanan umum terjadi (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa). Banyak tahanan diasingkan ke Ataúro.483 - 94 - “Pagar betis”: Operasi Kikis 365. Hampir setahun kemudian, pada pertengahan tahun 1981, ABRI melancarkan sebuah operasi besar-besaran yang menggabungkan personil militer dengan puluhan ribu penduduk sipil yang membentuk “pagar betis” manusia. “Pagar” ini berjalan kaki melintasi daerah-daerah yang luas di wilayah itu untuk mencari dan menangkap pasukan Falintil yang tersisa, dengan tujuan utama untuk menangkap ataupun membunuh Xanana Gusmão. Taktik ini disebut operasi kikis,* berhasil digunakan untuk memerangi berbagai pemberontakan di Indonesia, dimana penduduk setempat mendukung tujuan militer untuk menghancurkan pemberontakan. Taktik ini juga telah digunakan beberapa kali di Timor-Leste pada tahun-tahun sebelumnya.484 Namun di Timor-Leste, tidak seperti di Indonesia, militer kekurangan elemen yang sangat penting, yakni dukungan rakyat. Meski bisa menangkap banyak orang Timor, baik sipil maupun pejuang, namun pagar itu tidak berhasil secara substansial menghancurkan Falintil. 366. Sebelum operasi tersebut dijalankan, ICRC menghentikan kegiatannya di daratan utama Timor-Leste, dan CRS meninggalkan Timor-Leste pada bulan November 1980 setelah menyelesaikan program daruratnya. Militer Indonesia pada dasarnya bebas menjalankan kikis terlepas dari pengawasan internasional. Mobilisasi massal penduduk sipil 367. Operasi tahun 1981, yakni Kikis terbesar yang pernah dilakukan di Timor-Leste, diberi nama sandi Operasi Keamanan.485 Militer Indonesia melibatkan sekurangnya lima belas batalyon territorial, atau sekitar 12.000 prajurit, dari luar Timor-Leste dan pasukan tambahan yang tak diketahui jumlahnya untuk tugas tempur.486 Orang-orang Timor menyatakan bahwa lebih dari 15 batalyon pasukan terlibat.487 Operasi besar tampaknya terjadi di Sektor D, † yakni wilayah Baucau, Lautem dan Viqueque.488 Penduduk sipil direkrut paksa sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO). Secara resmi ABRI merekrut penduduk sipil lelaki berusia 12-35 tahun, namun kenyataannya, anak laki-laki yang jauh lebih muda dan pria dewasa yang jauh lebih tua, serta para perempuan, juga dilibatkan.489 Kelompok-kelompok orang ini ditempatkan di kesatuan militer tertentu untuk operasi ini. Jumlah total penduduk sipil yang dilibatkan sangat besar. Sebuah dokumen militer tahun 1982 menyebutkan bahwa operasi ini menyertakan “60.000 penduduk sipil selain Wanra dan Ratih.”‡ 490 Sumber-sumber Marinir menunjukkan lebih banyak lagi yang dilibatkan, dengan menyebutkan adanya delapan batalyon dan 120.000 milisi binaan yang bergerak dari timur ke barat, dan tujuh batalyon dengan 25.000 milisi binaan yang bergerak dari barat ke timur, yang dimaksudkan untuk “menundukkan musuh di Aitana”.491 368. Pagar manusia ini mulai berjalan pada pertengahan tahun 1981 dari Tutuala di titik paling timur Timor-Leste. Dari sini, kesatuan militer dan para TBO sipil berjalan ke arah barat menuju sebuah garis yang menghubungkan Com-Raca-Lospalos-Iliomar. Mereka membentuk sebuah pagar manusia yang membentuk barisan utara-selatan, dan menyapu medan untuk mencari Falintil. Tampak bahwa pagar ini berfungsi dalam dua hal, sebagai garis depan yang bergerak maju di depan pasukan ABRI dan menyapu untuk mencari Falintil, maupun sebagai tembok penjepit di mana kesatuan-kesatuan ABRI berusaha menggiring Falintil. Apapun tujuannya, taktik ini gagal menangkap kelompok Falintil dalam jumlah yang memadai untuk mengakhiri gerakan resistensi, dan banyak orang yang terlibat dalam pagar manusia itu tidak bertemu dengan Falintil sama sekali. Namun demikian, Komisi menerima kesaksian tentang para tawanan yang * ‘Kikis’ berarti ‘menggerus’ atau ‘merontokkan’. Budiardjo dan Liem menerjemahkan “kikis” menjadi “chipping-away” ( The War Against East Timor, hal. 223). † Meski fokus dari operasi ini adalah di Timur, namun di Barat, militer Indonesia merekrut TBO untuk ikut serta dalam sebuah kampanye kecil kikis di kawasan antara Cassa dan Ainaro. Tidak ada catatan tentang penangkapan anggota Fretilin di sektor itu. ‡ Wanra (Perlawanan Rakyat) dan Ratih (Rakyat Terlatih) adalah dua dari empat tipe utama tenaga bantuan militer yang digunakan oleh ABRI. Dua lainnya adalah Hansip (Pertahanan Sipil) dan Kamra (Keamanan Rakyat). Lihat bab Rezim Pendudukan. - 95 - dieksekusi. Seorang TBO mengatakan kepada Komisi bahwa lima orang yang ditangkap oleh kesatuan militer dimana dia ditugaskan, dekat Cacavem di Iliomar, langsung dieksekusi.492 369. Pada bulan Juli 1981, satu pagar lainnya mulai berjalan dari koridor Venilale-Ossu- Viqueque dan bergerak ke arah timur laut.493 Kedua pagar ini bertemu di barisan pegunungan Matebian dengan maksud untuk mengepung Falintil dan menggiring mereka ke tempat yang lebih rendah. Sejauh itu, operasi ini belum berhasil melakukan penangkapan yang berarti. Setelah pengepungan Gunung Matebian, tahap akhir Operasi Kikis pun dimulai. Pasukan dan TBO kembali menyisir dari wilayah tengah ke pantai selatan, dan terus bergerak maju ke arah barat. Pagar ini bergerak mendekati daerah Lacluta, Viqueque, sementara dari timur, barisan lainnya bergerak maju untuk menemui mereka. Pembantaian Lacluta 370. Ketika gerak maju itu mencapai daerah Lacluta pada bulan September terjadi pembantaian yang, menurut sebagaian besar kesaksian, membunuh ratusan orang. Tidak ada hitungan yang pasti. Monsignor Costa Lopesmenyatakan bahwa 500 orang terbunuh.494 Pihak penguasa Indonesia mengakui ada 70 orang yang terbunuh.495 Sumber-sumber lain menyebutkan jumlah korban berada di antara dua angka itu.496 Komisi menerima bukti mengenai pembantaian masal terhadap orang-orang sipil, termasuk perempuan dan anak-anak pada saat ini.* Komisi juga mendengar mengenai pembantaian yang kedua terhadap paling sedikit 20 orang.† Indonesia mengklaim sebuah kemenangan militer di daerah itu sepanjang masa ini, dengan menyebutkan bahwa 450 anggota Fretilin telah ditangkap dan 150 pucuk senjata disita, namun tidak menyebutkan tentang korban.497 Kebanyakan sumber lainnya mengatakan bahwa ini merupakan pembantaian penduduk sipil secara brutal.498 Pembantaian itu diyakini telah terjadi di dekat Batu Santo Antonio di lereng Gunung Aitana. Seorang pejuang Falintil mengingat kembali pembunuhan penduduk sipil di daerah itu oleh militer Indonesia: Saya menyaksikan dengan mata saya sendiri bagaimana militer Indonesia, Batalion 744, membunuh penduduk sipil di hadapan saya. Mereka menangkap orang-orang yang tak bersenjata itu, mengikat mereka kemudian menikam mereka sampai mati. Ada seorang perempuan hamil yang ditangkap dan dibunuh begitu saja, saya melihat kejadian itu dari jarak dekat, sekurangnya 100 meter dari tempat kejadian.499 Konsekuensi operasi Hasil militer 371. “Pagar” ini jauh lebih berhasil dalam menangkap orang-orang yang masih bersembunyi di hutan dibandingkan menangkap pejuang Falintil, walaupun ada berbagai kesaksian tentang kesatuan Falintil yang dihancurkan.500 Untuk menjelaskan kegagalannya untuk menangkap banyak anggota Falintil, tampak mungkin bahwa dalam banyak kasus, pagar ini membiarkan Falintil untuk melintasi barisan itu. Komisi diberitahu tentang satu kejadian orang meloloskan diri dari “pagar” itu. * Wawancara dengan José de Jesus dos Santos, Dili, 28 Juni 2004. Dia mengatakan bahwa kontak terjadi di antara 1 dan 10 September. † Wawancara dengan Anacleto Ximenes, Cairui, Manatuto, 12 Maret 2004 dan dengan Sebastião de Cunha, Manatuto, 12 Mei 2004. - 96 - Saat kami lewat, banyak orang tahu, namun mereka melihat kami bukan seperti melihat manusia, tapi seperti melihat binatang yang melintasi pos mereka. Saya masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana saya melangkah di depan seorang musuh [orang Timor yang merupakan anggota pagar itu], namun mereka memandangi saya seolah saya ini seekor anjing, kemudian menyuruh saya pergi.501 372. Mungkin juga telah ada kerja sama antara Falintil dan para TBO asal Timor: …saat kami sampai di [lokasi] pemancar Telkom, ada banyak [anggota] Fretilin di sana. Tetapi karena telah ada kontak [dengan para TBO], Fretilin melewati saja pasukan [ABRI] Komandan Peleton Falo Chai.502 373. Ada juga kemungkinan bagi Falintil untuk lolos dari barisan-barisan itu: Kami berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil, 3-4 orang, kemudian pada malam hari kami mencari cara untuk melintas di belakang mereka.503 Berbagai konsekuensi kemanusiaan 374. Operasi militer ini mengakibatkan berbagai konsekuensi kemanusiaan yang sangat berat di saat penduduk Timor belum pulih dari bencana kelaparan dan penderitaan yang traumatis akibat Operasi Seroja dan kondisi kamp tahanan. Sebelum militer memulai operasi ini, mereka mengharuskan kehadiran bantuan internasional yang memang sudah terbatas untuk meninggalkan wilayah ini.504 Ini saja merupakan berita buruk bagi sebuah masyarakat yang sangat rapuh dan terisolasi. Memaksa penduduk sipil pedesaan dengan jumlah sedemikian besar untuk ikut dalam berbagai operasi militer pada paruh kedua tahun 1981 telah memasukkan mereka ke dalam kondisi yang luar biasa keras. Para TBO, banyak di antaranya anak-anak, dibawa ke daerah-daerah pertempuran, dan akibatnya, mereka sering menjadi korban.505 Penduduk sipil lainnya yang dipaksa ikut serta lebih banyak direkrut sebagai Ratih506 daripada Wanra, yang berarti bahwa mereka tidak dibayar, melainkan hanya menerima “penghargaan” tertentu atas keikutsertaan mereka. Mereka juga tidak diberi cukup makan. Banyak orang mati selama berjalan kaki melintasi wilayah yang berat.507 375. Operasi ini berlangsung selama musim tanam tahun 1981, dan karena sejumlah besar petani subsisten dipaksa ikut serta mereka tidak bisa menanam tanaman pangan mereka. Pada bulan Nopember 1981 Monsignor Lopes menulis surat ke Australia tentang akan datangnya bencana kelaparan, yang menimbulkan keprihatinan internasional.508 Pada bulan Maret 1982 mantan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam mengunjungi Timor-Leste, dan bertemu dengan Monsignor Lopes. Whitlam kemudian secara terbuka membantah klaim Lopes.509 Sebuah kunjungan oleh Dewan Gereja Dunia beberapa bulan berikutnya menemukan hal yang berbeda: Jelas bahwa sejumlah besar orang telah dimukimkan kembali, dan masih ada banyak anak yang kurang makan. Kemanapun kami pergi, orang-orang menyebutkan makanan dan tempat tinggal sebagai masalah utama mereka…kesan kami ialah bahwa banyak orang ingin kembali ke rumah tradisional dan tanah mereka di bukitbukit. 510 - 97 - 376. Indonesia mengklaim telah menangkap 4500 “simpatisan Fretilin” selama operasi ini, dan telah mengirim 3000 orang di antaranya ke Ataúro, dan 1500 orang lainnya di-relokasikan ke daerah-daerah lain.511 Namun, Komisi menerima banyak kesaksian yang menyatakan bahwa mereka yang tertangkap adalah penduduk sipil dan bahwa sangat sedikit pejuang yang ditangkap dalam Operasi Kikis, dan bahwa sebagian besar dari mereka yang diasingkan ke Ataúro adalah perempuan, anak-anak, dan mereka yang lanjut usia.512 3.15 Membangun kembali Resistensi Tinjauan 377. Resistensi yang dipimpin oleh Fretilin nyaris dihancurkan oleh operasi pengepungan dan pembasmian tahun 1978-79. Sebagian besar pimpinan senior Fretilin dan Falintil terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri dalam periode ini. Sisanya yang masih hidup, dalam kelompok terpisah, berupaya sekuat tenaga untuk menghimpun kekuatan kembali. Tiga anggota Komite Sentral yang masih bertahan dan melarikan diri ke wilayah timur, salah satunya adalah Xanana Gusmão. Sebagai pemimpin, Xanana Gusmão melaksanakan Konferensi Reorganisasi Nasional pada bulan Maret 1981 yang memulai proses perluasan Gerakan Resistensi menjadi sebuah front persatuan nasional yang lebih luas, dan mengubah arah taktis resistensi bersenjata menjadi perang gerilya. Sebuah pertemuan rahasia dengan pemimpin Gereja Katholik di Timor-Leste, Monsignor da Costa Lopes, merupakan sebuah langkah penting ke arah tujuan persatuan nasional di antara para pihak yang bertentangan pada tahun 1975, yakni UDT dan Fretilin. 378. Pada tahun-tahun awal perang dan pendudukan, Gereja merupakan penghubung satusatunya dan vital ke dunia luar. Dalam tahun-tahun ini, Gereja telah mengalami transformasi dari benteng sistem kolonial Portugis menjadi suara bagi rakyat biasa Timor. Sejumlah anggota Fretilin yang bertahan setelah serangan 1978-1979 379. Serangan militer Indonesia pada tahun 1978-1979 menghancurkan strategi “perlawanan rakyat” Fretilin, dimana penduduk sipil dalam jumlah besar hidup dalam perlindungan ataupun kontrol Fretilin, menyediakan dukungan logistik bagi Falintil dan dimobilisasikan secara politik untuk mendukung Resistensi. Keunggulan teknologi dan jumlah pasukan militer Indonesia sangat menguntungkan dalam sebuah perang yang berbasis posisi konvensional. Apalagi, dengan adanya puluhan ribu penduduk sipil di basis-basisnya, Fretilin terpaksa lebih sering menempuh strategi perlindungan daripada penyerangan terhadap ABRI. Periode perlawanan gabungan sipilmiliter ini berakhir dengan jatuhnya zonas libertadas Fretilin pada tahun 1978. 380. Penduduk yang selamat menyerahkan diri dan turun dari pegunungan, sengsara akibat operasi pemboman dan pengepungan dan umumnya berada dalam kondisi yang sangat buruk.513 Mereka berjumlah sampai 300.000 orang.514 Militer Indonesia menyaring orang-orang yang menyerahkan diri dan memisahkan mereka yang diyakini sebagai kader Falintil atau Fretilin. Banyak yang hilang atau dieksekusi (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa). Penduduk sipil yang tersisa berada di bawah kontrol militer di sejumlah kamp sementara dan kemudian di berbagai kamp tahanan jangka panjang, sebagaimana dirinci di atas (lihat Bab 7.3.: Pemindahan paksa dan Kelaparan). 381. Fretilin telah kehilangan sebagian besar pemimpin tingkat menengah dan seniornya. Falintil berada dalam situasi berantakan karena telah kehilangan sebagian besar personil, pimpinan dan persenjataannya. Personil yang bertahan berada dalam situasi terisolasi dan tanpa sarana untuk berhubungan satu sama lain. Fase pertama Resistensi pun usai. Resistensi terorganisir mampu bertahan karena dua sebab. Pertama, bertahannya beberapa pemimpin utama Fretilin yang mampu membangun kembali Resistensi. Kedua, bertahannya penduduk yang, meski secara fisik tidak lagi terpisah dari pasukan pendudukan Indonesia, namun pada - 98 - akhirnya mampu membangun sebuah bentuk baru resistensi klandestin yang mendukung apa yang telah menjadi suatu perang gerilya klasik yang dijalankan oleh Falintil. Menyusun kekuatan kembali 382. Menjelang jatuhnya Matebian, pada tanggal 22 Nopember 1978, beberapa pemimpin politik dan komandan militer* berhasil menerobos kepungan dan melarikan diri ke wilayah timur. Yang memimpin kelompok ini adalah Xanana Gusmão. Pada saat yang sama, sejumlah kesatuan Falintil yang lain dikirim ke barat untuk bergabung dengan Falintil di Sektor Timur- Tengah (Centro Leste). Sebagian besar dari kesatuan ini tak pernah bisa melewati barisan penjagaan Baucau-Viqueque yang dikontrol militer Indonesia, dan hanya satu kompi yang tiba di sektor Timur-Tengah.515 383. Kelompok kecil yang melarikan diri dari Matebian menyusun kekuatan kembali di barisan pegunungan Legumau sebelah timur Baguia, yang berada di luar jangkauan ABRI. Mereka mencoba sebuah strategi baru perlawanan bawah tanah, menanggalkan tampilan militer mereka, berpakaian seperti penduduk sipil dan menyembunyikan senjata mereka.516 Tujuan mereka adalah mencari dan menghubungi para anggota Komite Sentral, Falintil serta penduduk sipil yang selamat, dan untuk menilai perkembangan situasi. Xanana Gusmão mengenang tindakannya setelah meloloskan diri dari Matebian: Kami langsung pergi [ke Timur]. Begitu tiba di sana, kami mulai menyusun strategi, dan masing-masing dari kami mempelajari apa itu [perang] gerilya. Karena saya sebelumnya telah menjalin kontak dengan kelompok bawah tanah [dari] saat [kami dulu berada di] basis perlawanan [bases de apoio], maka saya langsung pergi ke Mehara pada tanggal 7 Desember.…Kami mencari [anggota resistensi]. Dari Dili mereka [anggota klandestin] mengatakan kepada kami bahwa ada sejumlah kecil pasukan [Falintil], tapi mereka tidak bisa menghubungi pasukan itu, banyak dari mereka telah menyerahkan diri. Saya mengirim dua kelompok ke Centro [kawasan tengah] untuk mencari, [tapi] mereka mengatakan bahwa mereka tidak menemukan pasukan, tidak bertemu dengan penduduk sipil seorangpun di sana.517 384. Ketiga anggota Komite Sentral Fretilin yang selamat di timur, yakni Xanana Gusmão, Txay, dan Mauhunu, mendiskusikan kebutuhan untuk menyusun kekuatan kembali dan mengembangkan sebuah strategi perlawanan baru pada awal tahun 1979. Beberapa regu pencarian berangkat menuju kawasan tengah dan barat untuk berupaya menghubungi para anggota lain yang selamat, khususnya para pemimpin senior dari Komite Sentral Fretilin.518 Ini merupakan tugas yang sulit dan berbahaya. Sebagian regu pencarian diserang, dan sebagian lainnya lenyap sama sekali. Kelompok yang dipimpin oleh Xanana Gusmão diserang oleh ABRI di dekat Remexio pada bulan Maret, tetapi sebagian kecil anggotanya bisa lolos dan kembali ke Mehara di timur. Pada bulan yang sama, tiga kompi Falintil dihabisi oleh tentara Indonesia di dekat Lore, distrik Lautem.519 Gusmão menceritakan pencarian ini: * Kelompok kecil ini mencakup José Alexandre Gusmão, Mau Hodu, Taur Matan Ruak, dan Nino Konis Santana. - 99 - Kami tidak tahu siapa [dari Komite Sentral Fretilin] yang masih hidup. Kami mencari di tempat-tempat lain, [tapi] kami tidak bisa memutuskan, kami tahu bahwa beberapa orang sudah mati…Klandestina mencari anggota-anggota Komite Sentral yang selamat di hutan-hutan dari Centro sampai Fronteira.…Pada tahun 1980 kami menyeberangi jalan Baucau-Viqueque untuk mencari, mengumpulkan informasi, mendatangi desa-desa, bertanya kepada orangorang di sepanjang jalan menuju perbatasan [Fronteira]…dari Henrique Belmiro dan kawan-kawan, kami mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi [anggota Komite Sentral].520 385. Kendati demikian, upaya pencarian itu mencapai keberhasilan. Mereka menemukan beberapa kantong kecil Resistensi dan pasukan Falintil yang selamat. Ada beberapa kelompok kecil di Laline dan Uaimori, kelompok David Alex di Matebian, beberapa lagi di Manatuto, serta yang lainnya.521 Dalam upaya pencarian lainnya pada bulan Mei 1980, Xanana Gusmão menghubungi para anggota Resistensi di kawasan tengah, yakni Same dan Ainaro, dan menemukan para anggota yang selamat di dekat Dili.522 Di kawasan Barat mereka hanya menemukan satu kelompok.523 Selain mencari lokasi anggota Resistensi yang selamat, para gerilyawan juga menghubungi penduduk sipil untuk membentuk kelompok-kelompok klandestin di dalam wilayah yang dikontrol militer Indonesia. 386. Komisi mendengarkan kesaksian dari Francisco Guterres (Lu Olo), yang pada akhir dasawarsa 1970-an merupakan seorang kader Fretilin di pegunungan. Dia menceritakan tentang kelegaan yang dia rasakan ketika Xanana Gusmão tiba di kamp-nya: Ketika kami mendengar bahwa kakak kami, Xanana Gusmão, telah datang, hati kami merasa tenang…ketika dia kembali, kami semua berlari ke arahnya dan memeluknya…kemudian kami mendengar bahwa Mauhunu masih hidup, dan di Lospalos seorang ajudante anggota Komite Sentral juga masih hidup. Hanya tiga orang ini yang masih hidup. Bagaimana kami bisa melanjutkan perang ini? Kakak kami, Xanana, seperti sang arsitek atau pembangun. Dia berkata, ‘kita bisa membuat sebuah perahu, dan kita semua bisa mengangkat perahu ini, lalu mendayungnya maju. Walau ini akan sulit, kita bisa melakukannya.’ Kami semua sepakat dengan kakak kami…kami sangat percaya kepadanya…524 Konferensi Reorganisasi Nasional pada bulan Maret 1981 387. Gerakan Resistensi yang bertahan kehilangan kepemimpinan, koordinasi, dan struktur.* Karena gagal menemukan para anggota Komite Sentral lainnya yang selamat, dan dengan tertangkapnya Txay, Sera Key, dan Solan oleh ABRI, maka pada tahun 1980 Xanana Gusmão memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan dan mengorganisir sebuah pertemuan nasional Fretilin: * Sebagai contoh, serangan Falintil ke pemancar televisi Marabia pada bulan Juni 1980, yang diuraikan di bagian 3.13, dilakukan oleh sebuah kelompok dari kawasan Utara-Tengah secara lepas dari kelompok yang selamat yang berbasis di Timur. - 100 - Maka saya memutuskan [ini] pada bulan September…karena saya tahu bahwa semua anggota Komite Sentral telah mati…tidak ada yang lebih senior dari saya, kecuali Mau Hunu. Tapi saya mengenalnya, jadi saya memutuskan untuk mengambil alih agar kami bisa melakukan reorganisasi.525 388. Xanana Gusmão bermaksud mengkonsolidasikan dan merestrukturisasikan Resistensi sebagai sebuah perang gerilya, yang didasarkan atas berbagai pelajaran dari pengalaman, maupun dari teori: Sejak 1979 kami berusaha mempelajari perang gerilya dan bagaimana menerapkannya di Timor. Kami belajar di dalam hutan, [kami] belajar tentang perang di Vietnam, perang di Kuba, macam apapun dari [perang] gerilya, kami pikir perang-perang itu tidak akan cocok karena kondisikondisinya berbeda. Itulah sebabnya mengapa pada tahun 1979, kami menghabiskan waktu satu tahun untuk mempelajari bagaimana perang gerilya [seharusnya dilakukan]. Dari sini kami melakukan reorganisasi, apa yang bisa kami lakukan dengan [kelompok-kelompok] gerilya kecil, merencanakan aktivitas politik, aktivitas militer, dan bagaimana keduanya saling berhubungan.526 389. Berdasarkan berbagai kontak sepanjang tahun 1979-80, Gerakan Resistensi menyelenggarakan sebuah “Konferensi Reorganisasi Nasional” pada bulan Maret 1981 di Maubai, Lacluta.527 Struktur serta kepemimpinan politik dan militer Gerakan Resistensi direorganisasi, dan Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional (CRRN) pun dibentuk untuk mengendalikan keseluruhan Gerakan Resistensi ini.528 CRRN dimaksudkan untuk menjadi sebuah forum payung bagi semua elemen pro-kemerdekaan, bukan hanya Fretilin, dan merupakan langkah signifikan untuk menjauh dari kebijakan garis keras tahun 1977 ketika Fretilin dinyatakan sebagai sebuah partai Marxis-Leninis (Partido Marxista-Leninista Fretilin, PMLF), serta menuju persatuan nasional.529 390. Xanana Gusmão dipilih untuk menempati semua posisi pimpinan—Komisaris Politik Nasional PMLF, Panglima Besar Falintil dan Presiden CRRN.530 Sebuah Komite Sentral baru pun dibentuk,* yang terdiri atas para pemimpin baik yang ada di Timor-Leste maupun yang di luar negeri.531 Struktur Falintil dirumuskan kembali, dan para pemimpin baru diangkat. 