Sejarah Konflik Timor Timur Pendahuluan 1. Bab ini memberi konteks historis pada kejadian-kejadian yang tercakup dalam bab-bab pelanggaran dari Laporan ini. Bab ini didasarkan pada sumber-sumber primer dari Komisi ini sendiri, dari pernyataan, wawancara dan kesaksian yang diberikan pada audiensi-audiensi publik; dari bukti-bukti dokumenter yang tersedia bagi Komisi; dan dari analisis sumber-sumber sekunder yang relevan. Pada umumnya bab ini terbatas pada ulasan singkat atas kejadiankejadian penting, momen-momen dan titik-titik balik dalam periode mandat komisi yang relevan terhadap konflik-konflik politik, upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik ini, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam konflik-konflik ini. Dalam cakupan Laporan ini, tidak mungkin untuk bisa memberikan penjelasan yang pasti mengenai berbagai persoalan kunci yang terus menjadi dugaan sejarah mengenai masa ini dan kejadian-kejadian ini. Bukan tugas Komisi ini untuk membuat penilaian-penilaian yang pasti seperti ini. Bab ini memang berupaya untuk mengidentifikasi apa saja persoalan-persoalan ini, dan Komisi mendorong penelitian, penulisan dan analisis lebih lanjut dari aspek-aspek penting dalam sejarah East Timor. 2. Analisis dan penulisan sejarah East Timor ini merupakan langkah penting dalam pembangunan suatu bangsa, dan cara hal ini dilakukan akan mencerminkan masyarakat apa yang akan ditumbuhkan oleh bangsa baru kita ini. Laporan Komisi didasarkan pada umumnya atas pernyataan dan wawancara yang diberi oleh warga Timor biasa dari seluruh penjuru negeri, dan berupaya untuk menarik suara mereka ke dalam sebuah dialog berkelanjutan untuk membangun bangsa kita yang baru ini. Laporan ini tidak dimaksud untuk menjadi sejarah yang eksklusif, yang hanya merekam pandangan dan pencapaian para pemimpin nasional, atau dari salah satu pihak dalam pecaturan politik. Laporan ini didasarkan atas gagasan bahwa perekaman dan analisis sejarah haruslah bersifat terbuka bagi informasi dan gagasan baru, dan bagi informasi dan pandangan yang belum tentu populer secara politis. Walaupun sejarah adalah sesuatu yang penting bagi pembangunan bangsa, suatu versi sejarah yang simplistis yang ingin menyembunyikan segala kenyataan yang buruk atau menghilangkan kontribusi orang-orang dari berbagai bidang kehidupan tidak akan dapat membangung bangsa yang kuat dan tangguh. Penulisan sejarah yang mengakui kompleksitas, yang memberi ruang bagi suara-suara orang yang sering terbungkam, dan yang membuka jalan bagi renungan terbuka dapat memberi subangan dalam pembagunan suatu bangsa dimana gagasan mengenai kekuatan didasarkan pada penghormatan orang lain, keberagaman dan demokrasi yang didasarkan pada kesetaraan semua warga negaranya. 3. Penulisan sejarah East Timor adalah penting sebagai dasar bagi hubungan kita dengan tetangga-tetangga internasional kita, khususnya Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Indonesia Dr Asvi Warman Adam kepada Komisi pada audiensi nasional tentang Penentuan Nasib Sendiri dan Komunitas Internasional: Ingatan kolektif kedua bangsa akan menentukan sifat serta kuat lemahnya hubungan antara kedua bangsa itu. Hal ini akan tercermin dalam penulisan sejarah kedua bangsa ini1. 4. Bab ini mulai dengan sebuah ulasan singkat tentang sejarah kolonial Timor-Leste di bawah kekuasaan Portugal. Bab ini sengaja memberi penekanan pada periode menjelang konflik internal Agustus-Spetember 1975 serta invasi Indonesia setelah itu. Ulasan ini membahas kejadian-kejadian dan berbagai hubungan seputar proses dekolonisasi Timor Portugis, di dalam wilayah ini, di Indonesia dan di dalam konteks regional dan geopolitis yang lebih luas. Hal-hal ini - 6 - penting bagi sebuah pemahaman akan penyebab konflik-konflik politik di Timor-Leste, berbagai kesempatan yang hilang untuk menghindari perang dan mencari penyelesaian damai atas persoalan politik berdasarkan prinsip hukum internasional, dan melibatkan aktor Timor, Indonesia serta internasional. 5. Bagian-bagian berikutnya membahas kampanye militer besar-besaran oleh Indonesia pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, serta upaya-upaya politiknya untuk mendapatkan pengakuan internasional bagi pencaplokannya atas Timor-Leste. Bagian-bagian tersebut juga membahas mengenai penderitaan warga Timor–Leste selama tahun-tahun perang yang gencar, di gunung-gunung dan kamp-kamp pada tahun-tahun pemboman dan kelaparan yang membinasakan penduduk. Bagian-bagian ini menelusuri pergeseran strategi oleh Fretilin/Falintil setelah mereka hampir dihancurkan dalam kampanye tahun 1978, mengenai pertumbuhan jaringan klandestin di kota-kota dan desa-desa di seluruh negeri dan ekpansi teritorial militer Indonesia serta jaringan intelijen yang intensif. Tahun-tahun konsolidasi baik oleh pemerintahan Indonesian maupun Resistensi, selama dasawarsa 1980-an, dijelaskan dengan fokus pada upaya-upaya mengembangkan rasa persatuan nasional dan bangkitnya generasi baru pemuda dalam perlawanan terhadap pendudukan. 6. Kejadian-kejadian seperti Pembantaian Santa Cruz, tertangkapnya Xanana Gusmão dan Penganugerahan Nobel Perdamaian pada dasawarsa 1990-an digambarkan sebagai titik-titik balik dalam perjuangan bangsa Timor-Leste dalam mendapatkan pengakuan atas hak untuk menentukan nasib sendiri. Bagian-bagian berikutnya membahas dampak krisis keuangan Asia di Indonesia dan di Timor-Leste, serta intensifikasi upaya-upaya internasional di bawah Sekretaris Jenderal PBB yang baru, Kofi Annan, untuk menemukan solusi bagi persoalan Timor-Leste. Dengan kejatuhan Presdien Soeharto, bab ini menelusuri upaya di dalam Timor-Leste dan di kancah internasional untuk mencari penyelesaian, serta munculnya milisi-milisi di Timor-Leste ketika menjadi jelas bahwa hal ini dapat mencakup pilihan bagi warga Timor-Leste untuk memilih merdeka. Bagian ini menggambarkan perkembangan pesat pada tahun 1999 menjelang kesepakatan 5 Mei, dan kekerasan oleh milisi-TNI terhadap penduduk sipil menjelang pengumuman hasil Konsultasi Rakyat. Masa UNAMET dan bagaimana Konsultasi Rakyat ini dijalankan juga dijelaskan. Bab ini lebih lanjut membahas secara mendalam mengenai kegagalan Indonesia untuk menjamin keamanan selama dan sesudah Konsultasi Rakyat, dan peran TNI dan kelompok-kelompok milisi dalam peningkatan kekerasan di seluruh wilayah setelah pengumuman Konsultasi Rakyat yang menolak paket otonomi khusus. Upaya-upaya orang-orang Timor dan internasional untuk menjamin adanya intervensi untuk menghentikan kekerasan dan untuk memastikan bahwa hasil Konsultasi Rakyat dihormati oleh Indonesia juga dijelaskan. Bab ini berakhir dengan kedatangan Interfet serta kembalinya para pengungsi Timor-Leste secara bertahap dari Timor Barat dan wilayah Indonesia lainnya, Portugal, Australia dan banyak negara lain di dunia di mana mereka menyebar selama tahun-tahun konflik. 7. Harapan Komisi ialah bahwa sejarah singkat ini akan membantu pembaca memahami isi dari bagian-bagian dan bab-bab yang lain dalam Laporan ini, dan bahwa hal ini akan mengilhami generasi sejarawan Timor-Leste sekarang dan masa mendatang untuk terus bekerja dalam memahami masa lalu kita sebagai bagian dari upaya yang berkesinambungan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada penghormatan pada sesama, pada hak asasi manusia, dan pada rasa cinta damai. 3.2 Penjajahan Portugis atas Timor-Leste Tinjauan 8. Keterlibatan Portugis di Timor dimulai pada abad-16 saat Portugis mencari kayu cendana. Pada akhir abad-16 Gereja Katholik pertama dibangun di Lifau, Oecusse, yang menjadi basis pemerintahan Portugis pertama di Timor. Portugis dan Belanda mempunyai hubungan - 7 - yang tegang sebagai dua kekuatan penjajah utama di kepulauan ini, dan pada abad-18 kekuatan militer Belanda menjadi seimbang dengan kekuatan Portugis. Portugis memindahkan basisnya ke Dili pada tahun 1771 dan semakin menitikberatkan upaya penjajahannya pada belahan timur kepulauan ini. Pada paruhan kedua abad-19, Portugis secara paksa memperkenalkan tanaman perdagangan seperti kopi di Timor dan berusaha mengkonsolidasikan pemerintahan kolonialnya dengan menerapkan pajak dan kerja paksa, yang mendorong terjadinya sejumlah pemberontakan rakyat Timor. Taktik penjajah untuk memecah-belah dan menguasai digunakan untuk memecah-belah dan melemahkan kepemimpinan tradisional Timor. 9. Pada tahun 1913 batas wilayah kolonial antara Timor Portugis dan Timor Belanda ditetapkan melalui sebuah keputusan oleh mahkamah internasional di Den Haag, yang dikenal dengan nama Sentenca Arbital, di mana Portugis mengambil setengah bagian di Timur dan wilayah kantong Oecusse. Pada abad-20, Portugal didonimasi oleh rejim otoriter Perdana menteri Salazar. Timor merupakan wilayah jajahan Portugis paling terpencil, dan sebagian besar pembangunan, baik fisik maupun politik, dilupakan. 10. Perang Dunia Kedua mendatangkan kekerasan yang luar biasa di Timor, saat Tentara Sekutu mendarat di wilayah netral Timor Portugis yang diikuti oleh pasukan pendudukan Jepang. Jumlah kematian di antara penduduk Timor mencapai antara 40.000 sampai 60.000 orang. Setelah Perang Dunia Kedua, pemerintahan kolonial Portugis kembali. Timor tetap menjadi pulau yang miskin meskipun relatif tenang sampai Revolusi Bunga pada tanggal 25 April 1974 akhirnya membuka peluang untuk dekolonisasi di Timor-Leste. 11. Komisi mengidentifikasikan tiga dampak penting kolonisasi Portugis atas Timor-Leste. Pertama, taktik penjajah mengadu domba berbagai kelompok sosial melemahkan aliansi politik pribumi. Hal ini menghambat berkembangnya persatuan sebagai prasyarat untuk membangun bangsa. Kedua, tradisi memerintah sendiri tidak berkembang. Sebagian besar masyarakat Timor- Leste dibelenggu dalam sistem yang feodal. Ketiga, rezim penjajah Portugis tidak mengembangkan atau melembagakan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia, terlepas dari telah adanya norma tradisional dan norma keagamaan dikembangkan oleh pihak gereja. Oleh karena itu aktifitas politik yang muncul pada tahun 1974-75 menghadapi risiko distorsi dan manipulasi yang luas. Semua faktor ini turut berperan dalam munculnya kekacauan dan konflik internal yang terjadi selama proses dekolonisasi pada tahun 1975. Selama perang sipil pada bulan Agustus 1975, Portugis menarik diri. Partai Fretilin keluar sebagai pemenang dalam perang sipil tersebut, dan memulai suatu administrasi pemerintahan sementara yang hanya sebagian berfungsi. Semua faktor-faktor ini turut berperan memuluskan invasi Indonesia ke Timor-Leste pada tahun 1975 tanpa banyak protes internasional. Kedatangan Portugis 12. Orang Portugis datang pertama kali ke Timor untuk mencari kayu cendana putih pada awal abad ke-16. Setelah menaklukkan Malaka pada tahun 1511, misionaris Portugis membangun gereja pertama di pulau ini tahun 1590. 2 Ini mengawali periode pemukiman di Lifau (Oecusse) yang terletak di pantai utara bagian Barat Timor oleh para biarawan Fransiskan, pedagang cendana dan Topasses, kelompok ras campuran berayahkan pelaut, pedagang dan tentara Portugis, yang keturunannya masih ada di Timor sampai saat ini. Portugal telah membentuk koloni di berbagai pulau lain di kawasan ini, tetapi semuanya tidak aman. Belanda segera mengusir Portugis dari Malaka, Makasar di Sulawesi, dan pada tahun 1652, dari benteng yang baru dibangun Portugis di Kupang, Timor bagian Barat, hanya lima tahun sesudah selesai dibangun.* * Perang Penfui antara kekuatan kolonial Portugis dan Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-17, dan merupakan suatu titik balik untuk Portugal. Penfui berada di sebelah utara kota Kupang, dekat dengan lokasi lapangan udaranya sekarang. Kekalahan Portugal di tangan kekuatan tentara Belanda berarti bahwa para topasses dengan dukungan - 8 - 13. Pada tahun 1702, Pemerintah Portugis secara resmi hadir di Lifau, dan memerintah Timor dari koloninya di Goa. Pendekatan gubernur dengan memberikan pangkat militer kepada raja-raja setempat (liurai) menciptakan suatu preseden bagi pemerintahan Timor yang akan berlanjut hingga abad ke-20. Namun, Portugis menghadapi perlawanan dari para liurai yang gemar menjelajah serta dari para Topasses, yang pada masa itu menguasai perdagangan cendana dan, meskipun keturunan Portugis, mereka jarang mau bekerja sama. Karena tidak mampu memantapkan kekuasaannya di Lifau, Portugis pindah ke Dili pada tahun 1769. Kepindahan ini mempertemukan mereka dengan masyarakat Belu yang mendiami bagian timur pulau ini. Konsolidasi kekuasaan kolonial 14. Dari basis barunya di Dili, Portugis memiliki pengaruh dan kontrol geografis yang terbatas atas Timor-Leste. Resistensi lokal dan kemampuan militer yang terbatas membatasi kekuasaan Portugal di pantai utara untuk waktu yang cukup lama. Pada tahun 1851, Gubernur Lopes da Lima memulai serangkaian perundingan rumit mengenai wilayah darat dengan pejabat kolonial Belanda, yang melibatkan para liurai dan tanah-tanah warisan di sejumlah wilayah perbatasan seperti Maucatar, lebih jauh di dalam Timor-Leste di Maubara, dan pulau Flores yang dikuasai Portugis. Berbagai perundingan tersebut melahirkan prinsip pertukaran wilayah antara Portugal dan Belanda dengan tujuan menetapkan garis batas berdasar pembagian timur-barat pulau di antara kedua kekuatan kolonial. Hal ini meringankan beban Portugal karena tidak perlu terlibat perang kolonial dengan Belanda, sehingga memungkinkannya memperkuat kekuasaannya di bagian timur pulau tersebut. Pada tahun 1895 Portugal membentuk unit-unit militer/pemerintahan di kesepuluh distrik di wilayah Timor-Leste. Oecussi ditambahkan sebagai distrik kesebelas Timor-Leste.3 Portugal membangun barak militer, kantor, sejumlah sekolah, rumah sakit dan penjara di distrik-distrik tersebut sebelum akhir abad ke-19. Gereja Katolik, yang sempat dilarang selama 20 tahun sejak tahun 1834, dipulihkan kembali dan Uskup Medeiros diterima dengan tangan terbuka. 15. Berbagai perundingan wilayah yang dimulai oleh Gubernur Lopes da Lima pada tahun 1851 berpuncak pada kesepakatan antara Portugal dan Belanda untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional di Den Haag, dimana kesepakatan mengenai batas-batas wilayah jajahan diputuskan dalam Sentenca Arbitral pada tahun 1913. Pertukaran wilayah terakhir antara Belanda dan Portugal sesuai dengan keputusan tersebut terjadi pada tahun 19174 Hasilnya Timor-Leste menjadi satu-satunya wilayah kolonial Portugal di kepulauan ini, sehingga Belanda menjadi kekuasaan kolonial yang mulai dominan. 16. Putusan akhir resmi mengenai batas-batas internasional antara Belanda dan Portugal menjadi titik acuan yang sangat penting bagi masa depan politik Timor-Leste. Pada saat Indonesia berjuang dan meraih kemerdekaan setelah Perang Dunia kedua, Indonesia mengklaim wilayah nasionalnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan bekas garis batas wilayah jajahan Belanda. Atas dasar inilah Indonesia terus memperjuangkan dan akhirnya berperang untuk merebut Irian atau Papua Barat pada dasawarsa 1960-an. Sementara pernah berkembang sejumlah wacana mengenai suatu konsep “Indonesia Raya” selama perjuangan kaum nasionalis, yang meliputi wilayah Malaya dan Borneo Inggris, hal ini tidak pernah secara sungguh-sungguh diajukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam submisinya kepada Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai klaim atas Irian pada akhir dasawarsa 1950-an, Indonesia secara eksplisit tidak membuat klaim apapun terhadap Timor Potugis.5 Belakangan, pada tahun 1974-75, dan dalam tahun-tahun sesudahnya, Pemerintah Indonesia tidak pernah secara sungguh-sungguh mencoba untuk mengajukan klaim bahwa Indonesia memiliki klaim territorial atas wilayah Timor Portugis terdahulu. Portugis secara efektif diusir dari pelabuhan besar pulau tersebut di Kupang, sebagai bukti nyata kejayaan tentara Belanda. Tempat peperangan tersebut juga terletak berdekatan dengan penjara di mana 69 tahanan politik dari Timor- Leste diambil di tahun 1983, di dalam operasi setelah pembantaian Kraras. [Lihat Bab 7.4 Penahanan, Penyiksaan dan Penganiayaan.] - 9 - 17. Sama pentingnya dan bersumber dari hubungan kolonial ini, Pemerintah Portugal tidak pernah melepaskan posisinya sebagai penguasa administrasi yang sah atas Timor-Leste selama periode mandat Komisi. Ini memungkinkan persoalan Timor-Leste tetap hidup dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai suatu wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, dan suatu faktor yang secara fundamental membedakannya dengan perjuangan nasionalis atau separatis lainnya dalam wilayah negara kepulauan Indonesia dalam abad ke-20. Pemerintahan Portugis dan resistensi rakyat Timor 18. Portugis menjalankan pemerintahan tidak langsung melalui para liurai, yang kerja samanya didapat Portugis dengan memberi mereka otonomi di wilayah mereka masing-masing. Portugis memanfaatkan perseteruan antara para liurai. Dengan melakukan hal itu mereka dapat mengakses kekuatan pasukan kecil mereka, atau kelompok-kelompok milisi* yang mereka gunakan untuk memperbesar sumber daya militer mereka sendiri yang terbatas.6 Portugis pertama kalinya menggunakan milisi para liurai yang loyal pada tahun 1642 dalam kampanye memerangi Kerajaan Wehale,7 dan terus melakukan hal itu sampai penumpasan pemberontakan Viqueque tahun 1959. Bagi Portugis, harga kebijakan memecah belah dan menguasai ini adalah perlawanan kecil-kecilan yang terus menerus terhadap kekuasaan Portugis. Bagi rakyat East Timor harganya adalah kelemahan dan perpecahan yang tak kunjung berakhir. 19. Kekuasaan dan kemakmuran Portugis menurun selama abad ke-17 dan 18. Dari semua wilayah jajahannya, Timor Portugis adalah yang paling terpencil dan tidak penting. Portugis membuat investasi ekonomi dan politik yang terbatas di wilayah ini. Menurunnya harga Cendana mendorong Portugal untuk memperkenalkan tanaman pertanian baru pada abad ke-19 untuk membangun sektor ekspor. Namun, ekonomi pertanian subsisten Timor Portugis hanya menyisakan sedikit sekali tenaga kerja, yang dibutuhkan untuk tanaman pertanian jenis ini. Sekitar tahun 1859 Gubernur Castro menerapkan penanaman paksa untuk tanaman perdagangan baru ini, terutama kopi, tapi juga gandum dan spesies tanaman asing lainnya. Portugal tetap menjajah Timor secara tidak langsung, yang membuat pemerintahan sulit diatur, khususnya dengan adanya resistensi terhadap berbagai kebijakan ekonominya yang memaksa. Gubernur Celestino da Silva melanjutkan sistem kerja paksa ini pada dasawarsa 1890-an dan 1900-an, dengan ciri khususnya yaitu pembangunan jalan. Kebijakan pajak yang mencekik dan kerja paksa, yang keduanya merupakan akibat dari investasi Portugal yang terlalu sedikit di wilayah jajahan ini, sangat tidak populer. 20. Resistensi para liurai muncul segera setelah pengangkatan seorang Gubernur di Lifau. Pemberlakuan upeti, yang disebut finta, sekitar tahun 1710, memicu pemberontakan dan kebencian yang terus berlanjut yang mempunyai andil dalam memaksa Portugis untuk pindah ke Dili pada tahun 1769.8 Portugal tidak mengalami perlawanan yang berarti sampai ketika Gubernur Castro menggunakan kekuatan militer untuk memaksakan penanaman kopi. Kebijakan yang tidak populer ini memicu pemberontakan pada tahun 1861 yang diikuti oleh serangkaian pemberontakan lokal yang dipimpin oleh para liurai terhadap berbagai ekses penjajahan. Sebagai tanggapannya, pemerintahan Portugis memberlakukan kontrol langsung atas Timor- Leste pada tahun 1895 ketika Gubernur Silva membentuk pemerintahan dan militer di seluruh Timor-Leste, membagi wilayah tersebut menjadi sebelas distrik, termasuk daerah kantong Oecusse.9 21. Akibatnya, Portugal memisahkan Timor dari Goa, menjadikannya sebuah distrik pemerintahan terpisah pada tahun 1896. Namun demikian pemberontakan terus berlanjut. Yang terakhir dan terbesar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh liurai Manufahi, Dom Boaventura, yang memberontak melawan pajak kepala pada tahun 1908. Resistensi Dom Boaventura ini berawal dari pemberontakan yang dipimpin oleh ayahnya; liurai Dom Duarte memimpin berbagai pemberontakan pada akhir abad ke-19 sampai Gubernur da Silva * Dalam bahasa Portugis disebut moradores atau arraias. - 10 - menyerang kerajaan Same pada tahun 1895 dan Dom Duarte dipaksa untuk menyerah pada tahun 1900. Setelah Gubernur da Silva mengganti finta dengan pajak kepala pada tahun 1908, Dom Boaventura, anak Dom Duarte, memberontak pada tahun 1911. Pihak Portugis mengerahkan pasukan tentara liurai yang amat besar yang berjumlah 12.000, serta mendatangkan pasukan dari Mozambique, dan dengan kejam menumpas pemberontakan ini pada tahun 1912. Aksi ini menciptakan suatu stabilitas, tetapi dengan harga kematian dan penderitaan yang amat besar. Diperkirakan 25.000 orang meninggal dalam kampanye menumpas pemberontakan ini.10 Dom Boaventura ditangkap dan diasingkan ke Pulau Atauro dan meninggal di sana. Setelah itu Portugis memberikan kewenangan langsung pada desa (suco) sebagai pemerintahan lokal, dengan demikian memotong kewenangan liurai, mengurangi pengaruh mereka dan menetapkan kontrol Portugis yang lebih langsung terhadap semua daerah di pedalaman Timor Portugis. Timor Portugis pada Abad ke-20 22. Sepanjang abad ke-20, Portugal sendiri menghadapi ketidakstabilan di dalam negeri. Pada tahun 1912, Kerajaan Portugis berubah menjadi sebuah republik, yang kemudian berganti menjadi sebuah negara satu partai pada tahun 1928. Pada masa ini banyak orang Tionghoa yang masuk wilayah koloni Timor Portugis, dan memulai peran mereka sebagai perantara usaha, pengekspor dan pedagang. Melengkapi aktivitas ekonomi orang Tionghoa ini, meskipun menghadapi banyak masalah di dalam negeri, Portugal membentuk SAPT (Sociedade Agricola Pátria e Trabalho), sebuah konglomerat perdagangan yang membawa infrastruktur baru untuk produksi dan ekspor.* Biarpun demikian, Timor Portugis tetap merupakan wilayah jajahan terpencil yang berjalan dengan personil atau investasi yang minim dari Portugis. Pada tahun 1929, hanya terdapat 200 warga negara Portugis, ditambah 300 serdadu.11 Lisbon terus memerintah melalui perantara lokal. Pada tahun 1930, Undang-Undang Kolonial Perdana Menteri Salazar membentuk dewan perwakilan lokal yang pada dasarnya lemah, dan memungkinkan penduduk lokal secara terbatas untuk memperoleh status kewarganegaraan Portugis. Perang Dunia II 23. Setelah Jepang menyerang Pearl Harbour pada bulan Desember 1941, Australia mengantisipasi bahwa Jepang akan menduduki Timor dan menggunakan Timor sebagai pangkalan untuk melancarkan serangan terhadap Australia. Pasukan Australia, Inggris dan Belanda mendarat di Dili pada tanggal 17 Desember 1941 dalam aksi yang disebut tindakan pencegahan. Gubernur de Carvalho memprotes pelanggaran terhadap kenetralan Portugis. Jepang menyerang Timor pada tanggal 19 Februari 1942. Masih menjadi bahan perdebatan historis apakah pelanggaran yang dilakukan Tentara Sekutu terhadap kenetralan Portugis benarbenar diperlukan untuk menangkal serangan Jepang, atau apakah kehadiran Australia di Timor Portugis justru telah memancing militer Jepang ke wilayah yang sebetulnya tidak akan diserangnya.12 24. Dampak perang tersebut terhadap rakyat Timor sungguh membinasakan. Antara 40.000- 60.000 penduduk Timor dilaporkan meninggal.13 Banyak yang dibunuh dan disiksa oleh tentara Jepang karena dicurigai membantu gerilyawan Australia. Perbudakan seksual terhadap perempuan Timor yang dilakukan oleh para tentara Jepang banyak terjadi. Selain itu wilayah ini menjadi miskin akibat perang tersebut, dan benih perpecahan tersebar antara mereka yang mendukung Jepang dan mereka yang mendukung pasukan kecil gerilya Australia. Komisi mendengar kesaksian mengenai dampak berkepanjangan dari konflik ini terhadap masyarakat Timor dalam audiensi publik mengenai konflik internal tahun 1974-76.14 Tidak pernah ada penyelidikan internasional mengenai berbagai kejahatan perang yang dilakukan oleh kedua negara yang menduduki, dan tidak pernah ada reparasi perang kepada orang-orang Timor.15 * SAPT dijalankan oleh perusahaan kontraktor Brazil yang bernama Moniz da Maia Serra e Fortunato. - 11 - Gerakan internasional untuk dekolonisasi dan posisi Portugal 25. Pasal 73 dalam Piagam PBB tahun 1945 menyerukan kepada negara-negara penjajah untuk memberikan perhatian serius kepada berbagai aspirasi negara-negara jajahannya dan secara bertahap memberikan otonomi. Kesepakatan internasional ini terus berkembang sejalan dengan sebagian besar penjajah memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahannya setelah Perang Dunia Kedua, dan diungkapkan melalui berbagai mekanisme seperti Sidang Umum PBB yang pada tahun 1960 mengakui penjajahan sebagai pengingkaran terhadap hakhak asasi manusia.* Pada tahun 1960 Timor Portugis dicantumkan sebagai Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri dalam Komite Dekolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengakui hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor, yang tetap relevan sampai Konsultasi Rakyat yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999. 26. Menanggapi kesepakatan internasional yang semakin berkembang mengenai pentingnya dekolonisasi ini, Portugal merubah penyebutan wilayah-wilayah jajahannya sebagai “provinsi seberang lautan” pada tahun 1951. Hal itu merupakan sebuah langkah paternalistik yang dirancang untuk ‘memberadabkan’ rakyat jajahannya dan meredam kritik, namun tidak merubah banyak. Hal ini khususnya terjadi di Timor Portugis, yang tetap sangat terisolasi. Tidak pernah ada gerakan kemerdekaan seperti yang terjadi di wilayah jajahan Portugal di Afrika. Sebaliknya, kehidupan orang-orang Timor-Leste pada tahun 1950-an masih jauh dari beradab. Pastor Martinho da Costa Lopes mengatakan bahwa selama 400 tahun penjajahan Portugis tidak satu pun pengacara, insinyur atau dokter yang lahir di Timor.16 Sangat sedikit orang pribumi Timor yang menikmati hak yang sama dengan penjajahnya, dan terus diperlakukan dengan buruk dan hak atas kepemilikan mereka terus dilanggar oleh Portugis.17 Dalam suatu kesempatan, Uskup Carlos Belo membicarakan tentang hal ini: Saya sering melihat orang Portugis mengambil tuak dari penduduk asli yang sebenarnya untuk dijual tanpa membayar, padahal orang pribumi itu sudah berjalan jauh ke pasar untuk menjual tuaknya dan berharap mendapatkan sedikit uang untuk dibawa kembali ke desanya. Mereka ditindas, tapi tidak membela dirinya. Setiap kali saya melihat hal ini hati saya sakit dan saya menangis di dalam hati. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.18 27. Meskipun penggunaan pecut dan pentungan dilarang oleh Portugis pada tahun 1956, kebiasaan mencambuk terus terjadi.19 Xanana Gusmão pernah mengatakan: Saya melihat tahanan dicambuk di pos-pos [pemerintah]. Mereka mengerang kesakitan karena dipaksa berdiri di batu karang, yang panas karena terik matahari, dengan kaki yang dirantai. Kadang-kadang ketika saya jalan-jalan dengan teman-teman sekolah—anak-anak liurai—saya juga melihat pejabat atau orang lokal dikirim dalam kelompok-kelompok atau kembali dengan orang-orang yang bersimbah darah, karena mereka tidak datang untuk kerja paksa membangun jalan, atau bekerja sebagai asulear [sic] [buruh] di lahan para penjajah, orang Cina atau orang Timor yang sudah bercampur.20 * Resolusi Sidang Umum PBB 1514 (XV), 1960: “Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-negara dan Rakyat Jajahan.” - 12 - 28. Pada tahun 1959, sekelompok orang Indonesia yang diasingkan terlibat dalam suatu pemberontakan di Viqueque melawan pemerintahan kolonial Portugis. Portugis mengetahui rencana tersebut dan menghancurkannya dengan bengis, mengakibatkan pertumpahan darah hebat. Latar belakang dari berbagai peristiwa tersebut sampai sekarang sebagian besar tetap tidak diketahui. Sebuah laporan resmi Portugis dari masa itu menyalahkan Indonesia atas terjadinya pemberontakan tetapi masih belum pasti apakah memang demikian kejadiannya. Setelah berbagai peristiwa tersebut, pada tahun 1959, pemerintah Portugis membuka cabang polisi rahasia (Polícia Internacional e de Defesa do Estado, PIDE) di Dili untuk memonitor kegiatan Indonesia dan sentimen anti Portugis21 Rencana pembangunan Portugis dan berkembangnya sentimen anti penjajah 29. Pada tahun 1953 pemerintah pusat Portugal mulai menjalankan serangkaian rencana pembangunan* dengan maksud untuk menghidupkan kembali ekonomi dalam negerinya yang stagnan. Di Timor Portugis rencana ini mencakup meningkatkan produksi dan ekspor kopi, eksplorasi pertambangan, dan pembangunan pariwisata di Timor Portugis. Perbaikan infrastruktur mencakup pembangunan jalan, perbaikan pelabuhan Dili dan pelabuhan udara Baucau, serta listrik dan sistem air bersih di Dili.22 Pada tahun 1975, terdapat 17-18 dokter yang bekerja di rumah sakit Dili dan berbagai klinik di daerah.23 30. Namun demikian, kesempatan penduduk Timor-Leste untuk memperoleh pendidikan tetap terbatas selama masa penjajahan Portugis. Anak-anak liurai mulai dapat merasakan pendidikan dasar pada tahun 1860, kemudian pada tahun 1904 para Jesuit membuka sebuah sekolah misionaris di Soibada dan menjadi sebuah tempat pembelajaran yang penting untuk rakyat Timor dari seluruh wilayah negeri.† Meski demikian, pendidikan ala Barat masih merupakan hak eksklusif warga negara Portugis dengan sedikit pengecualian. Pada tahun 1964, hanya sepuluh orang Timor yang memiliki gelar.24 Menurut data statistik Portugis, antara tahun 1950 dan 1970, pendaftaran di pendidikan dasar meningkat sepuluh kali lipat, dari 3.249 menjadi 32.937.25 Sensus tahun 1970 menunjukkan sekitar 10 persen penduduk yang bisa baca tulis di wilayah koloni ini,‡ dimana waktu itu pemerintah Portugal telah membangun sebuah sekolah menengah di Dili, Liceu Dr Francisco Machado, dengan 767 murid.26 Renungan mengenai terbatasnya kesempatan atas pendidikan di negeri ini terlihat dari kenyataan bahwa para pelopor utama gerakan kemerdekaan Timor-Leste sebagian besar adalah didikan seminari. 31. Semakin menyadari ketimpangan yang terjadi, generasi orang-orang Timor yang terpolitisasi dan yang baru muncul juga merasa frustasi dengan ketiadaan sarana politik untuk menyalurkan aspirasi rakyat Timor. Orang-orang Timor mempunyai peran yang kecil dalam mengatur urusan wilayah jajahan ini. Gubernur provinsi ini mewakili pemerintah Portugis, bukan mewakili rakyat Timor, dan memegang kekuasaan eksekutif yang luas. Meskipun terdapat Dewan Legislatif yang beranggotakan 11 orang, hanya tiga orang wakil yang dipilih. Dewan tidak mungkin dapat mewakili aspirasi rakyat, dan hanya memiliki kewenangan yang terbatas.27 Meskipun ada resolusi PBB yang mendesak Portugal untuk memberikan kebebasan politik kepada wilayah-wilayah jajahannya,28 rezim Salazar dan kemudian Caetano mengingkari demokrasi bagi warga negaranya sendiri, apalagi bagi rakyat jajahannya. Keadaan ini baru berubah seiring naiknya Jenderal Spínola ke tampuk kekuasaan setelah Revolusi Bunga pada tanggal 25 April 1974. * Plano de Fomento. † Sekolah-sekolah, Colégio Nuno Alveres Pereira (untuk laki-laki) dan Imaculada da Conceição (untuk perempuan) tersebut mengadakan perayaan 100 tahunnya pada tahun 2004. ‡ Prosentase buta huruf di Dili adalah 14% dan di kota-kota distrik lain 45%. - 13 - 3.3 Perubahan di Portugal dan proses dekolonisasi Tinjauan 32. Gerakan pembebasan nasional dasawarsa 1960-an di berbagai koloni Portugal di Afrika berubah menjadi perjuangan bersenjata untuk mencapai kemerdekaan. Terpaksa terlibat secara serempak dalam beberapa perang terpisah di sejumlah wilayah yang berjauhan, Portugal, negara kecil yang relatif miskin mengalami tekanan politik dan ekonomi yang luar biasa pada saat negara ini semakin mengandalkan Eropa untuk masa depan ekonominya. Pada tahun 1968, setelah 40 tahun berkuasa, Perdana Menteri Salazar yang otoriter digantikan oleh Marcelo Caetano, yang gagal menemukan jalan keluar bagi berbagai konflik bersenjata yang semakin menguras dana tersebut. Putus asa dengan berbagai kegagalan ini, Gerakan Angkatan Bersenjata (Movimento das Forças Armadas, MFA) muncul dalam tubuh militer dan pada tanggal 25 April 1974 memimpin sebuah kudeta yang berhasil menggulingkan rezim Caetano tanpa pertumpahan darah, yang dikenal dengan nama Revolusi Bunga. Meskipun MFA telah membuka jalan untuk dekolonisasi, MFA juga menyebabkan terjadinya pergolakan politik di Portugal selama beberapa tahun. Kekacauan ini dan tersitanya perhatian Portugal pada wilayah jajahannya yang lebih besar di Afrika, merupakan faktor penting penyebab kegagalan Portugal untuk memberikan perhatian yang layak kepada dekolonisasi di wilayah jajahannya yang paling jauh, Timor. MFA dan Revolusi Bunga 33. Pada awal dasawarsa 1960-an gerakan kemerdekaan di wilayah-wilayah jajahan Portugal di Afrika mulai melakukan perjuangan bersenjata. MPLA (Movimento Popular de Libertação de Angola) di Angola mengangkat senjata pada tahun 1961, diikuti oleh PAIGC (Partido Africano da Independência da Guiné e Cabo Verde) di Guinea Bissau pada tahun 1963 dan Frelimo (Frente de Libertação de Moçambique) di Mozambique pada tahun 1964. Goa, koloni Portugis, “dibebaskan” oleh pasukan India pada tahun 1961.29 Memerangi tiga perang sekaligus sangat membebani Portugal secara keuangan dan militer. Pada saat yang sama, setelah bergabung dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (European Free Trade Association, EFTA) pada tahun 1961, Portugal menjadi semakin terikat dengan Eropa secara ekonomi dengan akibat terlantarnya wilayah-wilayah jajahannya di Afrika. Pada awal dasawarsa 1970-an berbagai kebijakan ekonomi proteksionis yang dirancang untuk membantu mengembangkan perdagangan dan investisasi dengan wilayah-wilayah jajahannya tidak lagi sesuai dengan kepentingan para konglomerat Portugis yang perhatiannya semakin mengarah ke Eropa. 34. Karena telah hilang kepercayaannya pada kemampuan Salazar, kemudian Caetano untuk menemukan pemecahan atas perang di Afrika, angkatan bersenjata berpaling pada Jenderal Antonio Spínola, yang adalah rekan dekat Caetano. António Spínola pernah mengusulkan sebuah program reformasi, yang ditolak oleh Caetano. Untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya, Spínola menerbitkan sebuah buku berjudul Portugal and its Future (Portugal dan Masa Depannya), yang mengusulkan sebuah penyelesaian atas perang kolonial melalui Konsultasi Rakyat tentang hubungan federasi dengan Portugal. Ketika MFA berdiri pada tanggal 5 Maret 1974, gerakan tersebut memilih Jenderal Spínola sebagai pemimpinnya, dan pada waktu MFA melancarkan Revolusi Bunga pada tanggal 25 April 1974, Spínola dipilih oleh Gerakan tersebut sebagai presiden. Dekolonisasi yang cepat, kekacauan di Portugal 35. Meskipun Revolusi Bunga pada awalnya berjalan dengan mulus di Portugal, bulan-bulan dan tahun-tahun setelahnya merupakan masa ketidakstabilan politik, dimana beberapa - 14 - pemerintahan minoritas berturut-turut terbentuk, dan runtuh, sampai Partai Sosialis berkuasa pada tahun 1982. Ketidakstabilan ini membatasi kemampuan Portugal untuk secara efektif menangani berbagai peristiwa yang terjadi di Timor. Dengan destabilisasi aktif yang dilancarkan oleh Indonesia, pemerintah Portugal tidak mampu menjalankan proses dekolonisasi. 36. Pada bulan April 1974, MFA segera membentuk Dewan Penyelamat Nasional (Junta de Salvação Nacional, JSN) dan mengangkat Spínola sebagai pemimpinnya. Manifesto JSN mengusulkan demokratisasi di dalam negeri Portugal, termasuk pembubaran polisi rahasia, PIDE, dan pembebasan para tahanan politik. Mengenai masalah kolonial Manifesto JSN secara samar menyerukan sebuah pemecahan secara politik melalui suatu debat nasional yang mengarah pada suatu pemecahan secara damai,30 namun menghindari penyebutan penentuan nasib sendiri dan otonomi.31 Presiden Spínola membentuk sebuah pemerintahan sementara yang baru pada tanggal 15 Mei 1974, dengan Adelino de Palma Carlos sebagai Perdana Menteri. Pada hari yang sama pemerintahan tersebut mengeluarkan Dekrit No.203/1974, yang mengemukakan sebuah kebijakan dekolonisasi. Dekrit tersebut mengikat pemerintah untuk melakukan suatu penyelesaian politik berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri.32 37. Solusi federal Spínola tidak memperoleh dukungan yang berarti. Di Portugal opini publik semakin condong memilih mundur dari wilayah-wilayah jajahan mereka. Sadar akan keunggulan militer mereka atas militer Portugis yang terkepung, wilayah jajahan Guinea-Bissau dan Mozambique tidak berniat untuk melakukan kompromi mengenai tuntutan mereka untuk merdeka. Beberapa anggota kabinet yang berpengaruh, termasuk Menteri Luar Negeri dan ketua Partai Sosialis, Mário Soares, juga memilih kemerdekaan sebagai jalan keluar. 38. Pada pertengahan tahun 1974 bahkan dalam tubuh MFA sendiri dukungan untuk federasi semakin melemah, dan penarikan secepatnya menjadi opsi militer yang lebih disukai. Berbagai tekanan ini berbuntut pengunduran diri Palma Carlos sebagai Perdana Menteri, dan penggantiannya oleh Vasco Gonçalves. Pada tanggal 27 Juli pemerintahan yang baru mengeluarkan Undang-Undang No. 7/1974 mengakui kemerdekaan sebagai suatu hasil yang bisa diterima dalam proses penentuan nasib sendiri di dalam wilayah-wilayah jajahan Portugal.33 Pergeseran kebijakan ini berbuntut dengan pengunduran diri Spínola pada bulan September 1974. Dalam waktu satu tahun lima wilayah jajahan Portugal di Afrika telah meraih kemerdekaan. 39. Setelah mengambil alih kekuasaan pada bulan April 1974, MFA telah melakukan pembersihan terhadap unsur-unsur yang mereka anggap reaksioner dalam pemerintahan sipil Portugis. MFA dengan cepat mengganti semua gubernur di wilayah-wilayah jajahannya di Afrika, tapi lebih lambat dalam melakukan tindakan yang sama di Timor Portugis. Meskipun dia telah membuat pidato yang mengkritik MFA atas radikalismenya, hanya dua hari sebelum tanggal 25 April, Gubernur Timor Portugis, Alves Aldeia, tetap menduduki jabatannya hingga tiga bulan kemudian. Perhatian Portugal pada waktu itu dan yang mengakibatkan terlantarnya Timor dirangkum oleh Gubernur Portugis terakhir untuk Timor, Mayor Jenderal Mário Lemos Pires, dalam kesaksian yang ia berikan kepada Komisi: Bangsa Portugis yang muncul dari revolusi tersebut adalah bangsa yang lemah, tidak terpadu, dengan segala kesulitan dan tanpa kredibiltas di antara para mantan sekutu [Barat] nya. Bangsa ini sangat khawatir tentang revolusinya dan berupaya untuk mencapai stabilitas politik, mengurusi warga negaranya yang datang dari Afrika dan dengan tegas memutuskan untuk mengakhiri perang di negara-negara Afrika…Apa yang orang Portugis pikir tentang Timor-Leste pada tahun 1974, setelah revolusi? Nihil, tidak banyak, sedikit. Nihil. Pikiran mereka adalah tentang revolusi dan keluarga mereka di wilayah-wilayah Afrika.34 - 15 - Dampak Revolusi Bunga di Timor Portugis 40. Di Timor berita tentang Revolusi Bunga disambut dengan perasaan yang campur aduk antara kegembiraan dan kekhawatiran. Komisi mendengarkan kesaksian dari berbagai tokoh orang Timor utama dalam audiensinya mengenai Konflik Politik Internal tahun 1974-76. Mereka mengisahkan tentang kegembiraan yan ditimbulkan oleh berbagai peristiwa di Lisbon dan berbagai wilayah jajahan lainnya di kalangan orang-orang muda yang tertarik politik. Tapi pada umumnya mereka juga setuju bahwa masyarakat Timor tidak siap karena sejarahnya untuk terlibat dalam kegiatan politik35 41. Pada awal bulan Mei 1974, ketika Gubernur Alves Aldeia bertanya kepada JSN di Lisbon untuk menjelaskan kebijakan kolonialnya yang baru, ia diistruksikan untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip program MFA dan, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat, berupaya untuk tidak memperburuk hubungan dengan Indonesia. 42. Pada tanggal 13 Mei Alves Aldeia membentuk Komisi Timor untuk Penentuan Nasib Sendiri yang, antara lain, mendorong terbentuknya serikat-serikat sipil.36 Pada akhir bulan Mei, Mayor Arnão Metello, Kepala Staf militer setempat, ditunjuk sebagai perwakilan MFA di koloni tersebut.37 43. Bertolak belakang dengan sikapnya terhadap wilayah-wilayah jajahannya di Afrika, Pemerintah Portugis cenderung menganggap kemerdekaan Timor Portugis tidak realistis. Pada tanggal 3 Agustus 1974 Menteri Koordinator Antar Wilayah, António de Almeida Santos, keberatan dengan kemerdekaan penuh Timor Portugis, dan menyatakan federasi sebagai pilihan yang paling realistis.38 Pendapat ini memicu reaksi keras dari serikat-serikat politik orang-orang Timor yang baru terbentuk, UDT dan Fretilin.* Akan tetapi pada hari yang sama, pemerintah Portugis mengajukan sebuah memorandum kepada Sekretaris Jenderal PBB yang mengakui hak penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan semua wilayah di bawah kekuasaannya, posisi yang dikuatkan kembali dua bulan kemudian oleh Menteri Luar Negeri Portugal, Mario Soares, di hadapan Majelis Umum PBB.39 Hak penentuan nasib sendiri untuk semua wilayah jajahan juga dicantumkan sebagai suatu kewajiban bagi negara Portugal dalam konstitusi tahun 1975. Ketentuan ini terbukti menjadi penting dalam melanjutkan komitmen resmi Portugal atas penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste dalam tahun-tahun selanjutnya yang berat. Pembentukan partai-partai politik di Timor Portugis 44. Komisi mendengarkan kesaksian yang menggambarkan bagaimana Revolusi Bunga segera menggelorakan perhatian rakyat Timor mengenai masa depan politik wilayah tersebut. Domingos Oliveira, yang menjadi Sekretaris Jenderal UDT pada masa itu, menggambarkan fenomena tersebut: Sebelum tanggal 25 April di Timor, kita biasa bicara tentang pacar-pacar kita, sepak bola dan hal-hal semacam itu di kafe dan restoran, sambil minum bir dan bertemu teman-teman. Setelah 25 April, kita hanya bicara tentang konsekuensi 25 April. Apa yang harus kita sebagai orang Timor lakukan? Apa yang semestinya dilakukan dalam situasi baru seperti ini?40 45. Di Dili orang-orang Timor yang tertarik politik mulai memikirkan pembentukan serikatserikat politik, dan mengadakan berbagai pertemuan untuk membahas prinsip-prinsip dan * Domingos Oliveira, mantan Sekjen UDT, memberi kesaksian tentang perasaan marah rakyat Timor dengan pernyataan ini, di Audiensi Publik Nasional CAVR tentang Konflik Politik Internal 1974-76, 15-18 Desember 2003. - 16 - asasnya. Begitu terbentuk, serikat-serikat tersebut secara efektif berfungsi sebagai partai-partai politik, meskipun secara teknis partai-partai politik masih dilarang beroperasi.41 46. Serikat yang pertama terbentuk adalah Uni Demokratik Timor (União Democratica Timorense, UDT), yang didirikan pada tanggal 11 Mei 1974. Para pendirinya cenderung konservatif secara politik dan banyak di antaranya memiliki hubungan dengan penguasa kolonial Portugis, yang mencerminkan keistimewaan status dan fungsi sosial mereka sebagai perantara antara orang-orang Timor dan penjajah Portugis. Presiden pertama UDT adalah Francisco Lopes da Cruz. Para pendiri yang lain yaitu César Augusto da Costa Mouzinho sebagai Wakil Presiden, Carrascalão bersaudara Manuel, Mário and João Carrascalão, serta Domingos de Oliveira, Sekretaris Jenderal serikat tersebut. Manifesto awal UDT mengusulkan “otonomi progresif” di bawah Portugal, meskipun UDT juga mendukung hak untuk penentuan nasib sendiri. UDT mengumumkan perubahan posisinya pada tanggal 1 Agustus 1974 ketika menyatakan bahwa tujuan akhirnya adalah kemerdekaan setelah satu periode federasi dengan Portugal. UDT juga secara spesifik menolak integrasi dengan negara lain.42 Pergeseran UDT menunjukkan partai ini bisa berubah-ubah, dalam hal ini menanggapi perubahan dalam tatanan politik di Portugal dan kenyataan bahwa nasionalisme merupakan kekuatan yang semakin berkembang di dalam Timor. 47. Sembilan hari setelah berdirinya UDT, pada tanggal 20 Mei, Asosiasi Sosial Demokratik Timor (Asociação Social Democrata de Timor, ASDT) didirikan. Para pendiri ASDT sebagian besar adalah pemuda Timor yang terpelajar, dari beragam latar belakang; beberapa dari dalam pemerintahan Portugis, yang lain dari kelompok bawah tanah anti penjajah pada awal tahun 1970-an. Karena lebih tua dan lebih dikenal ketimbang para pendiri asosiasi yang berusia muda, Francisco Xavier do Amaral diangkat sebagai Presiden. Para tokoh kunci yang lain termasuk Mári Alkatiri, José Ramos Horta, Nicolau Lobato dan Justino Mota. ASDT menerbitkan manifestonya pada tanggal 22 Mei, yang menegaskan hak untuk merdeka, dan sikap anti penjajahan dan nasionalisnya. Asosiasi itu juga menyatakan komitmennya untuk suatu kebijakan “bertetangga baik” dengan negara-negara kawasan ini tanpa merugikan kepentingan rakyat Timor. 48. Serikat ketiga yang terbentuk adalah Asosiasi Rakyat Demokratik Timor (Associação Popular Democrática Timorense, Apodeti), yang didirikan pada tanggal 27 Mei. Rencana awalnya adalah menamakan serikat tersebut Asosiasi untuk Integrasi Timor dengan Indonesia, namun meskipun nama ini secara lugas dapat menjabarkan tujuan utama Apodeti, nama itu tampaknya dianggap terlalu transparan. Presiden pendiri asosiasi ini adalah Arnaldo dos Reis Araújo, tapi ahli strateginya adalah José Fernando Osório Soares, yang keluar dari ASDT untuk menjadi Sekretaris Jenderal Apodeti. Tokoh penting lain adalah pemilik perkebunan kopi, Hermenegildo Martins. Liurai Atsabe, Guilherme Maria Gonçalves, bergabung dengan Apodeti tidak lama setelah pembentukannya, dengan membawa pendukung yang berasal dari basis kekuasaan regionalnya. Konsul Indonesia di Dili, Elias Tomodok, menjadi penghubung penting untuk saran dan dukungan keuangan bagi Apodeti selama periode tahun 1974-75.43 Manifesto Apodeti menyatakan tujuan integrasi yang bersifat otonom dengan Indonesia, sesuai hukum internasional, meskipun hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Indonesia. Senada dengan dua partai besar yang lain, Apodeti mengutuk sejumlah keburukan dalam pemerintahan Portugis seperti korupsi dan diskriminasi, dan juga berjanji akan menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu. 49. Tiga partai politik yang lebih kecil didirikan beberapa waktu setelah tiga partai politik yang pertama. José Martins, salah satu pendiri Apodeti, keluar dari Apodeti dan mendirikan sebuah partai para monarki (liurai), Asosiasi Putera Pejuang Timor (Klibur Oan Timor Aswain, KOTA) pada tanggal 20 November 1974.44 Martins sempat dikenal berkarir sebagai propagandis untuk pendudukan Indonesia, dan seorang kolaborator utama bagi intelijen Indonesia (Bakin) pada tahun 1975. Partai Buruh (Trabalhista), didirikan pada bulan September 1974 dan mempunyai tujuan kemerdekaan melalui federasi transisi dengan Portugal.45 Partai yang ketiga, Asosiasi Demokratik untuk Integrasi Timor-Leste dengan Australia (Aditla), mengajukan bergabung dengan Australia, tetapi menghilang begitu Australia menolaknya pada bulan Maret 1975.46 - 17 - 50. Segera menjadi jelas bahwa UDT dan ASDT adalah dua partai yang memiliki dukungan rakyat di wilayah Timor-Leste. - 18 - 3.4 Suasana internasional dan kebijakan Indonesia terhadap Timor Portugis Tinjauan 51. Kesempatan dekolonisasi Timor Portugis muncul pada saat yang penting dalam Perang Dingin. Kemenangan Vietnam Utara di Vietnam pada bulan April 1975 dan runtuhnya pemerintahan pro-Amerika Serikat yang hampir bersamaan di negara-negara Indocina lainnya, yakni Kamboja dan Laos mengobarkan ketakutan di antara pembuat kebijakan Barat dan sekutu Asia mereka bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya juga rentan dan bahwa penyebaran komunisme perlu dibendung dengan segala harga. Dalam suasana seperti ini Amerika Serikat dan sekutunya memandang Indonesia sebagai komponen yang penting dari strategi pasca-Vietnamnya untuk mencegah penyebaran komunisme lebih lanjut. Pada saat yang hampir bersamaan, Revolusi Bunga menciptakan sebuah situasi politik yang sangat tak terkendali di Portugal, dimana hasilnya kemungkinan akan memberi kemenangan kepada pihak kiri dan kekalahan berikutnya bagi pihak Barat. 52. Selain dukungan yang dinikmati sebagai akibat dari citranya yang anti-komunisme Indonesia juga berada dalam posisi untuk mengambil keuntungan dari statusnya sebagai pendiri Gerakan Non-Blok, hubungannya dengan negara-negara Islam lainnya melalui Organisasi Konferensi Islam dan sebagai negara terbesar di Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Dukungan luas Indonesia, keengganan Portugal untuk menginternasionalkan persoalan dan ketidakpedulian yang luas tentang nasib wilayah yang dipandang sebagai sisa kekuatan kolonial minor, semuanya menjadi faktor pemberat melawan peran aktif PBB atas persoalan Timor-Leste. Semua faktor ini memberi keuntungan bagi Indonesia dalam kampanyenya untuk menggalang dukungan bagi kebijakannya mengenai Timor-Leste. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Timor Portugis 53. Selama tahun 1975 Perang Dingin antara Timur dan Barat mencapai titik yang kritis, terutama karena perkembangan di Asia Tenggara. Pada bulan April 1975, dua tahun setelah penarikan mundur pasukan AS dari Vietnam, Saigon jatuh ke tangan Vietnam Utara yang komunis. Pergeseran perimbangan kekuatan ini mempengaruhi bangsa-bangsa besar dan kecil, serta memiliki dampak yang mendalam kepada apa yang terjadi di Timor Portugis.47 Perang Dingin memberikan efek yang cukup mencekik di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada masa ini. Blok-blok kekuatan utama di dunia sering kali melumpuhkan lembaga-lembaga utamanya, seperti Dewan Keamanan. Sebagaian karena hal ini, salah satu ciri dalam krisis yang tengah berkembang di Timor Portugis selama tahun 1974-75 adalah kegagalan untuk menginternasionalisasikan persoalan ini dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Portugal melakukan serangkaian negosiasi bilateral dengan Indonesia, dan walaupun dalam negosiasinegosiasi Portugal pernah menggunakan ancaman “internasionalisasi” sebagai senjata dalam tawar-menawarnya, pada prakteknya Portugal hanya menggunakan opsi ini ketika sudah amat terlambat dan secara efektif tidak mampu untuk mempengaruhi situasi.48 54. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas untuk mengawasi dekolonisasi, Komite Khusus Dekolonisasi PBB, disibukkan dengan keadaan di berbagai koloni Portugal di Afrika, dan tidak banyak memberi perhatian kepada Timor Portugis. Pada bulan Juni 1975, Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi, membahas Timor Portugis, dan menganjurkan pencapaian tujuan-tujuan Piagam PBB mengenai Deklarasi Kemerdekaan bagi Negara-Negara dan Bangsa-Bangsa Kolonial. Walau telah diminta untuk menilai situasi di lapangan, Komite ini tidak melakukannya.49 Kurangnya perhatian atas Timor Portugis ini pada tahun 1974-75 berarti bahwa ketika perang sipil pecah pada bulan Agustus 1975, dan ketika kegiatan terselubung Indonesia berubah menjadi operasi militer besar-besaran pada bulan Oktober-November 1975, - 19 - Perserikatan Bangsa-Bangsa relatif tidak menyadari akan situasi di wilayah ini. Kurangnya keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan kesempatan yang hilang untuk menghindari kekerasan dan akhirnya pengambilalihan kekuasaan militer wilayah Timor Portugis oleh Indonesia (lihat Bab 7.1.: Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri). Indonesia dan komunitas internasional 55. Dengan penduduk yang mendekati 165 juta pada pertengahan dasawarsa 1970-an Indonesia merupakan negara yang paling banyak penduduknya di Asia Tenggara. Di bawah Presiden Soeharto Indonesia mengutamakan pembangunan ekonominya yang kaya sumber daya. Setelah kekacauan pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno baik negara-negara Barat maupun negara-negara tetangganya memandang perubahan di Indonesia secara positif. Selain itu, status Indonesia sebagai negara pendiri Gerakan Non-Blok* Indonesia dapat menggalang dukungan yang besar dari kelompok negara-negara ini. Selain itu Indonesia adalah juga negara terbesar dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan dapat mengandalkan dukungan sebagian besar negara-negara Islam. Dukungan luas bagi Indonesia adalah salah satu faktor bagi tidak adanya upaya serius untuk mencegah tindakan-tindakan agresifnya di Timor Portugis, termasuk dalam fora PBB. 56. Walaupun secara resmi non-blok, rejim Soeharto yang anti-komunis berarti bahwa Indonesia lebih condong ke kubu Barat yang menawarkan kesempatan perdagangan dan investasi yang besar.50 Rejim Orde Baru Presiden Soeharto telah membuktikan citra antikomunisnya kepada Amerika Serikat dengan memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah kekacauan pada tahun 1965-66. Pada tahun-tahun itu, ABRI memimpin dalam penumpasan PKI, dan membunuh sampai satu juta anggota dan pendukungnya, dan memenjarakan lebih dari satu juta orang lainnya.51 Orde Baru melarang Komunisme, membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan mengukuhkan dirinya dengan mantap di kubu Barat. Indonesia mengupayakan investasi dan bantuan ekonomi dari teman-teman Baratnya. 57. Selain menempatkan dirinya dengan Blok Barat, Indonesia juga memperbaiki hubungannya dengan negara-negara anti-komunis di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Pada tahun 1967, Indonesia bergabung dengan negara-negara ini untuk membentuk Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dengan tujuan untuk memerangi penyebaran Komunisme di kawasan tersebut, khususnya dari Vietnam Utara dan Republik Rakyat Cina. Indonesia takut bahwa komunisme akan menyusup ke negaranya dan membangkitkan kembali unsur-unsur komunisme yang laten. Oleh karena itu, bahkan dengan semakin meningkatnya tekanan internasional, Soeharto belum siap untuk membebaskan ratusan ribu tahanan yang ditangkap menyusul kudeta tahun 1965. 58. Dalam dasawarsa sejak 1965 Orde Baru tidak pernah surut dalam semangat antikomunisnya di dalam negeri. Selama tahun 1965-66 antara 250 ribu dan satu juta anggota dan pengikut PKI terbunuh, dan satu juta orang lainya atau lebih dipenjara. Namun demikian, antikomunisme memang merupakan unsur penting tetapi bukan satu-satunya tolok ukur loyalitas dalam rejim tersebut. Di bawah Orde Baru Soeharto batasan perdebatan politik menjadi sangat sempit, dan didefinisikan tidak hanya oleh perasaan anti-komunisme rejim tersebut, tetapi juga oleh ketidaksukaannya kepada politik pluralis pada umumnya. Berbagai aturan baru ditetapkan oleh struktur otoriter yang didominasi oleh militer.52 Pada masa ketika persepsi Barat mengenai Asia Tenggara dicirikan oleh ketakutan bahwa negara-negara lainnya di wilayah tersebut adalah bagaikan sederatan domino yang beresiko mengikuti contoh Indocina dan jatuh ke kubu * Gerakan Non-Blok terdiri dari lebih dari 100 negara yang menganggap diri mereka tidak beraliansi dengan blok kekuatan utama, yang dalam konteks perang dingin pada saat pendiriannya berarti blok kapitalis dan komunis. Indonesia menjadi tuan rumah pendiriannya pada tahun 1955. - 20 - Komunis, pihak Barat bersedia mengabaikan represi yang menjadi andalan Orde Baru, asalkan Indonesia terus menjadi benteng dalam mencegah penyebaran komunisme. 59. Banyak negara Barat dan sekutunya di Asia berpandangan sama seperti Soeharto bahwa Timor Portugis sebaiknya disatukan dengan Indonesia, baik karena mereka memiliki asumsi strategis yang sama dan pola pikir anti-komunisme yang mendasarinya, atau hanya karena mereka tidak ingin mengasingkan Jakarta. Pola pikir ini terangkum dalam saran dari Duta Besar Inggris, Sir Archibald Ford, ke London: Bahkan tanpa intervensi Soviet atau Cina wilayah tersebut dapat menjadi “anak bermasalah” [di kawasan ini]…Bagi Inggris, lebih baik jika Indonesia mengintegrasikan wilayah tersebut…Dan jika ada krisis dan perdebatan di PBB kita semua harus diam dan tidak mengambil posisi yang menentang Indonesia.53 60. Indonesia juga dapat mengandalkan dukungan negara-negara Asia yang non-komunis. Walaupun terdapat perbedaan dalam tingkat dukungan yang siap diberikan oleh mereka, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mendapatkan dukungan luas dari anggota-anggota ASEAN. Di dalam ASEAN sendiri terdapat bermacam pandangan mengenai kebijakan Indonesia terhadap Timor Portugis, mulai dari pandangan Singapura, yang sebagai negara pulau kecil dan memiliki budaya tersendiri, serta memandang dirinya seperti Israel di Asia Tenggara dan memiliki keraguan mengenai niat Indonesia, sampai Malaysia, yang menjadi pendukung Jakarta terbesar. 61. Persekutuan dalam Perang Dingin bukan satu-satunya alasan mengapa berbagai negara di kawasan tersebut mendukung Indonesia. Jepang memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Indonesia, dan menjadi semakin tergantung pada minyak dan gas alamnya untuk mendorong ekonominya yang tengah berkembang pesat. Kebijakan Australia mengenai Timor Portugis didasarkan pada keinginannya untuk membentuk kembali kebijakan luar negerinya secara keseluruhan dengan memberi warna regional dan khususnya memperbaiki hubungannya dengan Indonesia. Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, berpandangan sama dengan Indonesia bahwa Timor-Leste yang merdeka bukanlah opsi yang baik dan diberi tahu bahwa aneksasi Timor Portugis sudah menjadi kebijakan Indonesia yang “tetap”. Apapun niat dia sebenarnya, dalam kedua pertemuannya dengan Presiden Soeharto tahun 1974-75, Whitlam memberi Presiden Soeharto kesan yang kuat bahwa ia melihat perlunya pengambilalihan oleh Indonesia, bahkan meski mengakui pentingnya menegaskan prinsip penentuan nasib sendiri. Kebijakan Indonesia terhadap Timor Portugis 62. Selama tahun-tahun awal pembentukan negara Indonesia sejumlah orang-orang nasionalis Indonesia memimpikan terciptanya Indonesia Raya seperti yang pernah dicapai pada masa keemasan ketika Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menguasai kawasan kepulauan ini. Walau tidak ada dasar historisnya, Indonesia Raya akan mencakup wilayah Malaysia dan Filipina, serta Timor Portugis. Republik Indonesia tidak pernah bermaksud untuk mewujudkan Indonesia Raya. Justru sebaliknya, ketika hendak menggalang pengakuan internasional di akhir dasawarsa 1940-an dan kemudian pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, ketika mencoba mengklaim Irian Barat (kemudian Irian Jaya, kini Papua), Indonesia menyatakan bahwa batasbatas negaranya adalah batas-batas Hindia Belanda. Alasannya pragmatis: mengklaim kedaulatan atas Indonesia Raya akan berkesan ekspansionis di dunia yang mengakui bahwa negara-negara merdeka harus mewarisi batas-batas yang telah ditetapkan oleh penguasa kolonialnya. 63. Khusus untuk Timor Portugis, sebelum tahun 1975, Indonesia tidak pernah mengklaim bahwa ia memiliki hak untuk menggabungkan Timor Portugis. Pada tahun 1961, ketika Indonesia mengupayakan klaim atas Irian Jaya Menteri Luar Negeri ketika itu, Dr. Soebandrio, secara - 21 - eksplisit menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki klaim atas Timor Portugis karena itu merupakan wilayah Portugal sehingga bukan milik Indonesia54. Pada tahun 1974, setelah bertemu dengan utusan luar negeri ASDT, José Ramos-Horta, Menteri Luar Negeri Indonesia ketika itu, Adam Malik, menulis kepada Ramos-Horta: Pemerintah dan juga rakyat Indonesia tidak memiliki niat untuk menambah atau memperluas wilayah mereka, atau untuk menduduki wilayah-wilayah selain yang tercantum dalam Konstitusi mereka. Penegasan kembali ini untuk memberi anda gambaran yang jelas, sehingga tidak ada keraguan dalam pikiran rakyat Timor dalam mengungkapkan keinginan mereka sendiri…Oleh karena itu, siapapun yang akan memerintah di Timor dimasa depan setelah kemerdekaan, dapat dipastikan bahwa Pemerintah Indonesia selalu akan berusaha untuk memelihara hubungan baik, persahabatan dan kerjasama demi manfaat kedua negara.55 64. Walaupun tidak pernah menjadi gagasan arus utama, anggapan bahwa Timor Portugis adalah milik Indonesia karena alasan historis, geografis dan etnis tetap hidup sebagai arus bawah dalam pembicaraan politik di Indonesia, yang dapat sewaktu-waktu dimunculkan bila diperlukan. Ancaman penyatuan dan integrasi Timor Portugis dengan Indonesia selalu membayangi hubungan Indonesia dengan Timor Portugis. Gubernur-gubernur Timor Portugis pasca perang selalu mencurigai niat Indonesia, dan senantiasa berusaha membatasi kontak antara kedua belahan pulau tersebut. Walaupun tingkat keterlibatan Indonesia dalam pemberontakan tahun 1959 masih dipertentangkan (lihat 3.1, di atas), represi yang terjadi setelahnya dan analisis pemerintahan Timor Portugis mengenai asal-usul pemberontakan tersebut menunjukkan bagaimana seriusnya pihak Portugis yakin bahwa Indonesia memiliki rencana bagi wilayah tersebut. Indonesia bukannya tidak mengacuhkan ketakutan-ketakutan tersebut. Pada bulan Juli 1961, contohnya, dalam sebuah pidato yang mengingatkan Portugal ntuk tidak mengabaikan dukungan internasional atas kemerdekaan Anggola, Menteri Luar Negeri Indonesia ketika itu, Dr Soebandrio, mengingatkan pendengarnya dengan nada ancaman mengenai kedekatan Indonesia dengan Timor Portugis.56 Pada tahun 1962 sebuah laporan (Komite Dekolonisasi PBB) mencatat bahwa sebuah “Biro Pembebasan Republik Timor” telah dibentuk di Jakarta. Sekitar bulan Mei-Juni 1963 Biro tersebut mengumumkan bahwa Biro ini telah membentuk pemerintahan dengan 12 menteri di Batugade.57 Pada bulan September 1963, Menteri Penerangan Indonesia, Roeslan Abdulgani menyatakan: walaupun kami bukanlah negara ekspansionis, kami tidak dapat membiarkan bangsa yang nenek moyangnya sama dengan kami ditindas dan dipenjara hanya karena mereka ingin bergabung dengan tanah air nenek moyang mereka.