532 Sebuah strategi perang gerilya pun diputuskan secara resmi, dimana beberapa ratus pasukan Falintil yang selamat akan menyebar ke seluruh pelosok negeri ini.533 Karena telah dikalahkan sebagai sebuah kekuatan militer konvensional, maka Falintil akan bergerak dalam berbagai kelompok gerilyawan kecil yang berpindah-pindah dan tidak lagi berupaya untuk memusatkan kekuatannya dalam menghadapi militer Indonesia. Para gerilyawan akan didukung oleh sebuah struktur klandestin di daerah perkotaan. Idenya ialah bahwa sebuah struktur klandestin di bawah CRRN akan beroperasi melalui pusat-pusat Resistensi nasional di tingkat distrik (cernak) dan sel-sel kecil di tingkat desa yang terdiri atas empat sampai tujuh orang (nurep). Untuk mengatur Gerakan Resistensi baru tersebut negeri ini dibagi menjadi tiga kawasan—kawasan Timur, Funu Sei Nafatin (“perjuangan masih berlanjut’’); kawasan Tengah, Nakroma (”cahaya”); dan kawasan perbatasan, Haksolok (“kesenangan”).534 * Anggota-anggota Komite Sentral yang diangkat di Timor-Leste adalah Xanana Gusmão (Comissario Política Nacional), Mauhunu, Mau-hodu, Bere Malae Laka, Kilik Wae Gae (Reinaldo Correia), Nelo (Dinis Carvalho), Sakinere, Holy Natxa, Lere Anan Timor (Tito da Costa), Harin dan Mauk Moruk (Paulino Gama). Anggota-anggota yang diangkat di luar negeri adalah Abílio Araújo (Sekretaris Umum), Márí Alkatiri, Roque Rodrigues, José Luís Guterres, Guilhermina Araújo, José Ramos-Horta dan Rogério Lobato. - 101 - Pertumbuhan Gerakan Perlawanan 391. Setelah reorganisasi politik dan militer kapasitas Gerakan Resistensi perlahan-lahan tumbuh. Struktur klandestin dimaksudkan untuk mendukung para gerilyawan, dan juga membangun jaringan dengan berbagai kelompok lain, termasuk dengan mereka yang punya hubungan erat dengan pihak Indonesia. Sebuah jaringan klandestin yang berbasis sel mulai dikembangkan, termasuk di dalam Dili. Dalam upaya untuk mengontrol jaringan klandestin ini, militer Indonesia mengembangkan berbagai jaringan intelijennya sendiri yang luas sampai ke tingkat desa. Di semua desa ada kehadiran militer. Sebagian desa memiliki babinsa (petugas non-jabatan pembina desa), sedangkan sejumlah desa lainnya memiliki TPD, “tim pembina desa”, tergantung pada seberapa bergolaknya sebuah desa atau daerah.535 Dokumen militer Indonesia dari tahun 1983 menunjukkan adanya pengawasan luas terhadap penduduk dengan tujuan untuk “melindungi” masyarakat dari pengaruh propaganda GPK (gerilyawan): Menunjuk orang-orang terpercaya seperti katuas (para tetua) untuk membantu para ketua RT…Setiap katuas harus bisa mengetahui secara pasti aktivitas keluargakeluarga yang berada di bawah binaannya; misalnya, saat mereka pergi ke ladang, pergi untuk mengumpulkan kayu, meminta izin untuk pergi ke desa lain, menggembalakan ternak, pergi ke pasar, dan seterusnya. Menunjuk seorang ”informan” di masing-masing kelompok yang terdiri atas 10-15 keluarga ini yang dipimpin oleh seorang katuas. Informan ini harus bisa mengikuti, secara diam-diam, semua aktivitas kesepuluh sampai lima belas keluarga ini.536 392. Komisi mendengarkan kesaksian tentang berbagai konsekuensi bila dicurigai sebagai seorang anggota aktif Gerakan Klandestin Resistensi, yakni terus-menerus terancam penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan. Di distrik Ainaro, sejumlah tebing karang di Builico dikenal oleh militer Indonesia sebagai Jakarta II. Bila penduduk Ainaro hilang setelah ditahan, pihak militer pun menjelaskan kepada para keluarga dan komunitasnya bahwa mereka telah dibawa ke Jakarta, padahal kenyataannya mereka telah dibawa ke tebing curam di Builico, dan dilemparkan dari, tebing karang ini. Tidak diketahui berapa jumlah orang yang telah dilemparkan sampai mati antara tahun 1981-1983.537 393. Kehadiran militer sampai ke tingkat desa ini, yang disertai dengan pengawasan yang ketat, sering mengakibatkan berbagai ketegangan yang mendorong terjadinya kekerasan. Pembelotan beberapa ratus anggota kesatuan pembantu ABRI asal Timor ke Falintil di Viqueque pada tahun 1983 merupakan sebuah contoh yang mencolok.538 Pembelotan ini merupakan bagian dari pola pemberontakan lebih besar oleh Gerakan Resistensi yang terjadi pada tahun 1982 sampai 1983. Efektivitas mata rantai antara jaringan klandestin dan gerilyawan ditunjukkan oleh berbagai dokumen militer dari tahun 1982 yang menunjukkan fokus militer untuk menghabisi bermacam struktur klandestin.539 Tanda paling jelas tentang regenerasi Fretilin dan kegagalan ABRI untuk menghancurkan Falintil adalah adanya gencatan senjata yang disepakati dengan ABRI pada bulan Mei 1983 (lihat bagian berikut). Gerakan perlawanan di bawah pimpinan Xanana Gusmão: menuju persatuan nasional 394. Sejak invasi tahun 1975, Fretilin telah mendefinisikan diri sebagai pengejawantahan Gerakan Resistensi. Ini mulai berubah beberapa tahun sesudah reorganisasi tahun 1981. Pada bulan September 1982, Xanana Gusmão dan Monsignor Martinho da Costa Lopes bertemu secara rahasia di desa Mehara, distrik Lautém.540 Pada pertemuan ini, Monsignor Lopes menyoroti perlunya persatuan nasional antara Fretilin dan UDT. Pertemuan ini, dan seruan untuk - 102 - persatuan politik, penting terutama karena selama konflik internal tahun 1975, UDT telah mengklaim bahwa mereka membela prinsip Gereja Katholik dalam menghadapi ancaman komunis.541 Kenyataan bahwa pemimpin Gereja Katholik di Timor-Leste bertemu dengan pemimpin Fretilin sekaligus pemimpin Gerakan Resistensi adalah sinyal jelas bahwa Gereja tidak memandang Fretilin sebagai komunis, dan seruan Monsignor Lopes untuk persatuan nasional menunjukkan pemahamannya tentang Gerakan Resistensi lebih sebagai perjuangan nasionalis daripada perjuangan kiri ideologis. 395. Pada tahun 1983, Komite Sentral Fretilin mendeklarasikan persatuan nasional sebagai garis politik resminya.542 Ini merupakan acuan jelas bagi permusuhan UDT-Fretilin. Untuk bisa meningkatkan kemungkinan kerjasama multi-partai, Fretilin mengubah beberapa kebijakannya terdahulu yang radikal. Sebagai contoh, pada tahun 1983 Fretilin berpartisipasi dalam sebuah gencatan senjata dan beberapa negosiasi dengan militer Indonesia. Hal ini sebelumnya tidak dibenarkan berdasarkan kebijakannya yang tegas “negosiasi—tidak dan tak akan pernah.”543 Pada tahun 1984, Fretilin menanggalkan ideologi Marxis-Leninis yang telah dideklarasikan pada tahun 1977 dan disertakan ke dalam nama partai itu pada tahun 1981. Dengan tindakan ini, Fretilin mencabut basis sosial-revolusioner dari sikapnya terdahulu demi mendukung sebuah platform nasionalis yang lebih terbuka. 396. Proses perubahan yang ditempuh oleh Fretilin ini bukan tanpa tentangan. Orang-orang garis keras partai seperti Kilik Wae Gae (Kepala Staf Falintil) dan Mauk Moruk (Komandan Brigade Merah) memandang perubahan politik ke arah sikap yang lebih moderat ini sebagai suatu kompromi yang tak bisa diterima.544 Sebuah percobaan kudeta oleh faksi ini gagal, dan akhirnya oposisi terhadap berbagai kebijakan baru ini pun pudar.545 Arah baru di bawah payung CRRN ini memperluas platform politik Resistensi dan akhirnya menciptakan oposisi dengan basis yang lebih luas terhadap pendudukan Indonesia. Gereja Katholik 397. Gereja Katholik, di bawah kepemimpinan berani Monsignor Martinho da Costa Lopes, telah memainkan peran sangat penting di dalam negeri Timor-Leste selama tahun-tahun awal pendudukan. Dari yang sebelumnya merupakan pembantu pemerintahan kolonial Portugis yang ultra-konservatif, komposisi Gereja kemudian berubah selama era Indonesia. Dengan perginya banyak pastor dan suster Portugis setelah invasi dan pendudukan Indonesia, komposisi Gereja menjadi lebih “di-Timorisasi-kan”. Selain para pastor asal Timor, ada juga para pastor asal Indonesia maupun internasional. Ketiga kelompok ini memainkan peran yang berbeda. Banyak pastor asal Indonesia cenderung mendukung pemerintah Indonesia, sedangkan pastor internasional, yang harus memperoleh persetujuan visa dari pemerintah Indonesia, mengambil sikap tidak terlibat politik secara lebih terbuka.546 Yang paling signifikan, banyak pastor asal Timor termobilisasi sebagai akibat dari penderitaan sangat besar yang mereka saksikan pada tahun-tahun awal ini.* 398. Anggota-anggota Gereja di Timor-Leste sering kali bertentangan dengan Vatikan, yang tidak mendorong para pastornya untuk terlibat dalam persoalan-persoalan seperti Hak-hak Asasi Manusia ataupun politik Resistensi. Sekalipun demikian, karena kebijakan resmi Vatican tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor-Leste, Gereja Katolik di wilayah ini tetap langsung di bawah pengawasan Vatikan, bukan termasuk bagian dari gereja Indonesia. Jaringan Katolik Internasional menyediakan satu-satunya penghubung antara Timor dan dunia luar pada tahuntahun ketika wilayah ini benar-benar tertutup. Para suster dan pastor menulis surat ke luar negeri di masa ketika hampir tidak ada media internasional yang mengamati berbagai kejadian di dalam wilayah ini, dan ketika, lepas dari adanya kehadiran ICRC yang hanya kadang-kadang, tidak ada organisasi internasional lain yang diperbolehkan masuk ke willayah ini. José Ramos-Horta * Beberapa jajaran kepastoran asal Timor mendukung—dan digunakan oleh—rezim Indonesia, ditugaskan untuk posisiposisi kewenangan di pemerintahan propinsi. Lihat Smythe, The Heaviest Blow, hal. 37. - 103 - mengatakan kepada Komisi bahwa antara tahun 1975-1979 sumber-sumber Gereja memainkan peran satu-satunya dan yang sangat penting dalam menyampaikan informasi tentang kondisi di Timor-Leste kepada dunia luar.547 399. Pada tahun 1983, Gereja membuat sebuah keputusan yang terbukti vital bagi keberlangsungan budaya masyarakat Timor. Gereja di Timor-Leste memutuskan bahwa bahasa resmi peribadatan adalah bahasa Tetum. Akibatnya Keuskupan Dili memohon izin Vatikan untuk menggunakan Tetum sebagai bahasa Misa. Vatikan setuju, dan ini dilaksanakan selama masa jabatan Uskup Belo.548 Hal ini meningkatkan identitas Timor di Gereja Katholik, dan menambah rasa perlindungan yang ditawarkan bagi masyarakat biasa di masa-masa yang sangat sulit. 400. Rasa perlindungan yang ditawarkan oleh Gereja adalah faktor utama penduduk dalam jumlah besar beralih memeluk Agama Katolik selama masa pendudukan. Pada tahun 1973 sekitar 28% dari jumlah penduduk menyatakan diri Katolik.549 Menjelang tahun 1980, Biro Statistik Indonesia mencatat sebanyak 80% dari jumlah penduduk wilayah ini memeluk Agama Katolik.550 Ideologi negara Indonesia yang mengharuskan warga negaranya memeluk satu dari lima agama resmi kemungkinan mempengaruhi penyebaran ajaran Katolik ini. 401. Sikap blak-blakan Monsignor da Costa Lopes membawa pada pengunduran dirinya secara paksa pada tahun 1983. Setahun kemudian, dia berpidato di depan Komite Keuskupan Amerika Serikat untuk Pembangunan Sosial dan Perdamaian Dunia, mengundang perhatian tentang peran Gereja yang sangat penting sebagai pelindung masyarakat Timor-Leste: Di tengah genosida kultural dan psikologis yang ditimpakan oleh tentara Indonesia kepada kami, Gereja Katholik telah muncul sebagai satu-satunya organisasi yang dipercaya oleh masyarakat Timor-Leste…Apapun yang masyarakat ketahui, mereka beritahukan kepada para pastor. Gereja Timor-Leste telah mendengarkan dengan seksama selama hampir sembilan tahun sejak invasi Indonesia. Dengan kewenangan tertinggi, Gereja Timor-Leste bisa mengatakan bahwa ia mengetahui kesengsaraan maupun aspirasi terdalam rakyat Timor.551 - 104 - 3.16 Gencatan senjata tahun 1983 dan masa sesudahnya Tinjauan 402. Pada tahun 1982, Indonesia melaksanakan pemilihan umum (pemilu) nasionalnya di Timor-Leste untuk pertama kalinya. Dengan selesainya Operasi Keamanan, sekali lagi militer Indonesia menilai bahwa wilayah ini sudah tenang. Di Timor-Leste, mayoritas besar, yakni 99% pemilih, dilaporkan telah memilih Golkar, alat politik Presiden Soeharto. Pemilu ini disusul dengan perubahan drastis dalam personil sipil dan militer di jajaran pemerintahan Indonesia. Mantan anggota senior UDT, Mário Carrascalão, diangkat sebagai Gubernur, dan Kolonel Purwanto mengambil alih sebagai pimpinan militer di wilayah ini. Menghadapi gerakan klandestin yang sedang bangkit mendukung Falintil yang baru berhimpun kembali, Militer Indonesia mencari jalur berbeda untuk mengatasi Resistensi, negosiasi. Panglima Falintil, Xanana Gusmão, mengadakan pembicaraan dengan Kolonel Purwanto, dan untuk sementara waktu yang singkat, sebuah gencatan senjata sementara pun berlaku. 403. Namun demikian, begitu dilantik sebagai Presiden, Soeharto segera mengangkat Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI. Jenderal Moerdani adalah salah seorang arsitek pengambilalihan Timor-Leste oleh militer Indonesia, dan dia tidak punya banyak waktu untuk sebuah solusi damai bagi masalah-masalah di Timor-Leste. Dalam waktu cepat setelah pengangkatan Moerdani, Monsignor Lopes ditekan untuk turun dari posisinya sebagai kepala Gereja Katholik, dan dia pun meninggalkan wilayah ini. Gencatan senjata itu pecah di kota kecil sebelah timur Kraras pada bulan Agustus 1983 setelah para anggota sebuah kesatuan Hansip asal Timor, bersama beberapa pejuang Falintil, membunuh 12 tentara Indonesia. Militer Indonesia menanggapi kejadian ini dengan serangkaian pembantaian atas penduduk sipil setempat dan penumpasan di kawasan timur dengan berbagai operasi baru. Pemilu Indonesia di Timor-Leste: 1982 404. Dengan selesainya Operasi Keamanan, militer Indonesia tampaknya sekali lagi berkesimpulan bahwa mereka telah berhasil mengamankan wilayah ini.552 Ketika pemilu nasional Indonesia diselenggarakan pada tahun 1982, ini juga diselenggarakan untuk pertama kalinya di Timor-Leste. Militer bertanggung jawab untuk menjaga keamanan bagi pelaksanaan pemilu di seluruh kepulauan Indonesia, dan ini membutuhkan jumlah pasukan yang besar, dan ditambah dengan rasa percaya diri militer Indonesia yang meningkat, barangkali telah turut menyebabkan pengurangan secara tajam jumlah pasukan di Timor-Leste pada masa ini. Pers Indonesia melaporkan bahwa pemilu berlangsung di Timor-Leste tanpa insiden apapun;553 namun para informan asal Timor menyebutkan bahwa telah terjadi gelombang penangkapan sebelum pemungutan suara:554 Di Viqueque militer terus-menerus berpatroli selama menjelang pemilu dan saat berlangsungnya pemilu. Setiap malam [militer] keluar-masuk rumah-rumah untuk memeriksa apakah ada orang yang datang atau pergi. Juga pada tanggal 4 Mei, sehari sebelum pemilu, ada serangan-serangan Fretilin di beberapa desa. Semua tempat pemungutan suara di sekitar Viqueque pun dipindahkan ke kota Viqueque.555 405. Hasil pemilu di Timor-Leste menunjukkan lebih dari 99 persen suara memilih Golkar, partainya Presiden Soeharto yang berkuasa. Hal ini, ditambah dengan penghitungan suara yang sangat cepat, menunjukkan dengan kuat adanya hasil yang dimanipulasi. Kemungkinan motif - 105 - bagi manipulasi suara ditunjukkan setahun berikutnya ketika Gubernur Mário Carrascalão menyatakan bahwa: Orang-orang telah diberitahu bahwa dengan memilih Golkar, mereka akan menunjukkan pandangan mereka tentang integrasi dengan Indonesia.556 406. Dalam peristiwa itu, Indonesia menggunakan suara sebagai bukti tentang adanya dukungan bagi Indonesia. Xanana Gusmão tidak menahan-nahan sarkasme-nya dalam pesannya kepada PBB pada tahun 1982: …partai-nya Soeharto memenangkan pemilu lagi. Di Timor-Leste, di bawah todongan senjata, semua penduduk memberikan suara yang mendukung Golkar. Sebuah paradoks yang mengherankan, Timor-Leste dan Irian Jaya merupakan ’propinsi kesayangan’ Soeharto dan pendukung kuat Golkar!557 Perubahan personil sipil dan militer Indonesia, dan berbagai aksi Resistensi 407. Setelah pemilu, terjadi perubahan drastis di jajaran personil utama sipil dan militer Indonesia di Timor-Leste. Pada bulan September 1982, Mário Viegas Carrascalão, seorang mantan anggota senior UDT yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Indonesia di New York sejak tahun 1977 sampai 1981, dilantik sebagai Gubernur. Pada waktu yang hampir bersamaan, Komandan Korem 164, Kolonel Adolf Sahala Radjagukguk, digantikan oleh Kolonel Purwanto.* 408. Selama masa ini, Gerakan Resistensi melakukan dua langkah utama. Pertama, pada bulan Agustus 1982, pasukan Falintil melancarkan serangan besar ke sebuah pos militer Indonesia di Mauchiga, Ainaro, yang sering disebut sebagai levantamento (pemberontakan) 1982. Komisi mendengar kesaksian tentang berbagai konsekuensi dari serangan ini terhadap penduduk sipil Mauxiga. Banyak yang dikumpulkan dan diasingkan ke Ataúro,558 sementara banyak perempuan dijadikan sasaran pelanggaran seksual yang berulang kali dan terus-menerus (lihat Bab 7.7: Pelanggaran Seksual). Kedua, pada bulan September 1982, ada pertemuan rahasia antara Xanana Gusmão dan Monsignor Lopes, sebagaimana diuraikan di atas. Ini merupakan tanda bagi militer Indonesia bahwa dukungan terhadap Fretilin sungguh sangat luas, dan yang mengancam pemberitaan tentang Fretilin sebagai sebuah kekuatan gerilya komunis yang terisolasi. Pendekatan baru militer Indonesia: negosiasi 409. Pada tahun 1983, ABRI mengupayakan sebuah taktik baru berupa negosiasi dengan Gerakan Resistensi. ABRI pernah mengatasi berbagai pemberontakan yang ingin memisahkan diri selam dasawarsa 1950-an dengan cara ini, dan pemain kunci dalam negosiasi-negosiasi di masa itu adalah Panglima ABRI, Jenderal Yusuf, yang turut dalam negosiasi di Sulawesi untuk menyelesaikan pemberontakan Permesta pada akhir dasawarsa 1950-an.559 Agaknya Yusuf menyetujui inisiatif ini, yang mungkin datang dari Komandan Militer Timor-Timur yang baru, Kolonel Purwanto, yang memiliki kewenangan untuk memulai berbagai kontak di tingkat lokal yang akhirnya membawa pada terjadinya sebuah gencatan senjata resmi. Pada akhir tahun 1982 dan awal 1983, militer Indonesia mulai membuat sejumlah kesepakatan di tingkat lokal. Berbagai kontak awal untuk gencatan senjata lokal di Lautém dilakukan di Pupuru dan Pasikenu, di luar Lospalos, dan pada bulan Februari 1983 kontak-kontak terjadi setiap minggu.560 Di antara pemimpin Fretilin yang terlibat dalam beberapa kontak awal ini serta perjalanan keliling Jakarta, * Komisi tidak bisa memberikan keterangan tentang tanggal pasti pengangkatan Purwanto. Radjagukguk masih menjabat sebagai komandan pada tanggal 8 Juli 1982, dan Purwanto sudah menjadi komandan Korem 164 pada akhir 1982. - 106 - yang dimaksudkan untuk meyakinkan mereka tentang kebaikan Indonesia, adalah Falo Chai561 (Fernando Teles) dan Jose da Conceição, yang merupakan mediator kunci dalam proses ini.562 Militer Indonesia mengupayakan kontak-kontak serupa dengan Fretilin/Falintil di daerah koridor Venilale-Ossu, dimana David Alex (Daitula) merupakan komandan utama Falintil yang terlibat.563 Seorang mantan Hansip mengenang: Saya dan ipar laki-laki saya pergi ke Venilale, bertemu dengan Mayor Iswanto, [dan] melakukan kontak damai. Dia ingin bertemu dengan orang-orang dari hutan, ingin mengetahui politik mereka. Apakah mereka menginginkan kemerdekaan atau integrasi? Saya ditugaskan untuk mencari orang-orang di dalam hutan, melakukan kontak damai. Saya berhasil. Pertama-tama saya bertemu mereka di Ossulari. Di sana [saya] bertemu dengan komandan peleton, Makikit. Saya bertanya kepadanya: “Apakah anda menginginkan kemerdekaan ataukah integrasi?” Saya menanyakan itu kepadanya. Dia menjawab: “[Rakyat] Timor-Leste lebih [menginginkan] kemerdekaan daripada integrasi.”564 410. Berbagai pertemuan lokal antara para pejabat Indonesia dan Falintil membuka jalan bagi beberapa kontak di tingkat yang lebih tinggi. Pada tanggal 20 Maret, dua orang Mayor Indonesia dan beberapa pejabat militer berpangkat lebih rendah bertemu dengan Xanana Gusmão di Liaruka, desa Buburaka, di sub-distrik Ossu. Pada pertemuan ini Fretilin mengajukan empat tuntutan: (1) penarikan tanpa syarat pasukan Indonesia dari Timor-Leste; (2) sebuah misi penjaga perdamaian PBB; (3) sebuah referendum yang bebas dan adil; dan (4) kehadiran Fretilin/Falintil yang berkelanjutan untuk menjaga keamanan selama proses ini.565 Kolonel Purwanto kemudian terbang ke Bali untuk mengadakan diskusi di tingkat Kodam. Tiga hari kemudian, pada tanggal 23 Maret, Kolonel Purwanto sendiri bertemu dengan Xanana Gusmão di dekat Larigutu, di sub-distrik Venilale (Baucau).* Gubernur Mário Carrascalão juga hadir. Pertemuan ini rupanya menghasilkan penandatanganan sebuah kesepakatan gencatan senjata antara Militer Indonesia dan Fretilin/Falintil.566 Yang lainnya mengikuti, dan gencatan senjata pun menyebar ke seluruh wilayah ini. Gencatan Senjata 411. Militer Indonesia menolak mengakui bahwa mereka melakukan “negosiasi,” dan hanya menyebutnya sebagai “pembicaraan”. Indonesia tidak menginginkan publisitas internasional mengenai persoalan ini. Namun status konflik selama periode ini pada kenyataannya adalah sebuah gencatan senjata.567 Pada akhir bulan Juli 1983, gencatan senjata masih berlaku. 568 Penghentian permusuhan memungkinkan para pemimpin Resistensi untuk bebas mengunjungi desa, kota kecil, dan bahkan berbagai pusat perkotaan. Ada beberapa pertemuan lokal antara ABRI dan Fretilin/Failintil, termasuk di Lore, Beaço, Waitame, Macadique, Ossu, Laissorlai dan Hatubuiliko. Pada pertemuan-pertemuan ini, dimainkan pertandingan-pertandingan yang bersifat rekreasi, seperti bola voli, bahkan pasokan-pasokan disediakan bagi Fretilin/Falintil.569 412. Bagi penduduk umum, penghentian-sementara ini signifikan. Menurut Monsignor Lopes: …pada bulan Juni, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, helikopter-helikopter Indonesia mengangkut makanan dan obat-obatan untuk para gerilyawan di pegunungan, dan membawa anggota gerilyawan yang sakit dan terluka ke rumah sakit Dili…. * Pertemuan ini juga dihadiri oleh Aleixo Ximenes, Verissimo Quintão, Jose da Conceição dan Okan. - 107 - Masyarakat sangat senang dengan penghentiansementara perang ini dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, bisa menanam tanaman pangan yang layak.570 413. Fretilin dan Falintil menggunakan gencatan senjata ini untuk keuntungannya, baik untuk konsolidasi internal maupun membangun jaringan dengan orang-orang Timor yang bekerja pada Indonesia.571 Falintil memasuki gencatan senjata ini dengan perspektif ketidakpercayaan. Pengalamannya adalah “amnesti” tipu-daya pada akhir dasawarsa 1970-an, dimana setelah itu, banyak pemimpin Fretilin yang menyerahkan diri hilang. Dokumen CRRN yang dikeluarkan pada bulan Juli 1983 menegaskan perspektif ini. Dokumen itu merinci sejumlah pembunuhan dan kekejaman, dengan menyebutkan nama dan memberikan contoh-contoh kasus pembunuhan, serta memberikan keterangan tentang kenaikan pangkat kemiliteran bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman tersebut.572 Pengangkatan Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI: 1983 414. Selama bulan Maret 1983, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Indonesia mengangkat Soeharto sebagai Presiden dalam masa jabatan yang keempat kalinya. Ini berakibat pada sebuah perubahan besar di dalam ABRI yang mempengaruhi gencatan senjata yang rapuh di Timor-Leste. Pada tanggal 28 Maret, Presiden Soeharto melantik Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI.* Moerdani, salah seorang arsitek invasi Timor-Leste, membawa pengaruh yang jauh dari sikap kompromi mengenai perdamaian di wilayah ini. Monsignor Lopes dicopot 415. Salah satu tindakan pertama Moerdani sebagai Panglima ABRI adalah menekan Utusan Paus untuk Indonesia, Monsignor Pablo Puente, untuk mencopot Monsignor Lopes dari jabatan kepala Gereja Katholik di Timor-Leste. Moerdani, yang juga seorang Katolik, memandang pertemuan Monsignor Lopes dengan Xanana Gusmão pada bulan September 1982 sebagai pengkhianatan. Beberapa minggu kemudian Lopes mengajukan pengundurkan dirinya, meskipun dia menyatakan bahwa dirinya telah dipaksa untuk mengundurkan diri.573 Penggantinya, Carlos Felipe Ximenes Belo yang relatif masih muda, diangkat langsung oleh Vatikan bukannya dipilih oleh pastor-pastor Timor lewat pemilihan.574 416. Pada tanggal 13 Mei, dalam satu penampilan terakhirnya di depan publik sebelum meninggalkan Timor-Leste selamanya, yakni pada acara hari raya Katolik Penampakan Bunda Maria, Monsignor Lopes mengecam kekejian yang dilakukan pasukan pendudukan. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan hal itu di depan publik.575 Dia pergi secara diam-diam dengan membawa bukti rinci bahwa sebuah gencatan senjata umum telah disepakati, dalam acara pertemuan yang tidak dipublikasikan oleh Indonesia. Gencatan senjata dirongrong 417. Sejak awal, Panglima ABRI yang baru, Jenderal Benny Moerdani, tidak yakin akan manfaat sebuah gencatan senjata. Pada tanggal 12 April Jenderal Moerdani mengunjungi Baucau untuk bertemu dengan stafnya yang bertanggung jawab untuk urusan Timor-Leste. Keesokan harinya dia memanggil Gubernur Mário Carrascalão ke Baucau. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2003, Mário Carrascalão mengenang pertemuan ini: * Juga pada bulan Maret, Panglima Kodam XVI/Udayana, Brigadir Jenderal Dading Kalbuadi, digantikan oleh Brigadir Jenderal Damianus Soetarto. - 108 - Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan semuanya berputar di sekitar jaminan. Moerdani bertanya: “Jika diselesaikan secara damai, apakah ada jaminan bahwa Timor-Timur akan tetap merupakan bagian dari Indonesia? Bagaimana yang dirasakan rakyat? Itulah [yang] ingin kami ketahui.” Saya [Carrascalao] berkata: “Bagaimana saya bisa tahu, Pak?” Pertemuan itu berlangsung sekitar satu jam, pertanyaanpertanyaan ini, kemudian Benny Moerdani mengakhiri pertemuan itu lebih cepat.…Benny Moerdani memberi waktu tiga bulan. Dia berkata: “Saya akan memberi Soetarto [Panglima Kodam Udayana] dan Purwanto [waktu], dengan dibantu oleh Gubernur, untuk membantu Timor-Timur secara damai.”576 418. Gubernur Mário Carrascalão memainkan peran menonjol dalam memajukan berbagai pembicaraan yang diselenggarakan selama gencatan senjata. Pada akhir Mei, Xanana Gusmão mengirim sebuah pesan yang meminta untuk bertemu dengan Carrascalão, yang membawa pada sebuah pertemuan pribadi di Ariana, beberapa kilometer dari Venilale (Baucau). Namun demikian, ruang manuver Carrascalão terbatas. Jakarta menyiarkan berita tentang gencatan senjata itu pada tanggal 10 Juni, namun tidak mempublikasikan rinciannya, seperti tuntutan Falintil untuk sebuah referendum, sebagaimana yang telah disepakati. Tak lama setelah itu, Moerdani mengirim sepucuk surat kepada Xanana Gusmão: Jangan kira bahwa kalian bisa mendapat bantuan dari negara-negara lain. Tidak ada negara di dunia ini yang bisa membantu kalian. Negara kami sendiri telah siap untuk menghancurkan kalian kalau kalian tidak mau bersikap kooperatif terhadap republik kami. Kami sedang mempersiapkan seebuah operasi—Operasi Persatuan—yang akan dilancarkan pada bulan Agustus.577 419. Batas waktu gencatan senjata selama tiga bulan yang ditentukan Moerdani ketika itu akan berakhir pada bulan Juli. Dia merencanakan operasi baru itu untuk dilaksanakan pada bulan Agustus guna memberi kesempatan kepada delegasi parlemen Australia yang akan berkunjung ke wilayah ini pada akhir Juli. Kemauan Moerdani untuk melancarkan serangan baru ini mengabaikan keprihatinan Menteri Luar Negeri Indonesia bahwa operasi baru ini akan berpengaruh negatif terhadap pembahasan tentang Timor-Leste yang dijadwalkan pada pertemuan Majelis Umum PBB di bulan September.* 578 420. Ada kemungkinan bahwa gencatan senjata ini dirongrong dari dalam ABRI sendiri, dengan maksud untuk melanjutkan perang. Militera pernah menyatakan ernah menyatakan sebelumnya bahwa mereka menganggap operasi-operasi di Timor-Leste sebagai sarana latihan yang berharga bagi pasukan-pasukannya.579 Seorang figur yang mungkin terlibat dalam melakukan perongrongan seperti itu adalah Kapten Prabowo Subianto, yang pada waktu itu merupakan wakil komandan Detasemen 81, Kopassandha.580 Seminggu setelah Moerdani menyetujui gencatan senjata itu pada bulan April, Kolonel Purwanto meminta untuk bertemu dengan Gubernur Mário Carrascalão di pantai, Dili. Menurut Carrascalão, Purwanto mengatakan kepadanya: * Pada tahun 1983, untuk pertama kalinya sejak 1975, pembahasan di Majelis Umum PBB ditunda. Pembahasan ini ditunda sampai pertemuan Majelis Umum ke-39 setahun berikutnya. - 109 - Apa yang pernah saya khawatirkan kini terjadi. Dia, Prabowo, kembali ke Timor-Leste. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, tak seorangpun, baik sipil ataupun militer, bisa memasuki atau meninggalkan Timor-Leste tanpa sepengetahuan saya. Akhirnya dia datang dan pergi ke pelosok—ke Viqueque, sekitar Bibileu. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan, saya tidak tahu lagi.”581 421. Komisi menerima bukti bahwa Prabowo ditempatkan di sektor bagian timur Timor-Leste saat itu. Beberapa sumber menyatakan kepada Komisi bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh ABRI. Komisi juga menerima bukti keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan-pembunuhan ini (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa). 422. Baik militer Indonesia maupun Falintil menggunakan gencatan senjata ini untuk keuntungan militernya sendiri, sebagaimana dilaporkan oleh delegasi Kedutaan Amerika Serikat yang berkunjung ke Dili pada bulan Mei 1983: Fretilin punya peluang untuk mengorganisir pasukannya dan mengembangkan kepemimpinannya. Pada saat yang sama, kesatuan-kesatuan keamanan Indonesia jadi mengetahui berapa anggota Fretilin, dimana mereka berada dan siapa saja mereka, karena nama-nama telah didaftar dan telah diambil foto-foto. Berkumpulnya anggota-anggota Fretilin juga memungkinkan pasukan Indonesia untuk menyerang, jika pembicaraan gagal…582 423. Pada tanggal 28 Juli, satu delegasi parlemen Australia tiba di Dili. Mereka menghabiskan waktu empat hari di Timor-Leste dari sepuluh hari kunjungannya ke Indonesia. Delegasi ini tidak mencoba untuk bertemu dengan Fretilin. Namun di dekat Baucau delegasi ini dihentikan oleh empat anggota Falintil. Terjadi diskusi singkat, dan anggota Falintil tersebut memberikan sepucuk surat kepada delegasi parlemen itu.583 Surat ini menyebutkan bahwa: Bahkan selama pembicaraan-pembicaraan (perdamaian)…mereka (ABRI) terus (sic) membunuh gerilya FRETILIN (sic) yang ingin mendekati kamp-kamp agar bisa berhubungan dengan orang-orangnya. 424. Data Komisi mendukung pernyataan ini. Selama masa gencatan senjata, ABRI melakukan serangkaian pelanggaran, termasuk penyiksaan dan pembunuhan, khususnya penangkapan sewenang-wenang atas orang-orang yang dicurigai sebagai anggota klandestin.584 Berakhirnya Gencatan Senjata 425. Setelah usaha-usaha untuk merongrong Gencatan Senjata yang muncul dari dalam tubuh militer Indonesia sendiri, pada tanggal 8 Agustus, orang-orang Timor di Kraras (Lacluta, Viqeuque) menyerang dan membunuh sekelompok sipur ABRI. Mereka kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Indonesia menjelaskan kejadian ini sebagai sebuah serangan yang tak beralasan terhadap “serdadu-serdadu yang tak bersenjata”.585 Para anggota Falintil menguraikannya sebagai sebuah levantamento (pemberontakan), serangan gabungan Hansip- Falintil terhadap ABRI itu dimaksudkan untuk menggugurkan klaim Indonesia bahwa mereka telah mengalahkan Falintil.586 Orang-orang Timor menjelaskan bahwa tentara Indonesia telah membunuh sejumlah penduduk sipil di daerah itu selama gencatan senjata.587 Para anggota batalyon sipur pada waktu itu melecehkan seorang perempuan Timor. Kejadian ini segera memicu sebuah serangan gabungan Falintil-Hansip yang membunuh sekurangnya 12 tentara.588 - 110 - 426. Tanggapan ABRI adalah tindak kekerasan yang dahsyat terhadap penduduk sipil. Anggota Hansip yang terlibat dalam pembunuhan tentara Indonesia itu telah membelot ke Falintil.* Penduduk sipil dari desa telah melarikan diri - sebagian, yang kebanyakan adalah para lelaki yang cukup kuat, ke hutan, dan sebagian lainnya ke Viqueque. Pasukan dari Batalyon 501 memburu mereka. Para lelaki dikumpulkan dan ditembak di daerah Tahuben. Kelompok lebih kecil yang kebanyakan terdiri atas para lelaki tua, perempuan dan anak-anak ditangkap di Viqueque dan ditembak di sebuah lokasi dekat Buikarin. Laporan-laporan tentang korban mati pada waktu itu melebihi 200 orang.589 Militer Indonesia sendiri mengakui 80 orang. 590 Pada tahun 1985, Uskup Belo kemudian mendaftar nama 84 korban mati.591 Orang-orang yang selamat dipaksa tinggal di Lalerek Mutin, dimana diperkirakan ada sebagian besar orang meninggal akibat kelaparan dan penyakit.592 Sampai saat ini, Kraras dikenal sebagai ‘desa para janda’.593 427. Gencatan senjata selesai. Karena “solusi damai”-nya telah gagal, Kolonel Purwanto pun digantikan oleh Kolonel Rudito.594 Pada tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Moerdani mengumumkan berbagai rencana barunya untuk menghancurkan Gerakan Perlawanan: Kali ini kita akan memukul mereka tanpa ampun.595 428. Operasi Persatuan dimulai pada bulan September 1983.† Operasi ini memfokuskan diri ke wilayah Timur dimana Falintil masih kuat, dan menampilkan Kopassandha sebagai pasukan garis depan untuk pertama kalinya, dengan didukung kuat oleh kekuatan udara.596 Satu penyebab bagi hal ini mungkin adalah pembelotan massal Hansip ke Falitintil setelah peristiwa Kraras.597 Militer Indonesia kekurangan tenaga manusia dan sangat tidak mempercayai para prajurit asal Timor. Operasi ini memicu terjadinya perpindahan besar-besaran orang-orang ke kota. 429. Operasi-operasi ICRC berhenti di wilayah daratan utama, dibatasi hanya di pulau Ataúro. Orang-orang garis keras militer sekali lagi berkuasa.598 Gereja Katolik merupakan satu-satunya lembaga independen yang tersisa di Timor-Leste. Tetapi Gereja di Timor-Leste sangat terisolasi dari Gereja di Indonesia dan Vatikan, yang umumnya bungkam tentang situasi hak asasi manusia di wilayah ini. Pada tahun 1983, untuk pertama kalinya konferensi Keuskupan Indonesia mengungkapkan dukungan bagi rakyat Timor-Leste yang menderita dan menyerukan adanya pengertian dan kejujuran dari para pembuat kebijakan.599 Meski ini bisa menjadi sebuah permulaan yang signifikan, namun Konferensi Keuskupan itu kemudian menjaga jarak dari posisi dukungan ini. * Suatu pengaruh tambahan yang menyebabkan pembelotan Hansip tersebut mungkin adalah kebijakan militer pada waktu itu yang menurunkan pangkat Hansip/Wanra menjadi Ratih. Ratih memiliki status yang lebih rendah dan tidak dibayar. Lihat Korem 164 Insop/03/II/1982 tentang Perlawanan Rakyat Terlatih, hal. 16-18. † Juga dikenal sebagai Operasi Sapu Bersih. - 111 - 3.17 Konsolidasi dan awal perubahan: 1984-1991 Tinjauan 430. Sepanjang bagian besar dasawarsa 1980-an, Timor-Leste tetap tertutup bagi dunia luar. Falintil meneruskan resistensi gerilya bersenjata dan kehadiran ABRI/TNI di wilayah tersebut tetap tinggi. Akan tetapi operasi militer besar berkurang pada paruh kedua dasawarsa tersebut, dan Pemerintah Indonesia berupaya untuk “menormalisasikan” wilayah ini dengan menjalankan sejumlah kebijakan dan program nasional penting, termasuk kebijakan transmigrasi dan pendidikan. 431. Proses restrukturisasi Resistensi yang dimulai pada tahun 1981 terus berlanjut sepanjang dasawarsa ini. Pada tahun 1983 persatuan nasional diumumkan sebagai kebijakan Resistensi, dan pada tahun 1988 Dewan Nasional Resistensi Maubere (CNRM) menjadi badan tertinggi Resistensi, dengan tujuan untuk membangun basis nasionalis. Falintil dipisahkan dari Fretilin, dan Panglimanya Xanana Gusmão mengundurkan diri dari partai, sebagai upaya lebih jauh untuk menunjukkan pendekatan yang inklusif ini. 432. Dom Carlos Felipe Ximenes Belo menggantikan Monsignor Martinho Lopes da Costa sebagai Administrator Apostolik dari Diosis Dili, dan pada tahun 1988 dinobatkan sebagai Uskup. Selama dasawarsa tersebut, ia menjadi semakin lantang dalam membela rakyat Timor-Leste, dan suratnya pada akhir tahun 1988 kepada Sekretaris Jenderal PBB yang menyerukan PBB untuk memenuhi tugas dekolonisasinya di Timor-Leste berdampak besar secara internasional. 433. Gerakan pemuda Resistensi mulai tumbuh sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, khususnya di sejumlah sekolah di Dili. Karena banyak mahasiswa Timor-Leste yang kuliah di Indonesia, gerakan ini meluas ke organisasi mahasiswa pada akhir dasawarsa tersebut. Aktivisme pemuda sangat menonjol selama kunjungan Paus Yohanes Paulus II di akhir tahun 1989. Baik Pemerintah Indonesia maupun Resistensi berupaya untuk memanfaatkan kunjungan Paus di Timor-Leste ini untuk meraih keuntungan politis bagi masing-masing pihak, karena kunjungan tersebut memiliki arti rohani yang penting bagi masyarakat yang sebagian besar beragama Katholik. Para mahasiswa dari gerakan klandestin yang tengah berkembang mengambil kesempatan ini untuk memberitahukan Paus dan media internasional yang menyertainya mengenai hasrat mereka untuk penentuan nasib sendiri, dengan mengadakan demonstrasi publik besar-besaran pertama sejak invasi Indonesia tahun 1975. Ini menjadi awal dari sebuah siklus demonstrasi dan penumpasan pada dasawarsa 1990-an. 434. Secara umum PBB tidaklah begitu efektif selama periode ini dalam upaya mencari solusi politik yang langgeng mengenai masalah Timor-Leste. Warga Timor-Leste dalam diaspora dan masyarakat sipil internasional mengandalkan Komite Dekolonisasi dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk tetap mempertahankan persoalan ini dalam agenda PBB. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tanggal 9 November 1989, dan menandai akhir dari konteks Perang Dingin yang telah mewarnai konflik ini sejak invasi dan pendudukan Timor-Leste, peristiwa ini membawa harapan baru bagi penyelesaian damai dan pasti mengenai konflik ini. Perkembangan Resistensi 435. Pada awal dasawarsa 1980-an sebagian besar penduduk sipil melakukan urbanisasi dan bermukim di berbagai kota dan desa, daripada ikut Falintil di gunung-gunung. Menjelang pertengahan dasawarsa 1980-an masa penahanan massal telah lewat. Indonesia memulai proses normalisasi di Timor-Leste. Berbagai lembaga negara seperti pemerintah provinsi, parlemen daerah, dan berbagai departemen pelayanan masyarakat telah didirikan, dengan pegawai dan mulai berfungsi. Hal ini membuat Indonesia mulai dapat menjalankan sejumlah program pembangunan nasionalnya di Timor-Leste, sehingga ada benarnya bahwa Indonesia - 112 - melaksanakan program yang membawa pembangunan di wilayah ini pada periode ini. Akan tetapi, penilaian yang lebih seksama mengenai berbagai program ini menunjukkan adanya penekanan pada infrastruktur pendudukan, khususnya pembangunan jalan dan gedung pemerintahan. Bidang lain yang mendapat anggaran pembiayaan pemerintah yang cukup penting adalah pembangunan sekolah.( Lihat Bab 7.9.: Hal-hak Sosial dan Ekonomi Dan Bagian 4: Rejim Pendudukan). Indonesia mempunyai haraoan tinggi bisa menarik simpati pemuda Timor. 436. Perubahan-perubahan visi dan struktur Resistensi pada tahun 1981 dan 1983 memerlukan waktu untuk menjadi matang. Sementara itu Xanana Gusmão berupaya untuk mengambil serangkaian langkah praktis bagi masa depan jangka panjang Resistensi. Pada tanggal 7 September 1985, pemuda Katolik menulis secara rahasia kepada Xanana Gusmão, untuk meminta klarifikasi tentang posisi Resistensi mengenai masa depan perjuangan dan segala tantangan yang dihadapinya. Xanana Gusmão menulis sebuah tanggapan yang rinci dalam pesannya tanggal 20 Mei 1986 kepada Pemuda Katolik di Timor-Leste dan Mahasiswa di Indonesia.600 Ia menyerukan para pemuda untuk tetap teguh memegang identitas Timornya dan perjuangan akan hak-haknya. Pesan ini menunjukkan betapa Gusmão menganggap penting generasi muda dalam reposisi Resistensi. 437. Pada bulan Desember 1988, Xanana Gusmão membuat berbagai perubahan fundamental dalam Resistensi, dalam apa yang dikenal sebagai Penyesuaian Kembali Struktur Resistensi atau RER. Berbagai perubahan ini dimaksudkan untuk memperkuat upaya membangun basis Resistensi nasional seluas-luasnya. CRRN dibubarkan, dan digantikan oleh Dewan Nasional bagi Resistensi Maubere (Concelho Nacional da Resistência Maubere, CNRM), yang dimaksudkan untuk menjadi organisasi yang memayungi semua partai politik yang mendukung kemerdekaan. Falintil dideklarasikan sebagai tentara nasionalis yang netral, dan tidak lagi sebagai bagian dari Fretilin. Xanana Gusmão sendiri mengundurkan diri dari Fretilin, untuk menjadi Presiden CNRM, sementara terus menjadi Panglima Falintil.601 Pembentukan CNRM merupakan langkah besar menuju konsolidasi dan memberi mekanisme politik praktis pada gagasan persatuan nasional. Selama dasawarsa 1980-an, berbagai kelompok klandestin mulai menjamur, khususnya di kota-kota. Jumlah kelompok ini meningkat selama akhir dasawarsa 1980-an, namun karena faktor bahayanya kegiatan klandestin ini sebagian besar berupa kelompok kecil dan terisolasi, dengan hanya sedikit jaringan yang berbasis luas. Sadar akan hal ini, CNRM lalu membentuk Comité Executivo da CNRM na Frente Clandestina (Komite Eksekutif CNRM bagi Front Klandestin, atau yang lebih dikenal sebagai Comité Executivo, CE) pada tahun 1990.602 Tugas CE adalah untuk mengkoordinasikan, mengarahkan dan memantau segala kegiatan bawah tanah. Komite ini membangun hubungan dengan kelompok-kelompok bawah tanah di seluruh Timor-Leste atau di luar negeri, termasuk di Indonesia.603 438. Berbagai perubahan pada gerakan Resistensi ini juga memperkuat front diplomatik eksternal, diaspora internasional orang Timor-Leste dan masyarakat sipil internasional. Pada tahun 1983, setelah ada larangan Pemerintah Australia sejak masa invasi Indonesia, sebuah delegasi Fretilin berhasil melakukan kunjungan ke Australia dan berbicara di hadapan 1.500 hadirin dari berbagai kalangan di Melbourne. Hal ini memberi banyak semangat kepada warga Timor-Leste di Australia, yang sampai saat itu kesulitan untuk mempengaruhi publik Australia tanpa dukungan langsung dari para pemimpin kunci.604 Pada dasawarsa 1980-an, warga Timor- Leste yang lari dari Timor-Leste pada dasawarsa 1970-an sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru seperti Portugal dan Australia, dan menjadi lebih efektif dalam perjuangan bagi pengakuan internasional.( Lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri) 439. José Ramos-Horta terus melakukan kunjungan ke mana-mana, untuk memupuk dukungan di setiap Negara yang ia kunjungi. Ia bekerja keras untuk menggalang dukungan masyarakat sipil internasional serta melalui jalur-jalur diplomatik resmi. Misalnya, kunjungannya ke Jepang pada bulan Maret 1985 adalah atas undangan beberapa kelompok warga masyarakat Jepang, dan dia dapat memperkenalkan masalah Timor-Leste langsung ke publik Jepang.605 Dengan dukungan dan terkadang bimbingan berbagai kelompok masyarakat sipil, warga Timor- 113 - Leste lainnya juga meningkatkan upaya lobi internasional yang lebih luas selama dasawarsa 1980-an.* Represi dan pemenjaraan 440. Tanggapan Indonesia atas semakin menguatnya perlawanan klandestin selama dasawarsa 1980-an adalah dengan meningkatkan fokus kepada Resistensi dan mencari cara untuk melenyapkannya. Salah satu caranya adalah dengan membawa tahanan politik Timor- Leste keluar wilayah ini. Pada tahun 1983, 69 orang tahanan yang diduga terlibat dalam pemberontakan Kraras dibawa dari penjara Balide ke Kupang di Timor Barat, Indonesia. Hanya empat belas dari tahanan ini kembali ke Timor-Leste.606 Para tahanan, yang biasanya adalah tersangka anggota resistensi klandestin, sering dipindahtangankan dari satu aparat keamanan ke aparat lain, dan siksaan dan penganiayaan merupakan hal biasa. Selama periode ini, para tahanan terkadang dibawa ke berbagai tempat seperti Bali untuk diinterogasi.607 Sebagai konsesi bagi normalisai prosedur administrasi selama dasawarsa 1980-an, para tahanan politik kadang kala dibawa ke pengadilan untuk diadili. Namun, pengadilan-pengadilan seperti ini sering kali hanya merupakan sekedar bayang-bayang dari keadilan dan tidak terlalu mempedulikan hak-hak para tersangka. 441. Penjara Cipinang di Jakarta yang dijaga ketat digunakan untuk menahan para tahanan Timor-Leste selama periode ini. Komisi mendengarkan kesaksian dari aktivis hak asasi manusia Indonesia Ade Rostina Sitompul, yang menjadi pengunjung reguler tahanan Timor-Leste di penjara Cipinang mulai tahun 1987. Dia mengatakan kepada Komisi bahwa pada tahun 1987, terdapat 47 tahanan politik Timor-Leste di Cipinang, dan kondisi pengamanan terhadap mereka jauh lebih ketat dibandingkan para tahanan yang lain.608 Jauh dari keluarga menjadi penderitaan terberat bagi para tahanan Timor-Leste yang dibawa ke penjara-penjara di Jawa atau daerah lain di Indonesia. (Lihat Bab 7.6: Pengadilan Politik) Kebangkitan gerakan pemuda klandestin 442. Pada pertengahan dasawarsa 1980-an sejumlah sel klandestin pelajar dibentuk di berbagai Sekolah Menengah di Dili. Sekitar tahun 1986, OJECTIL (Organização de Juventude Católica de Timor-Leste, Organisasi Pemuda Katolik Timor-Leste)† dibentuk oleh para aktivis pelajar yang berbasis di Externato de São José,609 yang kemudian menjadi organisasi berbasis nasional. Banyak di antara para siswa ini menjalani masa kanak-kanaknya di hutan selama masa invasi dan perang besar-besaran. Banyak yang memiliki hubungan keluarga dengan anggota Resistensi di hutan.610 Mereka membentuk apa yang akan menjadi dasar bagi generasi baru resistensi yang akan terus berlanjut pada dasawarsa 1990-an. 443. Pada tahun 1986, Universitas Timor-Leste (Untim), Perguruan Tinggi pertama di Timor- Leste, dibuka di Dili. Sebelumnya, pada tahun 1985, Gubernur Mário Viegas Carrascalão menjalankan kebijakan pendidikan yang memperluas kesempatan mahasiswa Timor-Leste melanjutkan pendidikannya di berbagai universitas di Indonesia. Ini merupakan perkembangan penting dalam kesempatan pendidikan bagi anak-anak muda Timor-Leste, dan berdampak penting pada hubungan antara kalangan nasionalis dan aktivis hak asasi manusia Timor-Leste dan rekan-rekan mereka dari Indonesia. (Lihat Bab 7.1: Hak Penentuan Nasib Sendiri, bagian Masyarakat Sipil.) * Beberapa contoh adalah kunjungan ke Konferensi Pasifik yang Bebas Nuklir dan Merdeka di Vanuatu tahun 1983 oleh Abilío Araújo dan Roque Rodrigues, dan ke Konferensi Perempuan Dunia di Nairobi oleh Emilia Pires dan Ines de Almeida tahun 1985. † Seteah 1991 OJECTIL berganti nama menjadi OJETIL (Organização de Juventude de Timor-Leste), yang menghapus kata Católica, untuk mengedepankan ciri nasionalisnya. - 114 - 444. Kelompok Mashasiswa Klandestin Renetil (Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste, Resistensi Nasional Pelajar Timor-Leste) berdiri pada tahun 1988 di Bali, dan beroperasi di Bali dan Jawa.611 Dalam suasana kontrol yang ketat atas kegiatan politik mahasiswa pada jaman rezim Orde Baru, mahasiswa Timor-Leste juga mendirikan sebuah organisasi yang lebih moderat, yakni Impettu (Ikatan Mahasiswa, Pemuda, dan Pelajar Timor- Leste) untuk beroperasi sebagai wadah mahasiswa Timor-Leste di Indonesia yang lebih dapat diterima oleh penguasa. Ini menjadi alat penting bagi aktivisme mahasiswa selama dasawarsa 1990-an.612 Gereja Katolik 445. Pada tahun 1983, Carlos Filipe Ximenes Belo menjadi Administrator Apostolik diosis Dili, menggantikan Monsignor Martinho da Costa Lopes sebagai kepala Gereja di Timor-Leste. Walau mendapat tekanan dari Indonesia, Vatikan tetap menolak untuk mengakui Timor-Leste sebagai bagian dari Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1988 Belo diberi gelar Uskup Lorium, sebuah diosiis di Itali yang sudah tidak berjalan lagi.613 446. Monsignor Belo tidak banyak dikenal di Timor-Leste ketika ia mulai menjalankan posisinya sebagai kepala Gereja. Dia berada di luar negeri belajar di Portugal dari tahun 1968 sampai 1974, dan sekali lagi dari bulan Agustus 1975 sampai tahun 1981, ketika ia kembali ke Kolese Fatumaca di Baucau. Seperti pendahulunya Martinho Lopes, Belo segera membuktikan diri sebagai pemimpin yang independen, dan tidak akan tinggal diam menyaksikan kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Baru berusia empat puluh tahun ketika diangkat menjadi uskup, Belo memusatkan perhatian keuskupannya pada pemuda Timor-Leste. Mulai akhir dasawarsa 1980- an sampai akhir dasawarsa 1990-an, tugas sehari-hari sebagai uskup membuat dia selalu sadar tentang memanasnya ketegangan antara para pemuda Timor-Leste yang ingin mendapat kebebasan lebih banyak dan aparat militer Indonesia yang berupaya menumpas segala tanda resistensi pemuda. Di tahun-tahun berikutnya kediaman Uskup Belo menjadi tempat berlindung bagi banyak pemuda yang mencari perlindungan dari militer dan agen-agennya. 