* 65. Walau demikian, integrasi Timor Portugis tidak pernah menjadi tujuan dari kebijakan resmi di bawah Presiden Soekarno. Berbagai pernyataan dan infiltrasi yang sesekali muncul tidak pernah sampai menjadi komitmen serius untuk menggabungkan Timor Portugis karena Indonesia tidak pernah memandang koloni tersebut sebagai ancaman. Indonesia menjaga hubungan yang stabil dengan pemerintahan Salazar: Ia membuka konsulatnya di Dili dan Soekarno sendiri mengunjungi Portugal pada tahun 1959. * James Dunn, East Timor: A rough passage to independence, Longueville, 2003, p. 87. Juga perlu dicatat peneliti CSIS, Harry Tjan Silalahi menyebut bahwa Indonesia menyelenggarakan operasi klandestine di Timor Portugis selama “konfrontasI”, dalam suatu pembicaraan dengan staff Kedutaan Australia di Jakarta, 2 Juli 1974. Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Australia and the Indonesian Incorporation of Portuguese Timor 1974-1976, 2000, h. 62, document 12. - 22 - 66. Sampai tahun 1974 penerus Soekarno, Soeharto, tidak pernah melenceng dari posisi pendahulunya, namun, setelah Revolusi Bunga, berbagai argumen “kembali ke pangkuan ibu pertiwi” untuk mengambil alih Timor Portugis mulai muncul. Tokoh-tokoh politik Timor-Leste mengingat di hadapan Komisi kekhawatiran mereka saat pidato John Naro, wakil ketua DPR-RI, yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki klaim historis atas Timor Portugis.58 Orang-orang yang mendekati masalah ini dari sisi strategis melihat pentingnya pandangan-pandangan ini. Dalam wawancara mereka dengan Komisi, Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi, dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang keduanya sangat terlibat dalam mengembangkan kebijakan tentang Timor Portugis pada tahun 1974-75 atas nama mentor mereka Jenderal Ali Moertopo, keduanya menyebutkan kuatnya pandangan-pandangan seperti ini.* Kolonel Aloysius Sugianto, seorang anggota seksi operasi khusus Jenderal Ali Moertopo dalam badan intelijen, Bakin, yang memainkan peran penting dalam berbagai kegiatan rahasia awal di Timor Portugis tahun 1974-75, mengatakan kepada Komisi bahwa ia melihat dirinya bekerja untuk menyatukan kembali bangsa yang terpecah akibat kolonialisme. Kalau kita begitu. Apodeti itu landasannya selalu, kita ini satu saudara, satu pulau. Kita jadi pecah, jadi dua antara Timor Dili sama Timor Kupang. Itu karena penjajah. Mereka itu, kalau kita lihat, benar kan? Karena penjajah jadi pecah. Di sana menjadi daerah Portugal di sini daerah Belanda. Sebetulnya solusi kita satu. Logika itu benar, cara berpikir rakyat itu benar.59 67. Setelah invasi Timor-Leste, pejabat-pejabat Indonesia menghidupkan kembali argumen historis (dan etnis) bagi integrasi. Dalam pidatonya di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 13 Desember 1975, enam hari sesudah invasi Dili dan sepuluh hari setelah ia menyangkal mengenai ambisi teritorial Indonesia di Timor Portugis, Duta Besar Indonesia untuk PBB, Anwar Sani menyatakan: Perkenankan saya terlebih dahulu menjelaskan mengapa Indonesia sangat peduli akan apa yang terjadi di Timor Portugis. Timor Portugis adalah bagian dari pulau Timor, bagian lain dari pulau tersebut adalah wilayah Indonesia. Timor terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia, satu dari ribuan pulau yang membentuk kepulauan. Penduduk Portugis Timor…berasal dari etnis yang sama dengan penduduk yang berada di wilayah Indonesia. Pemisahan selama 450 tahun karena dominasi kolonial tidak menghapuskan ikatan erat darah dan kultur antara penduduk wilayah ini dan kerabat mereka di Timor Indonesia. Kedekatan geografis dan kekerabatan etnis adalah alasan-alasan penting mengapa Indonesia sangat peduli dengan keamanan dan stabilitas di Timor Portugis, tidak hanya karena kepentingan Indonesia sendiri tetapi juga untuk kepentingan seluruh wilayah Asia Tenggara.60 68. Yang lebih kuat dalam pemikiran Indonesia, selain alasan historis, adalah alasan-alasan strategis bagi penggabungan. Menurut James Dunn, mengutip sumber-sumber Indonesia, “kelompok Bakin/Opsus melihat kembali posisi mereka pada akhir tahun 1972 atau 1973 dan berkesimpulan bahwa mereka sangat menentang ide Timor-Leste merdeka”, yang dapat * Yusuf Wanandi menyatakan bahwa ‘dalam lingkaran tertentu’ Timor-Leste dilihat sebagai ‘ wilayah irredentist’.( Irredentism adalah gerakan yang berusaha menyatukan kembali wilayah-wilayah yang terpisahkan. [Wawancara CAVR dengan Yusuf Wanandi, Jakarta, CSIS, Jakarta, 24 Juli 2003.] Harry Tjan Silalahi mengamati: Saya pikir teori yang menyatakan bahwa Timor-Leste adalah bagian integral dari Indonesia memang ada, tanpa secara eksplisit dinyatakan, sejak masa Soekarno, setelah pembebasan Irian. [Wawancara CAVR dengan Harry Tjan Silalahi, Jakarta.] - 23 - “menambah dimensi baru bagi persoalan keamanan Indonesia”.61 Buku setengah resmi, Integrasi, mengklaim bahwa kepentingan Indonesia di Timor Portugis sudah ada jauh sebelum komitmen Portugal kepada dekolonisasi. Buku tersebut juga menegaskan bahwa Indonesia mengambil pendekatan evolusioner, yang pada tahap awalnya akan membangkitkan keinginan rakyat Timor untuk merdeka. Yang melatari kebijakan Indonesia tersebut adalah perlunya menjamin “bahwa Timor-Leste tidak akan menjadi ‘tempat bermasalah’ dan dengan demikian tidak akan digunakan sebagai alat tawar-menawar melawan Indonesia.”62 69. Setelah Revolusi Bunga di Portugal pada bulan April 1974, pendekatan strategis, yang dibentuk oleh rasa anti-komunisme yang mendalam dari rejim Orde Baru, dengan cepat mendominasi pemikiran mengenai persoalan Timor Portugis di antara kalangan elit Indonesia. Pendekatan ini bersumber dari ketakutan bahwa Timor-Leste yang merdeka akan menjadi basis bagi infiltrasi oleh negara-negara komunis ke Indonesia. Pandangan ini sudah muncul setidaknya sejak tanggal 22 Mei 1974, ketika anggota Bakin mengatakan kepada Kedutaan Australia di Jakarta mengenai pandangan berikut ini: “Indonesia sudah mengatasi Cina di pintu depannya dan mungkin sekarang harus menangani ancaman dari pintu belakangnya.”63 70. Soeharto sendiri juga mengambil pandangan strategis ini. Pada pertemuannya dengan Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, di Wonosobo dekat Yogyakarta bulan September 1974, ia menyebut Cina dan Uni Sovyet sebagai negara-negara yang mungkin akan mencampuri Timor Portugis.64 Dalam pertemuan keduanya di Townsville, Queensland, pada bulan April 1975, Soeharto mengatakan kepada Whitlam bahwa intelijen Indonesia telah mendapat informasi bahwa orang-orang komunis dari Cina sedang berupaya masuk ke Timor Portugis melalui Australia dengan bantuan Kedutaan Cina di Canberra.* Pejabat Indonesia tidak semuanya sepaham mengenai sifat ancaman komunisme ini. Kepala intelijen di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan wakil ketua Bakin, Letnan Jenderal Benny Moerdani meyakini bahwa armada Soviet adalah ancaman utamanya: ia memprediksikan bahwa Timor merdeka akan memberi Uni Sovyet pangkalan Angkatan Laut yang akan memungkinkan Sovyet untuk membagi wilayah laut Indonesia menjadi dua zona.65 Direktur eksekutif CSIS, Jusuf Wanandi, mengatakan kepada Komisi bahwa orang lainnya lebih khawatir tentang maksud Vietnam: mereka berargumen bahwa kalau Kuba dapat mengirimkan pasukannya ke Angola yang jaraknya 2.000 km jauhnya dari pangkalan mereka, kenapa Vietnam tidak bisa mengirimkan pasukannya ke Timor-Leste yang hanya berjarak 1500 km (sic. 4.000 km) jauhnya?66 Perbedaan penilaian mengenai ancaman komunis ini seharusnya dapat memicu negara-negara luar untuk mempertanyakan kebenaran argumen tersebut. * Lihat Dokumen 123 di DFAT, Australia and the Indonesian Incorporation of East Timor, h. 248,. Whitlam mengatakan bahwa Indonesia tidak punya bukti mengenai ini. - 24 - 3.5 Proses dekolonisasi dan partai-partai politik Tinjauan 71. Revolusi Bunga seketika dengan cepat mengubah situasi percaturan politik di Timor Portugis, yang sampai saat itu belum memiliki partai politik aktif dan hanya sedikit kegiatan antikolonial. Dengan hukum-hukum baru untuk perserikatan politik, partai-partai cepat terbentuk. Dua partai muncul sebagai kelompok-kelompok yang dominan, UDT dan ASDT. Landasan kedua partai tersebut menyerukan kemerdekaan sebagai hasil akhir dari proses dekolonisasi. Mereka berbeda dalam laju dekolonisasi tersebut, dengan ASDT menghendaki kemerdekaan segera, sementara UDT yang lebih konservatif ingin sebuah proses yang lebih bertahap. Namun yang benar-benar memisahkan kedua partai sentris ini, adalah ideologi militan di kedua ekstrim yang saling menuduh, sebagai “fasis” atau “komunis”. Partai ketiga, Apodeti, mendapatkan dukungan di sana sini, namun jumlah pendukungnya berada jauh di bawah kedua partai utama, dan ciri utamanya adalah posisinya yang pro-integrasi dan dukungan Indonesia yang mereka raih. 72. Kampanye politik dengan cepat berubah menjadi serangan-serangan verbal dan terkadang fisik, dan kedua partai utama tidak melakukan banyak untuk mengendalikan ini. Kedua partai menggunakan siaran radio untuk menyebarkan propaganda dan serangan pribadi kepada yang lain, sehingga meningkatkan ketegangan sosial. Tidak adanya pengalaman politik ini dimanfaatkan oleh agen-agen Indonesia, termasuk anggota dinas intelijen yang melakukan operasi terselubung di dalam Timor Portugis. Mereka berupaya memecah-belah orang Timor dengan tujuan untuk mencapai integrasi dengan Indonesia. Hal ini memicu pihak-pihak militan di kedua partai, dan memuncak pada kegagalan kedua partai untuk menemukan cara untuk bekerja bersama bagi kepentingan nasional. Hasilnya adalah pecahnya koalisi yang berusia empat bulan antara UDT dan Fretilin pada akhir bulan Mei 1975. Dari situ, ketegangan antara kedua partai meningkat sampai UDT melancarkan aksi bersenjata yang terkoordinasi di seluruh wilayah, yang kemudian berubah menjadi konflik bersenjata berdarah. Fretilin pun menanggapinya dengan kekerasan juga. Permulaan kesadaran politik 73. Sistem kolonial Portugis merenggut suara orang Timor-Leste untuk menangani urusannya sendiri. Namun, penyebaran pendidikan yang bertahap setelah Perang Dunia Kedua mulai menumbuhkan pemikiran kritis mengenai sistem kolonial yang ciri utamanya adalah keterbelakangan ekonomi, korupsi, tingkat pengangguran yang tinggi, diskriminasi rasial dan kekejaman. Penderitaan orang Timor-Leste mulai mendapatkan penyaluran lewat kalangan terdidik. 74. Direnggut hak suaranya dan belajar dari pemberontakan Viqueque tahun 1959 tentang harga yang harus dibayar dalam konfrontasi langsung dengan sistem kolonial, pada awal dasawarsa 1970-an, kalangan yang sadar politik mengadopsi pendekatan politik yang baru yang lebih hati-hati dan rahasia. Pada tahun 1970 kalangan generasi muda terdidik memulai sebuah kelompok diskusi anti-kolonial, yang di antara anggotanya terdapat Mari Alkatiri, José Ramos- Horta, Nicolau Lobato, Justino Mota dan Francisco Borja da Costa. Sebuah kelompok antikolonial kecil dibentuk pada tahun 1967 yang berfungsi pada masa Revolusi Bunga, diorganisir dalam berbagai kelompok kecil yang berjalan tanpa saling mengetahui. Kelompok ini tampaknya tidak memiliki dampak politik yang besar.67 75. Pada awal dasawarsa 1970-an orang Timor mulai diperbolehkan untuk menulis tentang topik-topik yang terbatas dan dengan kebebasan ekspresi yang dibatasi. Seara, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Diosis Dili, menjadi sarana pengungkapan pendapat yang penting setelah Pastor Martinho da Costa Lopes mengambil alih redaksi pada bulan September 1972. Mari Alkatiri, José Ramos-Horta, Nicolau Lobato, Abilio Araújo dan Francisco Xavier do Amaral - 25 - semuanya menulis artikel untuk Seara mengenai permasalahan sosial di bawah redaksi Pastor Martinho da Costa Lopes. 76. Pemerintah tidak ragu-ragu untuk menekan segala tanda pembangkangan. Pada tahun 1970 José Ramos-Horta diasingkan ke Mozambique selama dua tahun setelah DGS* melaporkan Horta yang mengatakan kepada seorang turis Amerika bahwa kalau Portugal tidak sanggup membangun Timor, lebih baik Amerika mengambil alih koloni ini.68 Sejumlah artikel oleh Amaral dan Ramos-Horta?dalam kasus Horta adalah sebuah essay berjudul “Maubere Meu Irmão” (“Maubere My Brother”) atau “Maubere Saudara Saya” dianggap sangat menghina—menarik perhatian pemerintah. Di bawah tekanan pemerintah, Seara mengumumkan, tanpa penjelasan, dalam edisi tanggal 24 Maret 1973 bahwa majalah tersebut akan tutup.† 77. Pada tahun 1973, di Dili, terjadi kerusuhan antara pemuda dan militer Portugis.69 Terjadi ketegangan, dan tidak lama kemudian kegalauan generasi muda dapat menemukan bentuk yang lebih jelas. Susunan partai-partai politik 78. Begitu Revolusi Bunga menghilangkan larangan ekspresi politik, kalangan terdidik Timor dengan cepat mengambil kesempatan untuk terjun ke kancah politik. Sementara komposisi klas, etnis dan kedaerahan sulit dijelaskan secara sederhana, terdapat pola-pola latar belakang orangorang yang ikut masuk ke dalam partai-partai. Para pemimpin Timor dari berbagai partai umumnya saling mengenal dengan baik dan terkadang berhubungan keluarga. Domingos Oliveira, Sekretaris Jenderal partai UDT ketika itu, mengatakan kepada Komisi mengenai kedekatannya dengan Wakil Presiden Fretilin, Nicolau Lobato, dan bagaimana ia sering berbincang mengenai politik dengan sepupunya José Osorio Soares, Sekretaris Jenderal Apodeti. Timor-Leste tahun 1975 merupakan dunia kecil yang terdiri dari jaringan dan aliansi politik.70 79. Latar belakang yang terpandang adalah sesuatu yang umum di kalangan pemimpin partai. Menjadi terpandang pada penghujung masa kolonial di Timor Portugis dapat berarti beberapa hal: latar belakang liurai, keturunan ras campuran (mestizo), keluarga tuan tanah, pendidikan menengah di gereja atau sekolah negeri. Seringkali orang-orang yang memiliki ciri keberadaan seperti ini bekerja sebagai pegawai negeri. Karakteristik seperti ini mempersatukan banyak pemimpin partai. Mereka sering kali hanya bisa dibedakan dengan gradasi sosial yang lebih halus lagi. Tidak mengherankan, bila melihat landasan politik federalisnya, beberapa pemimpin UDT mempunyai kedudukan kuat dalam sistem kolonial, baik karena memegang jabatan yang cukup senior di pemerintahan sipil, melalui keanggotaan Acção Nacional Popular (ANP) yang Salazaris, atau melalui kedekatan mereka dengan Gereja Portugis.71 Walaupun seringkali memiliki latar belakang yang serupa, para pemimpin Fretilin tidak memiliki keterikatan emosional kepada rejim kolonial Portugal. Apodeti mendapatkan kepemimpinan mereka dari wilayah-wilayah tertentu yang memiliki hubungan dengan Indonesia yang bisa saja bersifat geografis (berdasakan kedekatannya dengan perbatasan Indonesia) atau politis (berhubungan dengan keterlibatan mereka dalam pemberontakan Viqueque tahun 1959). 80. Penguasa tradisional Timor-Leste menyediakan jalur penting untuk menggalang kekuatan secara lokal bagi semua partai. Partai KOTA yang kecil bermaksud untuk menjadikan sistem tradisional ini sebagai basis programnya. Apodeti juga menggalang dukungan dari pemimpin tradisional dan regional ini, dan cukup berhasil. Guilherme Gonçalves, liurai Atsabe, * PIDE berubah nama menjadi DGS (Direcção Geral de Segurança) pada tahun 1968. † Ramos-Horta menuliskan bahwa ia dipanggil lagi oleh gubernur karena kata-kata “Maubere Saudaraku”, tetapi tidak terlalu jelas bagaimana pikiran pemerintahan Portugis terhadap tulisan Xavier do Amaral’ pada saat itu. Tapi ini diterima banyak kalangan nasionalis bahwa Seara ditutup karena tulisan Xavier do Amaral. Lihat Abílio Araújo, Timor-Leste: Os Loricos Vontaram a Cantar, 1977, Lisbon, hal. 187. - 26 - memberi basis dukungan regional yang cukup besar bagi partai ini di daerah perbatasan dengan Indonesia. Namun demikian, para liurai tidak memberikan basis tunggal yang kuat bagi satu partai manapun. Fransisco Xavier do Amaral menjelaskan kepada Komisi tentang perbedaanperbedaan antara cara Fretilin dengan UDT di dalam mencari dukungan masyarakat: Partai ASDT memiliki metoda ini. Kita bisa melihat bahwa partai pertama yang dibentuk ialah UDT, dan saya lihat taktik mereka. UDT berkampanye dengan fokus kepada administrator, dan mendekati administrator sub-distrik dan penguasa lokal [liurai]. Mereka tidak secara langsung mendekati rakyat. Jadi saya pikir, kita butuh rakyat, saya tidak butuh liurai, mereka mendukung Portugis. Saya butuh rakyat. Jadi mereka berangkat dari atas ke bawah, sedangkan saya memulai dari bawah. Saya memulai dari akar rumput kemudian ke atas. Terkadang, kami bertemu di tengah-tengah. 72 81. Partisipasi politik dalam suatu tradisi demokrasi Barat yang individualistik tetap menjadi hak khusus segelintir kalangan elit yang membentuk partai-partai tersebut. Proses politik yang terjadi setelah Revolusi Bunga berjalan cepat, dan tanpa pendidikan kewarganegaraan atau politik, banyak orang Timor biasa yang membuat pilihan keanggotaan atau afiliasi partai berdasarkan kesetiaan lokal atau karena ikut-ikutan ketimbang karena prinsip atau kebijakan partai.73 Desa-desa atau wilayah-wilayah tertentu seringkali setia terhadap satu partai saja. Mario Carrascalão dari UDT menjelaskan bagaimana kesetiaan politik suatu komunitas terbentuk: Orang-orang di Maubisse, karena mereka dekat dengan tentara-tentara Portugis, maka seluruh Maubisse adalah UDT. Hampir semua orang Maubisse adalah UDT. Tetapi jika anda melihat Uatulari, semua orang adalah Fretilin, dan di Uatu-carabau semua orang adalah Apodeti. Ini adalah kenyataan yang terjadi ketika kami mempersiapkan pemilihan-pemilihan [di desa] [pada tahun 1975].74 Perkembangan dan ketegangan internal Kompetisi antara UDT dan Fretilin 82. Tidak diragukan lagi bahwa dua partai terbesar adalah UDT dan ASDT. Apodeti menjadi penting karena hubungan dengan dan dukungannya dari pemerintah Indonesia. Sementara UDT dan ASDT memiliki perbedaan, dalam tujuan akhir kemerdekaannya mereka sama. Dan memang selama tahun 1974-75 mengenai persoalan kemerdekaan, UDT dan Fretilin bergerak semakin dekat dengan keduanya pada akhirnya menerima jadwal waktu yang diajukan Portugal yang ditetapkan dalam Undang-Undang no. 7/75 pada tanggal 17 Juli 1975.75 ASDT mulai membicarakan untuk membentuk sebuah front yang berbasis luas sejak bulan Juli 1974, namun menolak gagasan membentuk koalisi dengan UDT.76 Pada bulan Agustus, pendukung UDT dan ASDT menyelenggarakan serangkaian pertemuan untuk membentuk koalisi, namun sekali lagi gagal menyetujui landasan bersama.77 Kedua partai dengan cepat tenggelam ke dalam serangan verbal terhadap yang lainnya dan retorika agresif yang memecah belah secara sosial dan menciptakan landasan bagi kekerasan yang segera menyusul.78 Pelatihan militer Apodeti di Timor Barat 83. Sementara itu Apodeti menjalin kontak dengan militer Indonesia dengan maksud untuk mendapatkan senjata dan pelatihan militer. Utusan Apodeti, Tomás Gonçalves, anak liurai Atsabe, Guilherme Gonçalves, pergi ke Timor Barat pada bulan Agustus 1974 untuk pelatihan - 27 - militer. Pada bulan September ia pergi ke Jakarta, dimana ia bertemu dengan panglima ABRI, Jenderal Maraden Panggabean yang ketika itu melihat Apodeti sebagai alat yang tepat untuk mencapai hasil integrasi. Kunjungan-kunjungan ini terjadi dengan keterlibatan dan bantuan konsulat Indonesia di Dili.79 Partai-partai politik bersiap menghadapi konfrontasi bersenjata 84. Apodeti merupakan partai pertama, namun bukan satu-satunya partai yang mengembangkan kemampuan paramiliter. Ini merupakan kecenderungan yang kuat di antara ketiga partai. UDT dan Fretilin keduanya secara aktif mengincar dukungan di kalangan orang Timor yang menjadi anggota tentara kolonial Portugal.80 Di samping persoalan kesetiaan kepada Portugal, Gubernur Mário Lemos Pires juga khawatir tentang prospek terjadinya perpecahan di antara pasukan Timor-Leste yang didasarkan pada kesetiaan terhadap partai politik. Mantan perwira tingkat pertengahan (aspirante), Rogério Lobato, belakangan mengenang: Dapat saya katakan bahwa UDT membuat kampanye untuk memperoleh dukungan terutama dari lulusan sekolah militer, para sersan. Namun Fretilin juga membuat kampanye terbuka … di antara pasukan-pasukan tersebut untuk memobilisasi para serdadu.81 85. Ini menjadi kekhawatiran pemerintah kolonial. Ketika Fretilin mendeklarasikan pasukan Timor sebagai bagian dari koalisi UDT-Fretilin Mayor Francisco Mota, Kepala Kantor Urusan Politik Gubernur, melarang militer terlibat dalam politik, sesuai tradisi militer Portugis untuk berada di luar politik (apartidarismo).82 Namun, pada bulan April 1974, tentara Portugis sendiri baru memberi contoh mengenai keterlibatan militer dalam politik. Banyak serdadu Timor dalam tentara dan polisi kolonial Portugis terhibur oleh apa yang mereka pandang sebagai ketiadaan disiplin dan kesetiaan pada tugas yang diperlihatkan oleh orang Portugis dalam tentara kolonial setelah Revolusi Bunga.83 Walaupun sudah terjadi kegaduhan sebelum tanggal 11 Agustus, tentara Timor umumnya tetap loyal kepada prinsip apartidarismo sampai pecah perang sipil. Beberapa orang bahkan terus menolak untuk berpihak setelah itu. Mahasiswa dari Portugal 86. Sumber lain bagi ketegangan di masa itu, dan dari dugaan sejarah semenjak itu, adalah peran tujuh orang mahasiswa Timor yang baru kembali dari Portugal pada bulan September 1974, beberapa hari sebelum ASDT mengganti namanya menjadi Fretilin. * Mereka membawa pengalaman politik radikal mereka dari kelompok-kelompok mahasiswa di Lisbon† dan sikap antikolonial yang keras.84 Sementara beberapa politisi Timor dari masa itu yakin bahwa para mahasiswa tersebut bertanggung jawab mendorong ASDT menjadi partai yang lebih revolusioner,85 Komisi mendengar kesaksian dari anggota Komite Sentral Fretilin Mári Alkatiri bahwa ketika mereka kembali ke Timor, para mahasiswa, tidak seperti anggota Komite Sentral, memandang kolonialisme Portugis sebagai ancaman yang lebih besar daripada neo-kolonialisme Indonesia.86 Para mahasiswa tersebut bergabung dengan Fretilin, yang mampu meredam beberapa gagasan mereka yang lebih radikal,87 dan partai tersebut kemudian terpengaruh oleh semangat dan gagasan-gagasan baru mereka. Para mahasiswa ini menjadi anggota Fretilin yang menonjol. Sementara peran mereka dalam pembentukan Fretilin dan radikalisasi kebijakan partai tersebut masih dipertentangkan, para anggota UDT mengingat pengaruh mereka yang memanas-manasi melalui grafiti (“Matilah Fasis!”)88 dan hinaan tentang UDT yang dituduh konservatif.89 Perilaku seperti ini membuat para mahasiswa ini dipersalahkan atas kebijakankebijakan Fretilin yang lebih radikal. * Lima mahasiswa tersebut adalah Abilio Araújo, Guilhermina Araújo, António Carvarinho, Vicente Manuel Reis dan Venâncio Gomes da Silva. See Relatorio da CAEPDT, h. 54. † Mereka termasuk MLTD or Movimento Libertação Timor Díli dan FULINTIDI or Frente Unica de Libertaçäo de Timor Díli. - 28 - ASDT menjadi Fretilin 87. Pada tanggal 11 September 1974, ASDT merubah namanya menjadi Frente Revolucionário de Timor Leste Independente, Fretilin (Front Revolusioner bagi Timor-Leste Merdeka). Sejak saat itu partai ini mengambil sikap yang lebih radikal. Manifestonya (Manual e Programa Politicos da Fretilin) menyebut Fretilin sebagai “front yang mempersatukan kelompokkelompok nasionalis dan anti-kolonialis di bawah satu visi—pembebasan bangsa Timor dari kolonialisme”.90 Manifesto tersebut juga menegaskan bahwa Fretilin merupakan ‘satu-satunya wakil sah’ rakyat Timor. Tidak ada dasar elektoral bagi klaim ini, yang oleh Fretilin didasarkan atas kesetiaannya kepada mayoritas rakyat pribumi Timor yang agraris. Walau demikian berdasarkan nilai-nilai yang diklaimnya dimiliki oleh ‘seluruh orang Timor-Leste Fretilin menuntut kemerdekaan Timor-Leste secara de jure dari Portugal. Di satu sisi, Fretilin berupaya untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahnya Portugal. Di sisi lain, beberapa pimpinannya ketika itu melihat sebagai ancaman yang lebih besar kekuatan neo-kolonial Indonesia dan bermaksud untuk membangun front nasional yang luas untuk menghadapi ancaman ini.91 88. Peran yang diproklamirkan secara sepihak oleh Fretilin sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Timor-Leste membuat khawatir pemimpin-pemimpin partai lain, yang menganggap hal ini memicu rasa tidak toleransi dalam politik. Mereka tidak menerima partai-partai lain. Mengapa?…Ini lah yang mereka inginkan, yaitu menjadi satu-satunya perwakilan rakyat Timor yang sah. Mereka tidak mengenali orang-orang di partai lain…92 Istilah “Maubere” 89. Walau mereka bermaksud untuk menjadi wakil tunggal bangsa Timor-Leste, Fretilin tidak mencapai hal ini. Yang dicapai oleh Fretilin adalah pengembangan nasionalisme Timor-Leste dengan menggunakan gagasan-gagasan seperti menjadikan istilah Maubere sebagai simbol rakyat Timor biasa, dan slogan dalam bahasa Tetum Ukun Rasik An, yang berarti kebebasan dan pemerintahan sendiri. Ketika pertama kali digunakan pada tahun 1974-75, istilah Maubere dipandang oleh orang Timor yang tergabung dengan UDT sebagai memecah-belah ras, karena membeda-bedakan orang Timor “berdarah murni” dengan ras campuran “mestizo.” Komisi mendengarkan kesaksian dari mantan anggota senior partai UDT, yang menggambarkan istilah Maubere sebagai sumber perpecahan penting di masyarakat.93 José Ramos-Horta menjelaskan lahirnya istilah tersebut sebagai slogan politik pada audiensi publik nasional Komisi mengenai Konflik Internal tahun 1974-76: Saya menulis sebuah artikel di jurnal di Timor [Seara], bukan pada tahun 1975 atau 1974, tetapi tahun 1973…Saat kita membentuk ASDT, dalam sebuah pertemuan ASDT/Fretilin saya jelaskan bahwa semua partai politik perlu mempunyai citra. Jika kita ingin meyakinkan pemilih kita tidak bisa melakukannya dengan filsafat yang rumit…Jadi saya bilang sebaiknya kita mengidentifikasi Fretilin dengan Maubere sebagai slogan, atau simbol identitas Fretilin. Jelas bahwa 90 persen penduduk Timor tidak memakai alas kaki, tidak punya kartu penduduk, tetapi mereka menganggap diri mereka sebagai Maubere…Kita perlu [memahami] bahwa tidak ada filsafat lain dalam istilah ini, Ini adalah identitas partai. 94 - 29 - 90. Di tahun-tahun belakangan, selama pendudukan Indonesia, simbol-simbol ini tumbuh menjadi penegasan yang kuat akan aspirasi Timor-Leste untuk merdeka, dan pada saat yang sama terus memecah Fretilin dan UDT. Fretilin dan ancaman komunisme 91. Terdapat banyak perdebatan mengenai seberapa jauh Fretilin dipengaruhi oleh komunisme pada tahun 1974-75, dan apakah hal ini menjadi alasan sebenarnya bagi aksi bersenjata UDT dan intervensi Indonesia. Komisi mendengar banyak kesaksian mengenai isu ini pada audiensi publik nasional mengenai Konflik Internal tahun 1974-76. Jelas bahwa beberapa anggota Fretilin adalah komunis, akan tetapi akan tidak benar apabila menyimpulkan berdasarkan hal ini bahwa partai tersebut adalah partai komunis pada tahun 1974-75. Rangkuman yang lebih tepat adalah bahwa arus utama kepemimpinan Fretilin adalah tengah-kiri, walaupun partai ini mencakup serangkaian opini yang bervariasi dari ekstrim-kiri sampai unsurunsur yang lebih konservatif. 92. Berikut ini adalah pandangan João Carrascalão, pemimpin UDT yang merupakan salah satu pendiri Gerakan Anti-Komunis setelah 11 Agustus: Dalam tubuh Fretilin beberapa pemimpin adalah komunis, tetapi Fretilin bukan partai komunis. Dalam tubuh UDT beberapa pemimpin adalah sosialis, tetapi UDT bukan partai sosialis, UDT adalah partai demokrat sosial…95 93. José Ramos-Horta, satu-satunya tokoh politik yang hadir pada pembentukan UDT dan ASDT, juga mengomentari tuduhan bahwa Fretilin adalah partai komunis: Kalau orang bilang bahwa Fretilin itu komunis pada tahun 1974-1975 ini tidak benar. Fretilin adalah front politik. Alarico Fernandes itu orang komunis. [Sebastião] Montalvao orang komunis dan beberapa orang lain yang saya lupa namanya. Nicolau Lobato bukan seorang komunis. Anda bisa menyebut Nicolau Lobato sebagai seorang Marxis Kristen sekuler, seperti teologi pastor Amerika Latin. Para pastor di Brazil, Uskup Brazil, Nicaragua, El Salvador, semua Marxis dan beragama Katolik tanpa timbul pertentangan … Saya katakan bahwa Nicolau Lobato adalah seorang yang percaya pada Marxisme tetapi juga 100% Katolik. Xavier Amaral, Anda mungkin menyebut dia sebagai seorang komunis atau sosial demokrat, tetapi saya tidak setuju–dia sedikit konservatif.96 94. Selama periode sebelum konflik bersenjata internal, program dan retorika Fretilin mengandung unsur-unsur yang mencerminkan komunisme. Bahasanya, dimulai dari namanya, adalah revolusioner sosial. Ideologi Maubere-nya Fretilin ditujukan pada sebuah revolusi sosial rakyat, dengan tujuan membangun identitas nasional dari akar rumput. Kebijakan-kebijakannya tidak diragukan lagi adalah kiri, yang fokusnya adalah perombakan radikal terhadap pendidikan, kesehatan dan produksi pertanian. Manifestonya mengklaim bahwa ia adalah “satu-satunya wakil” rakyat Timor-Leste. Retorika seperti ini didengungkan oleh banyak gerakan revolusioinersosial Marxist yang lain, khususnya dalam gerakan-gerakan pembebasan di koloni-koloni Afrika.97 95. Anggota MFA Portugal juga tidak luput dari debat politik masa itu, dan partai UDT menganggap anggota-anggota Portugis dari MFA menyebarluaskan ide-ide komunis di Timor. - 30 - Mário Carrascalão bersaksi kepada Komisi bahwa berbagai unsur sayap kiri dan kanan di pemerintahan Portugis sudah lama bermaksud untuk menyebarkan pandangannya di Timor- Leste: Ketika MFA [Movimento das Forcas Armadas: Gerakan Angkatan Bersenjata] datang ke Timor mereka memiliki orang-orang yang beraliran kiri yang ingin menciptakan kondisi-kondisi di Timor sehingga Timor dapat menjadi; saya tidak yakin bagaimana mengatakannya, komunis atau Marxis-Leninis atau Maois…[Sementara itu] polisi rahasia Portugis [DGS] mengatakan kepada UDT bahwa Fretilin telah mengatur pelatihan militer di dua tempat. Siapakah para pelatihnya? Pelatih-pelatih ini berasal dari Vietnam [Komunis] [kata mereka].98 96. Beberapa pemimpin UDT sangat peka terhadap saran bahwa Fretilin itu komunis. Komisi mendengar kesaksian bahwa Presiden UDT, Francisco Lopes da Cruz, dan Wakil Presidennya, César da Costa Mouzinho, menjadi semakin ekstrim dalam anti-komunismenya selama tahun 1975 setelah berkunjung ke Australia dan Jakarta.99 97. Seringkali sulit untuk mengatakan apakah propaganda anti-komunis Indonesia merupakan ungkapan yang tulus, meskipun salah, dari semangat membara anti-komunisme rejim tersebut atau sebuah upaya untuk memanipulasikan persoalan tersebut untuk membenarkan intervensi. Setelah koalisi dibubarkan pada akhir Mei, siaran radio Indonesia dari Kupang mulai mencap baik UDT maupun Fretilin sebagai komunis, dengan mengatakan bahwa pemimpin UDT João Carrascalão adalah komunis yang pro-Soviet dan Fretilin pro-Cina. Namun selama masa ini, pejabat Indonesia juga bertemu dengan pemimpin UDT dan mengatakan kepada mereka bahwa Fretilin merupakan ancaman komunis.100 Hal ini menunjukkan kepada sebagian pemimpin politik Timor bahwa isu komunisme ini digunakan oleh Indonesia sebagai alasan untuk menekan UDT dan belakangan untuk melakukan intervensi langsung ke Timor Portugis.101 Dalam konteks Perang Dingin, seperti yang dikatakan oleh José Ramos-Horta kepada Komisi, komunisme ialah tuduhan yang mudah dibuat tanpa harus ada dasarnya.102 Tidak adanya toleransi politik 98. Walaupun di tingkat nasional terdapat banyak partai politik, dalam banyak kasus polapola politik yang muncul di tingkat lokal tidak pluralistik. Militan masing-masing partai secara agresif mempertahankan wilayah politiknya. Tomás Gonçalves dari Apodeti menceritakan tentang pengalamannya ketika mencoba berkampanye di komunitas-komunitas distrik: ‘UDT sudah masuk Ermera, orang-orang mau memukul saya…jadi saya pergi ke Letefoho dan di sana juga sudah penuh dengan orang-orang UDT. Sepupu saya menjadi camat di sana, dan dia bilang kepada saya, “Kamu sebaiknya kembali, tidak perlu kampanye di sini.”’103 99. Komisi mendengar banyak kesaksian dan pernyataan tentang tidak adanya toleransi politik di tingkat komunitas pada tahun 1974-75. Hal ini terwujud dalam banyak cara, dan tidak jarang berubah menjadi kekerasan. Suatu kebiasaan umum yang sering disebut adalah pemberian kartu identitas oleh partai politik kepada anggotanya, atau memaksa orang membawa kartu tersebut walaupun mereka tidak memutuskan untuk menjadi anggota partai. Para militan partai akan meminta orang-orang untuk menunjukkan kartu mereka, dan bila mereka menunjukkan kartu partai yang “salah”, mereka bisa ditahan dan dipukuli.104 Komisi juga mendengarkan cerita mengenai para guru yang memaksa murid-muridnya untuk menyatakan kesetiaan kepada suatu partai tertentu, dengan ancaman akan dikeluarkan dari sekolah.105 - 31 - 100. Xanana Gusmão menceritakan kepada Komisi bagaimana intoleransi ini mendorong terjadinya kekerasan: Tiap partai menyatakan pandangan mereka sebagai kepentingan nasional, tetapi tidak mempertimbangkan bahwa kita semua adalah orang Timor, juga tidak mempertimbangkan apa yang sedang diperjuangkan oleh seluruh bangsa. Dan karena hal ini, kami melihat kurangnya kemauan para pemimpin partai untuk mengurangi tingkat kekerasan, untuk menyelesaikan apa yang sedang terjadi. Kerap kali kami melihat bahwa partaipartai tersebut cukup senang ketika para pendukungnya datang dan berkata ’Kami pukuli orang ini’ atau ’Kami bunuh orang itu.’ Hal seperti ini dianggap sebagai kemenangan kecil…Apabila suatu partai memiliki jumlah anggota terbanyak di suatu subdistrik, partai tersebut tidak memperbolehkan partai-partai lain berkampanye di daerah itu. Dan kemudian ketika partai-partai lain akan pergi ke daerah itu, penduduk akan menyerang, menutup jalan mereka, memboikot, saling melempar batu dan saling memukul.106 “Misi mustahil” Lemos Pires 101. Tahap baru dalam proses dekolonisasi Timor Portugis dimulai dengan penunjukan Kolonel Mário Lemos Pires sebagai Gubernur pada bulan November 1974. Ia menjadi Gubernur terakhir Timor Portugis. Lemos Pires menulis bahwa sebelum mengambil jabatan ini, ia bertanya kepada Presiden Portugis, Jenderal Francisco da Costa Gomes, apabila pemerintah bermaksud untuk menyerahkan Timor Portugis kepada Indonesia. Ia mengatakan kepada presiden bahwa apabila rakyat Timor-Leste tidak diperbolehkan untuk menetukan nasibnya sendiri, dan bila memang itu kebijakannya, ia tidak akan menerima posisi Gubernur tersebut.107 Presiden Portugal dilaporkan menjwab bahwa tidak ada kebijakan seperti itu, walaupun Indonesia merupakan bagian dari realita dimana mereka beroperasi.108 Dalam sebuah wawancara dengan Komisi, Lemos Pires mengingat kekhawatirannya ketika ia meninggalkan Portugal untuk mengambil posnya sebagai Gubernur: Saya pergi ke Timor-Leste dengan dugaan bahwa dukungan yang akan saya terima dari Pemerintah Portugal akan sangat terbatas, dan lebih buruk dari itu, bahwa fokus politik Portugis atas proses Timor-Leste akan minimal. Ternyata saya benar.109 102. Tanpa suatu tugas yang jelas dari atasannya di Lisbon, pada saat kedatangannya di Timor Portugis Gubernur Lemos Pires berharap untuk menjalankan suatu program untuk mengatasi apa yang ia pandang sebagai masalah mendesak yang tengah dihadapi oleh koloni ini. Masalah-masalah tersebut ia definisikan sebagai: kondisi militer yang kehilangan moral; perlunya suatu kebijakan dekolonisasi; perlunya menghidupkan kembali pemerintahan sipil yang lumpuh; dan perlunya mempersiapkan orang Timor-Leste untuk menjalankan pemerintahan negaranya sendiri. Ia mampu menangani beberapa masalah ini, seperti reformasi pendidikan, dengan cepat. Namun mengatasi masalah yang paling mendesak, seperti hilangnya moral militer dan menemukan suatu rumusan dekolonisasi, ternyata jauh lebih sulit. Salah satu persoalannya adalah bahwa ia mendapat sedikit dukungan dari Lisbon. Permintaannya untuk mendapatkan arahan yang jelas diabaikan. Pandangannya sendiri akan dekolonisasi tidak sejalan dengan pendangan tokoh-tokoh kunci seperti Menteri Koordinator Antar-wilayah Antonio de Almeida Santos. Sebelum kedatangannya di Timor, komunikasi dengan Lisbon dipersulit dengan adanya persaingan antara perwakilan MFA di koloni ini, Mayor Arnão Metello, dan Gubernur untuk - 32 - mendapatkan perhatian pemerintah. Mário Lemos Pires berupaya mencari jalur komunikasi yang lebih jelas, akan tetapi tim yang ia susun di Kantor Gubernur hanya mencerminkan perpecahan yang juga terjadi di Lisbon. Ia tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkan semangat pasukan Portugis yang sudah pupus, yang sebagian besar hanya ingin kembali ke Portugal sesegera mungkin.110 103. Kondisi setempat juga tidak mendukung. Upaya awal gubernur dalam menciptakan mekanisme untuk berkonsultasi dengan partai-partai dalam dekolonisasi selalu menemui hambatan. Ketika mekanisme ini terwujud, yakni dalam bentuk Komisi Dekolonisasi Timor (Comissão de Descolonização de Timor, CDT), pada akhir April 1975, perbedaan politik antara partai-partai sudah begitu mendalam, sehingga hal ini mungkin sudah sangat terlambat. Hal ini, dan juga inisiatif lain seperti rencana implementasi reformasi pendidikan yang dibuat untuk melayani secara lebih baik komunitas penduduk Timor terinterupsi oleh perang sipil Agustus 1975. 111 sejak awal UDT dan Fretilin menolak untuk duduk bersama dengan Apodeti; Apodeti menolak untuk menerima kemerdekaan sebagai opsi dan bersikukuh untuk periode transisi dekolonisasi yang pendek. Kegagalan koalisi Fretilin/UDT pada akhir bulan Mei benar-benar merusak segala kesamaan yang dimiliki kedua partai. Tampak jelas mengapa Lemos Pires berada di Lospalos untuk pengumuman hasil pemilihan lokal, salah satu prakarsa reformasinya, pada tanggal 10 Agustus 1975, sehari sebelum UDT melancarkan Aksi Bersenjata-nya. 104. Di kalangan serdadu Timor yang merupakan bagian terbesar tentara tumbuh anggapan bahwa Portugal sedang dalam proses berpaling dari Timor.112 Banyak anggota tentara Timor mulai terlibat dalam politik pada waktu yang mereka anggap sebagai momen yang penting dalam sejarah negeri mereka. Mário Lemos Pires merenung di hadapan Komisi: Mereka semua ingin berpihak pada suatu garis politik, namun yang lebih buruk ialah bahwa partai-partai politik, terutama UDT dan Fretilin, masing-masing berusaha meyakinkan mereka untuk membantu dan mendukung partai mereka sendiri. Dengan begitu, yang saya lihat adalah bahwa Tentara tidak bisa memenuhi misinya.113 105. Lisbon menolak permintaan Lemos Pires untuk menambah pasukan Portugis, dan hanya memberikan dua kompi pasukan terjun payung elit. Sebagai akibatnya kekuasaan Portugis berkurang pada saat ketegangan semakin memuncak di koloni dan ketika tekanan luar dari Indonesia mulai. Lemos Pires menyadari bahwa kebijakan Timorisasi-nya dapat dengan mudah menimbulkan konflik yang dia takkan dapat mengendalikan. Mário Carrascalão mengenang peringatan dari Lemos Pires di hadapan Komisi: Kalian harus berhati-hati dengan politik kalian. Para penerjun payung yang ada di Timor sekarang bukan untuk melindungi kalian…Mereka di sini untuk mengurusi orang asing di Timor, orang Portugis.114 Koalisi antara UDT dan Fretilin 106. Pada tanggal 21 Januari 1975, didorong dan didukung oleh Gubernur, dan setelah berulang kali mencoba, Fretilin dan UDT membentuk suatu koalisi. Dua partai tersebut bersatu berlandaskan komitmen bersama untuk kemerdekaan sepenuhnya, penolakan Apodeti dan integrasi dengan Indonesia, dan pendirian pemerintahan transisional di mana kedua partai tersebut berperan di dalamnya. Sementara Fretilin dan UDT memiliki banyak kesamaan, hubungan mereka tidak harmonis, dan khususnya UDT semakin merasa terancam oleh massa yang mengikuti Fretilin dan klaim berkelanjutan Fretilin yang menyatakan diri sebagai wakil tunggal rakyat Timor-Leste.115 Kedua partai terus saling menyerang secara verbal, dan - 33 - perseteruan ini meluas ke distrik-distrik. Koalisi ini tidak memiliki mekanisme politik untuk mengatasi berbagai perbedaan dan menyatukan partai-partai tersebut.116 107. Sementara sejumlah elemen Fretilin terus menganggap UDT sebagai kelompok reaksioner ultra konservatif, sejumlah anggota UDT menjadi semakin khawatir dengan apa yang mereka lihat sebagai pengaruh radikal dalam Fretilin. Mulai akhir tahun 1974 Indonesia meningkatkan propaganda anti komunisnya. Siaran propaganda mereka dari Kupang meliputi uraian tentang kejadian sehari-hari, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki jaringan intelijen yang sangat efektif di wilayah Timor Portugis.117 Komisi mendengar dari mantan Gubernur, Lemos Pires, bahwa pemerintah Indonesia khawatir dengan persatuan rakyat Timor yang diperlihatkan oleh koalisi tersebut, dan mengambil tindakan untuk melemahkannya. 118 108. Wakil militer Indonesia yang terlibat dalam Operasi Komodo mengunjungi Timor Portugis sepanjang bulan-bulan tersebut. Pada awal bulan April 1975 sebuah delegasi yang terdiri dari Kolonel Sugianto, Kolonel Soeharto dan beberapa yang lain bertemu dengan Gubernur Lemos Pires dan para pemimpin tiga partai politik utama tersebut. Pada bulan April 1975 Ali Moertopo mengundang perwakilan Fretilin dan UDT secara bersamaan tetapi terpisah untuk berkunjung ke Jakarta.119 Menurut José Ramos-Horta, yang, yang bersama dengan Alarico Fernandes, mewakili Fretilin dalam pertemuan Jakarta pada bulan April tersebut: Kunjungan ini…dipandang berbeda oleh kami dan oleh Indonesia. Kami melihat kunjungan ini dapat menjernihkan keadaan, mereka melihatnya sebagai kesempatan untuk semakin memecah belah kita.120 109. Sekembalinya para wakilnya dari kunjungan ke Jakarta, UDT mengadakan pertemuan Komite Sentral dan memilih mundur dari koalisi. Komisi mendengarkan kesaksian bahwa UDT membuat keputusan ini setelah pertemuan yang panjang dan sulit, yang memperlihatkan perpecahan besar dalam tubuh partai mengenai masalah tersebut. Domingos Oliveira mengatakan kepada Komisi:121 Mayoritas mutlak memutuskan untuk mundur dari koalisi, mengakhiri koalisi. Mereka berkata ‘koalisi ini dimaksudkan untuk menolong kita, untuk menolong menciptakan perdamaian, mempersatukan kita saat kita berjuang menuju kemerdekaan, tetapi kita justru saling menyerang. Maka lebih baik koalisi diakhiri. Namun ini adalah suatu kesalahan…Karena ketika kami mengakhiri koalisi, situasi semakin buruk.122 110. Komisi mendengar bahwa setelah koalisi pecah, ketegangan dan ancaman kekerasan meningkat.123 111. Satu akibat langsung perpecahan koalisi ini adalah bahwa jalan menjadi semakin terbuka bagi Indonesia untuk memanfaatkan ketakutan para pemimpin UDT tentang apa yang dianggap sebagai ancaman komunis. Satu akibat politik jangka-panjang adalah bahwa kedua partai politik Timor utama ini menjadi berseteru selama bertahun-tahun - 34 - 3.6 Keterlibatan Indonesia yang semakin besar di Timor Portugis: destabilisasi dan diplomasi Tinjauan 112. Sementara pemerintah Portugis di Timor-Leste mulai menerapkan program dekolonisasi, dan partai-partai politik Timor-Leste berebut menggalang dukungan, Indonesia aktif pada dua front untuk mendapatkan hasil yang akan memuaskan kepentingannya di wilayah itu. 113. Tak lama setelah Revolusi Bunga di Portugal, Indonesia semakin meningkatkan operasi pengumpulan intelijen di dalam Timor Portugis. Indonesia juga berupaya untuk mempengaruhi kalangan politisi Timor-Leste untuk mendukung opsi integrasi. Dari awal 1975 Indonesia mulai menyusun rencana solusi militer. Kebijakan yang diambil Indonesia terhadap Timor Portugis yang tampak semakin militeristik dapat ditelusuri pada keyakinannya bahwa tujuan integrasinya tidak akan mungkin tercapai tanpa kekerasan. Setelah awalnya meminta jaminan kepada Portugal bahwa Timor-Leste tidak akan menjadi ancaman bagi keamanannya, Indonesia segera berkesimpulan bahwa kepentingan keamanannya hanya akan tercapai apabila Timor-Leste tidak menjadi negara merdeka. Perubahan ini didasari oleh persepsi mengenai kepentingan kemanan Indonesia yang sangat terkondisi oleh pandangan anti-komunisme Perang Dingin pada masa itu. Indonesia mampu mendapatkan pendukung untuk pandangannya mengenai Timor-Leste di antara para sekutu Barat dan Asianya, dan sedikit banyak di Portugal juga. Operasi Komodo dan Peningkatan operasi rahasia militer 114. Pada awal 1975 campur tangan Indonesia di Timor Portugis telah mencapai taraf yang tidak lagi dapat disebut rahasia. Agen Bakin, Luis Taolin, adalah pengunjung reguler ke Dili dari basisnya di Timor Barat. Pasukan khusus Indonesia diketahui melatih simpatisan Apodeti di Timor Barat. Kampanye disinformasi Operasi Komodo semakin ditingkatkan, melalui berbagai siaran radio yang gencar ke Timor Portugis dari Kupang, dan dengan menyebarluaskan berbagai cerita di media Indonesia dan luar negeri. Siaran radio mengklaim bahwa Portugal akan segera menarik diri dari koloni tersebut, menyebarkan cerita-cerita tanpa dasar mengenai inflitrasi Vietnam dan Cina ke wilayah tersebut dan berdalih bahwa integrasi adalah satu-satunya pilihan. Mereka semakin memanas-manasi rasa saling curiga antar berbagai pihak, dan menimbulkan keraguan di antara orang Timor yang tidak terikat dengan partai politik tertentu.124 115. Setelah UDT dan Fretilin membentuk koalisi mereka pada akhir Januari 1975 pihak Indonesia semakin meningkatkan aktifitas militer. Pada bulan Februari diadakan latihan lintas angkatan secara besar-besaran di Sumatera selatan, yang secara efektif merupakan gladiresik bagi invasi skala penuh,125 serta peningkatan kehadiran pasukan di sepanjang perbatasan dengan Timor Portugis.126 116. Antara bulan Desember 1974 dan Februari 1975 sebuah tim Kopassandha beranggotakan delapan orang, yang dipimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi, tiba di Atambua. Tim ini mempersiapkan medan untuk apa yang nantinya menjadi Operasi Flamboyan.* Sebagai operasi taktis intelijen, Operasi Flamboyan merupakan buah pikiran MayorJenderal Benny Moerdani atas perintah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Mereka membentuk jaringan agen lintas batas Komodo,127 dan mengambil alih pelatihan 216 orang Timor yang direkrut, yang dikenal dengan nama Partisan, di Atambua, yang dipimpin Tomás Gonçalves dari Apodeti. Komisi mendengar kesaksian bahwa pelatihan Partisan Apodeti semakin ditingkatkan setelah kedatangan tim Kopassandha pimpinan Kolonel Kalbuadi. Menurut Tomás Gonçalves, orang * Menurut Korps Marinir TNI AL, 1970-2000, hal. 285, Operasi Flamboyan dilancarkan pada tanggal 5 Oktober sampai 5 Desember 1975. - 35 - Indonesia juga tertarik untuk mengumpulkan intelijen militer dan intelijen lain mengenai Timor Portugis.128 Di sana, mereka [orang-orang Indonesia] tidak berbicara dengan kami. Mereka menyebut kita anggota‘partisan’, dan anggota partisan tidak berbicara dengan mereka…Ketika mereka memangil saya mereka bertanya, ‘Kira-kira berapa banyak senjata dimiliki Timor? Berapa kompi? Apakah banyak orang yang bisa menggunakan senjata api? Apakah mereka tahu bagaimana menjadi pejuang gerilya?129 117. Pada bulan Januari 1975, pemerintah Portugis mengirim delegasi ke Atambua untuk mencoba meyakinkan para Partisan Apodeti untuk kembali ke Timor Portugis, namun mereka tidak berhasil.130 Sementara itu Kapten Yunus Yosfiah mulai merekrut dan melatih lebih banyak lagi pasukan Kopassandha di Jawa Barat. Pada akhir bulan April sebuah tim Kopassandha beranggotakan 80 orang tiba di Atambua.131 Diplomasi Indonesia 118. Keputusan Indonesia untuk meningkatkan aktifitas militernya dengan pelatihan, latihan perang dan pengumpulan intelijen dilakukan bersamaan dengan kontak dengan negara-negara yang mempunyai kepentingan atas masa depan Timor Portugis, terutama Portugal dan Australia serta Amerika Serikat. Pertemuan di Lisbon antara Portugal dan Indonesia, 14-15 Oktober 1974 119. Sebelum pengunduran diri Presiden Spínola pada bulan September 1974, Indonesia telah meminta diadakan pertemuan dengan pemerintah Portugal untuk membahas masalah Timor. Pada pertengahan bulan Oktober 1974 Presiden Soeharto mengirim sebuah delegasi Indonesia yang dipimpin oleh orang kepercayaannya, Jenderal Ali Moertopo, ke Lisbon untuk membahas Timor Portugis. Mereka bertemu Presiden Costa Gomes, Perdana Menteri Vasco Gonçalves, Menteri Luar Negeri Mário Soares, dan pejabat senior di kementrian luar negeri, sekretaris negara Jorgé Campinos. 120. Kelahiran Fretilin dan jatuhnya Presiden Spínola yang konservatif pada bulan September 1974 telah memicu kekhawatiran Indonesia dan membuat mereka yakin akan perlunya mendapatkan pernyataan pemerintah baru Portugal mengenai masa depan wilayah ini. Menurut laporan delegasi Indonesia, terdapat kesepakatan di antara para pemimpin Portugis bahwa integrasi dengan Indonesia akan menjadi hasil terbaik. Menurut versi laporan ini yang diterbitkan, Presiden Costa Gomes mengatakan kepada delegasi bahwa satu-satunya opsi yang realistis adalah hubungan dengan Portugal yang terus berlanjut atau integrasi dengan Indonesia. Ia konon pernah mengatakan secara pribadi bahwa Portugal tidak mempertahankan hubungan dengan koloninya tersebut. Sekali lagi menurut pihak Indonesia, Sekretaris Negara dan Perdana Menteri lebih tidak ragu-ragu menyatakan dukungan mereka bagi integrasi, walaupun mereka juga menyebut perlunya menyerahkan hal ini kepada kehendak rakyat Timor-Leste.132 121. Delegasi Indonesia memberi tahu Presiden Soeharto bahwa para pemimpin Portugis berpandangan bahwa integrasi adalah opsi terbaik yang ada. Mário Lemos Pires menulis dalam bukunya: - 36 - Bisa saja, delegasi Indonesia menyadari bahwa posisinya lebih baik daripada yang mereka bayangkan sebelumnya - bahwa Portugal tidak menentang integrasi dengan Indonesia dan Portugal juga tidak memandang kemerdekaan sebagai suatu opsi. Tetapi Jenderal Ali Moertopo lupa bahwa, meskipun belum ada kebijakan yang ditetapkan, pemerintah Portugis tetap mendukung prinsip penentuan nasib sendiri rakyat Timor. Dia (Moertopo) terlalu cepat menyimpulkan, entah karena dia sangat senang atau karena nada percakapan pada waktu itu memungkinkannya menarik kesimpulan bahwa Portugal menyukai gagasan integrasi dengan Indonesia dan akan memfasilitasi tindakan Indonesia ke arah itu.133 122. Analisis mengenai pertemuan ini bisa memberi pemerintah Portugal terlalu banyak pujian. Laporan komisi penyelidik militer Portugis mengenai dekolonisasi Timor mengemukakan pendapat yang lebih keras, yang menyimpulkan bahwa “pertemuan di Lisbon gagal melewati ujian yang diberikan Indonesia mengenai ketetapan hati Portugal untuk menentang integrasi Timor dengan Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap Portugal ini telah sedikit banyak mendorong Indonesia dalam niatnya”.134 123. Kesimpulan ini sebagian dikonfirmasikan oleh sikap pemerintah Portugal setelah pertemuan tersebut. Sekretaris negara untuk administrasi mengirimkan sebuah telegram kepada Menteri Koordinator Antar-Wilayah, Antonio de Almeida Santos, yang ketika itu sedang berkunjung ke Timor. Telegram tersebut meminta bahwa mengingat pertemuan dengan Jenderal Moertopo, selama kunjungannya, menteri ini agar tidak memberi angin pada opsi kemerdekaan dalam pernyataan-pernyataan publiknya. Menteri tersebut menuruti permintaan ini. Dalam pidatonya pada sebuah acara penerimaan di Palácio das Repartições (kini Palácio do Governo), Almeida Santos, walau menekankan bahwa rakyat Timor harus bebas menentukan nasibnya sendiri, ia berbicara dengan lebih bersemangat mengenai kemungkinan mempertahankan hubungan dengan Portugal atau integrasi dengan Indonesia ketimbang kemerdekaan, yang ia katakan tidak akan realistis mengingat Timor masih jauh dari “kemerdekaan ekonomi”.135 Pertemuan di London antara Portugal dan Indonesia, 9 Maret 1975 124. Terusik oleh semakin meningkatnya aktifitas rahasia Indonesia, Portugal meminta pertemuan kedua dengan Indonesia.136 Pertemuan tersebut diadakan di London pada tanggal 9 Maret 1975 dengan Jenderal Ali Moertopo kembali memimpin delegasi Indonesia.* Pihak Indonesia mengambil garis tegas, dan menolak rencana Portugis bagi suatu pemerintahan transisi dan segala langkah untuk membawa permasalahan ini ke kancah internasional, dan mengklaim bahwa integrasi adalah satu-satunya solusi dan mengajukan agar Indonesia memiliki peran penasihat dalam pemerintahan koloni ini. Portugal menegaskan kembali prinsip bahwa rakyat Timor-Leste perlu didengar mengenai status masa depan koloni tersebut. Akan tetapi, sekali lagi, tampaknya lagi-lagi Portugal memberi angin kepada Indonesia, ketika, contohnya, Portugal mengatakan bahwa Indonesia berhak untuk memberi dukungan aktif kepada Apodeti. Dengan demikian, Portugal memberi Indonesia status yang melampaui status “pengamat berkepentingan”. 125. Seperti dalam pertemuan di Lisbon lima bulan sebelumnya, Indonesia menganggap bahwa mengalahnya Portugal berarti bahwa Portugal memiliki pandangan yang sama bahwa integrasi dengan Indonesia adalah hasil terbaik. Presiden Soeharto mengungkapkan * Delegasi Portugal terdiri dari Menteri Koordinator Antar-Wilayah, Antonio de Almeida Santos, Menteri tanpa jabatan Vitor Alves, Sekertaris Negara urusan Luar Negeri, Jorge Campinos dan Kepala Kantor Urusan Politik di pemerintahan Timor, Mayor Francisco Mota. Delegasi Indonesia terdiri dari Ali Moertopo, Duta Besar Indonesia di Inggris dan Perancis, dan Kapten Suharto dari Badan Intelijen BAKIN. - 37 - pandangannya mengenai apa yang terjadi dalam pertemuan London kepada Gough Whitlam, sebulan kemudian dalam sebuah pertemuan di Townsville. Dia memberikan penafsiran yang sangat berbeda mengenai posisi pihak Portugis dibanding catatan resmi pihak Portugis sendiri, dan rangkuman versi Soeharto mengenai pertemuan tersebut, seperti yang diungkapkan kepada Whitlam berbunyi sebagai berikut: Dalam pertemuan di London Pemerintah Portugis berkata bahwa integrasi dengan Indonesia adalah hasil terbaik, asalkan, tentu saja, hal ini adalah yang diinginkan oleh penduduk wilayah tersebut. Portugis juga setuju bahwa tidak perlu ada “campur tangan internasional” dalam kebijakan Portugis tentang dekolonisasi di Timor. Terserah Indonesia untuk mencapai integrasi dengan wilayah ini. Untuk tujuan di atas Indonesia memperoleh persetujuan pemerintah Portugis untuk membantu dan membangun…Apodeti, dan untuk melakukan pendekatan kepada, dan untuk mempengaruhi garis kebijakan partai UDT dan Fretilin.137 Pertemuan antara Soeharto dan Whitlam, di Wonosobo, 6 September 1974, dan di Townsville, 4 April 1975 126. Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam dua kali selama periode 1974-75. Pertama di Wonosobo, dekat Yogyakarta pada tanggal 6 September 1974 dan di Townsville, Queensland pada tanggal 4 April 1975. Timor Portugis dibahas dalam kedua pertemuan tersebut, dan dalam kedua pertemuan Whitlam diyakini telah memberi Soeharto lampu hijau untuk mengambil alih wilayah tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh catatan notulensi Australia yang kini merupakan arsip umum (lihat Bab 7.1.: Hak Menentukan Nasib Sendiri),. Dalam kedua kesempatan tersebut Whitlam mengatakan kepada Soeharto bahwa pemerintahnya menganggap Timor seharusnya menjadi bagian dari Indonesia untuk alasanalasan yang hampir identik dengan apa yang dinyatakan Soeharto: bahwa Timor tidak bisa bertahan sebagai negara merdeka dan oleh karenanya akan selalu menjadi “pusat perhatian” negara-negara yang lebih kuat.138 Pada pertemuan di Wonosobo Soeharto secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia dan Australia memiliki kepentingan strategis yang sama di Timor Portugis - Timor-Leste yang merdeka akan menjadi mangsa bagi Cina atau Uni Sovyet sehingga akan menjadi “duri dalam mata Australia dan duri di punggung Indonesia”.139 127. Pada saat yang sama mereka sepakat bahwa integrasi harus terjadi melalui proses yang mengakui hak rakyat Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri, dengan tambahan dari Whitlam bahwa hal ini harus dilakukan “dengan cara yang tidak akan mengusik rakyat Australia” seperti yang dikatakannya di Townsville.140 Keduanya tidak menjelaskan tujuan mana yang akan lebih dipentingkan apabila tidak mungkin mencocokkan kehendak orang Timor atas penentuan nasib sendiri dengan keinginan Indonesia untuk integrasi. Di Townsville pada bulan April 1975, walaupun masih menghindar menggunakan senjata, Soeharto tampaknya sudah hampir memutuskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tindakan penentuan nasib sendiri tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk menentukan kehendak sebenarnya rakyat Timor. Whitlam bersimpati, dan mengungkapkan pendapatnya bahwa orang biasa di Timor “tidak memahami politik” dan akan memerlukan waktu “untuk menyadari hubungan kekerabatan etnisnya dengan tetangga Indonesia mereka”.141 128. Di samping segala keraguannya, terdapat bukti bahwa pandangan Whitlam yang diungkapkan di pertemuan Yogyakarta tampaknya telah sangat mempengaruhi keputusan Indonesia bahwa tidak ada alternatif selain penggabungan. Pada tanggal 14 Oktober 1974 Duta Besar Australia untuk Portugal melaporkan ke Canberra mengenai perbincangan antara Ali Moertopo selama kunjungannya ke Lisbon: ‘Ali [Moertopo] mengatakan bahwa sebelum - 38 - kunjungan Whitlam ke Jakarta mereka belum membuat keputusan mengenai Timor. Namun dukungan Perdana Menteri mengenai gagasan penggabungan dengan Indonesia membantu mereka menjernihkan pemikiran mereka dan kini mereka sangat yakin tentang bijaknya langkah ini’.142 129. Juga terdapat bukti bahwa dalam mengatasi dilema antara penggabungan dan penentuan nasib sendiri, Whitlam cenderung lebih memilih yang pertama. Ia mengungkapkan pandangannya mengenai hal ini secara jujur dalam sebuah pesan rahasia yang ia kirim kepada Menteri Luar Negerinya pada tanggal 24 September 1974, dua minggu setelah pertemuannya di Wonosobo: “Saya mendukung penggabungan akan tetapi penentuan nasib sendiri perlu dituruti.”143 Duta besar Whitlam di Jakarta, Richard Woolcott, juga yakin bahwa dalam pandangan Perdana Menteri, penggabungan adalah tujuan yang lebih utama. Dan tampaknya juga menjadi pandangan Woolcot bahwa hal ini harus menjadi tujuan utama Australia hanya karena ini merupakan tujuan utama Indonesia. Dalam pesan telegramnya kepada Menteri Luar Negerinya, Don Willessee, pada tanggal 17 April 1975, tak lama sesudah pertemuan Townsville, Woolcott mempertentangkan pendapat menteri mengenai hal ini dengan pendapat Perdana Menteri: [Anda] cenderung menekankan proses tindakan penentuan nasib sendiri yang selayaknya bagi Timor Portugis…[J]elas dalam pertemuan Townsville bahwa Perdana Menteri terus menganggap bahwa logika situasinya adalah bahwa Timor harus menjadi bagian dari Indonesia dan kita akan ‘menyambut’ hasil seperti itu dibandingkan tindakan pilihan sendiri. Walaupun kita mendukung prinsip penentuan nasib sendiri, dan meskipun kita tidak bisa membenarkan penggunaan kekuatan, Perdana Menteri tetap tidak menginginkan munculnya Timor-Leste yang merdeka dan ia percaya bahwa penekanan secara terbuka mengenai penentuan nasib sendiri, pada tahap ini, akan semakin memperkuat tekanan bagi kemerdekaan.” 144 130. Dalam otobiografinya Woolcott mengutip dari telegram lain untuk menjelaskan pemikiran di belakang posisi ini: Indonesia akan bertindak untuk menyatukan Timor. Sementara Presiden Soeharto ingin agar penyatuan ini dicapai dengan cara yang sedapat mungkin terlihat baik, Indonesia tidak akan mundur dari tujuan kebijakan yang mendasar ini. Indonesia menganggap hasil ini sangat esensial bagi kepentingan nasional jangka panjangnya dan, memang, merupakan juga kepentingan kawasan tersebut seutuhnya. Indonesia secara konsisten meyakini keputusan ini sejak beberapa bulan sebelum saya menduduki pos ini Maret lalu.145 Pertemuan Macau, 26-28 Juni 1975 131. Pada bulan April 1975 Gubernur Mário Lemos Pires membentuk Komisi untuk Dekolonisasi Timor (Comissão de Descolonização de Timor, CDT). Pertemuan bulan Mei dengan koalisi UDT-Fretilin, yang diboikot oleh Apodeti, membahas program dekolonisasi yang didasarkan atas hak untuk merdeka, sebuah pemerintah transisi dan majelis permusyawaratan lokal. Namun pada tanggal 27 Mei UDT memutus koalisinya dengan Fretilin, yang menyebabkan pembicaraan terhenti.146 Sebagai tanggapannya, Portugal membuat rencana untuk mengadakan pembicaraan tingakt tinggi mengenai dekolonisasi di Macau. - 39 - 132. Pada tanggal 26-28 Juni Antonio de Almeida Santos, Menteri Koordinator Antar-Wilayah Portugal, bertemu dengan UDT, Apodeti dan pengamat diplomatik Indonesia di Macau. Fretilin berkeberatan atas partisipasi Apodeti dan Indonesia, dan memboikot pertemuan tersebut. Fretilin curiga bahwa pertemuan tersebut merupakan bagian dari strategi Portugis untuk menyerahkan Timor-Leste kepada Indonesia: Mereka menjajah kami selama 450 tahun dan mereka sudah bosan, maka mereka berikan kami kepada orang lain sambil berkata, ‘Pergilah dan dirikan pemerintahan di sana sekarang.’ Jadi berapa lama kami akan menjadi budak? Karena itulah saya tidak bersedia pergi ke sana. Konferensi di Macau adalah taktik Portugal dan Indonesia untuk mengintegrasikan Timor ke Indonesia.147 133. Anggota senior Fretilin lebih memilih untuk menghadiri upacara kemerdekaan Mozambique.148 Pertemuan puncak Macau hanya menguntungkan kepentingan Indonesia karena pertemuan ini mengakui bahwa baik Apodeti maupun Jakarta memiliki kepentingan dalam proses ini. Hasil pertemuan tersebut adalah Dekrit 7/75, yang memaparkan: struktur pemerintahan sementara dengan partisipasi semua partai; jadwal untuk pemilihan umum tahun 1976; dan berakhirnya kedaulatan Portugis pada tahun 1978. Pertemuan ini juga menyusun dasar legislatif yang menutup upaya-upaya Indonesia untuk mendapat jaminan agar integrasi menjadi hasil akhir dari proses dekolonisasi sebagai hasil kesepakatan langsung. Akan tetapi, sebagai langkah mundur dari pengakuan CDT pada bulan Mei, Dekrit 7/75 hanya mengakui hak atas penentuan nasib sendiri. Pertemuan tersebut merancang proses dekolonisasi yang akan membentuk pemerintahan transisi, yang terdiri dari orang Timor-Leste yang dipilih dan orang-orang Portugis yang diangkat, dan sebuah dewan penasihat pemerintahan. Lembaga-lembaga nasional ini akan didukung di tingkat distrik oleh dewan-dewan lokal. 