447. Pada bulan Februari 1984, karena sangat tersentuh dengan dampak operasi “Pagar Betis” militer Indonesia, ia menulis kepada Lopes, menceritakan buruknya kondisi orang-orang yang terkepung oleh kampanye ini, dan orang-orang lain yang dipenjarakan, serta pihak militer yang menjadikan berbagai Sekolah Katolik sebagai sasaran penggeledahan dan interogasi para siswanya.614 Pada tahun 1985 ia dengan lantang berbicara menentang program Keluarga Berencana Pemerintah Indonesia, yang ia pandang dipaksakan terhadap rakyat Timor-Leste.615 448. Pada tahun 1988, ketika pasukan keamanan melancarkan pembersihan yang represif sebelum kunjungan singkat Presiden Soeharto ke wilayah ini, Uskup Belo merespon dengan menyiapkan sebuah pernyataan yang akan dibacakan di seluruh gereja di wilayah ini pada tanggal 5 Desember: Kami tidak setuju dengan sistem yang biadab ini dan mengutuk kebohongan propaganda yang mengatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak ada di Timor- Leste.616 449. Surat ini sampai ke kalangan pers internasional, dan dikutip di the New York Times pada tanggal 22 Januari 1989. 450. Pada tanggal 6 Februari 1989, Uskup Belo menulis sebuah surat yang lebih mengesankan lagi, kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Javier Perez de Cuellar. Dalam surat itu ia meminta Sekretaris Jenderal “untuk memulai proses dekolonisasi yang demokratis dan sesungguhnya di Timor-Leste untuk diwujudkan melalui referendum.”617 Ia menyangkal klaim Indonesia bahwa rakyat Timor-Leste telah memilih untuk berintegrasi, - 115 - menganggap bahwa Portugal melihat berjalannya waktu sebagai solusi, dan menyatakan bahwa “sementara itu kami perlahan mati sebagai suatu bangsa dan negara.” Surat ini dikirimkan dari luar Timor-Leste karena alasan keamanan. Walaupun tidak mendapat tanggapan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa selama bertahun-tahun, surat ini memberi dampak yang berarti. Bagi Uskup Belo ini mendatangkan tekanan yang besar baik dari penguasa Indonesia maupun dari Vatikan.618 Situasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa 451. Pada tahun 1982 keadaan politik di Portugal mengalami perkembangan penting yang pada waktunya memberi dampak bagi perjuangan penentuan nasib sendiri di Timor-Leste. Partai Sosialis Mário Soares mengambil alih pemerintahan dan secara efektif mengakhiri masa ketidakstabilan dan kelumpuhan yang telah menjangkiti politik Portugis sejak Revolusi Bunga tahun 1974. Tidak lama kemudian, pemerintahan Mário Soares mengaktifkan kembali dukungan bagi pejuangan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste, dan penerusnya menggunakan sebaik-baiknya posisi baru Portugal di Uni Eropa untuk mendukung perjuangan ini.( Lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri.) 452. Pada tahun 1982, apa yang sebelumnya adalah peristiwa tahunan Majelis Umum, yakni resolusi yang menyerukan penentuan nasib sendiri bagi Timor-Leste, hampir saja dikalahkan; resolusi ini didukung oleh 50 negara, ditentang oleh 46, dengan 50 lainnya tidak memberi suara. Mosi ini juga mengimbau Sekretaris Jenderal untuk memulai pembicaraan dengan semua pihak terkait untuk “mencapai penyelesaian yang menyeluruh mengenai masalah Timor-Leste.”619 453. Hal ini tampaknya menjadi kemenangan diplomatik yang berarti bagi Indonesia. Komisi mendengarkan kesaksian dari Mantan Pejabat Senior PBB Francesc Vendrell bahwa ini merupakan masa ketika dalam komunitas internasional: Tidak ada yang percaya bahwa orang Timor…benar-benar dapat melawan dan…semuanya percaya bahwa hanyalah soal waktu sebelum Timor-Leste diakui oleh semuanya sebagai bagian dari Indonesia.620 454. Sejumlah warga Timor-Leste di pengasingan di luar negeri memberi kesaksian kepada PBB selama masa ini. Upaya diplomatik ini dipimpin oleh José Ramos-Horta. Ian Martin, Sekretaris Jenderal Amnesty International dari tahun 1986 sampai 1992, mengenang José Ramos-Horta di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada masa itu: Saya ingat bagaimana José Ramos-Horta terlihat sendiri tanpa teman di Aula Delegasi di Perserikatan Bangsa- Bangsa di New York, ketika hampir semua diplomat yakin bahwa hanyalah soal waktu sebelum penggabungan oleh Indonesia atas Timor-Leste diterima oleh komunitas internasional seutuhnya…621 455. Pada tahun 1983, perdebatan mengenai Timor-Leste ditangguhkan untuk memberi waktu bagi Sekretaris Jenderal memperoleh kemajuan dalam konsultasinya untuk mencapai solusi yang tuntas. Namun sebenarnya, Portugal takut untuk membawanya ke Majelis Umum setelah hampir kalah pada tahun 1982. Sekretaris Jenderal pada waktu itu Javier Perez de Cuellar menafsirkan para pihak yang terlibat dengan sempit, yakni hanya Portugal dan Indonesia. Para pemimpin Timor-Leste sama sekali tidak dilibatkan. Apa yang disebut perundingan tigapihak pertama antara Portugal, Indonesia dan perwakilan PBB diadakan pada tahun 1983. Mereka tidak mencapai banyak kemajuan dalam berbagai pembicaraan ini, karena tidak ada pihak yang mau mengalah. - 116 - 456. Walaupun persoalan Timor-Leste disahkan dalam agenda Majelis Umum PBB setelah 1983, selama dasawarsa 1980-an terdapat dua mekanisme penting bagi pembahasan internasional mengenai persoalan Timor-Leste, yakni Komisi Hak Asasi Manusia dan Komite Khusus untuk Dekolonisasi PBB. Pada tahun 1985, persoalan ini dihapuskan dari agenda Komisi Hak Asasi Manusia. Komisi mendengar kesaksian dari Francesc Vendrell mengenai inisiatifnya untuk memperbolahkan Komisi Khusus PBB untuk Dekolonisasi untuk menampung berbagai submisi baik dari sejumlah lembaga non-pemerintah maupun pemerintah.622 Ini memungkinkan antara 20 sampai 25 LSM internasional untuk melakukan perjalanan tahunan ke New York untuk mengajukan petisi kepada Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi untuk mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor-Leste. Sejumlah LSM internasional besar sering kali menyerahkan waktu bicara mereka bagi para utusan asal Timor-Leste (Lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri, bagian Masyarakat Sipil.) Hal ini mungkin menjadikan Timor-Leste sebagai topik yang paling diperdebatkan oleh Komite Dekolonisasi. Pada tanggal 14 September 1989, Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar menerbitkan laporan mengenai kemajuan yang sudah dicapai, dan menyimpulkan bahwa usulan kunjungan ke Timor-Leste oleh Misi Parlemen Portugal akan dapat membantu dalam upaya mencari solusi yang bisa diterima secara internasional. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II 457. Kunjungan Paus Johanes Paulus II ke Timor-Leste pada tanggal 12 Oktober 1989 merupakan peristiwa yang menggembirakan dan melegakan bagi banyak orang di wilayah yang tertindas ini. Ini juga merupakan suatu peristiwa bersejarah, karena baru kali ini Timor-Leste mendapat kunjungan seorang kepala negara sepanjang masa pendudukan Indonesia. Kontingen besar media internasional yang menyertai kunjungan Sri Paus memberi kesempatan publisitas yang belum pernah ada sebelumnya selama empat belas tahun pendudukan. Harapan orangorang sangat tinggi. Para pendukung kemerdekaan menantikan suatu kecaman atas pendudukan Indonesia. Indonesia menantikan pengakuan integrasi dan penggabungan Gereja Timor-Leste ke dalam Konferensi Wali Gereja Indonesia. Simpati Paus terhadap tekanan yang dihadapi oleh para rohaniwan Gereja Timor ditunjukkan dalam sebuah pertemuan antara mereka yang juga dihadiri oleh pihak berwenang Indonesia; muncul sebuah pertanyaan mengenai bahasa apa yang akan digunakan dalam pertemuan tersebut, dan agar terdapat kerahasiaan antara Sri Paus dan para pastor Timor-Leste, bahasa Italia dipilih. Sebagian besar rohaniwan Timor pernah belajar di Roma.623 458. Sri Paus meniti sebuah garis diplomatik yang rumit selama di Timor-Leste, dengan tidak menunjukkan posisi yang jelas mengenai status politik wilayah ini. Dia secara terbuka mengakui penderitaan orang Timor, dan mendatangkan kenyamanan spiritual dan moral bagi banyak orang. Dalam khotbahnya Paus Johanes Paulus II mengatakan: Apakah makna dari menjadi garam di bumi dan cahaya dunia di Timor hari ini? Sudah selama bertahun-tahun hingga saat ini, anda telah mengalami kehancuran dan kematian sebagai akibat konflik; anda sudah tahu apa artinya menjadi korban kebencian dan perjuangan. Banyak orang yang tidak berdosa meninggal, sementara yang lainnya terus menjadi mangsa pembalasan dan dendam…Penghormatan bagi hak-hak yang menjadikan hidup lebih manusiawi harus dengan tegas dijamin; hakhak perorangan dan hak bagi keluarga-keluarga. 624 459. Sebelum kunjungan tersebut, pihak berwenang Indonesia telah menahan sejumlah aktivis pemuda untuk mencegah kemungkinan terjadinya demonstrasi selama kunjungan Sri Paus.625 Berbagai upaya ini terbukti tidak berhasil, dan demonstrasi yang kemudian terjadi menjadi peristiwa penting dalam kegiatan gerakan klandestin pemuda. - 117 - 460. Ketika Paus Johanes Paulus II merampungkan misanya yang diperkirakan dihadiri sekitar 100.000 orang di Tasitolu di sebelah Barat kota Dili, sekelompok kecil pemuda merentangkan sejumlah spanduk dan meneriakkan slogan yang menyerukan kemerdekaan dan hak asasi manusia. Terjadi beberapa bentrokan dengan aparat keamanan dan polisi Indonesia yang menjadi sebuah peristiwa memalukan bagi Indonesia. 461. Ini merupakan demonstrasi terbuka pertama dalam sebuah kunjungan internasional sejak masa invasi Indonesia. Hal ini semakin memberanikan para pemuda dan mengakibatkan tumbuhnya sejumlah kelompok baru dan mendorong kerja sama di antara mereka. Pemimpin pemuda klandestin Constancio Pinto belakangan menulis: Tahun 1989 menandakan awal aksi non-kekerasan di kota-kota dan pedesaan. Sebelumnya, walaupun orangorang terorganisir dalam kelompok-kelompok kecil, wawasan mereka hanya terbatas pada sel-sel mereka sendiri. Terkadang mereka merasa, ‘Apakah hanya kita yang berjuang untuk ini? Bagaimana dengan yang lain?’ Ketika gerakan-gerakan protes mulai terjadi, orang-orang tiba-tiba membuka pikiran dan persepsi mereka: “Bukan hanya kita yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri! Yang lain juga!” Selanjutnya semakin mudah bagi kita. Ketika kita mulai mendekati mereka, kita bisa mengatakan bahwa kita sudah melakukan ini, jadi mari kita lakukan ini bersama.626 462. Pihak penguasa Indonesia menahan banyak orang pada hari-hari sesudah demonstrasi ini dalam upaya untuk menumpas munculnya tanda resistensi baru ini. Komisi mendengar banyak kesaksian mengenai interogasi dan penyiksaan.627 463. Ketika Duta Besar Amerika Serikat John Monjo datang ke Timor-Leste pada bulan Januari 1991 dalam misi pencarian fakta mengenai dugaan penahanan dan penyiksaan yang terjadi setelah demonstrasi pada saat kunjungan Sri Paus, terjadi demonstrasi di luar Hotel Turismo dimana ia menginap. Lusinan anak muda meneriakkan slogan menentang pendudukan Indonesia dan menyerahkan sebuah pernyataan tertulis kepada PBB untuk menjalankan sebuah referendum mengenai status politik Timor-Leste. Pemimpin pemuda Gregorio Saldanha menceritakan kepada Komisi: Demonstrasi [pada saat kunjungan] Duta Besar AS berlangsung selama tiga hari. Hari pertama hanya ada beberapa orang, pada hari kedua semakin banyak yang ikut, dan pada hari ketiga bukan hanya yang muda-muda, tetapi yang tua juga ikut, termasuk ibu-ibu, yang berdoa dengan rosario di jalanan.628 464. Lebih banyak penangkapan dan penyiksaan terjadi setelah serangkaian demonstrasi ini, dan pihak intelijen Indonesia menggandakan upaya mereka untuk mengendalikan gerakan klandestin pemuda.629 Jakarta membuka Timor-Leste 465. Ketika Presiden Soeharto menandatangani keputusan pada bulan Desember 1988 yang memberi Timor-Leste “status yang setara” dengan ke-26 provinsi lainnya di Indonesia, wilayah ini yang sebelumnya benar-benar tertutup bagi pengunjung internasional, kini dibuka.630 Hal ini memberi kesempatan baru bagi rakyat Timor untuk berhubungan dengan dunia luar. Walaupun berada jauh dari jalur pariwisata Asia, antara tahun 1989 dan 1991 lebih dari 3000 pengunjung - 118 - internasional datang ke Timor-Leste. Ini termasuk wartawan, pekerja LSM dan aktivis yang berkunjung dengan visa turis, yang membawa informasi masuk dan keluar dan banyak di antaranya menjadi pendukung lantang setelah melihat situasi di Timor-Leste (lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri). 466. Pada bulan September 1990, pengacara dan aktivis buruh Australia Robert Domm berkunjung ke Timor-Leste dan dengan bantuan jaringan klandestin berhasil mewawancara Xanana Gusmão di persembunyiannya di gunung. Wawancara ini merupakan wawancara langsung pertama dengan pemimpin gerilya. Wawancara ini disiarkan oleh Australian Broadcasting Commision (ABC) dan semakin meningkatkan pamor dan status internasional Xanana Gusmão.631 Pembalasan militer Indonesia terhadap orang-orang yang turut membantu mengadakan wawancara ini sungguh kejam. 467. Jumlah orang Timor-Leste yang belajar dan bekerja di Indonesia juga meningkat sebagai konsekuensi pembukaan Timor-Leste ini. Hal ini memungkinkan kalangan nasionalis Timor di antara mereka untuk membangun hubungan dengan masyarakat sipil Indonesia dan mancanegara yang bekerja atau tengah berkunjung ke Jakarta, termasuk para wakil media. Hal ini memberi dampak mendalam kepada gerakan hak asasi manusia dan pro-demokrasi baik di Indonesia dan Timor-Leste pada dasawarsa 1990-an.632 Perkembangan Internasional menjelang akhir dasawarsa 1980-an Perjanjian Celah Timor 468. Pada tanggal 11 Desember 1989, Pemerintah Australia dan Indonesia menandatangani sebuah perjanjian tentang eksploitasi sumber daya alam Celah Timor. Hal ini tidak mengejutkan Xanana Gusmão, yang sebelumnya sudah mengkritik Pemerintah Australia dalam berbagai pesannya sejak tahun 1986, ketika ia mengatakan bahwa Australia berupaya mencari solusi mengenai persoalan Timor-Leste untuk mendapatkan akses ke sumber daya alam di Laut Timor.633 Organisasi-organisasi hak asasi manusia, para wartawan dan aktivis di seluruh dunia mengkritik perjanjian tersebut, dan hal ini menjadi sumber pertentangan yang terus-menerus. Upacara penandatanganan dilakukan di atas pesawat yang terbang melintas di atas Laut Timor, dan foto Menteri Luar Negeri Gareth Evans dan Ali Alatas menjadi alat paling disukai gerakan solidaritas internasional dalam upayanya untuk menyorot segala ketidakadilan dalam persoalan Timor-Leste.* Akhir Perang Dingin 469. Runtuhnya Tembok Berlin pada tanggal 9 November 1989 secara dramatis menandai akhir dari Perang Dingin. Ini juga mengakhiri konteks geopolitis yang mewarnai konflik sejak masa invasi tahun 1975. Gerakan sosial untuk kebebasan di seluruh dunia juga mendorong semangat banyak warga Timor-Leste. Dogma yang diusung oleh banyak kalangan komunitas internasional bahwa pendudukan dan integrasi Indonesia atas Timor-Leste tidak dapat dicegah, walaupun tidak sah secara hukum, tampak semakin sulit untuk dipertahankan. Dunia sedang mengalami perubahan. * Perjanjian ini dibatalkan oleh Australia dan Indonesia pada tahun 1999, dan digantikan dengan Kesepakatan Laut Timor antara Australia dan Timor-Leste yang baru merdeka tahun 2002. - 119 - 3.18 Titik Balik Tinjauan 470. Gerakan kemerdekaan Timor-Leste berubah pada dasawarsa 1990-an. Fokus bergeser dari kampanye gerilya ke kampanye diplomatik, dengan dukungan kuat dari berbagai kelompok mahasiswa di Timor-Leste dan Indonesia, dan dukungan internasional yang semakin meningkat. Pergeseran ini didukung oleh tiga kejadian penting: Pembantaian Santa Cruz, penangkapan Xanana Gusmão, dan penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Uskup Belo dan José Ramos-Horta. 471. Pembantaian Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991 mengubah secara permanen cara dunia memandang pendudukan Timor-Leste oleh Indonesia. Difilmkan oleh media asing yang hadir untuk kunjungan delegasi Parlemen Portugis, serangkaian gambar pembunuhan massal berdarah dingin terhadap anak-anak muda memobilisasi sebuah era baru gerakan solidaritas internasional sehingga tidak memungkinkan lagi pemerintah-pemerintah dunia untuk mengabaikan penindasan di Timor-Leste. Film ini juga menunjukkan ketidaksenangan generasi muda Timor-Leste terhadap rezim Indonesia, yang mengklaim telah berhasil merebut hati dan pikiran mereka. 472. Xanana Gusmão tertangkap pada bulan November 1992. Setelah diadili dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dia tetap memimpin Resistensi dari penjara Cipinang di Jakarta. Resistensi memperlebar langkah-langkah diplomatik berdasarkan pada keinginan tanpa syarat untuk berdialog dengan Indonesia. Rencana Damai CNRM dilancarkan pada tahun 1993 untuk mendorong usaha ini. Xanana Gusmão semakin diterima oleh masyarakat internasional sebagai figur penting dalam pencarian solusi damai. Setelah Santa Cruz, dialog tripartit yang disponsori PBB antara Portugal dan Indonesia dihidupkan kembali. 473. Selama dasawarsa 1990-an, gerakan mahasiswa di Timor-Leste dan Indonesia semakin menguat dan menjadi amat penting bagi perjuangan kemerdekaan. Di Timor-Leste, para aktivis masih mengalami penindasan, namun berjuang agar suara mereka didengar. Di Indonesia, para mahasiswa Timor-Leste membangun hubungan yang baik dengan para aktivis hak asasi manusia dan pro-demokrasi Indonesia dan melakukan sejumlah kampanye yang efektif untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang perjuangan penentuan nasib sendiri yang sedang berlanjut. 474. Pada bulan Oktober 1996, Komite Nobel mengumumkan penganugerahan Hadiah Perdamaian bagi Uskup Belo dan José Ramos-Horta, yang terbukti menjadi sebuah suntikan semangatn bagi perjuangan penentuan nasib sendiri. Kofi Annan mulai menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB pada bulan Januari 1997, dan membawa sebuah pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah Timor-Leste. Pembantaian Santa Cruz, 12 November 1991 475. Pembantaian pemuda Timor-Leste di pemakaman Santa Cruz oleh para serdadu Indonesia pada tanggal 12 November 1991 merupakan sebuah titik balik dalam perjuangan rakyat Timor untuk diakui secara internasional. Untuk pertama kali sejak invasi tahun 1975, kebrutalan militer Indonesia terhadap warga sipil terekam dalam film oleh media internasional. Film yang diselundupkan keluar dari wilayah tersebut beberapa hari setelah pembantaian awal, ditayangkan oleh berbagai televisi di seluruh dunia dan menyingkap keadaan sebenarnya tentang pendudukan Indonesia yang selama itu dicoba disembunyikan oleh Jakarta. Penindasan yang keras oleh militer Indonesia terhadap rakyat Timor-Leste biasa ini tidak lagi bisa disangkal. - 120 - 476. Komisi mendengarkan dari mantan pejabat senior PBB Francesc Vendrell tentang dampak kejadian ini di PBB: Insiden Santa Cruz adalah kejadian bersejarah yang penting bagi Timor-Leste dan mengangkat kembali seluruh masalah Timor-Leste ke kancah politik di PBB. Untuk itu kita sebaiknya menganggap mereka yang meninggal di Pemakaman Santa Cruz sebagai pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan Timor-Leste.634 477. Kejadian di pemakaman Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991, dan hari-hari sesudahnya dicakup dalam bab-bab khusus dalam laporan ini.