134. Partai-partai politik memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap program dekolonisasi yang diputuskan di Macau. Fretilin mengambil posisi yang tidak jelas, tidak menyatakan kesiapannya untuk ikut serta dalam pemerintahan transisi yang diusulkan, juga tidak sepenuhnya menolak, tapi hanya mengatakan bahwa mereka akan ambil bagian dalam pemilihan umum 1976 yang diusulkan.149 UDT menerima hasilnya. Apodeti, seperti Indonesia, menolaknya dengan dasar bahwa kemerdekaan memang merupakan satu-satunya pilihan, dan jangka waktunya terlalu lama. Setelah pertemuan ini, ketegangan antar partai meningkat, UDT tersinggung atas boikot Fretilin, dan Fretilin marah karena Apodeti terlibat. Kedua partai besar Timor-Leste tersebut juga merasa bahwa Portugal tidak terus terang, dan mengetahui tentang pertemuan bilateral antara Portugal dan Indonesia. Mário Carrascalão mengenang dampak dari pertemuanpertemuan bilateral ini: Indonesia…mendampingi Apodeti ke Macau dan mengadakan pertemuan di Hong Kong dengan delegasi Pemerintah Portugis di sana. Apa yang mereka rencanakan? Sampai hari ini mereka tidak mengatakan apa yang mereka lakukan dalam rapat tersebut. Kami tidak tahu.…Apa yang mereka lakukan? Ini bukan masalah Indonesia. Ini adalah masalah Timor, tetapi [Indonesia] mereka lah yang mengadakan pertemuan. Pertemuan rahasia dengan mereka [Portugis]. Kenapa? Orang-orang memanfaatkan hal ini, akibatnya rakyat menjadi terbagibagi.” 150 - 40 - Pertemuan antara Presiden Soeharto dan Presiden Gerald Ford, 5 Juli 1975 135. Pada tanggal 5 Juli, dalam sebuah pertemuan di Camp David dengan Presiden Gerald Ford selama kunjungan kenegaraannya ke Amerika Serikat, Presiden Soeharto menggariskan kebijakan Indonesia mengenai Timor-Leste. Ia menutup kata-katanya dengan kalimat: Jadi satu-satunya jalan adalah integrasi dengan Indonesia. 136. Soeharto berpendapat bahwa sebuah Timor Portugis merdeka tidak akan dapat berjalan, dan bahwa akan sulit bagi Portugal untuk bisa terus menjalankan negara ini karena keterpencilannya dari wilayah itu.151 137. Sebelumnya ia meyakinkan Presiden Ford bahwa Indonesia tidak akan menggunakan kekuatan terhadap wilayah negara lain. Seperti halnya dalam pertemuannya dengan Whitlam di Townsville, Soeharto membesar-besarkan argumen bahwa karena “tekanan kuat” oleh partai prokemerdekaan akan sangat sulit untuk memastikan kehendak sebenarnya rakyat Timor-Leste. Indonesia menghadapi masalah “bagaimana mengatur sebuah proses penentuan nasib sendiri agar mayoritas ingin bersatu dengan Indonesia”. Selama percakapan mereka, Presiden Ford tidak mengungkapkan pandangannya mengenai posisi Amerika Serikat dalam persoalan ini. 138. Bungkamnya Ford mungkin merupakan cerminan kebijakan Amerika Serikat terhadap Timor Portugis. Menurut Mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Richard Woolcott: Amerika Serikat, terlibat di Timur Tengah, terbebani oleh dampak Watergate dan kelelahan akibat kegagalannya di Vietnam, benar-benar tidak peduli akan masa depan Timor-Leste. Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta bahkan diminta pada tahun 1975 untuk mengurangi laporan kedutaan tersebut mengenai masalah itu.152 3.7 Gerakan Bersenjata 11 Agustus dan konflik bersenjata internal Tinjauan 139. Kurang dari dua minggu setelah kembali dari Jakarta, para pemimpin UDT melancarkan Gerakan Bersenjata 11 Agustus. Kadang disebut kudeta, “percobaan kudeta”, gerakan atau pemberontakan, aksi bersenjata ini dimulai di ibukota Dili dan dengan cepat menyebar ke seluruh negeri. UDT merebut beberapa instalasi penting, dan memberikan daftar permintaan-permintaan kepada pemerintahan Portugis. Mereka mengklaim bahwa gerakan tersebut ditujukan untuk menghilangkan elemen-elemen ekstrimis dari negeri tersebut untuk mencegah intervensi Indonesia.153 Fretilin mundur ke basis pertahanan mereka di perbukitan Aíleu. Karena dia tidak dapat menjaminan keamanan, berbagai usaha Gubernur Portugal untuk mengajak kedua pihak ke meja perundingan tidak berhasil. Pada tanggal 20 Agustus Fretilin membalas, dengan dukungan sebagian besar anggota militer Portugis yang orang asli Timor. Konflik ini meluas ke sebagian besar wilayah negeri tersebut. Para pemimpin kedua partai besar tersebut mengatakan kepada Komisi bahwa mereka kehilangan kendali atas situasi tersebut. Konflik bersenjata ini relatif cepat selesai, dan pada awal September, sekitar 20.000 orang yang sebagian besar dari UDT, tetapi juga termasuk anggota dari partai-partai lain, telah terdesak menuju perbatasan dengan Timor Barat. Mereka menyeberang ke Timor Barat sebelum akhir bulan. 140. Pemerintahan Portugis berusaha membawa partai-partai tersebut ke meja perundingan. Gubernur menyimpulkan bahwa dia tidak dalam posisi untuk mengendalikan situasi tersebut dengan cara-cara militer.154 Tidak berdaya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian dan terkurung - 41 - di zona netral di Farol, Pemerintahan Portugis menarik diri ke pulau Ataúro pada malam hari tanggal 26 Agustus. 141. Pada bulan September 1975 Indonesia mengharuskan UDT dan sekutu-sekutunya yang telah lari melintasi perbatasan untuk menandatangani sebuah petisi pro-integrasi kepada Presiden Soeharto. Sebagai imbalannya Indonesia menawarkan dukungan materi dan logistik. Indonesia meningkatkan operasi-operasi militernya sendiri, dengan pertama melancarkan beberapa serangan lintas-perbatasan, dan kemudian, sejak awal Oktober, operasi-operasi militer berskala lebih besar yang berhasil menguasai sejumlah kota-kota strategis di dekat perbatasan.155 UDT Melancarkan Gerakan Bersenjata 11 Agustus 142. Sejak pecahnya koalisi mereka pada bulan Mei, ketegangan antara UDT dan Fretilin terus meningkat, baik di Dili maupun di distrik-distrik.* Pada awal Agustus UDT memutuskan untuk mengirim Sekjen mereka, Domingos Oliveira, dan anggota Komite Sentral yang bertanggungjawab atas hubungan luar negeri, João Carrascalão, ke Jakarta. Mereka berharap dapat bertemu dengan Presiden Soeharto. Namun mereka justru ditemui oleh Ali Moertopo. Domingos Oliveira mengatakan pada Komisi bahwa keputusan untuk mengirim delegasi ke Jakarta didorong oleh adanya kebutuhan “untuk menghancurkan semua dalih Indonesia untuk menginvasi Timor”. Misi kedua wakil UDT tersebut adalah untuk meyakinkan Moertopo bahwa Fretilin sesungguhnya adalah gerakan nasionalis dan bahwa UDT mampu “membersihkan pekarangan kami sendiri” dengan mengusir pejabat-pejabat Portugis dan para pemimpin Fretilin yang bersimpati kepada komunis. Menurut cerita João Carrascalão tentang pertemuan tersebut, Moertopo mengatakan jika mereka memang mampu membersihkan pekarangannya sendiri, Indonesia akan menghormati hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor. Dengan merenungkan kembali, João Carrascalão sekarang menganggap kedua wakil UDT tersebut sungguh naif karena mempercayai kata-kata Moertopo dan bahwa sesungguhnya “semuanya telah direncanakan untuk pengambilalihan Timor-Leste”, seperti yang dikatakan padanya dalam suatu percakapan pribadi di Kupang dengan Gubernur Nusa Tenggara Timur, El Tari, dalam perjalanannya kembali ke Dili.156 143. Tentu saja ini juga merupakan pandangan dari diplomat yang mungkin paling banyak tahu di Jakarta, Dubes Australia, Richard Woolcott, bahwa jauh sebelumnya HAL INI sudah “menjadi kebijakan Indonesia yang tetap untuk menggabungkan Timor”.157 Pada pertemuan tersebut Ali Moertopo mengatakan bahwa Indonesia telah menerima informasi dari intelijen bahwa Fretilin merencanakan kudeta pada tanggal 15 Agustus.158 144. Para anggota UDT telah mempertimbangkan aksi anti-komunis selama beberapa minggu sebelum 11 Agustus.159 Tujuan utama dari gerakan bersenjata adalah, seperti yang ditekankan para pemimpinnya sekarang, bukan untuk mengambil alih kekuasaan tetapi untuk meluruskan kembali proses dekolonisasi yang dipercaya UDT telah dibajak oleh elemen-elemen “ambisius, tidak bertanggung jawab, dan bermaksud buruk”, dan untuk mencegah kudeta Fretilin, yang konon direncanakan pada tanggal 15 Agustus.160 Tetapi, ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab, khususnya tentang peran Indonesia dalam berbagai kejadian ini dan apa tujuan sebenarnya dari para pemimpin kudeta tersebut. Sejumlah kesaksian yang diterima Komisi sedikit menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini, tapi tidak cukup untuk memberi jawaban yang pasti atas sejumlah pertanyaan tersebut. * Dalam submisinya kepada CAVR mantan Sekjen UDT, Domingos Oliveira, memberikan sebuah daftar tentang insiden yang terjadi antara bulan Juni dan awal Agustus yang menunjukkan bahwa rusaknya hubungan kedua partai. [Submisi diberikan tertulis setelah kesaksian dalam Audiensi Publik Nasional CAVR tentang Konflik Politik Internal 1974-76, 15-18 Desember 2003. Arsip CAVR.] - 42 - 145. Meskipun daftar sasaran mereka jauh lebih panjang dan termasuk semua fasilitas militer utama, gerakan bersenjata tersebut merebut markas polisi, dan ‘menangkap’ komandannya Letnan Kolonel Rui Magiolo Gouveia serta pasokan senjatanya, dan menguasai sejumlah instalasi penting, termasuk pelabuhan, bandar udara dan fasilitas radio dan telpon di Dili.161 Pemimpin gerakan bersenjata João Carrascalão bertemu dengan Gubernur Lemos Pires sekitar pukul 1 pagi pada tanggal 11 Agustus, dan menyatakan maksud UDT untuk menghilangkan berbagai elemen komunis dari pemerintah dan dari Fretilin. Mantan gubernur menulis beberapa tahun kemudian bahwa gerakan tersebut tidak bermaksud untuk menyingkirkan pemerintah Portugis, dan bahwa gerakan itu tidak mengharapkan intervensi militer. Keesokan harinya gerakan ini mengajukan tuntutannya kepada Gubernur Lemos Pires. Tuntutan tersebut termasuk: penggantian anggota militer tertentu, proses dekolonisasi yang dipercepat; mengalihkan kekuasaan kepada UDT, dan mengakui wewenang ekstra yudisial UDT sebagai gerakan pembebasan.162 146. Unjuk kekuatan UDT tersebut konon tidak diarahkan kepada Fretilin, tetapi lebih pada “unsur-unsur komunis” di dalam Fretilin. Namun segala harapan UDT bahwa Fretilin akan serta merta membuang para “ekstrimis”-nya dan bergabung dengan UDT untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan segera pupus. Fretilin tetap bersatu dan menuntut pemerintah kolonial Portugis untuk melucuti UDT.163 UDT menahan ratusan anggota Fretilin, termasuk beberapa pemimpin partai di markasnya di Palapaço, Dili, dimana penganiayaan adalah sesuatu yang biasa dan ada beberapa orang yang meninggal dalam keadaan yang tidak jelas.164 147. Momentum awal berada pada UDT. Selama beberapa hari setelah “percobaan kudeta” tanggal 11 Agustus, para pendukung UDT menahan ratusan pemimpin Fretilin dan pendukungnya di seluruh wilayah tersebut. Gubernur Lemos Pires memutuskan untuk tidak menentang UDT dengan kekerasan. Beberapa pertimbangan membuatnya tidak melakukan tindakan tersebut. Dia tidak yakin apakah kesetiaan para tropas (tentara) Timor pada pemerintahan kolonial lebih kuat dibanding simpati mereka pada salah satu partai yang bersaing. Jika tidak, ada risiko para prajurit Portugis akhirnya akan berperang melawan orang Timor. Konfrontasi antara orang Portugal dan orang Timor tidak saja akan menjadi bencana politik; tetapi bisa juga berakhir dengan kekalahan militer bagi Portugis. Lemahnya kekuatan pasukan Portugis dalam beberapa bulan sebelumnya tidak bisa tergantikan dengan kedatangan 75 pasukan terjun payung untuk memperkuat tentara kolonial.165 148. Sementara itu, para pemimpin Fretilin mundur ke Aíleu, sebuah basis pertahanan Fretilin dan markas pusat pelatihan tentara (Centro de Instrução). Pada tanggal 13 Agustus di Dili, UDT dan para simpatisannya dalam angkatan bersenjata membentuk sebuah front, Gerakan untuk Persatuan dan Kemerdekaan Rakyat Timor (Movimento para Unidade e Independência de Timor-Dili, MUITD), berdasarkan prinsip-prinsip “persatuan, kemerdekaan dan anti-komunisme”. Mereka meramalkan adanya peleburan semua partai pro-kemerdekaan dan kesetiaan para anggotanya pada MUITD.166 Dalam dua hari berikut, UDT berhasil meyakinkan kepala polisi, Magiolo Gouveia, yang berada dalam tahanan UDT, dan banyak warga Timor di bawah komandonya, juga sebagian militer, termasuk kompi-kompi yang berbasis di Baucau dan Lospalos.167 Pada tanggal 16 Agustus UDT mengeluarkan pernyataan tertulis mengimbau pengusiran semua orang komunis dari wilayah tersebut, termasuk mereka yang berada dalam “Kantor Gubernur Portugis”, pelarangan Fretilin, pembatalan Undang-Undang 7/75 dan dilanjutkannya negosiasi-negosiasi tentang kemerdekaan Timor-Leste. Pada tanggal 17 Agustus, yang tampaknya merupakan sebuah konsesi terhadap UDT, kedua orang delegasi MFA, Mayor Mota, kepala Kantor Urusan Politik dan Mayor Jónatas, yang keduanya dituduh oleh UDT (dan pihak Indonesia) sebagai wakil “sayap komunis” di pemerintahan, dikirim ke Lisbon, tampaknya untuk memberi laporan kepada pemerintah pusat tentang perkembangan di Timor-Leste.168 - 43 - Kegagalan melakukan negosiasi: konflik bersenjata internal 149. Pada tanggal 11 Agustus, dari basis mereka di Aíleu, Fretilin memberikan suatu daftar berisi 13 syarat untuk berpartisipasi dalam negosiasi kepada pemerintahan Portugis. Di antaranya adalah pelucutan senjata UDT dan memberikan tanggung jawab keamanan pada para serdadu Timor-Leste, dengan alasan bahwa polisi telah terbukti tidak dapat diandalkan.169 Pihak Portugis kemudian mengirim Rogério Lobato, serdadu Timor dengan pangkat paling tinggi dalam tentara Portugis, sebagai utusan kepada pimpinan Fretilin. Tetapi ini jutsru berbalik, dan dia berperan penting ketika kembali ke Dili dan meyakinkan mayoritas serdadu Timor-Leste untuk bergabung dengan pihak Fretilin. Meskipun sebelumnya bersumpah untuk bersikap netral secara politik (apartidarismo),170 tentara Timor-Leste ikut terbawa dalam arus kebebasan politik baru seperti rekan-rekan sipilnya.171 Pada tanggal 15 Agustus Komite Sentral Fretilin di Aíleu mengumumkan apa yang mereka sebut “dilanjutkannya perjuangan bersenjata umum melawan semua pengkhianat dan musuh-musuh rakyat”.172 Pada tanggal 20 Agustus, Fretilin melancarkan serangan melawan UDT. 150. Pada tanggal 18 Agustus, pegawai pemerintah Portugis yang tersisa telah mundur ke lingkungan Farol dimana sebagian besar dari mereka tinggal dan yang membentuk pusat zona di Dili yang dinyatakan netral. Pasukan terjun payung Portugis dikerahkan ke zona netral untuk melindungi mereka. 151. Pada pukul 1.00 dini hari tanggal 20 Agustus, Rogério Lobato dan Hermenegildo Alves melancarkan pemberontakan bersenjata Fretilin dengan mengambil alih Quartel Geral (markas tentara) di Taibessi dan menahan tentara Portugis yang berada di situ, termasuk wakil kepala staff.173 Pada tanggal 22 Agustus pemimpin Fretilin kembali ke Dili. Garis depan konflik di Dili pada awalnya berada di Colmera, tetapi pertempuran menyebar ke seluruh kota selama dua minggu berlangsungnya pertempuran tersebut. Komisi menerima kesaksian bahwa senjata tersedia dalam jumlah besar di Dili, dan bahwa kedua belah pihak membagikannya dengan sembarangan.174 Dalam konflik bersenjata singkat tersebut para partai politik bersekutu dengan partai lain melalui segala kemungkinan. Mario Carrascalão menggambarkan fenomena ini dalam Audiensi Publik tentang Konflik Internal: Kami melihat pendekatan yang berbeda di sana [di distrikdistrik]… Di Atsabe kami melihat Fretilin bersama dengan UDT melawan Apodeti. Apodeti di Same berbeda, mereka bersama UDT melawan Fretilin. Di Dili, Fretilin dan Apodeti melawan UDT.175 152. Angka kematian tertinggi terjadi di daerah pedesaan, dimana ketegangan yang bersumber dari pertikaian antar suku yang sudah lama dan dendam-dendam pribadi, lebih dipicu lagi oleh berbagai perbedaan militan kepartaian, dan meledak menjadi kekerasan.176 Kekerasan paling hebat terjadi di Liquiça, Ermera, Ainaro, Manufahi dan Manatuto, meskipun tidak terbatas di berbagai distrik ini saja. 153. Komisi menerima kesaksian dan pernyataan dari seluruh negeri tentang dampak konflik terhadap rakyat biasa. Kebrutalan rakyat Timor-Leste melawan sesamanya dalam konflik singkat ini telah meninggalkan luka yang dalam pada masyarakat Timor-Leste yang terus dirasakan hingga hari ini. Para anggota UDT bertanggung jawab atas pembunuhan berbagai tahanan Fretilin di sejumlah tempat pada bulan Agustus, setelah semakin jelas bahwa Fretilin semakin memperkuat kekuasaan mereka. Sebanyak 348 pembunuhan selama periode konflik internal telah dilaporkan kepada Komisi. Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah total sebanyak 1500 pembunuhan yang diperkirakan oleh perhitungan terkini seperti dari ICRC bisa dikatakan cukup akurat.177 Data Komisi menunjukkan bahwa sebagian besar pembunuhan dilaksanakan oleh Fretilin, meskipun pembunuhan masal juga dilakukan oleh UDT (lihat Bab 7.2: Pembunuhan - 44 - Tidak Sah dan Penghilangan Paksa).* Suatu pembantaian terjadi pada tanggal 27 Agustus 1975 di pantai selatan di Wedauberek, Manufahi, dimana para anggota UDT mengeksekusi 11 anggota organisasi pemuda Fretilin, Unetim.178. Pada tanggal 28 Agustus, dengan semakin mendekatnya pasukan Fretilin ke basis pertahanan UDT di Ermera, 20 orang yang ditahan oleh UDT sesudah gerakan bersenjata dibunuh.179 154. Dalam kesaksiannya kepada Komisi Xanana Gusmão menjelaskan tanggapan Fretilin sebagai balas dendam atas aksi-aksi yang dilakukan UDT.180 Rogério Lobato, yang memimpin pasukan bersenjata Fretilin saat itu, mengatakan kepada Komisi bahwa ada beberapa motivasi berbeda untuk kekerasan tersebut : Kadangkala ini bukan karena mereka memiliki masalah dengan mereka tentang situasi [politik] ini, tetapi dari masalah lama. Saya tahu kadang itu karena mereka menculik pacarnya sehingga sekarang mereka menggunakan kesempatan itu untuk menghajarnya. Saya tahu ini. Orang memanfaatkan perang ini untuk menghajar orang lain dan main hakim sendiri. Tapi sebagian dari mereka memang menghajar mereka karena mereka marah pada mereka selama perang…Saya ingin mengatakan bahwa dalam proses perang ini banyak sekali yang meninggal…memang benar Fretilin membunuh banyak tahanan UDT…UDT juga membunuh para tahanan Fretilin. 181 155. Dalam Audiensi Publik Komisi tentang Konflik Internal, para pemimpin politik UDT dan Fretilin memberi kesaksian bahwa partai mereka tidak memiliki kebijakan untuk membunuh tahanan, atau kekerasan terhadap rakyat sipil, tetapi mereka tidak dapat mengendalikan kader mereka di seluruh negeri.182 Namun demikian, Komisi menerima sejumlah kesaksian yang menyatakan adanya keterlibatan para anggota senior kedua partai tersebut dalam pembunuhan, meskipun tidak disertai dengan bukti bahwa partai-partai tersebut mengambil keputusan institusional dalam melakukan kejahatan-kejahatan ini (lihat Bagian 8: Tanggung Jawab dan Pertanggungjawaban).183 156. Orang Timor yang menjadi anggota militer dan polisi Timor Portugis, dan sebagian orang Portugis, tidak berdiri di luar konflik ini. Sementara UDT mendapat dukungan anggota polisi orang Timor (dan beberapa orang Portugis) dan beberapa unit militer, mayoritas pasukan Timor mendukung Fretilin.184 Dukungan militer ini memungkinkan Fretilin untuk unggul dengan cepat setelah melancarkan “pemberontakan bersenjata umum”. Pelanggaran prinsip apartidarismo ini juga mengakibatkan tersebarnya senjata-senjata api ke tangan partai-partai politik dan pendukung mereka, yang sangat meningkatkan dampak kekerasaan tersebut. Di Dili, UDT mundur ke bandar udara, dan pada awal September telah mundur ke arah barat melalui Liquica ke arah Indonesia. UDT mundur ke perbatasan 157. Sebagai akibat dari serangan balasan Fretilin, pada bulan September para anggota dan simpatisan partai UDT, Apodeti, Klibur Oan Timor Aswain (KOTA) dan Trabalhista lari pertama ke daerah perbatasan Batugade, dan kemudian melintasi perbatasan ke Timor Barat.185 Kekalahan UDT dan para sekutunya mendorong para pemimpinannya, bagaimanapun enggannya, untuk menerima permintaan Indonesia untuk menandatangani petisi yang mengimbau integrasi Timor * CAVR telah melaksanakan Survey Retrospektif Kematian yang didasarkan oleh pengalaman dari 1396 rumah tangga yang dipilih secara acak di Timor-Leste. Dari survey ini, CAVR mengekstrapolasi perkitraan pelanggaran total untuk 1974- 1999. - 45 - Portugis ke dalam Indonesia sebagai harga bagi keselamatan perjalanan mereka ke Timor Barat. Jumlah warga Timor-Leste yang dipindahkan ke Timor Barat telah dipertentangkan. Pejabatpejabat Indonesia saat itu menyebut angka sekitar 40.000 – 50.000 orang.186 Warga Timor-Leste yang ikut dalam pelarian tersebut menyebut angka yang jauh lebih rendah, sekitar 10.000 sampai 30.000, dan menyatakan bahwa perbedaan antara perkiraan mereka dan perkiraan Indonesia ini karena Indonesia ingin membesarkan angka jumlah pengungsi, baik untuk membesar-besarkan skala dan parahnya konflik internal ataupun untuk menarik jumlah bantuan internasional yang lebih besar.187 Tanggapan Portugal terhadap konflik internal 158. Portugal menanggapi konflik internal dengan mengirim utusan ke koloni dari Lisbon. Indonesia menghalangi usaha utusan pertama Kolonel José Gomes untuk sampai ke Dili pada tanggal 14 Agustus. Pada tanggal 22 Agustus sebuah pesan dari Kantor Kepresidenan di Lisbon sampai ke Gubernur Lemos Pires, yang memberikan informasi bahwa Menteri Koordinator Antar- Wilayah, Antonio de Almeida Santos, akan tiba di Darwin pada tanggal 27 Agustus. Mário Lemos Pires berusaha mengatur gencatan senjata untuk memungkinkan negosiasi. UDT setuju untuk melakukan gencatan senjata terbatas, tapi Fretilin menolak usulan tersebut mentah-mentah.188 Pada malam hari tanggal 26 Agustus, orang-orang yang tersisa dari pemerintahan Portugis meninggalkan Dili menuju Pulau Ataúro, dan tidak pernah kembali.189 159. Setelah berusaha mencari dukungan ke PBB dan Australia, Almeida Santos tiba di Ataúro pada tanggal 28 Augustus. Karena tidak berhasil menghubungi UDT, yang para pemimpinnya saat itu berada di Indonesia, Almeida Santos menghubungi Fretilin dan meminta agar para tahanan Portugis dibebaskan. Fretilin mengabulkan permintaan ini. Tetapi, pada tanggal 9 September Portugal memberi petunjuk kepada Almeida Santos untuk menghindar mengakui Fretilin sebagai satu-satunya wakil rakyat Timor-Leste, salah satu syarat yang ditetapkan Fretilin untuk ikut negosiasi.190 Pada tanggal 22 September Almeida Santos meninggalkan Ataúro menuju Lisbon. Di sana, dia merekomendasikan negosiasi dengan tiga partai politik utama. Ini menjadi problematis. Karena sudah menguasai sebagian besar Timor- Leste, Fretilin mau bernegosiasi dengan Portugal - namun tidak dengan UDT dan Apodeti –. Meskipun terjadi banyak deklarasi dari pertemuan bilateral terakhir antara para Menteri Luar Negeri Indonesia dan Portugal, yang diadakan di Roma pada tanggal 1-2 November, bahwa kedua pihak pemerintah akan bekerja untuk meyakinkan sejumlah partai tersebut tentang perlunya melanjutkan pembicaraan dengan pemerintah Portugal, Indonesia tidak menunjukkan itikad untuk membiarkan UDT dan Apodeti terlibat dalam pembicaraan seperti itu. Usaha yang terlambat dari Portugal untuk menyertakan negara-negara lain dalam menyelesaikan masalah Timor Portugis juga tidak berbuah. Hari-hari akhir sebelum invasi ditandai dengan satu lagi krisis politik di Lisbon, yang mengakibatkan Portugal tidak lagi memiliki pemerintah yang fungsional. Pada akhirnya, usaha-usaha Portugal yang setengah-setengah ini dilumatkan oleh keputusan Indonesia untuk melancarkan invasi militer skala penuh.191 Tanggapan Indonesia Partai-partai politik Timor-Leste berada di bawah pengaruh Indonesia 160. Dengan larinya para anggota UDT dan sekutunya—partai Apodeti, Trabalhista dan KOTA—ke daerah perbatasan, atau melintas ke Timor Barat, mereka semakin berada dalam pengaruh kekuasaan militer Indonesia. 161. Selama dan sesaat setelah konflik internal, pada awal bulan September, berbagai kelompok Timor-Leste di Maliana dan Suai melakukan dua proklamasi integrasi dengan Indonesia.192 Pada tanggal 7 September 1975, di Batugade, para pemimpin UDT, KOTA, dan Trabalhista mengeluarkan petisi bersama yang ditujukan pada Presiden Soeharto, kembali - 46 - meminta Timor Portugis untuk diintegrasikan dengan Indonesia.193 Mario Carrascalão memberi kesaksian pada Komisi tentang latar belakang penandatanganan petisi Batugade: Kami tetap di sana dan setiap hari orang dari Indonesia datang. Louis Taolin [dari Bakin], [Kolonel Aloysius] Sugianto [dari Opsus] selalu datang dan menanyakan kami memerlukan bantuan apa…Apa yang ingin mereka lakukan adalah memanipulasi kami, untuk menandatangani…sebuah petisi yang meminta Indonesia untuk masuk ke Timor… Sebagian orang menandatangani sementara yang lain menodongkan senjata di depan mereka. Sebagian pergi ke Atambua, dan mereka menandatangani di sana. Kondisinya bagus di sana. Petisi ini kemudian dikirim ke Presiden Soeharto, dan tak lama kemudian Gubernur El Tari memberikan tanggapan pada Senhor [bapak] Francisco Lopes da Cruz. Dia mengatakan bahwa dia setuju untuk memberi kami materi, bahwa tidak perlu khawatir. Ini bukan integrasi, saya melihat ini hanya sebagai fasilitas.194 Operasi Flamboyan: Operasi Indonesia memasuki tahapan baru 162. Pada tanggal 31 Agustus operasi Indonesia dialihkan dari badan intelijen, Bakin, ke sebuah komando militer yang khusus dibuat bernama Komando Tugas Gabungan (Kogasgab). Pengalihan ini menandai perubahan penting dalam operasi-operasi Indonesia di wilayah tersebut, perubahan dari destabilisasi skala kecil ke operasi militer berskala lebih besar.195 163. Pada akhir bulan Agustus dan September, berbagai unit Pasukan Khusus yang direkrut untuk operasi baru tersebut, yang disebut Operasi Flamboyan, sering melakukan sejumlah penyusupan ke dalam Timor Portugis. Jumlah korban yang tinggi memaksa aktivitas mereka berhenti sejenak.196 Yang pertama, Tim Susi , dipimpin oleh Kapten Yunus Yosfiah, memasuki Atsabe.197 Para partisan Timor-Leste bergabung dengan sejumlah tim Pasukan Khusus. Ini merupakan pasukan yang dilatih oleh Indonesia termasuk, contohnya, unit Halilintar João Tavares (lihat Bagian 4: Rejim Pendudukan). Mereka diperintahkan untuk menciptakan “teror, [dan] intimidasi.”198 Pada tanggal 14 September, pasukan Fretilin bertempur dengan militer Indonesia dekat perbatasan Atsabe.199 Pada hari yang sama, militer Indonesia melancarkan serangan-serangan serempak dengan sasaran Bobonaro, Atsabe dan Suai.200 Kota perbatasan Batugade jatuh pada tanggal 8 Oktober, dan pasukan-pasukan Fretilin mundur ke Balibo.201 - 47 - 3.8 Timor Portugis di bawah Administrasi Fretilin Tinjauan 164. Dengan berakhirnya pertikaian antara Fretilin dan UDT, pada awal Spetember 1975, Fretilin kini berada dalam posisi sebagai penguasa de facto Timor Portugis yang tengah menghadapi keadaan darurat. Fretilin tetap menghormati kedaulatan Portugis atas wilayah ini sementara pemerintahan kolonial Portugis tetap tinggal di Pulau Ataúro. Kekurangan dana dan pengalaman pemerintahan, dan dihadapkan dengan kemungkinan krisis kemanusiaan, Fretilin melakukan upaya sungguh-sungguh untuk mendistribusikan makanan dan memelihara ketertiban masyarakat. Akan tetapi, Fretilin terus menahan tahanan politik dari masa konflik bersenjata yang singkat dan menghadapi kesulitan mencegah berbagai pelanggaran oleh para kadernya sendiri. Sebagai tambahan, tanggapan Indonesia atas kemenangan Fretilin dalam konflik bersenjata internal adalah dengan meningkatkan kegiatan militernya. Mulai bulan September 1975, Indonesia mulai melancarkan penyusupan bersenjata ke wilayah Timor Portugis. Pada bulan Oktober, berbagai penyerangan ini menjadi semakin besar dan sebagai hasilnya Indonesia mampu merebut beberapa kota dekat perbatasan. Selain perlawanan langsung terhadap kekuatan Indonesia, Fretilin juga berusaha menarik dukungan internasional. Fretilin mengisi kekosongan 165. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Portugis, Fretilin membentuk administrasi pemerintahan sementara. Selama masa ini Fretilin terus mengakui kedaulatan Portugis atas Timor-Leste, dan berulang kali menyerukan kepada Portugal untuk kembali dan meneruskan proses dekolonisasi yang terputus. Fretilin membiarkan bendera Portugis berkibar di depan kantor Gubernur dan membiarkan kantor tersebut kosong.202 Fretilin juga melakukan halhal lain untuk memperlihatkan sikap bahwa mereka masih menganggap Portugal sebagai penguasa yang berdaulat, seperti menempatkan penjaga bersenjata di luar Banco Nacional Ultramarino (BNU), bank milik Portugis, yang berfungsi sebagai bank sentral de facto selama masa pemerintahan Portugis, dan melarang penggunaan kediaman gubernur untuk bermacam keperluan resmi.203 166. Selama bulan September Fretilin terus berupaya mendorong Portugal untuk kembali. Pada tanggal 13 September Komite Sentral Fretilin mengeluarkan sebuah komunike, yang menegaskan kembali pengakuannya atas kekuasaan Portugal, dan menyerukan dilakukannya negosiasi untuk kembali melanjutkan proses dekolonisasi.204 Fretilin menyatakan bahwa negosiasi harus dilakukan “di dalam wilayah nasional tanpa tekanan dari luar”, dan harus dilakukan hanya dengan Fretilin sebagai pemenang satu-satunya dalam konflik internal. Portugal tidak menerima Fretilin sebagai satu-satunya wakil yang sah dari rakyat Timor Portugis.205 Pada tanggal 16 September, menanggapi serangan Indonesian di Atsabe, Fretilin mengeluarkan pernyataan lainnya, yang sekali lagi mengakui kedaulatan Portugis dan menyerukan dilanjutkannya perundingan mengenai dekolonisasi.206 167. Pernyataan-pernyataan ini juga mengusulkan diangkatnya permasalahan Timor-Leste ke kancah internasional dengan melibatkan negara-negara lain di kawasan itu. Fretilin merekomendasikan bahwa sebuah misi pencari fakta, yang terdiri dari negara-negara anggota ASEAN, Australia, Selandia Baru bersama pengamat dari negara-negara lain, mengunjungi negeri tersebut. Pernyataan tanggal 16 September itu juga menyerukan diadakannya sebuah konferensi yang dihadiri oleh perwakilan dari Portugal, Australia, Indonesia, dan Timo-Leste, untuk “menjernihkan kabar burung dan kesalahpahaman”. Fretilin juga merekomendasikan pasukan perdamaian gabungan Indonesia-Timor-Leste untuk melakukan patroli perbatasan gabungan. - 48 - 168. Pada bulan Oktober, Organisasi Non Pemerintah dari Australia ACFOA (Australian Council for Overseas Aid) mengirim delegasi, yang dipimpin oleh James Dunn, untuk berusaha menyatukan Fretilin, UDT, dan Administrasi Portugis untuk berdialog. Tetapi hal ini tidak terjadi, sebagian karena keenganan Portugal untuk bertemu dengan Fretilin maupun UDT.207 Upaya terakhir Fretilin untuk mengajak Portugis dilakukan tanggal 25 Oktober, sembilan hari setelah Balibo jatuh ke tangan pasukan Indonesia. Fretilin mengirim undangan kepada pemerintah Portugis di Ataúro untuk mengirim delegasinya ke Dili untuk mengamati situasi di lapangan.208 Seperti sebelumnya, Portugis hanya diam.209 Tahanan dan kekerasan politik Ekses Fretilin di akhir Agustus memasuki September 169. Selama masa awal penguasaan Fretilin setelah konflik internal, terjadi berbagai ekses seperti kerja paksa, penyiksaan dan eksekusi.210 Sebagian besar pembunuhan yang terjadi di luar pertempuran dilakukan di wilayah pedesaan, setelah Fretilin melancarkan aksi balasannya. Kemarahan publik sering kali berubah menjadi kekerasan yang mematikan. Selama masa ini pembunuhan oleh orang-orang yang terkait dengan Fretilin kadang terjadi akibat perseteruan lokal yang mendalam ketimbang politik.211 Presiden Fretilin kala itu, Francisco Xavier do Amaral, menjelaskan kepada Komisi bahwa ketika itu: Ada banyak kebingungan. Semuanya naik pitam, darah mereka mendidih, dan karenanya orang-orang saling menyerang. Kekerasan terjadi. Kemenangan satu pihak akan menimbulkan pembalasan dari pihak lain. Inilah yang terjadi pada tahun 1975…Contohnya, beberapa orang dipecat dari pekerjaannya. Mereka melakukan pembalasan kepada atasan mereka, ketika muncul kesempatan… Pihak yang satu memukul dan membunuh pihak yang lain. Dan karena itu siklus kebencian berlanjut.212 170. Banyak pembunuhan balas dendam terjadi di Distrik Ermera, sebuah basis UDT. Sebuah kesaksian dari Ermera mengatakan bahwa: Pada tanggal 15 September 1975 [tiga] komandan milisi Fretilin…menangkap tujuh orang UDT…di desa Katrai Kraik, Letefoho, Ermera. Ketujuh orang tersebut dibawa ke Germano, Desa Katrai Leten dan dibunuh. Kepala desa Lauana menyaksikan pembunuhan tersebut.213 171. Seperti yang dikatakan para pemimpin Fretilin dalam kesaksiannya kepada Komisi, kenyataan bahwa senjata yang dirampas selama konflik tersedia dengan mudah semakin memperburuk situasi kekerasan.214 Penjara Fretilin dan Komisi Penyilidikan 172. Selama masa konflik internal, Fretilin menangkap dan menahan sebanyak 2.000 tahanan.215 Sebagian besar adalah anggota UDT, namun ada juga anggota Fretilin, yang ditahan karena apa yang mereka sebut sebagai ekses selama konflik.216 Posisi resmi Fretilin adalah bahwa mereka menahan orang-orang sampai pemerintahan Portugis kembali untuk mengadili mereka. Namun ketika harapan kembalinya Portugal semakin pupus, Fretilin memutuskan untuk menangani situasi tersebut sendiri. Pada tanggal 30 September Fretilin mengumumkan didirikannya sebuah Komisi Penyilidikan (Comissão de Inquêrito) untuk memisahkan para pemimpin dari para anggota partai yang tidak terlibat.217 Komisi Penyilidikan mengundang rakyat - 49 - untuk memberi kesaksian dalam menentukan kesalahan tertuduh di sejumlah “pengadilan” umum. Metode peradilan seperti ini cenderung menghasilkan hukuman yang sewenang-wenang. Seorang mantan tahanan yang ditahan Fretilin, Monis da Maia, menggambarkan pengalamannya: Semua penduduk kampung diperintahkan untuk pergi ke pos militer dan para tahanan dibawa keluar satu demi satu dan “diadili”. Tahanan-tahanan yang dituduh melakukan kejahatan berat dibawa ke Aileu. Ketika tiba giliran saya semua orang berdiam diri sampai H1 mulai memancingmancing mereka. Ia menyuruh mereka mengatakan bahwa saya telah memukul mereka. Orang-orang itu menolak kecuali satu orang yang berkata, “Ia memaki kakek saya.” Karena ini saya dibawa ke Aileu, dituduh memaki kakek seseorang.218 173. Fretilin memindahkan para pemimpin regional UDT ke Dili atau Aíleu untuk diperiksa oleh komisi.219 Di Aíleu para pemimpin UDT ditahan di gedung Companhia di Aisirimou, dan para anggota partai biasa ditahan di sebuah gudang besar.220 Penduduk diperkenankan untuk melampiaskan kemarahan mereka kepada para tahanan yang baru datang: Mayor Lorenço yang paling parah dipukuli saat ia tiba di Aíleu karena ia adalah komandan. Mereka meletakkannya di atap mobil [yang ditumpangi saat dia datang] dan membawanya keliling Aíleu dan mereka berteriak “Viva Fretilin”. Seseorang menusuknya dan ia berdarah. Wajahnya bengkak dan ia tidak dapat berbicara.221 174. Para pemimpin UDT yang tertangkap, termasuk Wakil Presiden Partai, César Mouzinho, mendapat perlakuan yang paling buruk.222 Tetapi para mantan tahanan bersaksi bahwa pemukulan dan penganiayaan adalah hal yang biasa, contohnya ketika seorang penjaga Fretilin memaksa para tahanan untuk baku pukul di depan umum, seperti mengadu ayam.223 175. Selama masa pemerintahannya, Fretilin mengizinkan anggota Komite Palang Merah Internasional untuk mengakses berbagai penjaranya. Para pengamat Australia yang mengunjungi berbagai penjara Fretilin pada tahun 1975 mengkonfirmasikan bahwa beberapa tahanan dipukuli, termasuk mantan kepala polisi, Letnan Kolonel Magiolo Gouveia, walaupun mereka menyimpulkan bahwa secara umum, para tahanan dalam keadaan sehat dan diperlakukan dengan baik.224 176. Para anggota senior Fretilin yang bersaksi di hadapan Komisi mengakui bahwa selama masa itu anggota-anggota Fretilin melakukan penganiayaan terhadap para tahanan. Rogério Lobato, yang ketika itu menjabat kepala Angkatan Bersenjata Fretilin, mengatakan kepada Komisi: Sering kali mereka [Fretilin] memasuki penjara, mengejek para tahanan dan memukuli para tahanan tersebut…Orang-orang mengambil keuntungan dari konflik ini untuk memukuli orang lain dan untuk main hakim sendiri. Namun beberapa memang memukuli mereka karena marah pada mereka sehubungan dengan konflik ini.225 177. Pada bulan Oktober 1975, ketika serangan penyusupan Indonesia dimulai kembali, Fretilin menahan beberapa anggota Apodeti. Mári Alkatiri mengatakan kepada Komisi bahwa ia memerintahkan penahanan mereka setelah ia menerima informasi intelijen bahwa Apodeti - 50 - tengah merencanakan kudeta melawan Fretilin, yang akan dimulai dengan melempar granat di tengah-tengah pertemuan Komite Sentral Fretilin.226 Ini mungkin juga dipicu oleh penyusupan militer Indonesia di perbatasan.227 Banyak tahanan Apodeti dibunuh setelah invasi Indonesia. 178. Tidak ada bukti bahwa perlakuan buruk atas tahanan selama September sampai awal Desember merupakan kebijakan resmi Fretilin. Walaupun dalam beberapa kasus anggota senior Fretilin turun tangan untuk menghentikan penganiayaan,228 jelas bahwa Komite Sentral Fretilin mengetahui situasi ini dan tidak mengambil langkah yang cukup untuk mencegah malpraktek ini atau berupaya untuk mengendalikannya.229 Memulihkan ketertiban 179. Pada awal September, setelah menguasai sebagian besar wilayah, Fretilin mulai bergerak untuk memulihkan ketertiban.230 Mereka mengambil berbagai langkah yang keras untuk mencapai maksud ini. Beberapa orang asing yang mengunjungi sejumlah penjara Fretilin menyaksikan para serdadu Fretilin yang dipenjara karena melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil.231 Sampai awal September, Fretilin menguasai seluruh wilayah Timor-Leste kecuali wilayah Batugade, wilayah perbatasan dengan Indonesia. Dua anggota Parlemen Australia membuat penilaian berikut ini setelah mengunjungi beberapa kota: Kunjungan kami keliling negeri membenarkan klaim Fretilin bahwa situasi telah terkendali. Di wilayah-wilayah yang kami kunjungi sendiri, kami menerima informasi dari pekerja kemanusiaan dan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) bahwa mereka juga berpendapat sama.232 Pemerintahan 180. Selama masa konflik internal 80% dari 3.000 tenaga ahli Timor dan staf asing pemerintahan Portugis telah meninggalkan negeri ini. Tidak ada kemungkinan untuk meyakinkan mereka kembali dan bekerja di bawah pemerintahan Fretilin. Fretilin memperluas keanggotaan Komite Sentral dengan mengangkat sejumlah besar perwakilan regional dan anggota militer aktif, yang mencerminkan pengaruh militer pasca konflik internal dan perlunya perwakilan geografis yang lebih luas.233 Untuk mengatasi kekosongan pemerintahan di luar Dili ini, Fretilin mengangkat Komite-Komite Regional untuk memerintah di setiap distrik. Pada pertengahan September, Fretilin membentuk Komite Eksekutif untuk menjalankan pemerintahan sementara.234 Komite ini terdiri dari 13 departemen, antara lain Departemen Urusan Ekonomi, Kesehatan dan Militer.235 Pada bulan Oktober Fretilin membentuk serangkaian komisi untuk memfasilitasi pemerintahan di wilayah ini. Satu komisi yang utama adalah Komisi Pengelolaan dan Pengawasan Ekonomi, yang diketuai oleh Dr José Gonçalves, mungkin satu-satunya ahli ekonomi yang masih berada di wilayah ini. Diresmikan pada tanggal 11 Oktober 1975, komisi ini bertindak sebagai wakil Fretilin dalam managemen pusat pemulihan ekonomi negeri ini. Komisi ini juga bekerja dengan Komite- Komite Regional Fretilin dan LSM-LSM asing dalam pendistribusian bantuan makanan darurat, menggunakan aset-aset perusahaan niaga dan logistik semi-pemerintah SAPT (Sociedade Agrícola Pátria e Trabalho).236 181. Gangguan terhadap sistim produksi dan distribusi akibat konflik internal dan ketidakmampuan Timor-Leste untuk memenuhi kebutuhannya sendiri237 mengakibatkan krisis ekonomi perkotaan dimana Fretilin, dengan sejumlah dukungan lembaga-lembaga internasional, kesulitan untuk mengatasinya. Walaupun kekerasan mempengaruhi beberapa kota yang lebih besar di wilayah tengah dan barat, dan pertikaian-pertikaian kecil menyebar luas, sebagian besar wilayah pedesaan luput dari konflik bersenjata yang menelan Dili. Warga pedesaan Timor umumnya bergantung pada pertanian subsisten untuk penghidupannya, sehingga tidak menjadi - 51 - bagian dalam ekonomi tunai yang menjadi sandaran warga Timor-Leste perkotaan.238 ICRC melaporkan akibat dari politik internal: Kerusakan dari perang hanya mempengaruhi beberapa wilayah: Maubisse, Aijnaro, Ermera, Same…[kekurangan makanan] pada dasarnya akan mempengaruhi populasi perkotaan tapi tidak akan mempengaruhi populasi pedesaan di mana orang-orang…hidup di dalam sistem ekonomi subsisten.239 182. Satu cara yang digunakan Fretilin untuk mengatasi kelangkaan makanan ini adalah dengan memaksa para tahanan UDT untuk melakukan kerja paksa.240 Satu tempat dimana ini terjadi adalah di perkebunan di Aisirimou, Aíleu.241 183. Sesudah menguasai keadaan, Fretilin sadar bahwa Fretilin tidak memiliki sumber daya untuk mengimpor makanan. Pada tanggal 13 September Fretilin mengeluarkan permintaan untuk memohon bantuan makanan darurat. ICRC dan Dewan Bantuan Luar Negeri Australia (Australian Council for Overseas Aid, ACFOA) menanggapi hal ini dengan sedikit pasokan makanan, tapi tidak ada pemerintah manapun yang memberi bantuan selama masa ini. Fretilin kemudian menyerukan kepada orang-orang yang lari dari daerah pedesaan ke kota selama konflik internal untuk kembali ke desa mereka masing-masing. Selain meningkatkan produksi pertanian, hal ini juga mengurangi jumlah orang yang akan tergatung pada pasokan pangan kota yang terbatas. Mengantisipasi ancaman kekurangan makanan, Fretilin berencana untuk menerapkan penjatahan makanan pada bulan Desember, dan mulai melakukan sensus untuk dapat menjalankan suatu sistem penjatahan (lihat Bab 7.3.: Pemindahan Paksa dan Kelaparan). 184. Penutupan BNU dan kemustahilan untuk segera mendirikan sistem pebankan alternatif, yang Fretilin memang tidak memiliki keahlian untuk menjalankan,242 tetap menjadi masalah selama pemerintahan Fretilin. Ketiadaan valuta asing berakibat benar-benar melumpuhkan kemampuan wilayah ini untuk menghidupkan kembali ekonomi tunai atau untuk menjalankan perdagangan internasional.* Apapun yang tersisa dari komunitas pedagang Cina mampu untuk sedikit memompa ekonomi. Namun banyak yang telah meninggalkan pedesaan untuk datang ke Dili dan kota-kota lainnya atau telah pergi ke luar negeri, dengan membawa serta modalnya. Kemerosotan nilai mata uang memaksa Fretilin untuk membayar pegawai negeri yang ada dengan barang ketimbang uang tunai. Walau ada semua faktor-faktor negatif ini, kegiatan ekonomi mulai sedikit kembali ke pasar-pasar di Dili dan toko-toko Cina selama bulan Oktober dan November.243 185. Pendidikan merupakan bidang penting dalam kebijakan Fretilin. Fretilin telah melakukan banyak sebelum terjadi konflik internal dengan mengembangkan program melek huruf yang diilhami oleh pendidik Brazil, Paulo Freire.† Setelah konflik internal sistem pendidikan yang ada benar-benar lumpuh. Seperti halnya di bidang-bidang pemerintahan lainnya, sebagian besar personil yang cakap telah pergi. Baik sekolah-sekolah negeri maupun yang dijalankan Gereja tutup, yang terakhir ini tutup karena banyak suster dan pastor yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut juga pergi, sehingga membuat Francisco Xavier do Amaral berkomentar: Sungguh disesalkan bahwa para “gembala” pergi ketika “domba-domba” memerlukan bimbingan mereka.244 186. Para guru yang tinggal dialihtugaskan sebagai serdadu Falintil atau sebagai pegawai pemerintah, dimana kemampuan membaca mereka amat dibutuhkan.245 Walaupun ada rencana * Kapal bantuan ACFOA berangkat dengn membawa kopi ke Australia. Namun demikian, uang yang didapat harus disimpan di Bank di Darwin. † Sistem pendidikan masyarakat terutama ditujukan untuk memecahkan persoalan tingkat melek huruf yang rendah, yang dikembangkan oleh Paulo Freire, seorang pendidik Brazil. - 52 - untuk membuka kembali sejumlah Sekolah Dasar pada bulan November, dengan menggunakan siswa Sekolah Menengah Atas sebagai guru, hal ini tidak terjadi dan sekolah-sekolah tetap tutup. 187. Konflik internal telah mengakibatkan ratusan orang terluka, baik anggota militer maupun warga sipil. Dokter-dokter Portugis telah ditarik mundur pada tanggal 26 Agustus, walaupun sebagian besar pekerja kesehatan Timor terus bekerja tanpa gangguan.246 Masih cukup banyak pasokan obat-obatan di Dili, dan fasilitas medis walaupun sederhana tetapi mencukupi. Dengan perlengkapan dasar ini, dan dibantu oleh kedatangan sejumlah dokter dari ICRC dan sebuah NGO Australia, ASIAT (Australian Society for Inter-Country Aid), pada tanggal 1 September, Rumah Sakit Dili terus buka. Walaupun ASIAT berencana untuk membuka berbagai sekolah pelatihan medis—dan selama masa ini Fretilin juga membuka sekolah perawat kesehatan di Aileu pada bulan Agustus 1974—di luar Dili pelayanan kesehatan terbatas.247 188. Jelas bahwa antara bulan September dan Desember 1975, Fretilin melakukan upaya sungguh-sungguh untuk membangun pemerintahan interim yang terpercaya di seluruh wilayah Timor-Leste tanpa kehadiran Portugal, sementara tetap menanti kembalinya Portugal untuk menuntaskan proses dekolonisasi. Terbentur oleh kurangnya kemampuan keuangan dan administrasi, dan dalam konteks ketidakstabilan politis akibat konflik politik bulan Agustus serta peningkatan operasi militer lintas batas oleh pasukan bersenjata Indonesia, pemerintahan yang baru lahir ini menghadapi tekanan yang luar biasa. Balibo: Indonesia meningkatkan intensitas operasi militer 189. Pada tanggal 15 Oktober Tim Susi dan batalyon-batalyon dari Brigade Infantri Kedua ABRI melancarkan serangan ke Balibó, dimana lima wartawan internasional terbunuh. Para wartawan tersebut tengah meliput berita mengenai berbagai operasi militer Indonesia di dalam Timor Portugis. Tiga wartawan Australia dan dua wartawan Inggris yang bekerja untuk Televisi Australia ditembak atau ditikam dalam keadaan yang ditutup-tutupi oleh pejabat militer Indonesia ketika itu.* Satu kemungkinan alasan atas eksekusi para wartawan itu adalah bahwa mereka menyaksikan besarnya skala operasi Indonesia di sekitar Balibo, yang jauh lebih besar dari penyusupan-penyusupan sebelumnya (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa).248 190. Pada tanggal 16 Oktober, ketika militer Indonesia menguasai Balibo dan Maliana, garis depan Fretilin pindah ke Atabae dan Bobonaro.249 Komisi memiliki rekaman film dari operasioperasi militer Indonesia ini, yang memperlihatkan penggunaan kapal perang untuk membombardir posisi Fretilin dan pendaratan pesawat di Maliana, sesuatu yang jelas merupakan penyerangan besar-besaran.250 Tidak seperti serangan di bulan Agustus atas Atsabé yang menggunakan pasukan Partisan untuk mendukung unit-unit Pasukan Khusus, serangan atas Balibó tidak banyak menggunakan orang Timor.251 Walaupun demikian, Indonesia berusaha menyalahkan sekutu UDT/Apodeti mereka atas kematian para wartawan tersebut. Secara umum, pihak berwenang Indonesia berulang kali menyangkal bahwa pasukan-pasukan mereka terlibat secara militer di Timor Portugis pada bulan September-November. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa bentrokan apapun terjadi akibat para “Partisan” Timor-Leste yang berupaya menangkis serangan-serangan ke dalam wilayah Indonesia. 191. Selama bulan Oktober pasukan-pasukan lain yang dipimpin Kopassandha melancarkan serangan, dan berharap untuk menjangkau lebih jauh ke dalam. Mereka menemui perlawanan yang sengit dan berhasil diusir kembali. Laporan harian CIA, the National Intelligence Daily, melaporkan bahwa pada tanggal 20 Oktober serangan Indonesia “terhenti karena Jakarta gagal * Meskipun hal ini diketahui pemerintah Australia dengan segera, tidak ada protes internasional atau seruan untuk diadakan penyelidikan. Memang, Pemerintah Australia tampaknya tidak memprotes baik secara diam-diam kepada pemerintah Indonesia tentang pembunuhan tersebut. Ini tetap menjadi masalah antara Indonesia dan Australia selama masa-masa pendudukan. - 53 - menguasai kota perbatasan Lebos”.252 Tanpa perlindungan artileri laut di wilayah yang dekat dengan pantai, pasukan penginvasi Indonesia menemui kesulitan di wilayah pedalaman di mana kedua pihak lebih berimbang kekuatannya. Menurut Albino do Carmo, komandan Falintil/Fretilin, penyerangan tersebut terjadi: …Di [desa] Lela, berbatasan dengan Lamaknen, di daerah yang disebut Bulubulu. Saat itu kira-kira bulan Oktober, sekitar pertengahan bulan. Ada banyak orang di sana, mereka menembakkan mortir ke sini. Mereka memiliki senapan mesin, dua di antaranya. Ada banyak orang. Kami lihat dari kejauhan. Ada informasi bahwa [mereka] dari Menpur. Lebih dari 100 [orang]. Kami tidak bisa melihat di belakang [mereka]. Mereka tidak bisa maju karena…tidak bisa ke depan karena kami menembaki mereka. Kami pun punya senapan mesin dan mortir. Saya punya 20 anak buah saat itu. 253 192. Pasukan Fretilin secara tak terduga memberi perlawanan sengit terhadap pasukan Indonesia, yang juga bermasalah dengan persenjataannya, dan dihambat oleh permulaan musim hujan. Setelah jeda sejenak, operasi tersebut dimulai kembali pada tanggal 20 November dengan sebuah operasi yang diarahkan ke Atabae. Untuk pertama kalinya Pasukan Indonesia mendapatkan dukungan laut dan udara. Pada tanggal 27 November Atabae, yang dipertahankan oleh kompi kavaleri Portugis orang Timor-Leste yang loyal terhadap Fretilin, jatuh ke tangan penyerbu.254 Militer Indonesia kini sudah bersiap untuk melancarkan invasi besar-besaran ke Dili. 3.9 Deklarasi kemerdekaan sepihak Fretilin, dan tanggapannya Tinjauan 193. Dengan semakin gencarnya operasi militer Indonesia dan invasi besar-besaran tampak semakin pasti, Fretilin semakin perlu mencari cara untuk melibatkan komunitas internasional. 194. Pada awal November 1975 Portugal mengadakan pembicaraan bilateral dengan Indonesia di Roma. Dalam pernyataan pers bersama setelah pertemuan tersebut, kedua pihak menegaskan kembali komitmen mereka kepada dekolonisasi Timor Portugis yang teratur dan setuju untuk bekerja dan menyelenggarakan perundingan antara Portugal dan semua partai politik Timor. Dengan pasukan Indonesia yang sudah menduduki bagian yang cukup besar dari wilayah tersebut dan pemerintahnya selalu menghalang-halangi terjadinya pembicaraan antar semua pihak, pertemuan Roma tersebut gagal untuk mempertimbangkan realitas situasi di lapangan. 195. Fretilin memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak tak lama setelah pasukan Indonesia mendudukui kota Atabae di bagian barat. Fretilin melakukan ini pada tanggal 28 November 1975. Fretilin membentuk sebuah pemerintahan, dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk mencegah invasi besar-besaran yang akan terjadi. 196. Anggota empat partai politik Timor-Leste lainnya berkumpul di Bali. Pada tanggal 29 November, di bawah tekanan intelijen Indonesia, untuk membalas deklarasi sepihak Fretilin, mereka menandatangani apa yang disebut “Deklarasi Balibo”, yang mendeklarasikan “kemerdekaan dan integrasi” Timor Portugis ke dalam Indonesia. Portugal tidak mengakui kedua deklarasi tersebut. Indonesia bersiap untuk invasi besar-besaran. - 54 - Latar belakang deklarasi kemerdekaan sepihak Fretilin 197. Mantan Presiden Fretilin Francisco Xavier Amaral mengatakan kepada Komisi tentang dilema yang dihadapi Fretilin saat Pemerintah Kolonial Portugis tetap tinggal di Ataúro. Dari sudut pandangan Fretilin kebijakannya untuk terus mengakui kedaulatan Portugal tanpa ada tanda-tanda apapun dari Portugal bahwa mereka berniat menjalankan kewenangan itu adalah suatu kebijakan yang berbahaya untuk dijalani. Walaupun sebagai penguasa de facto, Fretilin tidak memiliki legitimasi internasional sebagai penguasa. Fretilin bukan pemerintah yang dipilih dan ketakutannya adalah bahwa kekosongan politik ini akan memberikan dalih bagi Indonesia untuk melancarkan invasi besar-besaran ke Timor-Leste.255 198. Undangan Fretilin tanggal 25 Oktober kepada pemerintahan Portugis di Ataúro untuk mengirim delegasi ke Dili untuk melakukan penilaian situasi politik tidak mendapat tanggapan. Posisi Fretilin semakin mengeras ketika mengetahui terjadinya pembicaraan antara Menteri Luar Negeri Portugal dan rekannya Menteri Luar Negeri Indonesia di Roma pada tanggal 1-2 November. Pernyataan pers bersama para Menteri Luar Negeri tersebut menyerukan dipulihkannya ketentraman dan ketertiban sebagai syarat bagi proses dekolonisasi, akan tetapi sama sekali tidak menyebutkan masuknya pasukan Indonesia jauh ke dalam wilayah Timor Portugis. Ketika diadakan pembicaraan di Roma, dan setelah kejatuhan Balibó dan Maliana ke pihak pasukan Indonesia pada tanggal 16 Oktober, garis depan Fretilin telah mundur ke Atabae dan Bobonaro.256 199. Bagi sebagian orang di Fretilin, kejanggalan pembicaraan Roma merupakan pukulan terakhir. Ketika diwawancarai pada tahun 2004, Francisco Xavier do Amaral menyatakan bahwa pemerintah Portugal telah mengkhianati rakyat Timor-Leste: Portugal dan Indonesia sudah setuju bahwa Indonesia tidak akan campur tangan dalam urusan Timor-Leste. Tapi pada akhirnya siapa yang turut campur? Indonesia. Dan apa yang dikatakan Portugal? Tidak ada. Mereka hanya berdiam diri. Bahkan tidak ada peringatan untuk Indonesia. Fretilin sudah cukup lama menunggu kesempatan untuk memulai negosiasi dengan Portugal, tapi mereka tetap diam, tidak menjawad. Apa sebenarnya alasan bagi penundaan-penundaan ini? Untuk membela kita atau mengkhianati?257 200. Fretilin kini harus menghadapi tiga kenyataan pahit: ancaman luar yang amat besar dari tetangganya yang besar di perbatasan maupun di wilayahnya, ekonomi yang tidak memiliki infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, dan ketidakpedulian Portugal. José Gonçalves, ketua Komite Ekonomi dan Pengawas Fretilin, ditugaskan menghidupkan kembali ekonomi yang lumpuh. Ia menyatakan pada bulan Oktober 1975: “Sekarang karena pemerintah Portugis sudah tidak ada dan negosiasi terus berjalan, kita harus mulai merencanakan untuk merdeka.”258 201. Dr Gonçalves menyadari bahwa pemulihan ekonomi domestik dan perdagangan internasional tidak akan mungkin terjadi apabila BNU, satu-satunya bank di Timor Portugis, tidak - 55 - buka kembali. Sebaliknya, apabila Fretilin terus mengakui pemerintahan Portugis sebagai penguasa yang sah di Timor-Leste bank tersebut tidak bisa buka kembali. Dr Gonçalves menyatakan: Kita tidak bisa seterusnya menunggu bank ini berfungsi kembali. Bank ini sudah dinasionalisasi dan kita bermaksud untuk menyelesaikan proses ini.259 202. Pada bulan November, Fretilin mengirim delegasi ke Afrika untuk menggalang dukungan bagi deklarasi kemerdekaan sepihak.* Delegasi tersebut terdiri dari dua anggota penting Komite Sentral Fretilin, Mári Alkatiri dan César Mau Laka. Mereka kembali ke Dili pada minggu ketiga bulan November dan menyatakan bahwa 25 negara berjanji untuk memberi pengakuan apabila Timor-Leste mendeklarasikan kemerdekaan, di antaranya Cina, Uni Sovyet, Zambia, Mozambique, Tanzania, Guinea-Bissau, Angola, Cabo Verde, São Tome dan Principe, Korea Utara, Vietnam Utara dan Selatan, Kamboja, Romania, Belanda, Jerman Timur, Swedia, Aljazair, Kuba, Norwegia dan Brazil (lihat Bab 7.1.: Hak Menentukan Nasib Sendiri).260 203. Terlebih lagi, ancaman militer Indonesia semakin jelas, dan Fretilin mulai menumpuk senjata dan makanan di pedalaman untuk mengantisipasi invasi besar-besaran.261 Fretilin juga mengambil langkah untuk memperbesar angkatan bersenjatanya. Walaupun pasukan Falintil tengah berperang di perbatasan dan sampai saat itu berhasil menahan tentara Indonesia, kemungkinan Falintil dilumpuhkan dalam suatu invasi besar-besaran cukup besar. Untuk mengantisipasi hal ini, Falintil mulai melatih dan mempersenjatai kelompok-kelompok milisi (Milicia Popular de Libertacao Nacional, Miplin).262 204. Bungkamnya komuntas internasional dan kegagalan Portugal untuk berkomunikasi dengan Fretilin setelah serangan 16 Oktober atas Balibó mulai membuat Fretilin yakin akan keterasingannya. Walaupun opini terpecah, pada minggu ketiga bulan November 1975, tak lama setelah Mári Alkatiri dan César Mau Laka kembali dari Afrika, Komite Sentral Fretilin memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaan.263 Keputusan ini menjadwalkan deklarasi pada tanggal 1 Desember, hari Portugal merayakan kemerdekaannya dari penjajahan Spanyol.264 Deklarasi kemerdekaan 205. Pada tanggal 26 November, setelah dua minggu pemboman gencar dari laut dan udara, Atabae jatuh ke tangan pasukan bersenjata Indonesia. Komite Sentral menyimpulkan bahwa invasi besar-besaran sudah di ambang pintu. Dalam wawancaranya dengan Komisi pada tahun 2004 Mári Alkatiri mengingat kata-kata wakil presiden Fretilin, Nicolau Lobato, kepada Komite Sentral: Pasukan Indonesia sudah masuk di Atabae…Mereka sudah menduduki Atabae! Kalau kita tunggu sampai 1 Desember kita tidak akan punya waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan di Dili. Jadi sebaiknya kita proklamasikan kemerdekaan hari ini.265 206. Walaupun ada penentangan terhadap keputusan mendeklarasi kemerdekaan, pada Jumat sore tanggal 28 November 1975, Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan di hadapan 2.000 orang yang berkumpul di depan gedung pemerintahan Portugis.266 Pasukan Falintil berparade mengenakan seragam loreng dan ikat kepala berwarna sesuai satuan-satuan mereka.267 Francisco Xavier do Amaral datang dengan mobil Mercedes-Benz hitam, mobil resmi Gubernur * Sebelumnya, pada akhir bulan September konferensi negara-negara Asia Afrika yang diselenggarakan di Maputo, ibukota Mozambique memutuskan untuk “ mendukung secara penuh perjuangan kemerdekaan yang dipimpin oleh Fretilin.” Resolusi ini diusulkan oleh Presiden Mozambique Samora Machel dan mendapat dukungan dari negara peserta. - 56 - Portugis. Pada pukul 17:55 bendera Portugis, yang telah berkibar di Timor-Leste selama berabad-abad, diturunkan. Fretilin mengibarkan bendera baru Republik Demokratik Timor- Leste—merah, hitam dan kuning dengan bintang putih—dan hening cipta selama satu menit dilakukan untuk mengenang “semua orang yang telah gugur dalam beberapa bulan terakhir ini dan selama perang-perang anti-kolonial di Timor-Leste”.268 Sebuah meriam ditembakkan 20 kali sebagai tanda penghormatan bagi yang meninggal. Pemimpin Fretilin, Xavier do Amaral, kemudian membacakan proklamasi kemerdekaan: Dengan menyatakan kehendak mulia rakyat Timor-leste dan untuk melindungi kedaulatan nasional yang sangat sah secara hukum, Komite Sentral Fretilim secara sepihak memutuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan Timor-Leste. Mulai tengah malam nanti, [kami] menyatakan [kelahiran] suatu bangsa yang anti-kolonial dan anti-imperialis, negara Republik Demokratik Timor- Leste, Hidup Republik Democratik Timor-Leste! Hidup Timor-Leste yang bebas dan merdeka! Hidup Fretilin! 207. Setelah proklamasi, para hadirin menyanyikan “Pãtria! Pãtria!” (Tanah Air! Tanah Air!), dan mendeklarasikan lagu ini sebagai lagu kebangsaan. Timor-Leste kemudian menyiarkan berita deklarasi kemerdekaannya kepada dunia dari Pusat Komunikasi Marconi.269 208. Walaupun Fretilin telah merencanakan untuk melakukan deklarasi kemerdekaan tanggal 1 Desember, deklarasi kemerdekaan sepihak 28 November terjadi secara tak terduga dan tibatiba. Beberapa hal mengkonfirmasikan ini, termasuk penulisan proklamasinya270 dan penjahitan benderanya271 pada sore hari tanggal 28 November. Selain itu tidak semua pemimpin Fretilin hadir pada upacara proklamasinya.272 Sekretaris Jenderal Fretilin, Alarico Fernandes, dan sekretaris urusan luar negeri, José Ramos-Horta, berada di Australia sejak 20 November untuk menggalang dukungan politik, sementara Juvenal Inácio (Sera Key) dan Vicente Reis (Sa’he) tengah memerangi pasukan Indonesia di perbatasan. 209. Keesokan harinya, 29 November, Komite Sentral Fretilin menunjuk Francisco Xavier do Amaral sebagai Presiden republik baru ini. Dalam pidato pengangkatannya, Xavier do Amaral menekankan bahwa kemerdekaan adalah hak seluruh rakyat Timor-Leste. Ia mengatakan bahwa kemerdekaan tidak dapat dipisahkan dari kelalaian dan pengingkaran hak tersebut selama proses dekolonisasi pemerintah Portugis. Xavier do Amaral menegaskan: Setelah 400 tahun penderitaan, kelaparan, pemiskinan, pengabaian dan pembantaian, apa lagi yang kita tunggu? Kawan-kawan, baik atau buruk, kita harus menjadi orang yang pertama dan yang terakhir untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Jadi mulai hari ini, kita semua, ya kita semua, akan membangun bangsa kita, Timor-Leste.273 210. Menteri Pertahanan, Rogério Lobato, membacakan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL). Konstitusi, yang terdiri atas 55 pasal, ditulis hanya beberapa hari sebelum 28 November 1975.274 Pada tanggal 1 Desember Dewan Menteri diangkat di kediaman Gubernur Portugis di Lahane. Komite Sentral Fretilin menunjuk Wakil Presiden Fretilin, Nicolau Lobato, sebagai Perdana Menteri. 211. Konstitusi tersebut memasukkan pasal-pasal yang menetapkan Timor-Leste untukmelakukan hal-hal berikut: - 57 - • Penghapusan struktur-struktur kolonial dan menciptakan masyarakat baru yang terbebas dari segala jenis dominasi dan pemerasan. (Pasal 2) • Kebijakan-kebijakan pembangunan yang terfokus pada pembangunan pertanian dan industri. (Pasal 6) • Melaksanakan kebijakan pembangunan ekonomi terencana. (Pasal 10) • Memerangi buta huruf dan ketidaktahuan, melindungi dan mengembangkan budayanya. (Pasal 12) • Mengembangkan dan menjalankan sebuah sistem kesehatan. (Pasal 13) • Menjamin kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan. (Pasal 14) • Menjamin kebebasan beragama. (Pasal 15) • Mengembangkan “hubungan kerja sama dan bersahabat” dengan “kekuatan-kekuatan dunia yang demokratis dan progresif, yang dianggap sebagai sekutu alamiah.” (Pasal 16) • Menjamin hak untuk ikut serta di dalam proses-proses konsolidasi demokratis. (Pasal 23) • Menjamin kebebasan untuk berpikir, berasosiasi, berserikat, dan berbicara. (Pasal 24) • Menjamin hak untuk memilih dan dipilih di dalam pemilihan umum. (Pasal 25) • Menjamin hak untuk bekerja, mendapat pendidikan, dan kesehatan. (Pasal 27). 