(Lihat Bab 7.2: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa; Bab 7.4: Penahanan, Penyiksaan, dan Kekerasan Seksual; dan Bab 7.7: Kekerasan Seksual). José Ramos-Horta menceritakan kepada Komisi bahwa film yang diambil oleh Max Stahl tentang kejadian ini adalah bukti kunci, dan setelah itu orang tidak dapat lagi menuduhnya mengarang-ngarang cerita mengenai penindasan terhadap rakyat Timor-Leste yang berusaha mengekspresikan harapan mereka untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan.635 478. Beberapa minggu sebelum terjadinya pembantaian, para aktivis di Timor-Leste tengah mempersiapkan diri untuk kunjungan delegasi parlemen Portugis.636 Terdapat desas-desus tentang rencana pertemuan antara delegasi tersebut dengan Xanana Gusmão, dan harapan sangat tinggi. Gerakan klandestin mempersiapkan demonstrasi. Satu kelompok pemuda menulis berbagai spanduk di halaman Gereja Motael di pantai Dili. Kelompok ini dipantau oleh intelijen Indonesia dan keributan dengan militer Indonesia terjadi pada tanggal 28 Oktober dan salah seorang anggotanya, Sebastião Gomes, ditembak mati. Walaupun kunjungan delegasi Portugis dibatalkan, pada tanggal 11 November Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan, Pieter Koojimans berada di Dili. Gerakan klandestin memutuskan untuk tetap mengadakan demonstrasi untuk mengenang pembunuhan Sebastião Gomes setelah misa pemakaman di Gereja Motael pada pagi hari tanggal 12 November 1991. Ada upaya sungguh-sungguh untuk memastikan agar demonstrasi tersebut berlangsung damai dan tertib.637 479. Tentara, polisi dan agen intelijen Indonesia berjaga di sepanjang jalan-jalan kota Dili selama demonstrasi dari Gereja Motael tersebut, sepanjang pantai dan terus ke selatan ke pemakaman Santa Cruz. Sebagian demonstran berjalan dari Motael, sementara sebagian bergabung di tengah perjalanan dan lebih banyak lagi yang bergabung di pemakaman. Kemudian spanduk dikibarkan yang mengimbau keterlibatan PBB di Timor-Leste, mendukung Xanana Gusmão dan penentuan nasib sendiri. Keadaan sangat menegangkan, karena keterbukaan seperti ini tidak diperkirakan sebelumnya. Ada berbagai kesaksian, namun yang jelas dalam perjalanan seorang tentara Indonesia ditusuk dan dibawa dalam keadaan cedera. Pernyataan resmi Indonesia tentang kejadian tersebut menjelaskan bahwa hal tersebut memprovokasi kemarahan militer dan berlanjut dengan pembantaian. Akan tetapi, bukti tidak mendukung kesimpulan tersebut. Penembakan dimulai ketika para demonstran tiba di pemakaman Santa Cruz. Tentara menembaki dengan senjata-senjata otomatis ke arah demonstrasi damai dan tidak bersenjata, yang banyak di antaranya lari ke kompleks pemakaman tersebut. Komisi mendengar kesaksian bahwa para tentara kemudian mengepung pemakaman Santa Cruz, lalu masuk dan membunuh orang-orang yang tadinya tidak terluka atau hanya terluka ringan dengan menusuk mereka dengan pisau bayonet.638 Simplicio Celestino de Deus, seorang yang berhasil selamat dari pembantaian tersebut, mengatakan kepada Komisi: Banyak yang terbunuh di dalam pemakaman tapi lebih banyak lagi yang terbunuh di luar pemakaman ketika mereka sedang berlari atau diambil dari tempat persembunyiannya di rumah-rumah dan tempat lain, lalu dibunuh.639 - 121 - 480. Banyak pemuda yang diangkut menggunakan truk, ke rumah sakit militer Wira Husada di Lahane, Dili, ke pusat-pusat interogasi, atau dibunuh begitu saja. Ratusan pemuda lari ke kediaman Uskup Belo mencari perlindungan. Uskup Belo menghubungi Gubernur Marío Carrascalão, dan pergi ke Santa Cruz dimana dia melihat sejumlah tubuh orang yang terbunuh dan terluka, dan kemudian mengunjungi Rumah Sakit Wira Husada dimana dia melihat hasil pemukulan yang parah.640 Komisi mendengarkan kesaksian yang menyebut tentang serangkaian pembunuhan dalam hari-hari sesudahnya ketika pasukan keamanan Indonesia memburu orangorang yang mereka curigai terlibat dalam unjuk rasa tersebut.641 Komisi juga mendengar tentang orang-orang hilang yang belum ditemukan, dan tentang kekerasan seksual terhadap para perempuan muda di Santa Cruz.642 481. Setelah pembantaian Santa Cruz, Renetil (Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste) dan Felectil (Frente Estudantil Clandestina de Timor-Leste) melakukan demonstrasi di depan kantor perwakilan PBB di Jakarta.643 482. Dalam beberapa hari dan bulan berikutnya ratusan orang ditahan. Kantor Nasional Komisi di Balide ketika itu digunakan untuk menahan banyak orang, dan ruangan yang digunakan telah diberi nama sebagai ruangan Santa Cruz untuk mengenang kejadian tersebut. Sebagian orang diadili dan dijatuhi hukuman penjara untuk waktu yang lama.644 Komisi mendengarkan kesaksian dari pengacara Indonesia Luhut Pangaribuan dan aktivis Ibu Ade Rostina Sitompul, yang berkunjung ke Dili setelah pembantaian tersebut, tentang berbagai usaha dari para pengacara hak asasi manusia Indonesia untuk membela para tahanan dan tentang ketidakadilan proses tersebut.645 483. Perkiraan independen menyebut jumlah orang yang terbunuh mencapai 271 orang, dan 250 orang dinyatakan hilang.646 Ratusan orang ditangkap dan ditahan sehubungan dengan kejadian tersebut. Penyelidikan oleh pihak Indonesia (Komisi Penyelidikan Nasional, KPN) yang ditugaskan untuk menyelidiki pembantaian tersebut gagal memenuhi harapan. Pada awalnya mereka menyebut bahwa 19 orang terbunuh di Santa Cruz, namun dihadapkan dengan kecaman internasional terhadap upaya menutup-nutupi tersebut, angkanya naik menjadi 50. Bukti lebih jauh bahwa kepemimpinan senior ABRI memaklumi pembantaian tersebut terjadi pada tanggal 14 November ketika Panglima ABRI Try Sutrisno dikutip mengatakan kepada para lulusan AKABRI bahwa: Penjahat-penjahat seperti ini harus ditembak, dan kita akan menembak mereka.647 484. Komisi melakukan survei di lingkungan di Dili dan secara umum mencatat informasi mengenai pembantaian Santa Cruz melalui proses pengambilan pernyataan. Melalui proses ini Komisi juga menerima kesaksian tentang pembunuhan dan penghilangan lebih lanjut oleh militer Indonesia terhadap mereka yang dicurigai terlibat demonstrasi, termasuk di distrik-distrik. Misalnya, di Sorolau (Ainaro, Ainaro) empat aktifis klandestin dibunuh oleh tentara yang diidentifikasi sebagai anggota Kopassus dan Milsas Timor.648 Atas dasar penelitian ini, meski Komisi tidak bisa menentukan secara tepat berapa orang yang masih hilang, Komisi yakin bahwa angka 200 bukan perkiraan yang mengada-ada. Komisi mencatat dalam Audiensinya serta kegiatan lainnya bahwa pembantaian Santa Cruz masih merupakan persoalan yang tidak terpecahkan yang sangat penting bagi banyak orang dan keluarga, dan bagi negara ini secara keseluruhan, dan yakin bahwa penyelidikan yang lebih menyeluruh dibanding penyelidikannya perlu dilakukan (lihat Bab 7.2: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa). Dampak internasional Santa Cruz 485. Berita pembantaian Santa Cruz menyebar ke seluruh dunia dengan cepat, dan berakibat pada meningkatnya aksi solidaritas secara dramatis. Banyak wartawan asing dan pekerja LSM berkunjung ke Timor-Leste mengharapkan kedatangan misi Portugis. Sejumlah orang tersebut - 122 - telah menyaksikan pembantaian tersebut dan berperan penting memberitahu dunia pada beberapa bulan dan tahun berikutnya, termasuk memberi kesaksian pada Komisi Hak Asasi Manusia PBB. José Ramos-Horta mengatakan kepada Komisi bahwa pembantaian tersebut telah memicu Portugal, dimana terjadi serangkaian protes massal dan seruan untuk tindakan PBB.( Lihat Bab 7.1: Hak Penentuan Nasib Sendiri, bagian Masyarakat Sipil.) 486. Beberapa negara, khususnya Australia, berusaha mendukung penjelasan pihak Indonesia bahwa ini adalah tindakan yang tidak biasa oleh “oknum” dalam militer Indonesia. Meskipun begitu, pembantaian tersebut dan fokus pada masalah lebih luas tentang pendudukan Indonesia atas Timor-Leste yang dihasilkannya menjadi sebuah bencana relasi publik bagi Indonesia. Tanggal 12 November menjadi tema perjuangan bagi diaspora Timor dan para aktivis hak asasi manusia di berbagai negara di seluruh dunia hingga tahun 1999, dengan peringatan tahunan yang ditandai dengan berbagai demonstrasi dan hening cipta.* Penangkapan Xanana Gusmão 487. Xanana Gusmão ditangkap oleh militer Indonesia pada tanggal 20 November 1992 di sebuah rumah di Lahane, Dili.† Berita tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh Timor-Leste dan dunia. Pada awalnya ia dibawa ke Bali, dan kekhawatiran pertama para pendukung adalah keselamatan fisiknya. Di Dili orang-orang yang diduga melindungi Xanana Gusmão ditahan dan disiksa dengan kejam.649 Sebuah kampanye internasional untuk menekan Indonesia agar menjamin keselamatannya mulai dijalankan. Xanana Gusmão ditampilkan dalam sebuah wawancara Televisi Indonesia pada tanggal 25 November dimana ia sepertinya menyatakan menolak perjuangan Resistensi. Ia dibawa kembali ke Dili untuk diadili pada bulan Mei 1993, dan pada tanggal 17 Mei, dia berdiri untuk membacakan pembelaannya. Hakim pengadilan menghentikannya hanya selang beberapa menit setelah ia mulai membacakan pembelaannya, dengan menyatakan bahwa pembelaannya “tidak relevan”. Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan dibawa ke penjara Cipinang di Jakarta yang dijaga ketat (lihat Bab 7.6.: Pengadilan Politik). Namun, pembelaan Xanana Gusmão sepanjang dua puluh tujuh halaman diselundupkan ke luar negeri dan disebarluaskan ke dunia internasional. Ia menolak klaim Indonesia atas Timor- Leste dan mengulangi seruan perjuangan penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. 488. Penangkapan Xanana Gusmão merupakan pukulan telak bagi pihak Resistensi, dan penguasa Indonesia yakin bahwa itu akan menjadi akhir dari perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi, hal tersebut justru menciptakan kondisi bagi dia untuk tampil sebagai seorang pemimpin terhormat dunia, setelah 17 tahun di pegunungan dan hutan-hutan Timor-Leste, sementara ia terus memimpin Resistensi dari sel penjaranya. Xanana Gusmão mengatakan kepada Komisi bahwa ia banyak belajar selama di penjara Cipinang, tempat ia ditahan bersama dengan para tahanan politik Indonesia dari seluruh pelosok Indonesia. Dia memberitahu Komisi bahwa pengalaman tersebut memberinya: Kesempatan untuk meraih pengetahuan lebih baik tentang perjuangan rakyat Indonesia untuk demokrasi dan kebebasan. Ini membantu saya untuk mengurangi dan kemudian menghilangkan rasa benci yang terakumulasi di hutan selama 17 tahun. Saya menjadi mengerti persamaan obyektif yang menyatukan kita dengan rakyat Indonesia…Pengertian ini memungkinkan saya bahkan untuk berbicara dengan bekas-bekas musuh dan Jenderal- Jenderal Indonesia.650 * Pada 9 April 2005, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Kepala Negara pertama yang mengunjungi Pekuburan Santa Cruz, dalam rangka penghargaan dan rekonsiliasi. † Xanana Gusmão ditangkap di rumah Aliança Araujo. Selama bertahun-tahun secara sembunyi-sembunyi ia pergi ke Dili untuk melakukan berbagai pertemuan dalam banyak kesempatan. - 123 - Jaringan klandestin pelajar Di Timor-Leste dan kebangkitan kekuatan-kekuatan paramiliter 489. Selama dasawarsa 1990-an gerakan klandestin pemuda perkotaan berkembang, dan mengambil risiko besar untuk menyampaikan informasi dan melakukan berbagai demonstrasi ketika para tamu luar negeri datang ke Timor-Leste. Aparat keamanan Indonesia melanjutkan pendekatan tangan-besinya terhadap resistensi pemuda, dan pada dasawarsa 1990-an merubah strateginya dalam usaha memerangi gerakan yang terus tumbuh ini. Mulai pertengahan dasawarsa 1990-an, pehatian baru diarahkan kepada operasi paramiliter dan intelijen di wilayah ini. Kelompok-kelompok bersenjata yang kemudian dikenal sebagai pasukan “Ninja” merajalela di jalanan kota Dili pada malam hari, menciptakan suasana ketakutan di kalangan penduduk karena banyak orang yang hilang dalam operasi-operasi rahasia ini.651 Polisi anti huru-hara, Brimob, tampak hadir di mana-mana dan sangat mengancam, khususnya di Dili dimana demonstrasi mahasiswa sering terjadi. 490. Selama tahun-tahun tersebut terdapat banyak titik-titik rawan yang dapat menimbulkan konfrontasi antara pemuda Timor-Leste dengan pasukan keamanan Indonesia. Agama kadang digunakan untuk memprovokasi kekerasan. Di Remexio (Aileu) pada bulan Juni 1994, seorang serdadu Indonesia datang ke sebuah misa dan menghina Ekaristi. Dua minggu kemudian di Universitas Timor-Timur (UNTIM), ratusan mahasiswa berunjuk rasa, menuntut kemerdekaan.652 Persaingan antara warga asli Timor-Leste dan pendatang dari Indonesia dapat menyebabkan bentrokan penuh kekerasan. Di Baucau pada bulan Januari 1995, ketegangan antara pendatang dari Sulawesi dengan orang-orang lokal meledak di pasar pusat. Dalam usaha menghentikan kerusuhan tersebut, militer Indonesia menembaki beberapa orang, dan belakangan mengakui bahwa tiga orang tewas.653 Beberapa hari kemudian, pada tanggal 9 Januari 1995, para mahasiswa di UNTIM menandai hari dialog tripartit di Jenewa dengan sebuah unjuk rasa yang menuntut dibebaskannya Xanana Gusmão dan agar PBB menerapkan resolusi-resolusinya tentang Timor-Leste. Orang-orang asing yang berkunjung menyaksikan demonstrasi ini dan penumpasan yang menyusul kemudian, dimana enam belas orang demonstran ditahan dan disiksa.654 Gerakan mahasiswa di Indonesia 491. Hubungan antara kaum nasionalis Timor-Leste dengan para aktivis hak asasi manusia Indonesia mulai terjalin padadasawarsa 1980-an ketika para tahanan politik Timor ditahan di berbagai penjara di Jawa.655 Organisasi-organisasi mahasiwa Renetil dan Impettu (Ikatan Mahasiswa Pemuda Pemuda Timor-Leste), memainkan peran yang semakin penting pada dasawarsa 1990-an dalam mengembangkan dan memperluas hubungan-hubungan ini. Awalnya para aktivis mahasiswa Timor-Leste menjadi terlibat di gerakan-gerakan protes Indonesia tentang sejumlah masalah seperti Waduk Kedungombo dan persengketaan tanah di Jawa Tengah pada tahun 1990. Aktivis hak asasi manusia Indonesia Nugroho Katjasungkana menceritakan kepada Komisi mengenai kesibukan para aktivis Indonesia untuk menjatuhkan rezim Soeharto yang korup dan tidak adil pada dasawarsa 1980-an. Dia mengingat keterlibatan orang Timor-Leste dalam tindakan-tindakan ini, dengan mencatat bahwa: Keterlibatan orang Timor dalam perjuangan demokrasi di Indonesia mendahului keterlibatan orang Indonesia dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Timor-Leste.656 - 124 - 492. Renetil mengembangkan strategi yang disebutnya ‘Indonesianisasi’ konflik tersebut.657 Para mahasiswa Timor-Leste menjadi aktif dalam gerakan pro-demokrasi* Indonesia yang mulai tumbuh,658 Dan bendera Timor sering terlihat dalam berbagai demonstrasi yang menyuarakan perubahan di Indonesia pada dasawarsa 1990-an.659 Sejumlah kelompok Indonesia, yang sebelumnya sibuk dengan agenda pro-demokrasinya sendiri dan tidak sadar akan situasi di Timor-Leste perlahan mulai mengidentifikasi masalah Timor-Leste dengan akar permasalahan mereka sendiri, yakni rezim Orde Baru Soeharto.660 493. Keompok-kelompok Indonesia yang mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor- Leste dibentuk di sejumlah kota di seluruh Jawa, khususnya setelah pembantaian Santa Cruz.661 Di Jakarta pada tahun 1991, beberapa LSM membentuk Komisi Gabungan Pembela Timor- Leste, yang pada tahun 1998 digantikan oleh Fortilos (Forum Solidaritas Rakyat Timor Lorosae). Pada tahun 1995 di Jakarta, SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere) dibentuk dan kemudian pada tahun 1997 Solidamor (Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor-Leste) dibentuk. Di Kupang pada tahun 1998, para aktivis mahasiswa dan LSM membentuk Forsolidareste (Forum Solidaritas Timor-Leste). Para aktivis Indonesia dan banyak aktivis Timor menghubungkan demokratisasi Indonesia sebagai sebuah prakondisi bagi penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Wilson B. Nurtias dari kelompok solidaritas Indonesia SPRIM mengatakan bahwa rakyat Indonesia dan Timor-Leste adalah “penumpang dari sebuah kapal, yang sedang menghadapi bajak laut yang sama.”662 494. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an para mahasiswa Timor-Leste menggunakan sebuah taktik yang menjadikan sejumlah kedutaan asing di Indonesia sebagai benteng. Sudah sejak tahun 1989, para pemuda Timor mencari suaka politik di berbagai kedutaan di Jakarta karena takut terhadap kekerasan oleh pasukan keamanan Indonesia.663 Pada dasawarsa 1990- an, taktik tersebut digunakan sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan perhatian media tentang perjuangan yang tengah berlangsung untuk menginternasionalkan masalah penentuan nasib sendiri. Yang paling spektakuler yang kemudian dikenal sebagai aksi lompat pagar terjadi pada tahun 1994, pada saat KTT para pemimpin regional Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Saat pertemuan APEC dilangsungkan di Bogor, dekat Jakarta, dan media dunia sedang berkumpul untuk meliput peristiwa tersebut, 29 orang Timor-Leste melompati pagar Kedutaan AS di Jakarta pada tanggal 12 November dan menuntut untuk bertemu dengan Presiden Clinton yang tengah berkunjung. Selama berhari-hari para mahasiswa Timor-Leste yang terkepung tampil di berbagai halaman depan media masa, di Jakarta dan seluruh dunia, dengan tuntutan pembebasan Xanana Gusmão dan penentuan nasib sendiri bagi Timor-Leste. Meskipun mereka tidak bertemu dengan Presiden Clinton, negosiasi berhasil dilakukan dan mereka diberi suaka politik ke Portugal. Ini adalah sebuah prestasi hubungan publik hebat yang diatur oleh Renetil.664 495. Aksi lompat pagar di kedutaan lain terjadi di tahun-tahun berikutnya, hingga sejumlah kedutaan di Jakarta mengambil berbagai langkah pengamanan untuk mencegah para mahasiswa Timor-Leste memasuki tempat mereka. Pada bulan November 1995, lima orang memasuki Kedutaan Prancis dan diberi suaka di Portugal.665 Dan pada tanggal 7 Desember 1995, sejumlah pemuda melompat pagar kedutaan Belanda dan Rusia untuk menarik perhatian kepada hari peringatan invasi Indonesia ke Timor-Leste.666 Sejumlah wawancara yang dilakukan oleh Komisi menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari strategi yang dikoordinasikan dengan baik oleh Renetil, yang beroperasi dengan hubungan langsung dengan kepemimpinan Xanana Gusmão di penjara Cipinang.667 496. Selama dasawarsa 1990-an, para anggota Renetil bergerak untuk menguasai posisi strategis di organisasi mahasiwa yang diakui Negara, Impettu, yang keanggotaannya adalah wajib bagi semua mahasiswa Timor-Leste. Hal ini memungkinkan para anggota Renetil untuk berorganisasi secara terbuka sebagai anggota Impettu dan pada pertengahan dasawarsa 1990- * Berbagai universitas terkemuka menjadi basis gerakan kelompok pro-demokrasi termasuk FKMJ, ( Forum Komunikasi Mahasiswa Jember), SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), dan KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan). - 125 - an para anggota Renetil secara efektif telah menguasai Impettu.668 Seiring makin besarnya suara yang mengimbau perubahan rezim menjelang akhir dasawarsa 1990-an, cabang-cabang Impettu bersatu dalam sebuah kepemimpinan tunggal, yakni DPP Impettu (Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa, Pemuda, dan Pelajar Timor-Leste), yang dikepalai oleh Wakil Sekretaris Jenderal Renetil.669 Rencana Damai CNRM dan inisiatif-inisiatif diplomatik 497. Pada awal dasawarsa 1990-an CNRM secara aktif berusaha berdialog dengan Indonesia. Dengan dukungan LSM internasional dan berbagai kelompok masyarakat sipil, Kampanye Dialog Timor dilancarkan (lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri). Pada tahun 1993 CNRM menawarkan rencana tiga-tahap untuk perdamaian, yang pada dasarnya adalah demiliterisasi Timor-Leste, sebuah periode otonomi transisional, dan pada akhirnya sebuah tindakan penentuan nasib sendiri untuk menentukan status politik permanen wilayah tersebut. Mereka mengajukan Rencana Damai tersebut pertama ke Uni Eropa dan kemudian ke PBB, dan menunjukkan peningkatan signifikan dukungan aktif oleh Portugal. Pemerintah Indonesia menolak rencana tersebut. Meskipun demikian rencana tersebut tetap ditawarkan selama dasawarsa 1990-an sebagai suatu fokus upaya diplomatik CNRM dan sebagai tanda keinginan mereka untuk mencari solusi melalui dialog.670 Sementara itu Portugal memulai lagi pembicaraan dengan Indonesia pada tahun 1992, setelah menghentikan hubungan setelah pembantaian Santa Cruz pada tahun 1991. 498. José Ramos-Horta melanjutkan kampanye diplomatiknya berdasarkan rencana perdamaian ini. Saat Indonesia berada di bawah tekanan yang meningkat menyusul terungkapnya pembantaian Santa Cruz, dan sebagian kalangan internasional merasa berkepentingan untuk mencapai solusi bagi Timor-Leste, Indonesia tetap berada dalam posisi yang relatif kuat pada awal dasawarsa 1990-an. Portugal dan Indonesia melanjutkan kembali pembicaraan tripartit di bawah dukungan Sekjen PBB. Akan tetapi, Komisi mendengar dari mantan Pejabat Senior PBB Francesc Vendrell bahwa tahun-tahun awal dan pertengahan dasawarsa 1990-an ini adalah masa dimana Ramos-Horta harus berjuang keras untuk menghindari solusi diplomatik yang buruk bagi Timor-Leste.671 Dengan dukungan orang-orang Timor-Leste di luar negeri, dan gerakan solidaritas internasional yang makin luas, ia bekerja keras untuk meningkatkan profil internasional pemimpin CNRM, Xanana Gusmão dan untuk meyakinkan para pemimpin dunia bahwa solusi politik itu mungkin. Kasus Pengadilan Internasional: Portugal vs Australia, 1991-95 499. Pada tahun 1991 Portugal mengajukan Australia ke Pengadilan Internasional sehubungan dengan perjanjian Celah Timor yang ditandatangani dengan Indonesia pada tahun 1989. Portugal tidak bisa mengajukan Indonesia ke pengadilan ini, karena Indonesia belum mengakui yurisdiksi Pengadilan tersebut. Keputusannya diumumkan pada tahun 1995, dan meskipun kasus tersebut tidak berhasil membatalkan perjanjian tersebut, kasus tersebut memberikan sebuah pernyataan penting dalam mendukung hak Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri yang tengah diperjuangkan.672 500. Portugal berargumen bahwa Australia telah melanggar Hukum Internasional dengan membuat perjanjian bersama Indonesia untuk membagi kekayaan alam milik rakyat Timor-Leste. Portugal berkata bahwa hal tersebut melanggar haknya sebagai penguasa pemerintahan dari wilayah yang tak berpemerintahan sendiri tersebut, dan juga hak rakyat Timor-Leste. 501. Karena sebuah masalah teknis hukum sebagian besar hakim mengatakan bahwa mereka tidak bisa mempertimbangkan kasus tersebut. Semua pemasalahan dalam kasus tersebut berkisar seputar legalitas tindakan yang telah dan terus dilakukan Indonesia di Timor- Leste, sehingga mereka berkata bahwa mereka tidak dapat mempertimbangkan kasus tersebut - 126 - jika Indonesia bukan merupakan salah satu pihak. Akan tetapi, dua orang hakim tidak setuju dengan pandangan ini dan mereka secara tegasmemberi pendapat berbeda. Mereka mempertimbangkan pentingnya kasus tersebut dan memberikan berbagai temuan penting tentang kewajiban Negara-negara dalam hubungannya dengan hak penentuan nasib sendiri dalam konteks Timor-Leste. Hakim Weeramantry dan Hakim Skubiszewksi keduanya mengakui hak atas penentuan nasib sendiri rakyat Timor. Mereka juga memperingatkan bahwa Negaranegara yang ikut dalam perjanjian seperti itu memiliki kewajiban untuk berkonsultasi dengan rakyat Timor-Leste dan kekuasaan pemerintahan yang sah (Hakim Skubiszewksi), dan bahwa perjanjian seperti itu kemungkinan telah melanggar berbagai kewajiban yang dilimpahkan kepada mereka oleh prinsip-prinsip umum Hukum Internasional (Hakim Weeramantry).673 Hadiah Nobel Perdamaian, 1996 502. Penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian 1996 bagi Uskup Belo dan José Ramos- Horta adalah sebuah momen pendorong baru bagi perjuangan rakyat Timor-Leste untuk diakui secara internasional. Penghargaan tersebut memberi pengakuan bagi perjuangan kedua orang tersebut, yang pengalamannya selama masa pendudukan Indonesia sangat berbeda tetapi visi tentang identitas rakyat Timor dan harga diri manusia tetap sama. Penghargaan tersebut juga menandingi usaha bertahun-tahun yang dilakukan penguasa Indonesia untuk mengecilkan kredibilitas kedua orang tersebut, dan membuka pintu para pemimpin dunia kepada mereka dan perjuangan Timor-Leste. 503. Pidato penganugerahan tahun 1996 membicarakan tentang konflik tersebut: Konflik di Timor-Leste telah disebut sebagai “konflik yang terlupakan".…Jarang sekali sinisme politik dunia didemonstrasikan lebih jelas dari ini.…Dua orang penerima Hadiah Perdamaian tahun ini, Carlos Filipe Ximenes Belo dan José Ramos-Horta, telah bekerja tanpa lelah, dan dengan pengorbanan pribadi yang besar, bagi rakyat mereka yang tertindas. Dalam kondisi-kondisi yang sangat sulit, mereka telah mempertahankan rasa kemanusian dan kepercayaan mereksa akan masa depan.674 504. Dalam pidato penerimaannya, Uskup Belo membicarakan mengenai harapannya bahwa hadiah tersebut dapat memajukan perjuangan Timor-Leste: Saya sangat percaya bahwa saya berada di sini dasarnya sebagai suara dari rakyat Timor-Leste yang tidak bersuara yang spiritnya bersama saya hari ini, jika tidak secara langsung. Dan apa yang diinginkan rakyat adalah perdamaian, diakhirinya kekerasan dan dihormatinya hak asasi mereka. Adalah harapan saya yang paling besar bahwa Hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 1996 ini dapat membantu mencapai tujuan-tujuan tersebut.675 505. Dengan Anugerah Nobel Perdamaian yang diterimanya, José Ramos-Horta memulai kampanye diplomatik yang ambisius. Pada awal tahun 1997 ia berkunjung ke Afrika Selatan. Pada bulan Juli tahun itu ketika Presiden Afrika Selatan Mandela bertemu dengan Presiden Soeharto di Jakarta, ia meminta bertemu dengan Xanana Gusmão yang sedang dipenjara. Presiden Soeharto awalnya menolak permintaan tersebut, dengan mengatakan bahwa Xanana Gusmão hanyalah seorang kriminal. Ketika Presiden Afrika Selatan mengingatkan Soeharto bahwa orang lain pun dulu berkata begitu tentangnya, Soeharto kemudian memperbolehkan. Berita tentang pertemuan pribadi tersebut sampai ke tangan pers dunia, dan meningkatkan profil Xanana Gusmão sebagai seorang negarawan untuk perdamaian. - 127 - 506. Di Timor-Leste, Anugerah Nobel Perdamaian tersebut menunjukkan kepada rakyat Timor bahwa mereka tidak dilupakan oleh masyarakat internasional, dan meningkatkan harapan untuk bantuan internasional dalam pencarian sebuah solusi bagi konflik tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa 507. Di pertengahan dasawarsa 1990-an terjadi perubahan personalia yang bertanggung jawab atas masalah Timor-Leste di markas PBB New York. Francesc Vendrell pertama-tama menjadi Direktur untuk Asia Tenggara dan Pasifik dan kemudian Asia dan Pasifik. Pejabat yang bertanggung jawab atas urusan Timor-Leste adalah Tamrat Samuel. Vendrell dan Samuel terus menjadi Pejabat Sekretariat Utama yang menangani Timor-Leste sampai Konsultasi Rakyat tahun 1999. Francesc Vendrell mengatakan kepada Komisi tentang dilanjutkannya dialog tripartit dan tentang usaha-usaha dia dan Samuel untuk melibatkan Timor-Leste dalam diskusi tentang masa depan kawasan tersebut.676 Pada bulan Januari 1994, Samuel bertemu dengan Xanana Gusmão di penjara Cipinang, begitupun Vendrell pada bulan Desember tahun itu. Pada tahun 1994, mereka juga berkunjung ke Timor-Leste untuk bertemu langsung dengan orang-orang Timor dari semua latar belakang politik, juga dengan para pendeta dan biarawati Katolik. Dia mengenang: Salah satu hal yang sangat menggugah saya adalah besarnya kepercayaan semua orang pada PBB.…perasaan tanggungjawab yang menurut saya dirasakan oleh saya dan Tamrat, bahwa kami harus melakukan yang terbaik atas nama rakyat yang hanya dapat mengandalkan dukungan PBB.677 508. Vendrell mengatakan kepada Komisi tentang kesulitan PBB ketika rakyat Timor-Leste sendiri berada di luar proses diskusi dialog tripartit itu. Kendala ini memicu inisiatif bagi pembentukan Dialog Menyeluruh Antar-Timor (All-Inclusive intra-East Timorese Dialogue, AIETD). Gagasannya, seperti yang dijelaskan Vendrell pada Komisi, adalah: [Jika] mereka [rakyat Timor-Leste] bersatu dan mereka dibiarkan sendiri, mereka mungkin saja menyadari bahwa mereka memiliki banyak persamaan dan mungkin mencapai sebuah usulan bersama tentang Timor-Leste.678 509. Indonesia menyetujui mekanisme ini, meskipun Indonesia bersikeras bahwa AIETD tidak diperbolehkan untuk membahas status politik Timor-Leste. AIETD yang pertama diadakan di Austria pada bulan Juni 1995, dengan peserta dari semua latar belakang politik. Uskup Belo juga menghadiri pertemuan tersebut, meskipun Xanana Gusmão tetap berada di penjara di Jakarta. Tiga pertemuan AIETD setelah itu diadakan, pada bulan Maret 1996, Oktober 1997 dan Oktober 1998. Meskipun berbagai pertemuan tersebut tidak menghasilkan rencana praktis ataupun hasilhasil resmi, tapi untuk pertama kalinya sejak tahun 1975, PBB terlibat dalam menyatukan rakyat Timor-Leste dari semua latar belakang untuk bersama-sama membahas berbagai perbedaan mereka dan mencari landasan yang sama. 510. Kofi Annan mulai menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB pada bulan Januari 1997, dan membawa serta fokus baru bagi masalah Timor-Leste. Pada bulan Februari 1997, dia mengangkat diplomat Pakistan Duta Besar Jamsheed Marker sebagai Utusan Pribadinya untuk Timor (PRSG). Ini sangat memperkuat kerja Francesc Vendrell dan Tamrat Samuel di Sekretariat PBB, dan tim ini mengunjungi Portugal, Indonesia dan Timor-Leste pada masa yang makin bergolak antara tahun 1997 sampai 1998. - 128 - 3.19 Dari Reformasi ke pengumuman tentang Konsultasi Rakyat Tinjauan 511. Berbagai peristiwa tahun 1997 bergerak dengan cepat. Krisis finansial Asia melanda Indonesia pada akhir tahun 1997. Krisis ini menguak korupsi dan kebobrokan yang mewabah dalam rezim Soeharto. Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia diguncang oleh berbagai demonstrasi rakyat yang menuntut turunnya Soeharto dan reformasi besar-besaran yang dikenal sebagai Reformasi. Para mahasiswa Timor memainkan peran aktif dalam berbagai demonstrasi ini. Pada tangal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri, dan Wakil Presiden B.J. Habibie mengambil alih tugas sebagai Presiden. 512. Sementara itu, aktivitas diplomatik sangat sibuk sejak Hadiah Nobel 1996, dan Xanana Gusmão menerima kunjungan para tamu yang mewakili para pemimpin dunia dan sejumlah organisasi penting secara reguler di sel penjaranya di Jakarta. Pihak Resistensi melakukan reorganisasi dan menyelenggarakan konferensi penting di Peniche pada bulan April 1998 dimana CNRM diubah menjadi Conselho Nacional da Resistência Timorense (Dewan Nasional Perlawanan Timor, CNRT). Ini dimaksud untuk memperluas basis gerakan kemerdekaan. 513. Di Timor-Leste, suasana Reformasi, dan melonggarnya kontrol militer membuka jalan untuk diskusi terbuka tentang status politik wilayah tersebut untuk pertama kalinya dalam masa pendudukan Indonesia. Tuntutan referendum untuk membiarkan rakyat Timor-Leste menentukan nasib mereka meraih momentum di paruh kedua tahun 1998. Akan tetapi, pada akhir tahun tersebut militer Indonesia telah melakukan reposisi. Penarikan pasukan ternyata hanya tipuan, dan pada akhir 1998 semakin banyak bukti yang menunjukkan strategi TNI untuk membentuk, mempersenjatai dan mendanai para milisi pro-integrasi di seluruh negeri untuk mencegah segala upaya benar-benar untuk penentuan nasib sendiri. 514. Dengan penggantian Soeharto, PBB dan masyarakat internasional meningkatkan tekanannya pada Indonesia untuk mencapai sebuah solusi untuk masalah Timor-Leste. Diskusi antara Portugal dan Indonesia awalnya berkisar seputar paket otonomi khusus bagi Timor-Leste, dengan pandangan berbeda-beda apakah ini merupakan sebuah solusi atau hanya satu tahap dalam sebuah proses penentuan nasib sendiri. Pada bulan Januari 1999, Presiden Habibie mengejutkan banyak orang dalam pemerintahannya sendiri ketika dia menyatakan bahwa Indonesia akan memperbolehkan rakyat Timor-Leste untuk menentukan sendiri masa depan mereka, termasuk kemerdekaan jika itu memang adalah kehendak mereka. Negosiasi antara Portugal dan Indonesia diarahkan untuk merampungkan suatu mekanisme untuk melaksanakan pilihan ini. 515. Pada bulan-bulan awal tahun 1999, ketika negosiasi-negosiasi tengah berlangsung, strategi TNI mengembangkan milisi bersenjata semakin dipercepat. Keterbukaan politik yang relatif pada pertengahan tahun 1998 telah hilang, dan kekerasan selalu menjadi ancaman terhadap para pendukung pro-kemerdekaan. Pembantaian di Dili dan Liquiça oleh milisi yang didukung TNI mengejutkan masyarakat internasional, seiring dengan makin banyaknya rakyat Timor-Leste yang mengungsi karena takut akan kekerasan. 516. Negosiasi antara Portugal dan Indonesia mencapai puncaknya dengan apa yang dikenal sebagai Kesepakatan 5 Mei, yang menetapkan modalitas untuk sebuah Konsultasi Rakyat yang memungkinkan rakyat Timor-Leste untuk menerima atau menolak paket otonomi khusus; penolakan akan mengarah pada kemerdekaan. Indonesia menolak untuk menyerahkan tanggung jawab keamanan selama pemungutan suara dan tanggung jawab ini diberikan pada polisi Indonesia. Masyarakat internasional merasa bahwa mereka tidak mampu mendesak Indonesia lebih jauh lagi tentang masalah ini, meskipun terdapat makin banyak bukti tentang keterlibatan militer dan polisi Indonesia dalam kekerasan terhadap para pendukung pro-kemerdekaan. - 129 - 517. Pemungutan suara ditetapkan dilakukan pada bulan Agustus 1999, untuk memungkinkan Parlemen Indonesia mensahkan hasilnya pada bulan September. Jatuhnya Soeharto 518. Pada bulan Mei 1997 alat politik pemerintahan Orde Baru, Golkar, terpilih kembali dalam pemilihan parlemen nasional, dengan memenangi 74% jumlah suara.679 Tidak lama setelah itu krisis keuangan Asia muncul di Thailand pada bulan Juli 1997 dan segera menjangkiti Indonesia. Bersamaan dengan jatuhnya Rupiah ke tingkat 18.000 terhadap Dollar AS pada Januari 1998 dan bantuan IMF, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pada bulan Maret 1998. Ketika Soeharto membentuk kabinet yang dianggap banyak orang didominasi oleh para kroni rezim tersebut, protes rakyat semain berkobar. Tuntutan pengantian rezim oleh berbagai gerakan pro-demokrasi mendapat dukungan dari kalangan elit Indonesia. Pada bulan Mei, Ketua MPR Harmoko menanggapi secara positif tuntutan kaum reformis, sementara Panglima ABRI Jenderal Wiranto memberikan dukungan militer untuk reformasi. Dua orang pemimpin oposisi yang muncul, Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais, memberi indikasi kesiapan mereka untuk mengambil alih kekuasaan. 519. Tekanan rakyat meledak selama bulan Mei, yang menyebabkan jatuhnya Soeharto. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia kemudian menemukan bahwa kekerasan dalam periode ini telah didalangi, dengan mengidentifikasikan 20 orang anggota militer dan sipil di belakang berbagai kerusuhan tersebut.680 Pada tanggal 18 Mei, dengan dikuasainya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) oleh para mahasiswa, Soeharto kehilangan sebagian besar dukungannya. DPR meminta pengunduran dirinya. Pada malam hari tanggal 20 Mei, Jenderal Wiranto juga mengimbau pengunduran diri Soeharto, dan pada tanggal 21 Mei, Soeharto turun dari kursi kepresidenan. 520. Peristiwa ini memberikan seorang Kepala Negara baru bagi Indonesia, Presiden BJ Habibie, yang segera menerapkan sejumlah reformasi yang luar biasa. Slogan utama pada periode tersebut adalah ”Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”’, yang sering disebut KKN, dan yang mampu merangkum apa yang dianggap penyakit yang paling mewabah dari rezim Soeharto. Masyarakat sipil juga mengemukakan berbagai masalah lain seperti kebutuhan untuk menentang militerisme dan diakhirinya impunitas pihak militer. Agenda reformasi mempengaruhi Indonesia dalam banyak cara. Komposisi elit politik Indonesia berubah, dan meskipun banyak politisi yang terkait rezim Soeharto selamat dari kejatuhan Soeharto sejumlah politisi baru meningkat pamornya. Hal ini mendatangkan pluralisme ke perdebatan politik yang sudah lama ditekan selama kekuasaan Soeharto. Selain itu, kebebasan media dan debat publik yang kuat memastikan sejumlah besar masalah dapat dibahas secara terbuka dan banyak dari permasalahan tersebut mendapat perhatian politik yang berujung pada perubahan. 521. Presiden Habibie dianggap oleh banyak pihak hanya sebagai Presiden sementara. Sebagai Wakil Presidennya Soeharto dia dianggap sangat dekat dengan rezim Orde Baru, meskipun dia tidak memiliki pengikut yang besar atau basis kekuatan di dalam rezim tersebut. Sebagai Presiden, dia harus hati-hati melangkah di antara militer yang kuat dan beberapa kelompok agama utama seperti sejumlah organisasi Islam sambil merundingkan langkah reformasi. Di kabinetnya dia mempertahankan Wiranto sebagai Panglima Militer maupun Menteri Pertahanan. 522. Banyak pihak di kalangan masyarakat internasional menganggap ide status politik Timor- Leste sebagai suatu masalah yang tertutup selagi Presiden Soeharto masih berkuasa. Dengan kepergiannya, dan dalam iklim reformasi di Indonesia, tiba-tiba tercipta ruang untuk diskusi. 523. Gagasan tentang status otonomi khusus bagi Timor-Leste bukanlah hal yang baru, akan tetapi pada zaman Soeharto tidak pernah dipertimbangkan secara serius. Barangkali tidak ada yang lebih tahu tentang hal ini daripada Menteri Luar Negeri, yang sudah lama menjabat, Ali - 130 - Alatas tentang berbagai masalah bagi negaranya di arena internasional yang ditimbulkan oleh posisi Indonesia dan berbagai tindakannya di Timor-Leste. Dia sebelumnya telah mengusulkan perubahan status Timor-Leste dalam Indonesia, dengan menawarkan otonomi khusus bagi Timor-Leste sebagai satu kemungkinan solusi. Soeharto menolak ide-idenya.681 Pada tanggal 6 Juni 1998, komite Politik dan Keamanan dalam kabinet ini mendukung sebuah usulan untuk “otonomi luas” bagi Timor-Leste, dengan syarat masyarakat internasional mengakui kedaulatan Indonesia. Menteri Luar Negeri Alatas membawa usulan ini kepada Presiden Habibie pada tanggal 8 Juni dan kepada Kabinet pada tanggal 9 Juni. Presiden Habibie secara tak terduga mengumumkannya kepada media internasional pada tanggal 9 Juni. 524. Dalam waktu sembilan bulan, ide ini untuk menawarkan paket otonomi khusus pada Timor-Leste akan berubah menjadi penerimaan resmi Indonesia untuk melakukan tindakan penentuan nasib sendiri oleh rakyat Timor-Leste. CNRT dan kampanye diplomatik 525. Pintu menjadi terbuka bagi José Ramos-Horta di seluruh dunia setelah dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian, dan dia bekerja keras memanfaatkan hal ini untuk menggalang dukungan bagi kampanye diplomatik bagi kemerdekaan. Hal tersebut juga memberikan sebuah dimensi internasional pada pembelaan lantang Uskup Belo terhadap hak asasi rakyat Timor- Leste, dan sangat meningkatkan perhatian internasional kepada Timor-Leste. 526. Setelah pertemuan pada tahun 1997 dengan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, status Xanana Gusmão di mata dunia menguat dan ini diikuti prosesi para tamu penting ke sel penjara Cipinangnya selama 1998 dan 1999. 527. Pada bulan April 1998, pihak Resistensi meraih suatu tonggak sejarah dalam perkembangannya, ketika para pemimpin partai politik besar Timor-Leste dan juga berbagai organisasi non-politik, termasuk Gereja Katolik, bertemu di Peniche di Portugal dan membentuk CNRT. Xanana Gusmão terpilih sebagai Presiden, dengan Ramos-Horta sebagai Wakil Presiden dan utusan pribadinya. Pembentukan CNRT melengkapi perkembangan bertahap Resistensi dari sebuah partai tunggal dengan dasar Fretilin menjadi organisasi dengan basis luas termasuk para mahasiswa, Organisasi Non Pemerintah, dan kalangan Gereja Katolik. 528. Pembentukan CNRT memposisikan Resistensi dengan baik untuk menghadapi kejadiankejadian yang berkembang cepat di kawasan Asia Tenggara dan Indonesia khususnya. [Lihat Bab 7.1.: Hak Penentuan Nasib Sendiri] Dampak Reformasi di Timor-Leste 529. Pengumuman Presiden Habibie tentang usulan status baru bagi Timor-Leste, ditambah optimistisme tuntutan untuk reformasi, menciptakan dukungan kuat publik untuk kemerdekaan di wilayah tersebut. 530. Pada tanggal 9 Juni di Dili, pertemuan publik untuk membahas masa depan wilayah tersebut dihadiri oleh banyak perwakilan aspirasi Timor-Leste, termasuk para komandan gerilya dan pro-integrasi yang setia, para pemimpin CNRT, anggota masyarakat sipil dan gerakan klandestin. Juga hadir pada kesempatan itu Gubernur pro-integrasi, Abilio Soares, yang pidatonya tentang usulan status khusus bagi Timor-Leste tidak diterima dengan baik. Banyak menganggap ini sebagai tindakan setengah hati, dan pertemuan tersebut sepakat untuk menuntut diadakannya sebuah referendum supaya rakyat dapat menentukan masa depan mereka. - 131 - 531. Pada tanggal 23 Juni, sebuah demonstrasi besar di Dili secara terbuka menyerukan kemerdekaan. Khawatir akan kemungkinan konsekuensi yang terjadi karena sikap sangat gamblang tersebut, Uskup Belo dan kepemimpinan CNRT segera mengimbau sikap yang lebih lunak, dan mengulang kembali keinginan mereka untuk sebuah periode transisi sebelum membahas kemerdekaan. 532. Sejak bulan Juni, berbagai kelompok mahasiswa* secara berani memimpin debat publik yang mulai menggeliat, dan memimpin serangkaian demonstrasi besar baik di Timor-Leste maupun di Indonesia. Pada bulan Juli, Dewan Solidaritas Mahasiswa Timor-Leste (ETSSC) yang baru saja dibentuk mengerahkan para mahasiswa untuk melakukan perjalanan ke seluruh Timor- Leste untuk melakukan sejumlah dialog tingkat desa, menjelaskan perkembangan terakhir dan mendengarkan masukan dari masyarakat. Tanpa memperdulikan penentangan militer di beberapa daerah, mereka mendengar beragam tuntutan kuat untuk penarikan mundur TNI dan untuk sebuah referendum.682 533. Pada bulan September, dua Uskup Timor-Leste mengadakan pertemuan di Dare untuk mendorong rekonsiliasi antara para tokoh Timor yang mendukung integrasi dengan Indonesia dan yang mengupayakan kemerdekaan. CNRT secara terbuka menyatakan dirinya sebagai suatu lembaga publik yang sah pada bulan September, dan menempati sebuah kantor di Dili Selatan. Demonstrasi mahasiswa yang memprotes kehadiran militer dan menuntut sebuah referendum terjadi secara rutin selama periode ini. Keterbukaan ini tidak pernah terjadi sebelumnya selama masa pendudukan Indonesia. TNI di Timor-Leste tetap waspada, tetapi menahan diri dan tidak bertindak langsung melawan demonstrasi ini. Munculnya Para milisi 534. Menjelang akhir tahun 1998, ketegangan mulai meningkat dan keterbukaan dari beberapa bulan sebelumnya mulai mendapat tekanan. Pada awal bulan Oktober sebuah kelompok pro-otonomi Timor menekan Gubernur untuk memaksa pengunduran diri para pegawai negeri yang bergabung dalam Forsarepetil, (Forum Sarjana Pro-Referendum dan Pembangunan Timor-Leste) sebuah kelompok pro-referendum kalangan akademisi dan pegawai negeri. Hal ini memicu demonstrasi besar selama dua hari di Dili menentang tindakan Gubernur. Basilio Araújo, seorang juru bicara pro-integrasi, kemudian menggambarkan pada Komisi latar belakang dari keputusan ini: Kami sekitar 20 orang, kami yang berasal dari grup itu, dan kami menyebut diri kami pro-integrasi…Kami bertemu dengan Pak Abilio [Soares, Gubernur] dan mendesaknya untuk membuat sebuah dekrit mengenai orang-orang yang telah memihak pada kemerdekaan: ‘Cukup, tanggalkan pakaian sebagai seorang pejuang kemerdekaan, dan jangan bekerja pada pemerintah, jangan bermuka dua.’ Tn. Abilio membuat dekrit tersebut, tapi ditekan oleh pemerintah pusat dan kemudian menariknya kembali.683 535. Pada tanggal 8 Agustus penarikan mundur pasukan yang sangat dipublikasikan menyumbang pada persepsi bahwa situasi di Timor-Leste telah membaik. Indonesia mengklaim bahwa mereka hanya memiliki kurang dari 6000 serdadu di wilayah tersebut, dan konon telah menarik mundur pasukan khususnya (Kopassus), yang kerap dituduh bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat.684 Tetapi dokumen militer yang dibocorkan pada bulan itu membuktikan sebaliknya. Jumlah pasukan masih 21.540 orang, termasuk Kopassus, dan bukannya melakukan pengurangan pasukan besar-besaran seperti yang dilaporkan ke media, kekuatan militer TNI justru perlahan meningkat.685 Dokumen-dokumen tersebut * Renetil dan Impettu di Indonesia; ETSSC di Timor-Leste. - 132 - menunjukkan bahwa TNI mengembangkan jaringan kelompok paramiliter di sebagian besar distrik. Dua belas tim ditempatkan di sebelas distrik, yang sebagian besar di antaranya terkait dengan unit Kopassus. Kelompok-kelompok ini membentuk basis milisi yang dengan cepat direkrut dalam bulan-bulan berikutnya.686 Pihak militer kemudian menyangkal bahwa para milisi tersebut adalah bagian integral struktur formalnya. 536. Tanda pertama perilaku yang akan datang dari para anggota paramiliter ini, yang belakangan akan dikenal sebagai milisi, terjadi pada bulan November ketika ABRI dan anggota milisi Ablai, yang banyak di antaranya adalah pegawai negeri pemerintah daerah setempat, membalas serangan Falintil atas Koramil di Alas, Distrik Manufahi. Pada tanggal 9 November, Falintil membunuh tiga serdadu, menculik 13 prajurit, dan mencuri 36 senapan. Masyarakat mencari perlindungan ke Gereja Alas sesudah serangan tersebut. Pada tanggal 13 November ABRI membalas serangan Falintil dan wilayah tersebut diliputi kekerasan.687 Pihak militer Indonesia dan milisi memasuki gereja tersebut, dan memukuli mereka yang berada di dalam. Militer menahan penduduk sipil di seluruh wilayah itu untuk mencari Falintil. Komisi menerima kesaksian tentang penyiksaan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh ABRI terhadap mereka yang ditahan.688 Paling tidak delapan orang terbunuh oleh ABRI atau milisi. Suatu penyelidikan ICRC menemukan sembilan orang yang tewas dalam serangan balasan tersebut, termasuk dua orang prajurit yang dibunuh oleh Falintil.689 Pembunuhan tersebut, yang terjadi setelah berbulan-bulan keterbukaan yang agak canggung, menimbulkan sejumlah protes keras di Dili. Setelah para mahasiswa menduduki gedung parlemen, sebuah tim pencari fakta segera dibentuk dari berbagai kelompok masyarakat sipil, tetapi tidak diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut oleh pihak militer.690 Wartawan internasional melakukan perjalanan ke Alas dan mengamati anggota non-militer bersenjata menguasai daerah tersebut, yang mengindikasikan permulaan peran milisi sebagai garis terdepan kampanye militer melawan kemerdekaan.691 537. Kelompok milisi telah lama hadir di Timor-Leste. Tetapi, milisi yang muncul pada akhir tahun 1998 dan awal tahun 1999 sebagian besar terkait langsung dengan TNI bukan karena kesetiaan mereka pada liurai* seperti kebiasaan sebelumnya. 692 Sebagian dari para milisi baru ini memiliki akar dalam pasukan bantuan militer† yang dibina TNI sejak akhir dasawarsa 1970an. Sebagian besar pemimpin milisi memiliki hubungan luas dengan Kopassus melalui beragam kelompok paramiliter lama di Timor-Leste.693 Contohnya adalah Joanico Césario Belo, yang menjadi komandan milisi di wilayah Timur, Sektor A,‡ yang sudah menjadi tenaga bantuan operasi (TBO) sejak masa kecilnya.694 Komandan Sektor B yang terkenal kejam, Eurico Guterres, memiliki latar belakang dalam paramiliter Gadapaksi pada dasawarsa 1990-an. Yang lainnya, Joni Marques dari Tim Alfa di Lautém, memiliki hubungan lama dengan Kopassus. TNI merekrut secara luas pada tahun 1998 dan tahun 1999 untuk membangun kepemimpinan inti ini.695 Anggota milisi lainnya termasuk anggota TNI dari Timor Barat dan Timor-Leste.696 Sebagian bergabung karena terpaksa. Yang lainnya ikut karena motivasi uang dan prestise (lihat Bagian 9: Rekonsiliasi Komunitas). 538. Peran militer dalam membentuk milisi-milisi ini segera menjadi jelas. Indikator penting adalah bahwa pejabat penting militer di Timor-Leste menghadiri acara pelantikan kelompok milisi.697 Para pemimpin milisi sendiri menyatakan bahwa TNI telah mempersenjatai mereka. 698 Dan yang lebih meyakinkan lagi, para pejabat senior TNI§ sendiri menyatakan bahwa mereka mempersenjatai berbagai kelompok tersebut.699 Jenderal Wiranto, Panglima ABRI mengakui keterlibatan TNI dalam milisi.700 Hubungan ini mulai terlihat jelas sejak akhir tahun 1998 ketika berbagai kelompok milisi mulai muncul. Dokumen militer belakangan memberikan bukti meyakinkan tentang pasokan senjata oleh TNI kepada milisi,701 dan Tomás Gonçalves yang * Milisi di beberapa wilayah dibentuk dengan pengaruh keluarga liurai, contohnya keluarga Carvalho di Cassa. † Ini termasuk Hansip, Ratih, Wanra, Kamra (Polisi), serta TBO – Tenaga Bantuan Operasi. ‡ Pembagian sektor (A, B, dan C) mengikuti komando sektor tempur di bawah Kopassus yang membagi Timor-Leste menjadi tiga wilayah. § Komandan Kodim Supardi pada 28 Januari, dan Komandan Kodam IX Adam Damiri pada 7 Februari. Mereka berdua diketahui mempersenjatai para milisi. - 133 - belakangan membelot dari milisi membenaran keterlibatan unit intelijen Kopassus dan pejabat militer penting seperti Suratman, Sudrajat dan Damiri dalam perekrutan.702 539. Cepatnya para milisi tersebut muncul dan konsistennya perilaku mereka menunjukkan adanya kekuatan organisasi besar di belakang mereka.703 Ini adalah TNI, yang dalam iklim keterbukaan Reformasi membutuhkan sebuah pasukan yang dapat menyerang gerakan prokemerdekaan Timor-Leste yang terorganisasi dengan rapih. Salah satu alasan milisi lebih banyak dipersenjatai dengan senjata buatan sendiri adalah untuk menciptakan kesan bahwa milisi adalah gerakan spontan berbasiskan rakyat. Ini adalah sebuah muslihat besar, karena TNI memberikan senjata otomatis setidaknya bagi sebagian kelompok milisi serta berbagai dukungan logistik dan keamanan.704 Xanana Gusmão mengimbau toleransi 540. Pada akhir tahun 1998, meskipun meningkatnya ketegangan akibat kekerasan di Alas, penduduk Dili terus menyatakan secara terbuka hasrat mereka akan perubahan. Pada tanggal 12 November, warga melakukan demonstrasi publik pertama untuk mengenang pembantaian Santa Cruz. Malam itu, rakyat diam di rumah, dan menghiasi semua jalan kota Dili dengan ribuan lilin untuk mengenang orang yang meninggal. Pesan Tahun Baru Xanana Gusmão terfokus pada ide CNRT tentang otonomi transisional, dan mengusulkan menahan diri bagi suara-suara yang menginginkan referendum langsung. Dan yang paling penting, dia mengimbau toleransi menghadapi berbagai tekanan yang meningkat: Mari kita berkonsentrasi untuk…meraih: diakhirinya kekerasan militer; sebuah iklim toleransi politik yang lebih besar. Pendirian ini bertujuan untuk mencegah lebih banyak korban Timor-Leste yang jatuh. Para penjajah mempersenjatai rakyat Timor-Leste dan menyuruh mereka untuk membunuh saudara-saudari mereka sendiri. Daripada membiarkan diri kita terhanyut dalam rasa marah, mari kita berusaha berpikir dalam sikap politik yang seimbang. Jika tidak, kita akan terjebak dalam permainan para penjajah; kita akan memperkuat argumen Indonesia bahwa Timor-Leste terancam sebuah perang saudara baru.705 Negosiasi tentang paket otonomi 541. Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas berkunjung ke New York untuk menyampaikan gagasan otonomi kepada Sekjen PBB Kofi Annan pada tanggal 18 Juni. Pada bulan Agustus, Indonesia menyetujui pembicaraan tiga phak bersama PBB dan Portugal tentang otonomi khusus. Utusan Pribadi Sekjen PBB untuk Timor-Leste, Duta Besar Jamsheed Marker, mengelola proses negosiasi, yang bertujuan mencapai kesepakatan tentang isi dari paket otonomi khusus sebelum akhir tahun. Hambatan utama tampaknya adalah pertanyaan apakah otonomi yang diusulkan merupakan sebuah tahap menuju penentuan nasib sendiri atau sebuah tujuan akhir. Portugal memandang otonomi sebagai sebuah transisi menuju tindakan penentuan nasib sendiri, yang sesuai dengan rencana yang dibentuk sejak lama oleh CNRM/CNRT. Indonesia memiliki perspektif berbeda, dan memandang otonomi sebagai sebuah konsesi akhir, yang akan menutup persoalan tentang Timor-Leste di arena internasional. Pembicaraan awal mengkhususkan pada isi dari paket otonomi tersebut bukan pada pertanyaan politik tersebut. 542. Dubes Marker juga berusaha melibatkan para pemimpin Timor-Leste ke dalam proses tersebut. Sejak penunjukkannya pada tahun 1997, Marker telah berusaha memperluas cakupan keterlibatan PBB lebih dari pembicaraan tiga arah dengan Portugal dan Indonesia. AIETD adalah hasil dari maksud ini, dan Marker telah mengembangkan hubungan kerja dengan para pemimpin - 134 - utama Timor. PBB melakukan konsultasi antara lain dengan Xanana Gusmão, José Ramos- Horta, Uskup Belo dan Uskup Nascimento tentang rincian cetak biru untuk otonomi yang dibuat untuk PBB. 543. Ketegangan di dalam Timor-Leste meningkat pada akhir tahun 1998. Di satu sisi ada dorongan rakyat untuk membuka dialog politik dan sebuah referendum; di sisi lain ada strategi militer untuk mengembangkan milisi pro-integrasi bersenjata untuk menghancurkan gerakan referendum. Hal tersebut menjadi semakin jelas bagi pemerintah utama internasional yang terlibat dalam masalah ini bahwa paket otonomi saja tidak akan menyelesaikan masalah. 544. Pada tanggal 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia John Howard menulis surat kepada Presiden Habibie, sebuah dokumen yang dianggap sangat mempengaruhi pemikiran Presiden Habibie. Sementara Perdana Menteri Howard menegaskan kembali bahwa Australia lebih suka Timor-Leste menjadi bagian dari Indonesia, dia memberi contoh Kesepakatan Matignon mengenai Kaledonia Baru Perancis dan menganjurkan bahwa sebaiknya Indonesia mempertimbangkan untuk menerapkan otonomi khusus dengan “mekanisme kajian” yang akan secara efektif menjadi referendum beberapa tahun ke depan: Untuk itu, layak dipertimbangkan, sebuah cara menanggapi keingingan rakyat Timor untuk sebuah tindakan penentuan nasib sendiri dengan cara yang menghindari sebuah keputusan awal dan akhir mengenai tentang masa depan provinsi tersebut.706 545. Saran untuk menghindari solusi yang cepat dan final bagi Timor-Leste ini sejalan dengan PBB, yang menganjurkan periode otonomi lima sampai tujuh tahun. Tapi, ini dipandang oleh Indonesia sebagai sebuah perubahan kebijakan yang besar oleh pendukung internasionalnya yang paling setia, sebuah perubahan yang mengakui hak rakyat Timor untuk penentuan nasib sendiri. Ketika cerita tentang surat Australia tersebut sampai ke publik, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menjelaskan pada tanggal 12 Januari bahwa “kami lebih suka sebuah susunan dimana Timor-Leste memiliki tingkat otonomi yang tinggi tapi tetap menjadi bagian Indonesia secara hukum.”707 546. Presiden Habibie dan Menteri Luar Negeri Alatas sangat menginginkan resolusi mengenai negosiasi dengan Portugal sebelum pemilihan parlemen Indonesia yang akan dilakukan pada tanggal 7 Juni 1999, yang dapat menghasilkan pengangkatan Presiden baru.* Surat PM Howard yang asli dikirim ke Presiden Habibie pada tanggal 21 Januari. Presiden Habibie menulis sebuah catatan di pinggir yang berisi: Jika, setelah 22 tahun, rakyat Timor-Leste tidak dapat merasakan persatuan dengan rakyat Indonesia…akan layak dan bijaksana, jika dengan sebuah keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Provinsi ke 27 Timor-Leste dapat dengan terhormat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia 708 547. Terdapat banyak spekulasi tentang penyebab perubahan Habibie, dan mungkin terlalu dibesar-besarkan surat Perdana Menteri dan perubahan kebijakan Australia. Tetapi, jelas bahwa Presiden Habibie menyadari sempitnya kesempatan untuk memberi dampak terhadap masalah yang tak berkesudahan ini, dan bahwa dia lebih terbuka pada pengaruh pandangan liberal internasional dibanding pendahulunya dan banyak orang-orang ini yang masih memegang posisi kuat di Indonesia. * Pada saat itu, Presiden Republik Indonesia tidak langsung dipilih oleh rakyat, tetapi diangkat oleh Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). - 135 - 548. Pada tanggal 27 Januari 1999, sebelum kerangka otonomi khusus dirampungkan, Indonesia mengumumkan perubahan kebijakannya: Indonesia akan memberi Timor-Leste kesempatan untuk menolak tawaran otonomi khusus tersebut. Jika rakyat Timor-Leste menolak paket otonomi tersebut, Indonesia akan mencabut undang-undangnya bulan Juni 1976 yang memasukkan wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia. Empat orang jenderal TNI yang kuat masuk dalam keanggotaan Kabinet Presiden Habibie. Adalah sesuatu yang luar biasa bahwa mereka menerima kebijakan ini, dan penjelasan yang mungkin adalah bahwa mereka yakin mayoritas pemilih Timor-Leste dapat diyakinkan untuk memilih melanjutkan integrasi dengan Indonesia.709 549. Sebuah pemungutan suara yang jelas akan memberi penyelesaian yang pasti pada permasalahan Timor-Leste, sebuah masalah yang telah mengganggu Indonesia sejak lama. Jenderal Wiranto mengusulkan tidak perlu ada periode transisi, pendapat yang juga dimiliki oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, yang mengatakan: Kenapa Indonesia harus membayar, jika Timor-Leste tidak menghendakinya? Jika tawaran kami tidak bisa diterima, saya tidak akan memberi alternatif dimana mereka meminta 5-10 tahun dan kemudian referendum.710 550. Xanana Gusmão dipindahkan dari penjara Cipinang yang dijaga ketat ke tahanan rumah pada tanggal 10 Februari 1999. Sementara masih ditahan dan dibatasi ruang geraknya untuk memainkan peran penuh untuk mencari solusi bagi Timor-Leste, dia menerima banyak pengunjung Timor-Leste, Indonesia dan tamu terkemuka internasional di rumah yang menjadi tempat tahanan di Salemba, Jakarta dan semakin diakui sebagai seorang negarawan internasional. Sementara itu masih terdapat tahanan dan narapidana politik Timor-Leste lainnya yang mendekam di berbagai penjara di Indonesia. Teror Milisi yang makin meningkat 551. Beberapa minggu sebelum pengumuman tanggal 27 Januari oleh Presiden Habibie di Jakarta, lebih dari 4000 orang mengungsi di katedral Suai yang belum selesai dibangun.711 Mereka berusaha menghindar dari kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kelompok milisi yang berbasis di Cassa (Ainaro), yang kemudian dikenal sebagai milisi Mahidi (Mati Hidup dengan Indonesia). Kelompok yang dipimpin oleh Câncio Carvalho, anak dari keluarga liurai lokal, melaksanakan sejumlah besar pembunuhan kejam yang diarahkan pada para pemimpin CNRT lokal. Salah satu yang paling kejam, pada tanggal 23 Januari 1999, di kota kecil Galitas, seorang perempuan hamil dibunuh, dan bayinya digorok keluar dari perutnya.712 Tiga hari kemudian, CNRT menulis kepada Sekjen PBB: Memang benar bahwa banyak dari ”pasukan-pasukan” ini adalah warga Timor-Leste. Yang tragis bagi kami adalah bahwa ini digambarkan sebagai perang saudara oleh pihak otoritas—rakyat Timor melawan rakyat Timor. Kami menyadari adanya perbedaan pendapat dalam masyarakat kami. Kami juga menyadari mengapa perbedaan ini ada. Kami tidak memiliki sumber daya ataupun kekuatan untuk mengendalikan apa yang sedang terjadi.713 552. Menyusul pembunuhan di Mauboke, (Maubara, Liquiça) dan menjelang pembunuhan di Gereja Liquiçá, pada tanggal 5 April Xanana Gusmão mengeluarkan pernyataan kemarahan yang merestui ‘perlawanan rakyat’ melawan kekerasan milisi yang terus berlanjut.714 Hari berikutnya milisi membunuh sebanyak enam puluh orang pengungsi di Gereja Liquiçá, dengan kehadiran dan keterlibatan militer dan Brimob. (Lihat Bab 7.2: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa, bagian tahun 1999) Pejabat senior TNI terlihat di gereja tersebut persis - 136 - sebelum kejadian tersebut.715 Milisi kemudian membunuh tujuh orang di Cailaco (Bobonaro) pada tanggal 12 April. Setelah demonstrasi massal di depan kantor Gubernur di Dili dimana pemimpin Aitarak Eurico Guterres memerintahkan milisi untuk “menangkap dan membunuh (para pendukung kemerdekaan) bila perlu”,716 milisi mengamuk di Dili. Di rumah Manuel Carrascalão mereka membunuh 12 orang.717 Menteri Luar Negeri Irlandia David Andrews sedang melakukan pertemuan di Dili dengan Komandan Militer Timor-Leste Kolonel Tono Suratman pada waktu itu, dan melihat dia menerima laporan tentang pembantaian itu dan tidak melakukan apa-apa. Milisi juga menyerang dan membakar sejumlah kantor satu-satunya surat kabar di wilayah tersebut, Suara Timor-Leste (STT). Meskipun secara tradisional STT menjadi juru bicara kebijakan Indonesia, pada akhir tahun 1998 dan awal tahun 1999, STT memberikan liputan yang relatif netral tentang kekerasan yang meningkat dan dukungan terhadap referendum, yang membuat marah para pendukung setia integrasi. Di tengah-tengah meningkatnya kekerasan pada bulan April, para pastor dan suster Gereja Katolik mengadakan parade perdamaian dengan membawa lilin menyala sepanjang jalan-jalan di Dili dalam upaya menenangkan situasi. 553. Dalam tiap kasus ini pembunuhan-pembunuhan tersebut mempunyai unsur yang sama yaitu dukungan langsung dan keterlibatan militer, pelakunya adalah milisi, sasarannya adalah para pendukung kemerdekaan, dan pembuangan mayat secara sistematis oleh militer yang menyulitkan penghitungan jumlah kematian yang pasti. Pola-pola ini sangat menunjukkan keterlibatan TNI dalam melaksanakan operasi.718 Kekerasan ini dirancang untuk menciptakan ilusi sebuah konflik antara rakyat Timor-Leste bersenjata. Pembantaian Liquiçá dan Dili kemudian dijelaskan oleh Kolonel Suratman terjadi karena diprovokasi oleh serangkaian tembakan dari kalangan pendukung kemerdekaan.719 Tapi penyelidikan menunjukkan bahwa tidak ada kejadian dimana para korban memiliki senjata.720 554. Pada tanggal 20 April, Jenderal Wiranto terbang ke Dili untuk mengawasi para pemimpin kemerdekaan dan otonomi Timor-Leste menandatangani perjanjian perdamaian untuk menghentikan kekerasan. Ini menutupi fakta bahwa kekerasan tersebut adalah pembunuhan orang-orang sipil tidak bersenjata yang sedang mencari perlndungan, dan sama sekali bukan konflik antara dua kelompok bersenjata. Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) dibentuk, dimana di dalamnya juga terdapat pihak militer, polisi, dan pemerintahan sipil.721 Wakil CNRT dan Falintil juga dilibatkan. Kesepakatan 5 Mei 555. PBB menyerahkan proposal berisi rencana otonomi pada bulan Februari 1999, yang disebut SARET (Special Autonomous Region of East Timor). Indonesia akan tetap mengendalikan masalah luar negeri, mata uang, pertahanan dan keuangan, sementara East Timorese Regional Council akan memiliki wewenang luas dalam membuat undang-undang dan mengendalikan polisi dan pengadilan. TNI hanya akan digunakan untuk pertahanan eksternal, selain itu akan di tempatkan di barak-barak. 556. Pada bulan Maret, Indonesia memutuskan pemungutan suara langsung. Indonesia menginginkan keputusan tersebut tidak dapat disangkal dan final. Pemungutan suara akan disebut ‘Konsultasi Rakyat’, menghindari penggunaan kata referendum yang menyatakan secara tidak langsung penentuan nasib sendiri dan pilihan berdaulat bagi rakyat Timor-Leste, yang menurut Indonesia telah terjadi melalui petisi Pemerintahan Sementara Timor-Leste pada tahun 1976, tentang integrasi dan Undang-Undang no. 7 tahun 1976, tentang integrasi Timor-Leste ke Indonesia sebagai provinsi ke 27. 557. Dengan makin memburuknya situasi keamanan dialog yang disponsori PBB antara Portugal dan Indonesia pada tanggal 22 April membahas sejumlah masalah keamanan untuk melucuti senjata milisi, mengurangi jumlah anggota TNI, membatasi Falintil di barak-barak, dan penetapan polisi sipil. Tetapi Menter Luar Negeri Alatas menolak untuk menyetujui hal-hal spesifik.722 Baik Amerika Serikat maupun Australia memberitahu Perwakilan Khusus Sekretaris - 137 - Jenderal, Jamsheed Marker, untuk tidak membahayakan negosiasi dengan penekanan yang terlalu besar pada keamanan.723 558. Pada tanggal 5 Mei Indonesia dan Portugal menandatangani sejumlah persetujuan tentang implementasi pemungutan suara. Indonesia mengingkinkan hasil sebelum Rapat MPR pada bulan September agar dapat disahkan dalam undang-undang Indonesia. Tanggal yang disetujui adalah 8 Agustus. Hal ini memberikan jadwal ketat dan kesempatan yang terbatas. Kata-kata yang disetujui tentang pemungutan suara meminta rakyat Timor apakah mereka menerima atau menolak otonomi khusus yang ditawarkan bagi Timor-Leste dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjanjian tersebut menekankan “sebuah pemungutan suara yang langsung, rahasia dan umum” (artikel 1), dan bahwa “tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk menjaga perdamaian dan keamanan…sehingga sebuah referendum dapat berjalan dalam suasana yang bebas intimidasi, kekerasan atau campur tangan dari kedua belah pihak.” (artikel 3). Mereka juga mendefinisikan sebuah periode interim sesudah pemungutan suara, dengan kehadiran PBB yang mencukupi di Timor-Leste. Pedoman SARET merupakan bagian dari perjanjian tersebut, dimana PBB bertanggungjawab untuk menjalankan kampanye informasi tentang mereka. Baik Indonesia maupun Portugal dilarang untuk berkampanye untuk opsi apapun. Pengaturan keamanan dalam Kesepakatan 5 Mei 559. Kesepakatan 5 Mei gagal mendefinisikan tanggungjawab keamanan secara memadai. Polisi Indonesia secara formal diberi tanggungjawab untuk keamanan. Polisi baru saja dipisahkan dari militer, dan masih berada di bawah komando Jenderal Wiranto, Menteri Pertahanan. Perjanjian tersebut mengalokasikan 300 orang polisi sipil internasional tak bersenjata untuk mendukung sejumlah tim elektoral PBB, dan kemudian ditambah dengan 50 orang perwira penghubung, yang dianggap lebih layak untuk berhubungan dengan TNI. 560. Kesepakatan tersebut menuntut “kenetralan absolut TNI,” tetapi gagal memaksa TNI mengurangi jumlahnya atau melucuti senjatanya. Mereka menyatakan, secara samar, bahwa KPS yang baru dibentuk bertanggunjawab untuk peletakan senjata”724 José Ramos-Horta, menyadari kekurangan pengaturan keamanannya, tidak menghadiri penandatanganan kesepatakan tersebut. Dia sebelumnya telah memperingatkan PBB, dalam sebuah surat pada Kofi Annan, bahwa Timor-Leste tidak bisa merasa aman “dengan ‘pengamanan’ yang disediakan oleh tentara yang sama dan kelompok kriminal yang telah merubah negara ini menjadi sebuah neraka.”725 PBB tidak menyadari bahaya dari pengaturan keamanan ini, dan Sekretaris Jenderal menulis ke Indonesia mempertanyakan sejumlah kekhawatiran. Dia menunjukkan kesiapannya untuk membatalkan pemungutan suara jika keamanan tak dapat memadai. Tetapi surat ini tidak resmi dan syarat-syaratnya tidak disetujui oleh Indonesia. Hal ini melemahkan PBB selama proses tersebut. Ian Martin, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal kemudian menulis bahwa meskipun dengan susunan keamanan yang lebih ketatpun “PBB masih akan menghadapi dilema yang akan muncul: apakah melanjutkan atau tidak dalam kondisi-kondisi keamanan yang jelasjelas melanggar perjanjian Indonesia.”726 561. Pada tanggal 5 Mei Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Johny Lumintang mengirim telegram ke komando Daerah Militer Bali (Kodam IX Udayana) meminta dilakukannya persiapan rencana evakuasi bagi Timor-Leste. Ini menghasilkan rencana pasca pemungutan suara pihak polisi dan militer untuk, antara lain, mengevakuasikan hampir seperempat juta orang dari Timor-Leste.* Rencana tersebut menunjukkan antipati TNI terhadap beragam aktor masyarakat sipil, termasuk para pemimpin kemerdekaan dan para mahasiswa, Gereja, pengamat internasional dan PBB, yang jelas bertentangan dengan netralitas yang diwajibkan oleh * Rencana-rencana operasional termasuk Operasi Cabut [yang gagal mencapai tujuannya]; Operasi Wira Dharma 99 yang dilaksanakan oleh Korem, dan Operasi Hanoin Lorosae II yang dilaksakan oleh Polisi. [Koleksi dokumen Yayasan Hak]. - 138 - Kesepakatan 5 Mei. Baik polisi maupun TNI tidak memberi tahu PBB tentang adanya rencana ini sampai beberapa saat menjelang pemungutan suara.727 3.20 Konsultasi Rakyat Tinjauan 562. Staf PBB mulai mendarat di Timor-Leste pada akhir bulan Mei 1999, untuk membentuk Misi Perserikatan Bangsa di Timor-Leste (UNAMET). Selama bulan Juni, staf elektoral internasional UNAMET, polisi sipil dan pejabat penghubung militer ditempatkan di ketigabelas kabupaten di wilayah tersebut. Hanya ada waktu kurang dari empat bulan untuk menghadapi Konsultasi Rakyat. 563. Tingkat tindak kekerasan yang meningkat pada bulan April, menjadi agak mereda dengan kedatangan staf PBB dan semakin banyaknya kehadiran rombongan media massa luar negeri dan pengamat Konsultasi Rakyat. Meski demikian, mereka yang bertanggung jawab terhadap pembantaian pada bulan April masih berkeliaran dan ketegangan masih tinggi. Kelompok militan di seluruh wilayah masih didukung oleh Militer dan Polisi Indonesia dan ada upaya untuk mengesahkan keberadaan mereka dalam sistem pemerintahan militer Indonesia. 564. Upaya nyata untuk mendamaikan perwakilan yang pro-kemerdekaan dan pro-otonomi oleh tokoh-tokoh Timor-Leste, gagal membuahkan hasil, sebagian penyebabnya karena upaya tersebut tidak menyinggung peran TNI dalam tindak kekerasan yang terjadi. Pasukan Falintil sendiri masuk ke barak-barak mereka. Sebaliknya, pasukan TNI dan milisi pro-otonomi tidak dikembalikan ke barak. Pelucutan senjata para milisi sebelum Konsultasi Rakyat lebih bersifat seremonial ketimbang kenyataan sebenarnya. 565. UNAMET menunda dimulainya pendaftaran pemilih atas alasan keamanan pada bulan Juni, dan Ian Martin terbang ke Jakarta untuk membicarakan masalah ini dengan Panglima Besar TNI, Jenderal Wiranto. Pendaftaran pemilih pun dilaksanakan, dan dalam waktu 22 hari sudah terdaftar sebanyak 451.792 pemilih. 728 566. Hampir 40.000 orang mengungsi akibat tindak kekerasan yang terjadi sebelum kedatangan UNAMET, dan karena intimidasi milisi pengungsian terus berlanjut hingga beberapa minggu menjelang pemilihan. Kebanyakan para pengungsi berasal dari bagian barat kabupaten Bobonaro, Covalima dan Liquiçia. Sebagian pengungsi lari ke Timor Barat sebelum Konsultasi Rakyat. Dalam situasi yang tegang dan kadang-kadang diwarnai kekerasan tersebut kampanye umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kelompok pro-otonomi menggelar sejumlah rapat akbar. Sedang pendukung pro-kemerdekaan hanya sekali mengadakan rapat akbar, di ibukota pada hari terakhir masa kampanye. 567. Pada awalnya dijadwalkan pada tanggal 8 Agustus, Konsultasi Rakyat diundurkan ke tanggal 30 Agustus. Pada hari Konsultasi Rakyat itu para pemilih telah memadati semua tempat pemungutan suara di seluruh wilayah jauh sebelum jam dimulainya pemungutan suara. Hal yang luar biasa, sebanyak 98,6 persen pemilih terdaftar mendatangi tempat pemungutan suara. Setelah memberikan suara, para pemilih bergegas kembali ke rumah, yang mencerminkan betapa tegangnya situasi saat itu. 568. Suara dibawa ke Dili untuk dihitung. Di sejumlah tempat, kekerasan terhadap staf PBB dan pendukung pro-kemerdekaan terjadi menjelang berakhirnya hari pemilihan. Selama hari-hari setelah Konsultasi Rakyat, serangan yang dilakukan oleh milisi pro-otonomi semakin meningkat. Di tengah ancaman tindak kekerasan, UNAMET mengumumkan hasil Konsultasi Rakyat pada pagi hari tanggal 4 September. Sebanyak 78,5 persen pemilih secara tegas menolak usulan - 139 - otonomi khusus dalam wadah Republik Indonesia, dan hanya 21,5 persen yang memilih otonomi khusus. Penempatan UNAMET 569. Petugas PBB mendarat di Timor-Leste beberapa saat setelah penandatanganan Kesepakatan 5 Mei untuk menilai situasi dan bantuan yang dibutuhkan misi pemilihan. Staf UNAMET mulai bekerja pada akhir bulan Mei, dan pada tanggal 4 Juni bendera PBB dikibarkan di kantor PBB di Dili. Staf UNAMET berdatangan selama bulan Juni, yang terdiri dari petugas pemilihan sipil, polisi sipil tak-bersenjata dan perwira-penghubung militer dari negara-negara di seluruh dunia.* Petugas warga Timor yang berjumlah sekitar 4000 pada hari pemungutan memainkan peranan penting sebagai petugas penterjemah, administrasi dan logistik, serta staf pendukung dalam kegiatan pendaftaran dan pemungutan suara. Mereka bekerja di bawah pimpinan Ian Martin yang merangkap jabatan sebagai Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Konsultasi Rakyat di Timor dan Ketua Misi PBB untuk Timor. (UNAMET).† Konsultasi Rakyat pada awalnya ditetapkan tanggal 8 Agustus, sehingga jadwal pelaksanaannya menjadi sangat ketat. Komisi Pemilihan 570. Kesepakatan 5 Mei menetapkan adanya Komisi Pemilihan yang independen. Sekretaris Jenderal PBB menunjuk tiga ahli internasional terkemuka untuk Komisi tersebut.‡ Komisi tersebut benar-benar indepeden dari UNAMET dan PBB di New York, dan bertanggung jawab untuk memastikan setiap tahap Konsultasi Rakyat Umum tersebut. Komisi juga merupakan wasit terakhir atas semua keluhan atau tentangan terhadap proses tersebut. 571. Anggota komisi tiba di Dili sesaat setelah dimulainya masa pendaftaran dan terus mengamati setiap fase proses Konsultasi Rakyat. Pilihan 572. Pertanyaan yang diajukan kepada orang Timor dalam kertas suara dibagi menjadi dua bagian, di mana pemilih diminta untuk memilih satu opsi. Pilihan didasarkan penerimaan atau penolakan terhadap tawaran paket otonomi khusus, yang didasar pada Wilayah Otonomi Khusus yang diusulkan atau dikenal dengan nama SARET. Kertas suara beebunyi: Apakah anda menerima tawaran otonomi khusus untuk Timor-Leste dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ? atau “Apakah anda menolak tawaran otonomi khusus untuk Timor-Leste, yang akan mengakibatkan Timor-Leste berpisah dari Indonesia?” * Personel UNAMET Internasional terdiri dari tim pemilihan yang bermaskas di Dili dan delapan petugas regional yang dijabat oleh 28 staf professional dan sekitar 500 sukarelawan PBB, 275 orang polisi. 15 pejabat politik, 9 petugas informasi umum, 271 staf administrasi dan staf pendukung, dan 16 petugas keamanan, semuanya berasal dari lebih 70 negara. Sebelumya yang tidak termasuk dalam misi adalah sebanyak 50 perwira penghubung-militer yang diikutkan pada bulan Juni, setelah pengakuan internasional terhadap peran utama TNI dan pentingnya upaya untuk mempengaruhi mereka. Lihat, Martin, Self Determination In East Timor, hal. 38-39 dan hal. 41-42. † Ian Martin telah bekerja untuk PBB dan organisasi internasional lainnya pada sejumlah jabatan senior dari 1985 sampai 1999. Ia adalah Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional tahun 1986-1992, dan sebelumnya Ketua Departemen Peneliti Kawasan Asia Pasifik di Amnesti. Ian Martin memberi kesaksian kepada Komisi mengenai periode UNAMET pada acara dengar pendapat nasional mengenai Penentuan Nasib Sendiri dan Masyarakat Internasional, tanggal 15-17 Maret 2003. ‡ Hakim Joham Kriegler (Ketua Komisi Pemilihan Afrika Selatan) yang memimpin Komisi, Pat Bradley (Pejabat Pemilihan untuk Irlandia Utara) dan Bong-Scuk Shon (Ketua Komisi Pemilihan Nasional Republik Korea Selatan). - 140 - 573. Indonesia dan Portugal dilarang keras oleh Kesepakatan 5 Mei untuk mendukung salah satu opsi tersebut. Mandat UNAMET meliputi kewajiban untuk memberikan penjelasan umum kepada rakyat Timor-Leste tentang rincian tawaran otonomi khusus tersebut. Hal Ini dilakukan melalui televisi, radio dan selebaran.729 Koordinasi Pemerintah Indonesia untuk Konsultasi Rakyat 574. Indonesia membentuk Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor-Leste (Satgas P3TT), yang bertanggung jawab terhadap Menteri Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan di Jakarta. Pihak militer dalam Satuan Tugas ini diwakili oleh Jenderal Zacky Anwar Makarim, pejabat TNI paling senior di Timor-Leste selama Konsultasi Rakyat. Satuan Tugas ini adalah penghubung pertama bagi UNAMET, yang stafnya mengadakan rapat hampir tiap hari dengan anggota Satuan Tugas. 730 Kehadiran Masyarakat Internasional di Timor-Leste 575. Dengan kehadiran PBB di Timor-Leste, masyarakat internasional mengalir deras ke wilayah yang selama ini merupakan kawasan tertutup bagi mereka. Rombongan media massa internasional meliput persiapan Konsultasi Rakyat, dan wakil surat kabar dan jurnal internasional terkemuka juga berada di sana. UNAMET memberikan izin kepada sekitar 600 wartawan dalam Konsultasi Rakyat tersebut. 731 576. Sejumlah pemerintah negara-negara asing kunci melakukan pemantauan diplomatik ketat atas situasi di Timor-Leste selama periode UNAMET tersebut. Amerika Serikat membentuk cabang konsulat dari Kedutaan Besarnya di Jakarta dan delegasi Kongres Amerika mengunjungi Timor-Leste bulan Agustus. Australia khususnya menempatkan staf konsulatnya dalam jumlah yang besar di Dili. 577. Portugal dan Indonesia mengirim tim pemantau yang masing-masing berjumlah sekitar 50 anggota, yang berkeliling di seluruh kawasan selama pedaftaran, kampanye dan persiapan terakhir menjelang pemilihan.732 Mereka mengawasi pada hari Konsultasi Rakyat di sejumlah tempat pemungutan suara di seluruh wilayah termasuk penghitungan suara yang dilakukan di Dili. Selain pemantau resmi dari Portugis dan Indonesia tersebut, UNAMET menyiapkan sekitar 2,300 pemantau resmi, yang mengharuskan mereka untuk mematuhi peraturan tata tertib yang memastikan kenetralan mereka. Hampir 500 pemantau internasional datang bersama delegasi pemerintah mereka, seperti dari Australia, Brazil, Kanada, Chili, Irlandia, Selandia Baru, Spanyol dan Uni Eropa. Selain itu, hadir dalam jumlah besar wakil organisasi masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah baik dari dunia internasional, Indonesia maupun Timor. Dua LSM, yakni Carter Center dan IFET (Federasi Internasional untuk Timor), membentuk berbagai tim pemantau di tingkat kabupaten. 733 578. Kehadiran masyarakat internasional ini belum pernah terjadi dalam sejarah Timor-Leste. Selama masa 25 tahun kehadiran Indonesia di sana tidak dapat dibayangkan bahwa kawasan tersebut akan begitu terbuka bagi masyarakat internasional. Setelah berbulan-bulan terjadi tindak kekerasan berdarah terhadap masyarakat sipil hingga menjelang Kesepakatan 5 Mei, ketika nyaris tidak ada masyarakat internasional di Timor-Leste, keberadaan masyarakat internasional di seluruh kawasan tersebut memastikan tingkat pemantauan yang mungkin berperan besar terhadap berkurangnya serangan yang dilakukan oleh milisi atau TNI. Pemantau dari Timor-Leste dan Indonesia 579. UNAMET memberikan izin bagi sekitar 1700 pemantau dari LSM Timor-Leste dan Indonesia untuk mengawasi Konsultasi Rakyat. Banyak di antara mereka berasal dari organisasi mahasiswa dan aktivis, akan tetapi mereka semua harus mematuhi tata tertib UNAMET untuk - 141 - pemantau resmi untuk menjamin kenetralan mereka.734 UNAMET mengizinkan CNRT dan UNIF (Front Bersama untu Otonomi Timor) untuk menunjuk pemantau, yang dikenal sebagai wakil partai, untuk mengawasi Konsultasi Rakyat dan penghitungan suara. Pengamanan untuk Konsultasi Rakyat 580. Situasi keamanan yang rawan di seluruh wilayah tetap menjadi ancaman yang paling besar bagi proses Konsultasi Rakyat. Meski operasi militer besar oleh militer Indonesia dan milisi tidak mungkin terjadi tanpa diketahui masyarakat internasional, militer Indonesia tidak melucuti senjata milisi atau pun melarang kehadiran mereka yang menakutkan di tengah masyarakat. Setelah pembantaian massal pada bulan April di Gereja Liquiça dan di rumah Manuel Carrascalao di Dili, tidak ada upaya untuk menyelidiki dan menahan mereka yang betanggung jawab. Tiadanya sanksi hukum atas tindak kejahatan yang terjadi di akhir tahun 1998 dan awal 1999 masih tetap berlangsung, meskipun PBB dan masyarakat internasional hadir di sana. 581. Kesepakatan 5 Mei memberikan tanggung jawab formal kepada Polisi Indonesia untuk memastikan keamanan selama Konsultasi Rakyat. Pengaturan ini ternyata sangat tidak memadai. Masalah kelembagaan utamanya adalah status subordinasi Polri terhadap TNI. Meski terdapat pemisahan kelembagaan antara komando TNI dengan Polri sejak bulan April 1999, keduanya masih di bawah kendali Menteri Pertahanan, Jenderal Wiranto. Ada budaya yang berakar kuat perihal dominasi TNI terhadap Polri dalam berbagai masalah operasional. Keberadaan TNI dalam jumlah yang besar di seluruh wilayah Timor-Leste hingga ke tingkat masyarakat memberikan tekanan yang besar kepada polisi dalam kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri sebagai penjaga hukum dan ketertiban. 582. Polisi secara konsisten terbukti tidak mampu atau tidak berminat untuk mengendalikan kekerasan yang terjadi selama Konsultasi Rakyat. Alasan lain atas hal ini adalah kehadiran dalam jumlah besar polisi anti huru-hara, yakni Brimob, yang terkenal dengan kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang mereka lakukan di Timor-Leste selama dasawarsa 1990- an. Jumlah polisi, khususnya jumlah Brimob, selama periode Konsultasi Rakyat bertambah hingga menjadi 8000 personel.735 Polisi secara umum gagal untuk merespon secara cepat kekerasan yang dilaporkan atau menahan para pelaku kejahatan. Hal ini memberi keleluasaan kepada mereka yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasidi seluruh wilayah. Contoh nyata hal ini adalah ketika polisi gagal bertindak terhadap serangan yang dilakukan oleh milisi Besi Merah Putih (BMP) terhadap konvoi kemanusiaan pada tanggal 4 Juli, meski secara khusus polisi telah ditugaskan untuk memberikan perlindungan. 736 Lebih celaka lagi, polisi secara langsung dan berulang-ulang terlibat mendukung kekerasan yang dilakukan oleh milisi. Contoh paling nyata adalah pembunuhan Bernardino Agusto Guiteres pada tanggal 26 Agustus 1999 yang ditembak mati oleh Brimob di Becora, Dili, sementara para milisi mengamuk tidak jauh dari sana.737 583. Pejabat-Penghubung Militer UNAMET (MLO) tidak dapat memperoleh informasi yang akurat dari TNI mengenai jumlah tentara dan penempatan mereka, meskipun diyakini bahwa jumlah TNI di Timor-Leste lebih dari 15.000 personel. 738 Meski Xanana Gusmão terus berupaya bernegosiasi agar TNI mengurangi jumlah tentara dan menarik sisa pasukan ke barak kabupaten, Militer Indonesia masih terus ditempatkan hingga di tingkat desa di seluruh kawasan Timor-Leste.739 584. Kesepakatan 5 Mei tidak memuat ketentuan langsung mengenai masuknya TNI, milisi atau Falintil ke barak, atau pun pelucutan senjata mereka. Tetapi hal ini diserahkan kepada Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) yang dibentuk oleh Jenderal Wiranto pada tanggal 21 April setelah terjadinya pembunuhan masal di Liquica dan Dili pada bulan itu.* KPS bertanggung * KPS terdiri dari dua anggota CNRT/Falintil dan dua pro-integrasi, yang digambarkan sebagai pihak yang berkonflik, bersama dengan anggota militer Indonesia, polisi dan pemerintah setempat. Tidak ada wakil masyarakat sipil dan PBB - 142 - jawab “dengan bekerja sama dengan PBB, (untuk) menyusun peraturan tata tertib yang harus ditaati oleh semua pihak, selama periode sebelum dan sesudah Konsultasi Rakyat, untuk peletakan senjata dan mengambil langkah-langkah untuk melakukan perlucutan senjata“. KPS terbukti tidak efektif dalam melaksanakan tanggung jawabnya, meski anggota Komisi telah menandatangani Kesepakatan pada tanggal 18 Juni bahwa kedua belah pihak akan menghentikan semua tindak kekerasan dan menyerahkan semua senjata kepada pihak yang berwenang.740 Kekerasan oleh TNI-Milisi: Juni-Juli 585. Banyak sekali bukti yang ada menggambarkan TNI yang memberi pengarahan kepada kampanye pro-otonomi dan kekerasan oleh para milisi. 741 586. Setelah Kesepakatan 5 Mei, TNI menggambarkan milisi sebagai kelompok pertahanan sipil. Bupati Dili mendirikan Pam Swakarsa (Pengamanan Swakarsa) pada tanggal 17 Mei 1999. Keputusan ini menyebutkan bahwa Gubernur, Komandan Korem (Danrem), dan Kepala Kepolisian Wilayah sebagai penasihat utama Pam Swakarsa, dan Eurico Guterres sebagai “Komandan Operasional”. Di antara 2.650 anggota Pam Swakarsa yang terdaftar di Dili, 1.521 orang di antaranya adalah anggota Aitarak.742 Ini memberikan tingkat keabsahan tertentu bagi milisi, yang sebelumnya tidak pernah mereka miliki.743 Gambaran yang secara luas dibentuk oleh mereka adalah Timor-Leste akan menjadi “lautan api” jika orang Timor-Leste memilih merdeka. Sebagai petunjuk atas hal ini jauh-jauh hari sebelum referendum, pimpinan TNI di Timor-Leste, Kolonel Tono Suratman, dalam wawancara dengan TV Australia dalam program tayang Sunday mengenai peristiwa terkini, pada bulan Juni, mengatakan: Saya ingin menyampaikan pesan ini kepada anda. Apabila pihak pro kemerdekaan menang, tidak hanya pemerintah Indonesia yang harus menghadapi hal-hal yang mengikutinya. PBB dan Australia juga harus menyelesaikan persoalan ini dan yah, jika ini terjadi, maka tidak akan ada pemenang. Semuanya akan dihancurkan. Timor-Leste akan musnah. Akan lebih buruk dari 23 tahun yang lalu.744 587. Komisi mendengarkan kesaksian dari Ian Martin atas bukti yang dikumpulkan oleh staf UNAMET mengenai keterkaitan antara TNI dengan pemerintah daerah dan kelompok milisi. Ia menulis: Dari staf kita yang masuk ke sejumlah kabupaten dan kecamatan, kita menjadi lebih paham tentang kegiatan milisi. Kita jadi makin mengerti bahwa para milisi telah dibentuk, dipersenjatai dan diperintah oleh TNI, dan memiliki hubungan dengan pemerintah setempat. Kita secara langsung mendapati milisi dilatih dan diperintah oleh TNI dan kami mengatakan hal tersebut secara terbuka. 745 Dare II 588. Pada tanggal 25-30 Juni, Uskup Belo dan Nascimento melakukan upaya lebih lanjut untuk mempertemukan warga Timor pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Pertemuan Perdamaian dan Rekonsiliasi Dare II ini diadakan di Jakarta, yang memungkinkan Xanana Gusmão ikut serta yang tidak disertakan. Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia, Komnas HAM, juga termasuk KPS. Lihat Martin, Self Determination, hal. 30 dan 70. - 143 - dalam pertemuan ini. Ini pertama kali sejak tahun 1975 ia dapat bertemu dengan José Ramos- Horta yang diizinkan datang bersama-sama dengan wakil warga Timor pro-kemerdekaan di pengasingan. Sementara diskusi diadakan dalam suasana yang hangat, pertemuan tidak menetapkan rencana mengenai tindakan untuk melanjutkan dialog yang berkelanjutan antara berbagai pihak dalam upaya mengurangi permusuhan dan penggunaan kekerasan. 589. Serangkaian serangan milisi di Timor–Leste terjadi setelah pertemuan Dare II tersebut. Pada tanggal 29 Juni Milisi Dadarus Merah Putih menyerang kantor UNAMET di Maliana, dan pada tanggal 4 Juli milisi Besi Merah Putih menyerang konvoi kemanusiaan antara Liquiça dan Dili.746 Ian Martin mengatakan kepada Komisi mengenai pertemuan rutin UNAMET dengan anggota sipil dan militer Satuan Tugas Indonesia, di mana ia bersama rekan kerjanya secara terus-menerus mengungkapkan keprihatinannya. Ia mengatakan kepada CAVR bahwa pada tanggal 7 Juli, setelah serangan tersebut, ia terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan Jenderal Wiranto untuk memberikan bukti secara langsung yang didapat PBB mengenai kaitan antara TNI dan milisi. 747 590. Kekerasan dan keterlambatan yang disebabkan oleh milisi menyebabkan adanya kegiatan diplomatik yang tinggi yang pada akhirnya berhasil memaksa pihak Indonesia untuk meningkatkan situasi keamanan di sana. Pada tanggal 12 Juli, Satuan Tugas Indonesia berkunjung ke Timor-Leste, dengan ditemani Jenderal Wiranto. Dalam beberapa hari kekerasan berkurang dan, sambil menekankan bahwa pemilihaan dapat ditunda sewaktu-waktu, Sekretaris Jenderal PBB memberikan persetujuannya bahwa pemilihan dapat dilangsungkan.748 Pendaftaran Pemilih 591. Kesepakatan 5 Mei menetapkan tanggal 16 Juli sebagai hari terakhir dimulainya pendaftaran pemilih. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan mengadakan sidang pada bulan September dan hanya MPR saja yang memiliki wewenang untuk mengesahkan Undang-Undang tentang hasil Konsultasi Rakyat tersebut. Agar hal ini dapat terwujud, maka pemilihan harus dilaksanakan akhir Agustus. Di bawah tekanan internasional yang semakin kuat, pedaftaran pemilih dapat dimulai tanggal 16 Juli. 592. Tanggal 20 Juli, Sekretaris Jenderal Kofi Annan melaporkan kepada Dewan Keamanan: Aktivitas milisi, yang telah menyebabkan banyak warga Timor mengungsi sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan dan keamanan, yang nyata-nyata bermaksud untuk mempengaruhi pilihan politik, merupakan tantangan yang paling mendasar terhadap proses Konsultasi Rakyat yang bisa diterima.749 593. Sekretaris Jenderal juga mengatakan bahwa kegiatan CNRT telah dibatasi, akses bagi media independen terbatas, dan kampanye pro-otonomi telah dimulai sebelum waktu yang telah ditentukan, dan pegawai pemerintah menggunakan jabatan dan dana untuk melakukan kampanye pro-otonomi, dan pegawai negeri sipil ditekan untuk memilih pro-otonomi. 750 594. Iklim ketakutan yang diciptakan oleh kelompok milisi dan kelompok pro-otonomi menyebabkan 40.000 orang mengungsi pada bulan Juni.751 Karena terus berlangsungnya tindak kekerasan maka jumlah pengungsi bertambah menjadi 60.000 pertengahan pada bulan bulan Juli (Lihat Bab 7.3.: Pemindahan Paksa dan Kelaparan, seksi tahun 1999). Beberapa di antara mereka adalah pemimpin pro-kemerdekaan yang rumah dan desanya menjadi sasaran. Banyak pengungsi yang semata-mata menghindari tindak kekerasan dan intimidasi. Beberapa orang mencari perlindungan di kota yang agak besar di Timor-Leste, sementara yang lain mencari perlindungan ke Timor Barat. Dalam situasi keamanan yang rawan, kampanye pendidikan - 144 - pemilih oleh UNAMET menekankan pada kerahasiaan pemungutan suara dan janji PBB yang akan tetap berada di Timor-Leste setelah Konsultasi Rakyat. 595. Meski terdapat permasalahan dan keterlambatan tersebut pendaftaran pemilih oleh UNAMET tidak dapat mendapat hambatan, dan 451.792 pemilih bisa didaftar, baik di Timor-Leste maupun di luar negeri.* Hal ini jauh melampaui perkiraan, dan menunjukkan tekad rakyat Timor- Leste untuk menentukan nasib politik mereka meski harus menghadapi intimidasi dan kekerasan. Komisi pemilihan menentukan bahwa proses pendaftaran sah, yang menjadi dasar yang kuat untuk meyelenggarakan Konsultasi Rakyat. 752 Kampanye Kelompok Pro-Kemerdekaan 596. Dalam situasi ketakutan yang secara terus-menerus diciptakan oleh milisi selama awal tahun 1999, pimpinan CNRT memilih melakukan kampanye secara diam-diam. Mereka yakin bahwa rasa nasionalisme warga Timor yang telah dibangun selama 24 tahun masa resistensi terhadap pendudukan Indonesia membuat kampanye pro-kemerdekaan menjadi tidak perlu. Sebaliknya, tindakan mereka lebih berpusat pada rekonsiliasi yang dapat menciptakan situasi yang stabil dan damai dimana UNAMET dapat menyelenggarakan pemungutan suara. 597. Pada Bulan Maret 1999, Xanana Gusmão meminta mahasiswa untuk ikut berperan sebagai motor “penggerak” kampanye, karena jika CNRT sendiri yang melakukannya akan sangat berbahaya. Pada bulan April, kantor CNRT di Dili dihancurkan oleh milisi dan sebagian pemimpinnya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Selama masa ini, sebanyak 800 mahasiswa kembali ke Timor-Leste dari universitas di seluruh Indonesia. Banyak kelompok mahasiswa tergabung dalam Presidium Juventude Loriku Ass’wain Timor Lorosa’e.† Banyak yang kembali ke kampung halaman mereka atau pun tinggal di Dili. Di Dili, para pelajar memfokuskan diri pada upaya mengkoordinasikan kampanye informasi dan mempublikasikan lambang CNRT pada kertas suara. Kegiatan mereka mencakup mendiskusikan rekonsiliasi, informasi terkini mengenai persiapan Konsultasi Rakyat, dan menyampaikan perintah CNRT. Sebagai medianya adalah fotokopi bulletin, karena pada awalnya pemilik percetakan tidak mau menanggung risiko untuk mencetak bahan seperti ini. Presidium juga mendirikan radio Matebian Lian (Suara Matebian), yang meskipun dicekal, masih terus mengudara. 598. Peran mahasiswa ini menanggung resiko, dan mereka menjadi sasaran selama kampanye. 753 Pada tanggal 20 Mei, Milisi Aitarak membunuh dua anggota DSMPTT di Hera, yang diduga melibatkan TNI. 754 Milisi Laksaur membunuh dua mahasiswa lagi di Covalima. 755 Berdasarkan perintah CNRT, para mahasiswa tidak merespon tindak kekerasan yang dilakukan para milisi. Hal ini dilakukan dalam rangka menghindari meluasnya konflik di antara kelompok warga Timor yang dapat diklaim oleh TNI sebagai perang saudara. 599. Pada tanggal 1 sampai 4 Juli Xanana Gusmao bertemu dengan delegasi CNRT di rumah tahanannya di Salemba, yang menghadiri Pertemuan Dare II di Jakarta, bersama anggota CNRT lainnya membentuk tim kampanye CNRT yang bernama Komisi untuk Perencanaan dan Koordinasi Kampanye (Comissão de Planeomento e Coordinacao de Capanha, CPCC). CPCC bertemu di Dili tanggal 9 Juli dan merumuskan rencana kampanyenya. Kampanye ini menekankan pada kampanye diam-diam dari pintu ke pintu, khususnya dimaksudkan untuk mengenalkan lambang CNRT dan untuk membangun rasa persatuan nasional serta stabilitas. Bendera CNRT baru saja dikibarkan secara umum di Timor-Leste dan banyak warga yang belum * Tempat pemungutan suara luar didirikan di lima lokasi di Indonesia, Australia, dan Eropa. † Dewan Solidaritas Mahasiswan Timor-Leste (ETSSC) merupakan pengecualian utama. Organisasi ini memilih tidak beraliansi dengan CNRT, yang dianggapnya terlumuri dengan politik partisan tahun 1975. - 145 - begitu kenal dengan bendera tersebut. CPCC juga menerbitkan surat kabar Vox Populi, dengan oplah harian 1,300 dan membuat program radio dengan nama yang sama. 756 Kelompok Aktif Pro-Otonomi 600. Pada awal tahun 1999 sejumlah organisasi terbentuk yang kemudian menjadi sayap politik kampanye pro-otonomi. Pada tanggal 27 Januari, Forum Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan (FPDK) resmi berdiri, yang dipimpin Walikota Dili, Domingos Soares. Pada bulan April, Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) berdiri dan dipimpin oleh bekas Presiden UDT Fransisco Lopes da Cruz. Organisasi lainnya, Front untuk Otonomi Timor Timur (UNIF) berdiri pada tanggal 23 Juni.