212. Konstitusi menetapkan sistem pemerintahan semi-presidensial. Perdana Menteri adalah kepala Dewan Menteri (Pasal 40) yang bertugas menjalankan pemerintahan. Presiden adalah Kepala Negara (Pasal 42) dan Panglima Angkatan Bersenjata (pasal 4). Presiden diberi wewenang untuk menunjuk dan memecat Perdana Menteri, Ketua Mahkamah Agung dan Gubernur Bank Timor-Leste (Pasal 42). Nicolau Lobato, yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri, menyusun sebuah daftar menteri dan wakil menteri, dan mengajukannya kepada Presiden dan Komite Sentral Fretilin untuk disahkan.275 Reaksi atas deklarasi kemerdekaan Deklarasi Balibo 213. Sehari setelah deklarasi kemerdekaan Timor-Leste sepihak oleh Fretlin, keempat partai politik Timor-Leste lainnya—UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalhista—mengeluarkan “Proklamasi Integrasi” mereka untuk mengimbangi langkah Fretilin. Proklamasi tersebut menuduh Fretilin menghambat solusi damai atas konflik dan hak rakyat Timor Portugis atas penentuan nasib sendiri. Kemudian proklamasi itu menyatakan bahwa “seluruh bekas koloni Timor Portugis” akan diintegrasikan ke dalam Indonesia, dan menggambarkan hal ini sebagai “pengungkapan paling tegas dari perasaan rakyat Timor Portugis”. Pemerintah dan rakyat Indonesia diminta untuk “mengambil segala langkah untuk melindungi hidup rakyat yang kini menganggap dirinya orang Indonesia namun hidup di bawah teror dan praktek Fasis Fretilin dengan persetujuan Pemerintah Portugis”.276 214. Di bagian paling bawah deklarasi tersebut tercantum kata-kata “Dilakukan di Balibo” dan tanda tangan dari perwakilan keempat partai. Keadaan seputar pembuatan apa yang disebut Deklarasi Balibo telah menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun.277 Komisi mendengarkan kesaksian dari para pemimpin politik Timor-Leste yang hadir pada saat penandatanganan yang mengatakan bahwa deklarasi tersebut disusun di Jakarta dan ditandatangani di sebuah hotel di Bali oleh para pemimpin partai, yang seperti dikatakan seorang penandatangan, berada “di bawah pengawasan ketat”, namun tetap berusaha berargumen selama berjam-jam untuk tidak menandatangani dokumen tersebut.278 Mereka bersaksi mengenai tekanan yang dikenakan kepada politisi Timor oleh anggota badan intelijen Bakin - 58 - dalam penyusunan dan keputusan untuk memungut suara mengenai deklarasi tersebut.* Deklarasi tersebut dibacakan dari pemancar radio berkekuatan tinggi di Balibo.279 Portugal 215. Portugal menolak baik deklarasi kemerdekaan sepihak Fretilin dan “Deklarasi Balibo”. Komunike Dewan Nasional Dekolonisasi Portugal pada tanggal 29 November menyatakan bahwa Portugal masih menganggap dirinya “penguasa yang memerintah” Timor.280 Komunike tersebut juga mengutuk intervensi militer atas wilayah tersebut dengan jelas mengacu kepada serangan militer Indonesia. Pemerintah Portugis bersikukuh bahwa Timor-Leste harus mencapai penyelesaian hasil perundingan ketiga partai politik, yang dapat memuaskan rakyat Timor-Leste dan dengan ketentuan bahwa “kepentingan sah wilayah geopolitis Indonesia” akan dipertimbangkan.281 Indonesia 216. Deklarasi kemerdekaan sepihak Fretilin menjadi pemicu bagi Presiden Soeharto untuk mensahkan invasi besar-besaran Indonesia atas Timor-Leste.282 Setelah bertemu dengan Presiden Soeharto pada tanggal 29 November, Menteri Penerangan Indonesia Mashuri, mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan “tindakan sepihak” Fretilin dan posisi pemerintah Portugal yang “jelas-jelas merestui tindakan Fretilin.”283 Indonesia mengutuk tindakan sepihak Fretilin tetapi “sungguh-sungguh memahami pernyataan UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalhista bahwa, atas nama rakyat Timor Portugis, mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia.”284 217. Ketika Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik menerima Proklamasi Integrasi pada tanggal 1 Desember, ia mengatakan bahwa “perjuangan berat” masih ada di depan dan Indonesia akan memberikan “dukungan yang terselubung atau terbuka secara menyeluruh.” Adam Malik menyimpulkan dengan mengatakan “Diplomasi sudah berakhir. Kini persoalan Timor-Leste akan diselesaikan di medan tempur.”285 Tanggapan internasional yang lebih luas 218. Para pelaku penting dalam komunitas internasional telah lama menyadari bahwa invasi militer Indonesia atas Timor Portugis sangat mungkin terjadi. Australia sudah lama menerima bahwa penggabungan sudah menjadi kebijakan Indonesia yang “tetap” (lihat Bagian 3: Meningkatnya keterlibatan Indonesia di Timor Portugis: destabilisasi dan diplomasi, di atas) dan mengetahui tentang skala keterlibatan militer Indonesia di wilayah tersebut.286 Banyak dokumen juga menunjukkan bahwa Amerika Serikat juga mengetahui tentang rencana Indonesia untuk menguasai Timor-Leste dengan cara militer.287 Australia menolak untuk memberi pengakuan kepada bangsa baru ini dan memandang tindakan Fretilin sebagai “provokatif dan tidak bertanggung jawab”.288 Amerika Serikat menegaskan posisinya untuk tidak terlibat. 289 Negaranegara Afrika yang baru merdeka, yakni Angola, Cape Verde, Guinea-Bissau, Mozambique dan San Tomé dan Principe semuanya mengakui kemerdekan Timor-Leste namun semua bangsa ini terlalu kecil untuk memiliki pengaruh dalam politik internasional. Cina dan Vietnam, pendukung Fretilin utama di Asia, memberi ucapan selamat yang hangat. Cina adalah satu-satunya anggota permanen Dewan Keamanan PBB yang mengakui deklarasi kemerdekaan tersebut. 219. Pada tanggal 6 Desember, sehari sebelum invasi, Presiden Gerald Ford dan Menteri Luar Negerinya, Henry Kissinger, berada di Jakarta. Para analis CIA memprediksikan bahwa * Tiga dokumen lainnya, yang ditandatangani oleh orang Timor-Leste yang menyatakan atau membuat petisi untuk integrasi, Deklarasi Suai dan Bobonaro Declarations dan Petisi Batugade, sudah ada sebelum ’Deklarasi Balibo’. Komisi menerima kesaksian bahwa dalam setidaknya dua dari dokumen-dokumen ini, Deklarasi Suai dan Petisi Batugade, agenagen Indonesia juga terlibat dalam perumusan dan pemberian tekanan terhadap penandatangan [lihat Submisi Domingos Oliveira, h.31 dan Wawancara CAVR dengan Claudio Vieira, Kupang, 25 Agustus 2004]. - 59 - invasi akan terjadi setelah keberangkatan Ford.290 Pada tanggal 6 Desember Kissinger menyatakan bahwa penggunaan senjata buatan AS dalam operasi militer semacam itu dapat menjadi masalah, tapi kemudian menambahkan bahwa: [I]tu tergantung bagaimana kita menafsirkan hal ini: apakah untuk membela diri atau sebagai operasi luar negeri.291 220. Walaupun mengetahui hal ini, tidak pernah ada upaya oleh negara manapun untuk mencegah Indonesia, dan tidak ada satu negara pun yang mendekati Fretilin, yang lalu menyadari keterkucilannya. Invasi besar-besaran di ambang pintu 221. Setelah deklarasi kemerdekaan situasi di Timor-Leste menjadi semakin tegang. Pimpinan Fretilin menunggu Indonesia menginvasi dan setiap malam anggota Komite Sentral melakukan patroli.292 Pada tanggal 2 Desember delegasi Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Dili menerima telegram dari pemerintah Australia yang memperingatkan semua warga Australia di Timor-Leste untuk meninggalkan negeri tersebut demi keselamatan masingmasing. 293 Kenetralan ICRC sudah diakui oleh Fretilin, namun tidak oleh UDT, Apodeti dan Indonesia. ICRC terpaksa mengungsi ke Pulau Ataúro pada tanggal 2 Desember, dan berencana untuk menjalankan klinik di situ untuk melayani Dili. Pada hari yang sama, Menteri Pertahanan RDTL, Rogério Lobato, mengeluarkan pernyataan: Berdasarkan informasi dari sumber-sumber intelijen Fretilin, kami menduga akan ada serangan besar-besaran atas Timor-Leste, khususnya ibukota Dili akan terjadi…Kami menyerukan dunia untuk menghentikan agresi kriminal ini, karena akan menyebabkan pertumpahan darah yang tiada henti. Bangsa Timor-Leste akan melawan.294 222. Pada tanggal 4 Desember sebuah delegasi yang terdiri dari Menteri Urusan Ekonomi dan Politik, Mári Alkatiri, Menteri Urusan Hubungan Luar Negeri dan Informasi, José Ramos-Horta, dan Menteri Pertahanan Nasional, Rogério Lobato, meninggalkan Timor-Leste.295 Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste mempercayakan delegasi ini dengan tugas untuk menjalankan kampanye diplomatik di luar negeri dan untuk mencari persenjataan untuk membela republik baru ini.296 Pada tanggal 6 Desember kelompok pekerja ICRC terakhir meninggalkan Dili ke Ataúro. Sore itu orang-orang mulai mengungsi ke pegunungan. Malam itu Roger East, satu-satunya reporter luar negeri yang tinggal di Timor-Leste, menulis: Dengan semakin memburuknya situasi keamanan, orangorang perlahan mulai mengungsi ke perbukitan. Malam ini Dili sepi dan hampir kosong, ditinggalkan oleh penghuninya. Jam malam mulai diberlakukan pada hari keempat dan serdadu bersenjata menjaga pantai dan jalan-jalan.297 3.10 Invasi Besar-Besaran Tinjauan 223. Keinginan Indonesia untuk melaksanakan invasi besar-besaran terhadap Timor-Leste menjadi jelas pada bulan Desember. Intelijen Australia sedang memantau situasi, dan pada - 60 - tanggal 2 Desember Pemerintah Australia memberitahukan warga negaranya untuk meninggalkan Timor-Leste. Sebagian besar dari orang asing yang masih berada di wilayah itu pergi beberapa hari kemudian. Fretilin mengirim sebuah delegasi untuk melakukan sebuah kampanye diplomatik. Pasukan invasi mencakup sebagian kecil anggota UDT dan Apodeti. Pemerintah Indonesia berupaya untuk memberikan kesan bahwa mereka hanya dibantu oleh sejumlah “sukarelawan” Indonesia. Militer bahkan sampai menghapuskan tanda pengenal dari kapal pendarat dan menggunakan berbagai senjata yang dibeli khusus untuk penyerangan itu, yang tidak dapat ditelusuri hingga ke sponsor utama militernya, yakni Amerika Serikat. Walau demikian, invasi tersebut adalah serangan skala penuh dari udara dan laut, yang melibatkan sejumlah besar pasukan. Fretilin memberi perlawanan terhadap pasukan invasi ketika para pemimpin politiknya mundur ke berbagai bukit Aileu. Pada hari invasi terjadi sejumlah kekejaman yang dilakukan pasukan Indonesia terhadap penduduk sipil Timor, termasuk banyak pembunuhan dan pembantaian. 224. Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan segera membahas invasi tersebut dan Dewan Keamanan dengan suara bulat mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 22 Desember untuk mengutuk invasi itu, menuntut penarikan segera Pasukan Indonesia dan menegaskan kembali hak rakyat Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri. Seorang utusan PBB dikirimkan untuk menilai situasi di Timor-Leste, tetapi upayanya dihambat dan debat PBB pun dipindahkan ke Majelis Umum pada awal tahun 1976. Keputusan Indonesia untuk menginvasi dan melakukan perang terbuka 225. Pada tanggal 28 November 1975, Pasukan Indonesia sudah menguasai cukup banyak daerah di Timor-Leste. Pemerintah Indonesia menyelesaikan persiapan akhir politiknya pada awal bulan Desember, dan membulatkan tekadnya untuk mengambil alih wilayah itu. Ini bukanlah suatu berita baru bagi para penguasa Barat. Intelijen AS dan Australia telah memantau penguatan pasukan Indonesia, dan pemerintah mereka telah terlibat dalam dialog yang terus menerus dengan Indonesia selama periode operasi militer di bawah Operasi Flamboyan, terutama melalui Harry Tjan Silalahi dan Yusuf Wanandi dari CSIS, think-tank yang dibentuk oleh Kepala Intelijen Jenderal Ali Moertopo. Setelah mendapat peringatan dari Pemerintah Australia pada tanggal 2 Desember sebagian besar warga asing yang masih tersisa segera pergi dari Dili. Warga Australia Roger East adalah satu-satunya wartawan asing yang tersisa di wilayah itu. 226. Perdana Menteri Australia Whitlam telah menyatakan dalam pertemuannya di Townsville dan Wonosobo dengan Presiden Soeharto persetujuannya kepada Indonesia untuk menggabungkan Timor-Leste.298 Menyadari akan adanya kunjungan Presiden AS Ford dan Menteri Luar Negeri Kissinger ke Jakarta, pada tanggal 5 Desember Fretilin dengan putus asa mengirimkan sebuah surat kepada Presiden Ford: Kami telah dituduh di Majelis Umum PBB sebagai negara agresor…Kini kami mendengar bahwa “Timor-Leste telah melakukan tindakan agresi” melawan Indonesia dan bahwa rakyatnya menuntut intervensi penuh. Pemerintah kami yakin bahwa tuduhan-tuduhan tidak berdasar ini adalah awal dari sebuah peperangan terbuka.299 227. Invasi terhadap Timor-Leste yang akan segera terjadi dibahas secara singkat antara Presiden Ford, Presiden Soeharto serta Menteri Luar Negeri Kissinger. Pihak Amerika Serikat mengungkapkan persetujuaannya terhadap penggabungan Indonesia atas Timor-Leste yang bakal terjadi: [Soeharto] Kami meminta pengertian anda jika kami merasa perlu mengambil tindakan yang cepat dan drastis. - 61 - [Ford] Kami akan memahami dan tidak akan mempermasalahkan hal ini. Kami memahami masalah yang Anda hadapi dan maksud anda.300 228. Setelah berhasil mendapatkan dukungan utama internasional, Indonesia juga ingin mengesahkan keputusannya secara domestik melalui Parlemen. Pada tanggal 6 Desember Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Indonesia menyatakan bahwa: Mendukung Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah penyelesaian terhadap masalah Timor-Timur. Sangat menyesali tindakan Fretilin untuk mendeklarasikan kemerdekaan Timor Portugis pada tanggal 28 November 1975, yang jelas bertentangan…[proses dekolonisasi]…sesuai dengan persetujuan Roma.301 229. Pernyataan MPR diakhiri dengan menyatakan kembali prinsip anti-kolonial Indonesia.* Pada hari yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengesahkan ketetapan yang menyatakan bahwa: Terdapat suatu kehendak dari rakyat Timor Portugis untuk bergabung dengan Republik Indonesia yang harus diakui oleh DPR.302 Dili mempersiapkan strategi Pertahanannya 230. Fretilin dapat mengandalkan 10,000 pasukan untuk mempertahankan Timor-Leste, yang terdiri dari 2,500 serdadu profesional Timor dalam tentara Portugis, dan sekitar 7,000 warga sipil terlatih.303 Pasukan itu dipersenjatai dengan senapan Mauser dan amunisi yang berlimpah dari persediaan NATO Portugis. Fretilin juga memiliki kepemimpinan militer yang kompeten, dipimpin oleh Fernando do Carmo, anggota militer Timor dalam angkatan bersenjata Portugis. Selama periode operasi rahasia Indonesia di perbatasan dari bulan September 1975 sampai invasi Dili bulan Desember, pasukan Fretilin unggul di beberapa daerah, di mana pasukan Indonesia tidak memiliki dukungan artileri angkatan laut dan mendapatkan pengalaman perang yang berharga. 231. Pada bulan Oktober, Fretilin mengirim sebuah telegram kepada Presiden Dewan Keamanan PBB, yang menunjukkan keinginannya untuk melawan intervensi bersenjata oleh Indonesia: Kami akan melawan sampai orang yang terakhir dan tidak akan pernah meletakkan senjata selagi hak demokratik rakyat kami tidak dihormati. Indonesia sangat terlibat dalam pelatihan pasukan gerilya di Timor Indonesia yang merupakan pelanggaran prinsip-prinsip piagam PBB dan hukum internasional. Kami menyerukan Anda untuk menghentikan agresi militer Indonesia terhadap bangsa kami.304 * Tidak ada persetujuan formal antara Portugal dan Indonesia dari pertemuan Roma pada bulan November. Pada saat berlangsungnya pertemuan itu para pasukan Indonesia sudah menduduki beberapa bagian Timor Portugis, administrasi kolonial Portugis berada di Ataúro dan berbagai upaya Fretilin untuk berkomunikasi dengan mereka pun tidak terjawab. Komisi mendengar sebuah submisi dari anggota CSIS Jusuf Wanandi bahwa deklarasi unilateral kemerdekaan oleh Fretilin menyebabkan terjadinya perselisihan di Indonesia “untuk mendukung operasi militer untuk melibatkan diri di Timor-Leste. Oleh karena itu, apa yang sebelumnya telah digolongkan dengan operasi intelijen dan merupakan rahasia, menjadi opaerasi militer gabungan dan didukung oleh semua pasukan…” Lihat submisi yang dibuat di audiensi publik nasional CAVR mengenai Konflik Internal 1974-76, 16 Desember 2003. - 62 - Berbagai persiapan militer Indonesia: Operasi Seroja 232. Perlawanan yang dihadapi Pasukan Khusus selama serangan penyusupan mereka pada bulan Agustus dan September mendorong dibentuknya Komando Pasukan Tugas Gabungan Operasi Seroja* pada bulan Oktober 1975, dan jumlah pasukan ditambah hingga 3,200 orang. 305 Bala bantuan ini termasuk Detasemen Tempur ke-2 Kopassandha,† Batalyon Infanteri ke-5 ‡ Marinir dari Surabaya, kapal selam Ratulangi, dua pesawat pengangkut angkatan udara, dan tiga batalyon dari Brigade Infanteri ke-2 (Jawa Timur).306 Sementara berbagai serangan susupan di perbatasan berlanjut, yang berakibat majunya ABRI di kawasan perbatasan kota pesisir Balibo dan Atsabe, Komando Seroja merencanakan invasi besar-besaran terhadap Timor-Leste. Ini menjadi serangan dari dua sisi oleh pasukan gabungan terhadap Dili pada tanggal 7 Desember. Rencana itu menggunakan beberapa Batalyon Marinir dan Infantri Angkatan Darat yang dibawa dengan kapal dari kota perbatasan Atabae di Distrik Bobonaro, yang telah diduduki oleh Brigade Infanteri ke-2 dan Tim Susi. Tujuannya adalah untuk melakukan sebuah pendaratan amfibi di Dili saat fajar, tidak lama kemudian diikuti oleh turunnya pasukan terjun patung dari Komando Pasukan Sandhi Yudha dan Kostrad ke pusat kota.307 Invasi Dili dan Baucau Penyerangan 233. Pada tanggal 7 Desember 1975 Indonesia melancarkan sebuah serangan besar-besaran atas Dili. Ini adalah ofensif militer besar yang melibatkan pasukan dengan dukungan penuh dari laut dan udara.308 Penyerangan ini dilakukan tanpa adanya formalitas pernyataan perang. § Kota Dili sudah berada dalam kondisi siaga selama berhari-hari, menantikan serangan. Pada tahun 1975, jumlah penduduk Dili kurang lebih 28,000 penduduk. Sementara beberapa unit bersenjata Fretilin bertahan untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan invasi, para penduduk sipil dan pemimpin Fretilin menyingkir menuju Aileu. Banyak yang tidak dapat melarikan diri. Pasukan invasi melakukan kekejaman terhadap masyarakat sipil dan membuat beberapa kesalahan militer besar yang mengakibatkan kematian yang signifikan di pihak mereka sendiri. 234. Pada tanggal 6 Desember sore hari, beberapa ratus Partisan Timor dan pasukan Indonesia dari Unit Marinir 1 menaiki Kapal Perang Angkatan Laut Teluk Bone di Atabae dan berlayar menuju Dili. Mereka akan melakukan persiapan pendaratan pada malam hari untuk invasi besar-besaran pada hari berikutnya.309 Pada pukul dua pagi tanggal 7 Desember, lima kapal perang Indonesia tiba lagi di Dili.310 Melihat kehadiran mereka, Fretilin mematikan listrik kota pada pukul tiga pagi, menyelimuti kota dengan kegelapan. Kapal-kapal komando angkatan laut Indonesia pun mulai menembaki Dili, namun ini tidak terjadi sesuai rencana. Wartawan Indonesia Subroto menyertai pasukan invasi dan melaporkan: * Komando Tugas Gabungan Operasi Seroja . Brig. Gen. Chamid Soeweno, kemudian bertugas sebagai Komandan Pusat Intelijen Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha), adalah komandan terpilih. Kol. Dading Kalbuadi tetap menjadi Asisten Intelijen. † Komando Pasukan Sandhi Yudha. ‡ Diganti menjadi Pasmar 1. § Jumlah pasukan yang menyerbut tidak diketahui dengan pasti. Namun tambahan beberapa ribu yang mendarat tanggal 7 dan 10 Desember, 10-20.000 diperkirakan sudah mendarat selama beberapa minggu berikutnya, termasuk sejumlah besar lagi pada Hari Natal. Lihat Carmel Budiardjo and Liem Soei Liong, The War Against East Timor, Zed Books, London, 1984, h 15, 23; Dunn 2003, h. 244. - 63 - Karena merasa faktor pendadakan telah hilang, maka Pangkogasgab Brigjen. TNI Soewono memerintahkan KRI Ratulangi, KRI Barakuda, KRI Martadinata, dan KRI Jayawijaya membuka tembakan ke arah pantai. Gempuran ini terlampau hebat sehingga unsur pendadakannya semakin tidak ada dan malah membuat satuan Pasmar 1 yang telah mendarat tidak dapat bekerja secara maksimal akibat tembakan meriam itu.311 235. Kira-kira pukul setengah lima pagi, 400 marinir* bersama dengan tank-tank amfibi ringan dan kendaraan pengangkut personil bersenjata mendarat di Kampung Alor yang terletak di bagian Barat Dili.312 Perlawanan Fretilin/Falintil tidak banyak, dan pada pukul tujuh Marinir Indonesia telah berhasil menguasai daerah itu. Setelah itu Angkatan Laut Indonesia membombardir bagian timur dan barat kota Dili, yang mereka sangka adalah tempat artileri Fretilin, untuk persiapan kedatangan pasukan terjun payung.313 236. Sebelumnya, sebelum pukul enam pagi, sembilan pesawat Hercules C-130B terbang di atas Dili dan menurunkan kontingen pertama pasukan terjun payung Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kelompok 1) dan Kostrad (Yonif 501).314 Intelijen yang kurang baik menyebabkan pasukan ini diturunkan langsung di kota, suatu tempat pendaratan yang sangat berbahaya.315 Sebagian besar pasukan ini mendarat di bagian timur laut kota Dili. Beberapa pasukan terjun payung ditembaki oleh pasukan Fretilin/Falintil ketika masih di udara; yang lainnya terluka atau mati saat mereka mendarat di antara sejumlah gedung dan kabel listrik. Satu pesawat menurunkan sejumlah pasukan terjun payung di laut, sehingga mereka tenggelam, dan yang lainnya di belakang garis Fretilin.316 Penerjunan kedua dilakukan menjelang pukul delapan pagi dan mengakibatkan beberapa unit ABRI saling bertempur dalam kebingungan. Karena penerjunan pagi hari tidak berlangsung dengan baik, maka penurunan pada sore harinya dibatalkan oleh Komando Pasukan Tugas Gabungan.317 237. Pasukan Fretilin/Falintil yang mempertahankan kota menikmati sukses awal. Ketika dua pesawat Dakota C 47 yang membawa 38 tentara Pasukan Khusus mencoba untuk mendarat dan menguasai pelabuhan udara Comoro di bagian barat kota Dili, Fretilin berhasil menghalau salah satu pesawat itu.318 Meskipun demikian, tidak lama kemudian dengan kekuatan senjata yang lebih besar ABRI mulai unggul. Seperti yang dikatakan serdadu Fretilin/Falintil Carlos Maria Soares: …Kami berada di Pos Fretilin di Bidau Santana. Kami mulai melakukan perlawanan terhadap TNI [ABRI] di bawah komandan Amandio. Pada saat itu kami berjumlah 21 orang…Perlawanan kami tidak bertahan lama karena kami tidak memiliki kekuatan yang seimbang dan kekurangan amunisi.319 238. Pada tengah hari pasukan Indonesia berhasil menduduki Palácio do Governo yang berada di jantung kota Dili dan menempatkan tim-timnya di sepanjang jalan utama ke luar dari pusat kota. Pasukan Fretilin/Falintil tetap menguasai Taibessi dan Lahane di kaki bukit di selatan Dili, begitu juga beberapa bukit di selatan Fatuhada dan di dekat pelabuhan udara Comoro. Kontrol informasi: upaya menyembunyikan keterlibatan ABRI 239. Untuk mempertahankan dongeng bahwa tidak satu pun personil militernya terlibat, ABRI menghapus tanda pengenal pada pesawatnya.320 Pasukan ABRI menggunakan AK-47 dan senjata ringan lainnya yang didapatkan oleh Jenderal Benny Moerdani khusus untuk menginvasi * Dari 5 Batalion Tim Pendarat (Yonif 5 Brigif 1 Pasrat Marinir, disebut sebagai Pasmar 1). - 64 - Timor-Leste. Tujuannya adalah untuk menyangkal keterlibatan ABRI dan menghindari pelibatan penyalur senjata utama ABRI, khususnya Amerika Serikat.321 Sebagian besar dari persenjataan berat – pesawat, kapal dan landasan pesawat, juga pelatihan kebanyakan tentara elit seperti brigade lintas udara – telah dipasok oleh Amerika Serikat.322 240. Satu-satunya wartawan asing yang tetap berada di Timor-Leste, warga Australia Roger East, dibawa dari Hotel Turismo pada pagi hari terjadinya pendaratan dan dibunuh di pantai oleh pasukan Indonesia.323 Jumlah wartawan asing yang mati karena dibunuh oleh militer Indonesia menjadi enam orang dalam waktu kurang dari dua bulan, dan ini memastikan bahwa cerita mengenai invasi Indonesia dan berbagai operasi setelahnya tidak diliput secara dekat oleh media internasional. 241. Militer Indonesia berupaya untuk mempertahankan cerita bohong bahwa invasi terhadap Dili telah dilakukan oleh Partisan Timor dari empat partai politik yang telah menandatangani Deklarasi Balibo. Sehari setelah invasi Dili sebuah surat kabar resmi Indonesia menyebutkan “jatuhnya Dili pada tanggal 7 Desember ke tangan pasukan gabungan Apodeti, UDT, Kota dan Trabalhista.”324 Pernyataan ini hanya menyebut secara selintas pada halaman tiga tentang ‘sukarelawan’ Indonesia yang terlibat dalam operasi itu. Enam hari kemudian Menteri Penerangan Indonesia mengatakan bahwa: Para sukarelawan yang atas permintaan Apodeti, UDT, Kota dan Trabalhista membantu Saudara-saudaranya di Timor Portugis tidak mungkin lagi ditahan oleh Pemerintah [Indonesia] 325 242. Para wartawan Indonesia menyebarkan dan berkali-kali memberitakan kebohongan ini, yang memperkuat mitos bahwa Indonesia tidak menginvasi melainkan partai pendukung integrasi Timor yang kembali mengambil kekuasaan di wilayahnya dengan bantuan dari sejumlah kecil “sukarelawan” Indonesia.326 Sejarawan Indonesia Dr Asvi Warman Adam, seorang Profesor Penelitian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan kepada Komisi bahwa mitos ini mempunyai dampak jangka panjang di Indonesia.327 Dalam menilai beberapa titik sejarah penting dia percaya bahwa perlu ada pertimbangan kembali di Indonesia berkaitan dengan periode ini, Dr Adam mengatakan kepada Komisi bahwa: Istilah ‘sukarelawan’ jelas tidak benar sebab harus diakui bahwa mereka adalah tentara Indonesia. 243. Mengenai skala penyerangan terhadap Dili, Dr Adam mengatakan kepada Komisi bahwa serangan ini dapat “disejajarkan dengan serangan untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta [pada tahun 1958] yang merupakan operasi militer terbesar dalam sejarah perang Indonesia”. Kekerasan besar-besaran terhadap penduduk sipil 244. Selain pembunuhan penduduk sipil yang sewenang-wenang, sejumlah pembunuhan besar-besaran terjadi selama beberapa hari pertama invasi. Komisi diberitahukan bahwa anggota komunitas Cina di Dili yang menjadi sasaran serdadu Indonesia, ketika sekelompok penduduk sipil dibunuh di daerah pusat kota di Colmera dalam dua hari pertama.328 Pada tanggal 8 Desember terjadi pembunuhan terhadap beberapa kelompok penduduk sipil di pelabuhan Dili, termasuk Isabel Lobato, isteri dari pemimpin Fretilin Nicolau Lobato, yang ditembak di bagian punggung di pagi hari, anggota Fretilin Rosa Muki Bonaparte dan wartawan Australia Roger East di sore hari.329 Bukti menunjukkan bahwa para anggota Fretilin ditarik keluar dari sekumpulan penduduk sipil yang kebingungan dan telah berkumpul di dekat pelabuhan. Orang-orang ini kemudian dibawa ke pelabuhan dan dibunuh.330 Komisi menerima bukti mengenai sebuah “daftar - 65 - incaran” ABRI yang berisi para individu yang menjadi sasaran pembunuhan, yang disusun selama bulan-bulan berlangsungnya operasi intelijen rahasia menjelang invasi besar-besaran.331 245. Pada tanggal 8 Desember Jenderal Moerdani berkeliling di Dili didampingi oleh Kolonel Dading Kalbuadi, dan mengunjungi pelabuhan: Siang itu Kolonel AL R. Kasenda, Kepala Staf Komando Tugas Gabungan, turun dari KRI Ratulangi untuk menginspeksi kota Dili. Inspeksi tersebut dilakukan dengan mengendarai kendaraan amfibi BTR-50 APC (pengangkut personil). Di pelabuhan Dili, Kapten AL R. Kasenda bertemu dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani, lalu ia berjalan bersamanya menuju kantor Gubernur. Pada saat itu di jalanan masih tergeletak mayat-mayat Fretilin yang belum dikuburkan.332 246. Berbagai kelompok penduduk sipil lainnya dibunuh ketika pasukan Indonesia bergerak menuju markas Falintil di kaki bukit di selatan Dili. Komisi mendengar sejumlah kesaksian mengenai pembantaian 21 penduduk sipil di gedung Assistência, dekat sebuah basis Fretilin di gedung Matadouro: …mereka [ABRI] memisahkan yang laki-laki dari yang perempuan. Mereka membawa para lelaki itu ke sisi gedung yang tertutupi rumput yang tinggi…Segera setelah itu, kami mendengar suara tembakan dan ledakan sebuah granat. Tembakan berlangsung sangat lama…para lelaki yang telah dibawa ke sisi gedung itu semuanya telah dibunuh.333 247. Pembunuhan penduduk sipil oleh pasukan Indonesia ini tampaknya merupakan sebuah pola yang terjadi berulang kali pada hari invasi.334 Sebuah pernyataan kepada Komisi mengenai satu pembantaian lain di daerah Caicoli di Dili tengah, mengatakan bahwa: Pada tanggal 7 Desember Indonesia melakukan invasi dengan pasukan terjun payung dini hari, mendarat di Dili. Pada saat itu komandan [Falintil] Sersan Constancio Soares ditembak mati tepat di depan toko Sang Thai Ho di Colmera. Tengah hari TNI menyerang markas besar polisi militer di Caicoli dan menangkap sekitar 50 orang. TNI memerintahkan mereka berbaris dan kemudian menembak mati mereka.335 Para pemimpin Fretilin menyingkir ke pedalaman 248. Komisi mendengarkan banyak kesaksian dan pernyataan mengenai pengungsian ke pedalaman ketika invasi terjadi.336 Rencana Fretilin adalah untuk mengundurkan diri ke selatan, dengan memberikan perlawanan yang cukup untuk menghalang-halangi majunya Pasukan Indonesia. Sejumlah besar penduduk sipil Dili lari dengan mereka menuju Aileu.337 249. Walaupun ICRC telah memohon sebelum meninggalkan Dili pada hari-hari menjelang invasi besar-besaran, Fretilin membawa para tahanan UDT dan Apodeti dengan mereka ketika lari, - 66 - Pasukan invasi menduduki Baucau 250. Pada tanggal 9 Desember empat Kapal Perang Indonesia membawa para marinir Indonesia dan 1,500 Partisan Timor, dan dua kapal perang fregat Indonesia buatan Soviet meninggalkan perairan Dili menuju Baucau. Kira-kira pukul enam pagi tanggal 10 Desember, dengan dukungan Artileri Angkatan Laut, satu tim Marinir yang dipandu oleh Manuel Carrascalão di bawah komando Kolonel Dading Kalbuadi mendarat di sebuah pantai dekat Laga di Distrik Baucau. Komisi mendengar kesaksian bahwa serangan di Baucau hampir tidak menemui perlawanan bersenjata sehingga Pasukan Indonesia dapat menguasai kota itu dengan cepat.338 Harga invasi besar-besaran 251. Berbagai kekejaman yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Dili pada hari-hari pertama invasi terdiri dari pelanggaran berat hak-hak asasi manusia. Hampir tidak ada sanksi disipliner bagi pasukan Indonesia yang bertanggung jawab atas sejumlah tindakan seperti itu. Tragisnya, ini menjadi pola impunitas penuh atas kekerasan terhadap penduduk sipil yang menjadi ciri dalam konflik di tahun-tahun mendatang. Pada hari kesembilan invasi, Fretilin mengirimkan lagi satu telegram kepada Dewan Keamanan PBB. Menteri informasi Fretilin Alarico Fernandes melaporkan penjarahan yang merajalela di Dili, dan kehadiran 19 kapal di pelabuhan yang terlibat dalam penjarahan tersebut.339 252. Harga yang harus dibayar dalam hal kematian bagi pasukan Indonesia juga tinggi.Invasi pertama ABRI berhasil mencapai tujuan militer yaitu mengambil alih kota Dili dan Baucau, tetapi perencanaan yang buruk dan perubahan pada saat-saat terakhir mengakibatkan kekacauan dalam pendaratan Amphibi dan tingginya angka kematian pasukan terjun payung elit Kostrad dan Kopassandha. Jenderal Benny Moerdani, yang memainkan peran utama dalam merencanakan invasi itu, memberikan analisis berikut ini mengenai pasukan invasi Indonesia: Pasukan (kami) tidak menerapkan disiplin, mereka saling menembak satu sama lain. Ini memalukan…Dari perspektif militer, kami tidak merasa bangga atas operasi tersebut.340 Tanggapan PBB terhadap invasi besar-besaran 253. Komisi mendengarkan kesaksian mengenai situasi PBB di New York pada saat itu dari David Scott, seorang pekerja keadilan sosial senior Australia, yang telah dikirim oleh organisasiorganisasi masyarakat sipil ke New York untuk mendukung upaya José Ramos-Horta, tidak lama setelah terjadinya invasi: Sekretaris Komite Keempat, yang tengah membahas laporan invasi oleh Indonesia, mengatakan pada saya bahwa sangat sedikit orang di New York dan di PBB yang mengetahui apapun tentang Timor. Delegasi Indonesia mengatakan bahwa ‘kita pergi ke Timor itu seperti memadamkan api di dapur di rumah sebelah, dan setelah itu kita akan mundur.’ - 67 - Keesokan harinya Ramos-Horta datang dengan Araujo, dan sebuah momen penting adalah diterimanya Ramos- Horta sebagai perwakilan rakyat Timor…dalam dua minggu berikutnya, Ramos-Horta…berkampanye dengan gigih untuk mengangkat kasus pengakuan dan mempertahankan permasalahan Timor di agenda PBB dan mendukung resolusi-resolusinya, yang menyerukan Indonesia untuk menarik diri, dan menegaskan hak Timor atas penentuan nasib sendiri.341 254. Pada tanggal 12 Desember Majelis Umum mensahkan Resolusi 3485, yang mengutuk invasi itu dan menyerukan penarikan pasukan Indonesia dari Timor Portugis. Dewan Keamanan melangsungkan pertemuan tiga kali pada bulan Desember untuk mendiskusikan situasi di Timor- Leste, dan pada tanggal 22 Desember dengan suara bulat mengeluarkan resolusi 384 yang menuntut Indonesia untuk menarik pasukannya dan menegaskan hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri. 255. Resolusi Dewan Keamanan menginstruksikan Sekretaris Jenderal PBB untuk mengirim seorang utusuan khusus ke Timor-Leste. Perwakilan itu, Winspeare Guicciardi, mengunjungi berbagai wilayah di Timor-Leste yang dikuasai oleh Indonesia pada akhir Januari 1976. Namun upayanya untuk bertemu dengan pimpinan Fretilin dihalang-halangi. Komisi mendengar kesaksian mengenai berbagai upaya untuk menyiapkan beberapa tempat pendaratan yang aman di pantai selatan, melalui siaran radio Fretilin ke sebuah radio-set di Darwin. Meskipun demikian, berbagai tempat yang memungkinkan untuk dijadikan pendaratan itu dibom oleh Militer Indonesia dan Pemerintah Australia menutup radio tersebut sehingga semakin mengacaukan upaya untuk berkomunikasi.342 Indonesia juga mengancam akan menenggelamkan sebuah corvette Portugis yang akan digunakan untuk mendaratkan Gucciardi di pantai selatan Timor-Leste untuk pertemuan-pertemuan ini.343 256. Akibatnya adalah bahwa PBB tidak mendapatkan informasi yang baik mengenai situasi di Timor-Leste pada saat itu, dan PBB tidak berhasil mendengar pandangan kepemimpinan Fretilin di dalam wilayah itu atau melihat sendiri kondisi di sejumlah daerah yang dikuasai Fretilin. Setelah tanggapan awal ini, PBB tidak pernah mengambil langkah yang berarti untuk segera mengunjungi Timor-Leste. Debat kembali pada Sidang Umum, yang walaupun terus mengutuk invasi itu dan menegaskan kembali hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri, tidak pernah melakukan tekanan yang berarti untuk memaksa Indonesia untuk menghentikan aksinya.344 - 68 - 3.11 Pengalaman rakyat Timor pada awal pendudukan dan upaya Indonesia untuk meresmikan integrasi. Tinjauan 257. Indonesia segera membentuk sebuah Pemerintahan Sementara pada tanggal 17 Desember 1975, yang sebagian besar terdiri dari para anggota Partai Politik Apodeti dan UDT yang ikut dalam invasi besar-besaran.345 José Ramos-Horta diterima di PBB sebagai juru bicara bagi rakyat Timor, dan kegiatan diplomatik saat itu sungguh menegangkan. 258. Kepemimpinan Fretilin telah menarik diri ke wilayah pedalaman, dengan membawa para tahanan UDT dan Apodeti yang sebelumnya ditahan di penjara mereka di Taibessi Dili. Ketika pasukan Indonesia bergerak mendekat ke markas Fretilin di Aileu, para anggota Fretilin melakukan pembantaian terhadap sejumlah besar tahanan ini. Ketika mundur dari pasukan Indonesia yang semakin mendekat, pembantaian tahanan terjadi lagi di Maubisse dan Same pada akhir Desember dan Januari 1976. 259. Sejumlah besar penduduk sipil Timor telah mengosongkan wilayah pemukiman di kota dan desa, dan menetap di berbagai daerah yang dikuasai Fretilin. Pada bulan Mei 1976, Fretilin mengadakan sebuah konferensi nasional untuk membahas strateginya. Fretilin merumuskan suatu strategi perlawanan nasional yang didasarkan pada penduduk sipil yang tinggal di pegunungan bersama para pejuang di sejumlah kawasan bebas. Warga sipil akan memberikan dukungan logistik kepada para pejuang Fretilin. Berbagai organisasi perempuan dan pemuda melakukan sejumlah kegiatan pendidikan dan kegiatan sosial lainnya, serta membentuk jaringan kesehatan. Secara umum, masyarakat yang tinggal di beberapa daerah ini berada di luar jangkauan militer Indonesia selama sebagian besar tahun 1976. 260. Pada tanggal 31 Mei 1976 Indonesia mencoba untuk mengesahkan pendudukannya atas Timor-Leste. Dalam sebuah upacara singkat di Dili, yang disebut sebagai “Tindakan Integrasi”, Indonesia membentuk sebuah Majelis Rakyat yang beranggotakan sekitar 30 orang dari beberapa -distrik. Majelis itu membuat sebuah petisi kepada Presiden Soeharto, meminta integrasi Timor-Leste ke Indonesia. Anggota-anggota Majelis diterbangkan ke Jakarta untuk menyerahkan petisi itu kepada Presiden Soeharto, dan pada tanggal 17 Juli Soeharto menandatangani sebuah keputusan yang menyatakan bahwa Timor-Leste adalah bagian dari Indonesia. PBB menentang upaya ini melalui Resolusi 31/53 pada tanggal 1 Desember 1976, dan menyerukan diadakannya tindakan penentuan nasib sendiri yang dapat diterima secara internasional di wilayah itu. ABRI melakukan konsolidasi; Indonesia mendirikan “pemerintahan sementara” 261. Menanggapi Invasi Indonesia terhadap Timor Portugis pada tanggal 7 Desember, Sidang Umum PBB mengesahkan Resolusi 3485 pada tanggal 12 Desember. Resolusi ini menyerukan penarikan pasukan Indonesia tetapi diabaikan oleh Indonesia. Pada tanggal 17 Desember Indonesia mendirikan Pemerintah Sementara Timor-Timur (PSTT), dengan Arnaldo dos Reis Araujo, Ketua Apodeti, sebagai Ketua, dan Francisco Lopes da Cruz, Ketua UDT, sebagai Wakil.346 Dua puluh empat pria ditunjuk memegang berbagai jabatan dalam pemerintahan sementara ini dan Dewan Pertimbangan. Enam belas orang di antaranya dari UDT dan Apodeti.347 262. Pada tanggal 18 Desember, Pemerintahan Sementara itu mengirim sebuah telegram kepada Presiden Soeharto untuk meminta bantuan militer: - 69 - Pemerintahan Sementara Timor Bagian Timur [sic] memohon kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan bantuan militer, sosial, dan ekonomi supaya kondisi keamanan dan ketertiban di wilayah Timor Bagian Timur [sic] dapat dipulihkan bebas dari gangguan dan ancaman sisa-sisa teroris [sic] yang ditinggalkan oleh Pemerintah Portugis.348 263. PSTT ini merupakan pemerintahan hanya dalam nama. Ia dibentuk dengan maksud untuk mempercepat proses integrasi Timor-Leste dengan Indonesia. Mario Carrascalão membenarkan ketidakberdayaan pemerintahan ini dalam pernyataannya kepada Komisi bahwa “saya tidak dapat menyatakan bahwa PSTT benar-benar sebuah pemerintahan”.349 264. Indonesia tengah menghadapi perang diplomatik di PBB, di mana Indonesia mencoba untuk meredam kutukan internasional terhadap invasi Indonesia. Pada tanggal 22 Desember 1975 Arnaldo dos Reis Araujo mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB yang menolak kunjungan sebuah tim pengamat ke wilayah itu karena alasan keamanan.350 Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan tanggal 22 Desember, Indonesia mendaratkan lagi sekitar 10,000 pasukan sekitar Natal.351 Sementara komunitas internasional melakukan inisiatif perdamaian yang terbatas, berbagai satuan tempur ABRI bergerak maju sepanjang jalan-jalan utama, setelah menguasai Dili dan Baucau. Yang lainnya mendarat di titik-titik strategis sepanjang pantai selatan. Ini adalah sebuah proses yang lamban. Satuan-satuan ABRI bergerak dengan waspada.352 Pada awal 1976 pergerakan utama yang pertama adalah ke selatan Dili untuk mengejar para tentara Fretilin yang telah mundur ke basis mereka di pedalaman. Fretilin mundur, pembantaian tahanan 265. Fretilin menahan sejumlah besar* tahanan UDT dan Apodeti di basisnya yang terletak di Aileu.353 Terdesak oleh majunya pasukan Indonesia, Fretilin bersiap untuk mundur lebih jauh ke daerah pedalaman. Komite Sentral Fretilin terpecah. Pada akhir bulan Desember sebagian berada di Aileu, dan sebagian lagi di Maubisse.354 Dalam situasi seperti inilah Fretilin melakukan beberapa eksekusi massal terhadap para tahanan di daerah Aileu. Pembantaian yang pertama terjadi pada tanggal 26 Desember 1975 di Asirimou di Aileu. Komisi diberitahukan bahwa para anggota Fretilin membunuh sekitar 22 orang. Di antara mereka terdapat mantan kepala polisi Portugis Mayor Gouveia yang berpihak dengan UDT selama perang sipil.355 Pembunuhan selanjutnya terjadi di Saboria dan Aituri.356 Mantan Presiden Fretilin Xavier menyampaikan analisisnya tentang bagaimana pembantaian ini terjadi: Kami di tengah peperangan…kami lari dari musuh kami, kami berlari, kami bawa orang-orang yang kami tahan, musuh-musuh kami yang kami tahan, bersama dengan kami… Lalu kami harus memutuskan hal ini. Apakah kami tinggalkan mereka hidup-hidup di sini? Apakah kami berlari sendiri dan meninggalkan mereka? Atau kami bunuh mereka lalu lari?… * Anggota UDT Antonio Serpa memberi kesaksian kepada Komisi bahwa dia ditahan oleh Fretilin di sebuah gudang kopi yang besar di Aileu bersama, dia mengira-ngira, 3000 tahanan. Lihat kesaksian pada Audensi Publik Nasional CAVR tentang Konflit Politik Internal 1974-76, 15-18 Desember 2003. - 70 - Karenanya, beberapa dari mereka [anggota Fretilin] memutuskan untuk membunuh mereka, sehingga musuh tidak dapat membahayakan kami. Mungkin opini ini umum dimiliki, lebih kurang secara umum, oleh para pemimpin di semua tingkat.357 266. Pasukan Indonesia merebut Aileu pada tanggal 31 Desember 1975.358 Fretilin mundur lebih jauh lagi ke pedalaman, pertama ke Maubisse dan kemudian ke pantai selatan. Pembantaian tahanan terjadi lagi ketika Fretilin bergerak mundur. Komisi mendengarkan kesaksian mengenai sebuah pembantaian Fretilin terhadap lima tahanan di Maubisse pada akhir Desember, dari 31 tahanan di Sekolah Dasar di Same di daerah pantai selatan pada tanggal 29 Januari 1976,359 dan 8 tahanan di Hat Nipah, dekat Hola Rua, daerah pantai selatan pada akhir Januari atau awal Februari.360 Selain pembantaian yang terjadi di wilayah tengah, Komisi juga menerima kesaksian mengenai sebuah pembantaian Fretilin terhadap 37 orang di desa Kooleu di distrik Lautém, pada awal Januari 1976.361 Pergerakan ABRI, awal tahun 1976 267. Pasukan dari Komando Tempur ke-2 Kostrad (Kopur II) bergerak melalui Maubisse, dan pada akhir Januari mereka bertempur untuk menguasai celah Fleixa yang strategis. Pada tanggal 23 Februari, pasukan ini tiba di Ainaro di mana mereka bergabung dengan tentara yang telah mendarat di Betano di daerah pantai selatan, dan dapat menguasai sementara rute tengah dari utara ke selatan. Front utama kedua terjadi di wilayah barat dekat perbatasan dengan Indonesia. Pasukan Brigade Infanteri ke-18 (Jawa Timur) bergerak melalui Bobonaro pada akhir Januari, kemudian melalui Atsabe dan Letefoho, sampai di Ermera pada tanggal 27 Maret 1976. Sementara pada tanggal 5 Feburari, satu pasukan terjun payung lain turun di Suai di bagian barat pantai selatan, dan bergerak ke Timur menuju Zumalai. Militer Indonesia tidak bergerak di sepanjang pesisir utara di sebelah barat Dili hingga pertengahan tahun. Pada bulan Juni ABRI menyerang Liquica dan Maubara, sebelum melanjutkan ke daerah Ermera dalam serangkaian operasi singkat yang dimulai pada bulan Juli.* 362 268. Operasi di bagian Timur menyebar dari Baucau. Empat ribu tentara baru diterbangkan ke Baucau pada akhir Desember 1975 di mana mereka kemudian bergabung dengan berbagai unit yang sudah beroperasi di bawah Komando Lintas Udara Kostrad (Linud Kopur Kostrad).363 Pasukan ini melancarkan operasi penyerangan sepanjang tiga jalur utama. Dari Baucau, beberapa batalyon bergerak ke barat di sepanjang jalan pantai dan menguasai Manatuto pada tanggal 31 Desember. Dari Manatuto pasukan ini kemudian bergerak ke selatan menuju Soibada. Ofensif kedua bergerak ke arah selatan dari Baucau menuju Viqueque, di mana mereka bergabung dengan pasukan Marinir yang telah mendarat di Uatu-Lari di daerah pantai selatan. Pasukan ketiga menyerang pasukan Fretilin di Selatan Laga, di kaki bukit Gunung Matebian. Sasaran terakhir adalah Lautém di bagian Timur, dengan serangan pasukan terjun payung di Lospalos pada tanggal 2 Februari 1976 yang mendapat dukungan dari bala bantuan infanteri.364 Setelah menguasai sebagian besar kota utama Timor-Leste, pada bulan Agustus 1976 ABRI mendirikan Komando Pertahanan dan Keamanan Regional Timor-Leste (Kodahankam), membagi wilayah itu menjadi empat sektor operasional — Barat, Tengah dan Timur, juga Dili dan Oecusse.† * Operasi Shinta melawan Fatubesi, Operasi Tulada 1 melawan Hatolia, Operasi Tulada 2 melawan Railaco dan Operasi Tulada 3 melawan Leorema. † Sektor A (Dili dan Oecussi), Sektor B (Barat—Liquica, Bobonaro, Ermera dan Covalia; kurang lebih 10 Batalyon), Sektor C (Tengah—Aileu, Ainaro, Manufahi dan Manatuto; kurang lebih delapan batalyon), dan Sektor D (Timur—Baucau, Viqueque, dan Lautem; kurang lebih dua belas batalyon). - 71 - Pengalaman rakyat Timor pada awal pendudukan 269. Sejumlah besar* masyarakat sipil telah lari ke daerah pedalaman, untuk sementara aman dari militer Indonesia. Banyak kota hampir dikosongkan oleh penduduknya ketika mereka melarikan diri dari invasi.365 Pemindahan adalah pengalaman yang terjadi dimana-mana, dan banyak masyarakat sipil tidak mendapatkan tempat berlindung, makanan atau berbagai fasilitas kesehatan yang memadai.† 270. Kekerasan militer Indonesia terhadap penduduk sipil mengejutkan beberapa pemimpin politik Timor yang telah membantu dalam invasi. Mengemukakan keburukan situasi itu dan kelemahan posisinya sendiri, ketua PSTT, Arnaldo Araujo, menulis surat secara rahasia kepada Presiden Soeharto mengenai kekhawatirannya, pada bulan Juni 1976: Kami mengakui bahwa perampokan terhadap bisnis pribadi, kantor pemerintahan, dan badan keuangan negara dapat terjadi karena emosi saat perang, tetapi sulit dimengerti mengapa hal ini berlanjut enam bulan kemudian, membiarkan semua orang dalam keadaan tidak aman yang kejam…Pagi dan malam hari, di rumah dan kantor saya, para janda, yatim piatu, anak-anak, dan kaum cacat meminta susu dan pakaian. Saya tak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis untuk mereka, karena Pemerintahan Sementara tidak memiliki apa-apa…366 271. Di Dili Militer Indonesia memulai kegiatan yang kelak menjadi pola penahanan dan penyiksaan pada periode ini, karena mereka berusaha untuk menguasai masyarakat sipil yang mereka curigai menjadi penghubung dengan mereka yang berada di gunung.367 Pada pertengahan 1976, para pengsungsi Timor pertama dari sejumlah kamp di Timor Barat berhasil pergi ke Portugal. Mereka memberikan beberapa pernyataan saksi mata mengenai skala kekerasan pada saat invasi. Fretilin menyusun kekuatan kembali 272. Dari tanggal 15 Mei sampai 2 Juni 1976 Fretilin mengadakan sebuah konferensi nasional di Soibada di daerah pedalaman timur untuk menentukan strateginya. Menyadari bahwa tidak mungkin untuk terus mengimbangi ABRI, Fretilin membuat keputusan untuk memobilisasi resistensi nasional. Strateginya mencakup resistensi semi-gerilya oleh Falintil. Hal ini akan didukung secara logistik oleh penduduk sipil, yang akan ikut dengan Fretilin di gunung dan hutan.368 Fretilin mengambil keputusan ini tidak dengan suara bulat. Semuanya menyetujui perlunya melakukan perang resistensi, tetapi tidak semua mendukung usul untuk melakukan revolusi sosial dengan masyarakat sipil. Francisco Xavier do Amaral menyatakan kekhawatirannya mengenai kebijakan ini, sementara yang lainnya, seperti para anggota sayap militer Fretilin, mengambil sikap netral.369 273. Untuk melaksanakan strategi baru ini, Fretilin membentuk sebuah struktur resistensi di sejumlah ‘zona bebas’ (zonas libertadas). Dalam berbagai zona ini terdapat basis resistensi (bases de apoio), dimana penduduk sipil dikelilingi oleh sebuah lingkaran pertahanan yang terdiri dari pasukan Falintil, dengan dibantu oleh kompi milisi Fretilin (Miplin) dan beberapa unit pertahanan sipil (arma branca or força popular).370 Di belakang garis itu, penduduk sipil, terutama perempuan, memberi dukungan logistik bagi para tentara. Fretilin menjalankan pendidikan politik * Kemungkinan sebanyak 300,000 orang; lihat bab Pemindahan. † Lihat sebagai contoh, kesaksian Manuel Carceres da Costa mengenai kota Laclo di Distrik Manatuto, dan Francisco Soares Pinto mengenai kota Iliomar di Distrik Lautem, keduanya di CAVR audiensi publik nasinal mengenai Pemindahan Paksa dan Kelaparan, 28-29 Desember 2003. - 72 - kepada penduduk sipil yang berada di sejumlah basis ini untuk membangun komitmen politik yang luas bagi pembebasan nasional. (lihat Bagian 5: Resistensi:Struktur dan Strategi). 274. Selain menjalankan sejumlah sekolah dan menanam tanaman pangan, juga ada berbagai upaya untuk memproduksi obat-obatan, walaupun dalam sebagian besar kasus orangorang harus bergantung pada obat-obatan tradisional yang berbahan dasar tanaman.371 Manuel Carceres da Costa menceritakan kepada Komisi mengenai kehidupan di berbagai daerah kekuasan Fretilin di Laclo, distrik Manatuto pada tahun 1976: Di hutan kami membentuk dua organisasi: Organização Popular da Mulher Timorense [OPMT – Organisasi Rakyat Perempuan Timor] sebuah organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Fretilin, dan Organização Popular Juventude de Timor [OPJT – Organisasi Rakyat Pemuda Timor] yaitu sebuah organisasi pemuda. Organisasiorganisasi ini membantu kami mengkoordinasi kegiatan di antara masyarakat. Misalnya kami bekerjasama untuk berkebun dan bercocok tanam, dan kami menanam jagung di sekitar kota kecil Laclo. Tentara Indonesia belum mencapai Laclo.372 275. Fretilin juga menjalankan penjara-penjara (Renal), di mana berbagai pelanggaran hak asasi manusia biasa terjadi.373 Indonesia Meresmikan Integrasi 276. Tidak lama setelah pertemuan Fretilin di Soibada, Indonesia merancang apa yang disebut sebagai sebuah Undang-undang Integrasi. Pemerintahan Sementara mengumpulkan sebuah badan yang disebut Majelis Rakyat selama bulan Mei 1976, yang diketuai oleh Guilherme Gonçalves. Majelis ini konon merupakan sekumpulan orang terpilih yang mewakili orang Timor. Para peserta dipilih oleh para pegawai pemerintah yang ditunjuk oleh Indonesia. Clementino Amaral berpartisipasi dalam Majelis tersebut mewakili Baucau, dan mengatakan kepada Komisi: Proses apa ini? Mereka [pemerintah Indonesia] ingin dua orang dari tiap distrik mewakili distrik masing-masing, untuk membuat petisi yang meminta Indonesia mengizinkan kami masuk Indonesia. Di Baucau, bagaimana kejadiannya? Menyelenggarakan pemilihan umum? [Tidak.] Para pejabat yang dekat dengan mereka memilih dua orang tersebut.374 277. Para anggota Majelis menyusun sebuah petisi kepada Presiden Soeharto yang meminta Indonesia untuk mengabulkan integrasi. Mario Carrascalão mengemukakan bahwa ini merupakan satu-satunya fungsi yang dilakukan Majelis Rakyat: Majelis Rakyat…yang bertemu sekali pada bulan Mei 1976, di sini, hanya membahas satu poin “perjanjiannya”, yakni, integrasi tanpa referendum…[satu-satunya] tujuan adalah membicarakan ‘petisi integrasi’ yang akan dikirimkan kepada Soeharto.375 278. Petisi ini ditandatangani oleh Arnaldo de Araujo sebagai ketua PSTT, dan Guilherme Goncalves selaku kepala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), walaupun badan ini belum dibentuk.376 Mengklaim dirinya mewakili rakyat Timor, dan menyebut Deklarasi Balibo sebagai dasar bagi klaim tersebut, isi utama dari petisi singkat ini adalah agar Timor-Leste disatukan - 73 - dengan Indonesia tanpa dilakukannya sebuah referendum. Kelompok itu pun diterbangkan seluruhnya ke Jakarta dengan pesawat militer untuk menyampaikan petisi tersebut kepada Presiden Soeharto.377 Pada tanggal 7 Juni Arnaldo dos Reis Araújo,Guilherme Gonçalves, Francisco Xavier Lopes da Cruz dan Mario Carrascalão menyerahkan petisi itu kepada Soeharto di Jakarta. 279. Pada tanggal 24 Juni sebuah misi pencarian fakta para pejabat Indonesia dan sekelompok diplomat internasional yang terdiri dari sepuluh orang* mengunjungi Dili, dengan didampingi oleh wartawan Indonesia dan wartawan asing, konon untuk memastikan keabsahan petisi tersebut. Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB juga diundang, tetapi ia menolak untuk bergabung dalam misi tersebut. Australia, AS dan Jepang juga menolak untuk berpartisipasi, walaupun Selandia Baru mengirim seorang perwakilan untuk mengamati (lihat Bab 7.1: Penentuan Nasib Sendiri, untuk isi laporan Perwakilan Selandia Baru dan analisa dari proses tersebut). Misi itu mengunjungi Timor-Leste selama satu hari. Mereka menghadiri sebuah upacara di mana Kepala PSTT Araújo menyampaikan pidato, dan kelompok itu mengunjungi beberapa kota yang dekat dengan Dili. Kunjungan mereka diawasi dengan ketat dan interaksi bebas dengan orang Timor, termasuk para anggota Majelis Rakyat, tidak diperbolehkan.378 Walaupun demikian, misi itu melaporkan bahwa sebuah pemerintahan yang efektif telah berjalan dengan baik dan Dewan Perwakilan Rakyat berjalan sebagai “alat demokrasi”. Misi itu juga menemukan adanya keinginan untuk melakukan integrasi tanpa referendum, yang mereka anggap sebagai mekanisme yang asing bagi orang Timor.379 Pada tanggal 17 Juli 1976 Presiden Soeharto menandatangani undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), meresmikan tindakan Indonesia mengintegrasikan Timor-Leste.† 280. Indonesia menyebut ini sebagai sebuah tindakan penentuan nasib sendiri yang sah. Tindakan ini tidak diakui oleh Portugal atau pun PBB, dan pada tanggal 1 Desember 1976 Sidang Umum PBB mengesahkan resolusi 31/53 yang menolak aneksasi Indonesia atas Timor-Leste dan menegaskan kembali seruannya bagi suatu tindakan penentuan nasib sendiri yang dapat diterima secara internasional. Operasi Seroja berlanjut—pesawat Bronco OV-10 buatan AS mulai digunakan 281. Sekitar pertengahan hingga akhir 1976, pesawat serangan udara ke darat Bronco OV-10 pertama buatan AS tiba di Indonesia.380 Kekuatan udara menjadi bagian penting dari strategi ABRI di Timor-Leste. Albino do Carmo, Komandan Falintil di gunung daerah Bobonaro-Covalima, mengingat: * Anggota-anggota internasional misi tersebut adalah DutaBbesar Korea Selatan, Malaysia, Siria untuk Jakarta, the charge d’affaires of Afganistan dan Iraq, serta para perwira yang mewakili Panama, Yaman Selatan dan India. † Hukum No. 7, 1976, Integrasi Timor Timur ke dalam Indonesia dan Pembentukan Propinsi Timor Timur. - 74 - Pada bulan Agustus [1976] ABRI berusaha menyerang Gunung Lakirin lagi. Satu kompi bersama Hansip [pertahanan sipil] muncul. Saya datang untuk melihat dan mengusir mereka. Dua komandan bagian saya terbunuh. Kami saling menembak, hanya berjarak 10-20 meter. Kemudian ABRI berusaha menguasai gunung yang lain, dari Suai mereka masuk wilayah Gunung Fohorua. Mereka memasuki wilayah tersebut tiga kali. Setiap kali kami menngusir mereka…Mereka menggunakan pesawat pengebom di Lela, dimana saya bermarkas. Pesawatpesawat tersebut hanya meluncurkan roket-toket besar…Setiap minggu mereka menembaki tempat kami, penduduk sipil, sekolah. Mereka mencari lokasi yang penuh orang. Kerap kali mereka bahkan menembaki ternak. Mereka melakukannya dengan senapan mesin.381 282. Penembakan dan pemboman udara digunakan untuk “memperlunak” berbagai sasaran menjelang sebuah serangan darat oleh pasukan infantri. Di Lolotoe, José Pereira mengingat perubahan dari penggunaan helikopter sampai bom-bom besar dan akhirnya Pesawat Bronco OV-10 buatan AS: Pada tahun 1976 ABRI telah menggunakan pesawat terbang dan bom. Tahun 1976-1977 sering kali, dua atau tiga kali seminggu. [Pesawat udara] terbang cukup rendah. Pertama mereka menggunakan helikopter dan menembak. Mereka juga menggunakan pesawat terbang hitam besar. Mereka memakai bom. Dan ketiga mereka memakai pesawat udara besar dengan lubang di bagian belakang [Bronco OV-10]. Pesawat-pesawat ini dipakai sejak tahun 1976, kira-kira dimulai sekitar Agustus.382 283. Penggunaan kekuatan udara memberikan tekanan yang sangat besar kepada Fretilin, karena kekuatan bersenjata Falintil hanya senjata ringan. Ini menjadi faktor utama yang membuat penduduk sipil di gunung menyerahkan diri, dan memberikan kemenangan militer kepada ABRI atas Fretilin/Falintil pada tahun 1979. Kebuntuan militer, akhir 1976 284. Pada akhir 1976, militer Indonesia mampu menguasai koridor jalan-jalan utama; jalur selatan dari Dili ke Ainaro dan Betano; jalur Baucau Viqueque; jalur Manatuto Laclubar, dan jalur Lautem ke Tutuala. Walaupun ABRI cukup menguasai daerah-daerah yang dapat dijangkau melalui jalan pesisir utara tersebut, berbagai daerah yang luas di pedalaman tetap berada di luar kekuasaan ABRI. ABRI mengharapkan dengan cepat dan mudah menguasai Timor-Leste, namun sebaliknya malah menghadapi perlawanan sengit dan amat baik dari Fretilin/Falintil. Perkembangan usaha ABRI untuk menguasai Timor-Leste berjalan lambat. 285. Walaupun Indonesia sudah menggunakan kekuatan udara tambahan yang dipasok dari Amerika Serikat, situasi pada akhir tahun 1976 itu pada dasarnya merupakan suatu kebuntuan. Pada bulan April 1976 sebuah laporan dari kedutaan besar Amerika mengemukakan kesulitankesulitan yang dihadapi ABRI: - 75 - Jenderal Yogi (Soepardi, Asisten Perencanaan, Departemen Pertahanan)…memperkirakan kekuatan Fretilin sekitar 3000 dengan hanya 5000 dari 15000 pucuk senjata yang sejauh ini disita oleh Indonesia. Indonesia belum-belum sudah mengalami terkurasnya sumber daya, dengan kekurangan pasokan amunisi untuk senjata ringan, artileri, tank dan meriam angkatan laut.383 - 76 - 3.12 “Pengepungan dan penghancuran”: tahap akhir Operasi Seroja 1977-79 Tinjauan 286. Fretilin menghadapi persoalan besar mengenai apa yang harus mereka lakukan dengan penduduk sipil yang jumlahnya besar yang berada di berbagai basis mereka di pedalaman. Beberapa orang berpendapat bahwa sudah saatnya untuk mengubah strategi, dan memperbolehkan penduduk sipil menyerahkan diri dan kembali bermukim di kota. Pertentangan mengenai masalah ini menyebabkan terjadinya perpecahan berdarah dalam tubuh Fretilin dan disingkirkannya presiden Francisco Xavier do Amaral pada bulan Agustus 1977. Penahanan, penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang dilakukan oleh Fretilin selama periode ini. 287. Pada paruh kedua tahun 1977, operasi militer Indonesia semakin gencar, yang mencakup penghancuran sumber makanan di pedalaman dengan maksud untuk memisahkan masyarakat sipil dari resistensi bersenjata. Operasi ini mengakibatkan kematian masyarakat sipil dalam jumlah yang tak terkira akibat serangan langsung serta kelaparan dan wabah penyakit akibat dihancurkannya basis-basis Fretilin dan sumber makanan. 288. Dengan mundurnya Fretilin ke sejumlah kecil daerah yang lebih sempit, ABRI melancurkan Operasi Cahaya, dengan maksud untuk memaksa para pemimpin utama Fretilin menyerah dan sisa penduduk sipil yang ikut bersama mereka.384 Gunung Matebian di wilayah timur dan beberapa wilayah di Suai dan Ermera di wilayah barat menjadi ajang pengeboman udara yang paling gencar, yang mengakibatkan kematian skala besar dan pada akhirnya penyerahan diri puluhan ribu penduduk sipil. Para pemimpin utama Fretilin ditangkap, menyerahkan diri atau dibunuh, sehingga resistensi bersenjata yang tersisa kacau balau. Presiden Fretilin Nicolau Lobato terbunuh dalam pertempuran tanggal 31 Desember 1978.385 Xanana Gusmão berhasil lolos ke timur. ABRI melanjutkan operasi penumpasan sampai pada awal tahun 1979, dan pada bulan Maret 1979 menyatakan wilayah ini sudah ditaklukkan. Penduduk sipil di gunung-gunung 289. Pada akhir tahun 1976 kehidupan dalam zona bebas (zonas libertadas) yang dikuasai Fretilin amat berat bagi rakyat sipil, tetapi pada umumnya mereka tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Militer Indonesia masih belum dapat secara permanen mengukuhkan kehadirannya di sejumlah wilayah pedalaman di mana berbagai zona ini berada. Penduduk sipil bersama Fretilin telah mampu menjalankan suatu fungsi dasar masyarakat yang dapat menyediakan berbagai kebutuhan pokok rakyat.386 Fokus mereka adalah menanam tanaman pangan serta pemberian perawatan kesehatan dasar dan pendidikan bagi anak-anak. Komisi mendengarkan kesaksian ahli dari Gilman dos Santos, seorang pegawai negeri pemerintahan tingkat provinsi Indonesia yang bekerja dengan masyarakat pengungsi pada akhir tahun 1970an dan kemudian menjadi staf LSM Amerika Catholic Relief Services: Menurut perhitungan saya, situasi pangan di hutan antara tahun 1975 dan 1977 tidak begitu buruk. Orang-orang tidak mengalami banyak masalah karena pada waktu itu mereka masih dapat bergerak dan bebas menanam tanaman sesuai musim. Mereka dapat menghasilkan bahan makanan. TNI hanya menguasai kota-kota kabupaten dan kecamatan, meskipun TNI melakukan serangan ke hutan-hutan.387 - 77 - 290. Keadaan ini berubah secara dramatis dalam paruh kedua tahun 1977. Kapasitas ABRI terkuras dan kepercayaan diri awal Fretilin 291. Menyusul situasi kebuntuan militer antara pasukan Indonesia dan Fretilin pada akhir tahun 1976, ABRI tiba-tiba menyadari bahwa kekuatannya tersebar di seluruh nusantara pada awal tahun 1977. ABRI terpaksa menarik sebagian pasukannya dari Timor-Leste untuk mendukung sejumlah operasi di Irian Jaya, Kalimantan Barat dan Aceh. ABRI juga bertanggung jawab untuk menjaga keamanan pada pemilihan anggota DPR Indonesia pada bulan Mei, dan ABRI menempatkan kira-kira 100 batalyon di seluruh negeri.388 Berbagai pengaruh eksternal ini benar-benar mengpengaruhi kemampuannya untuk menjalankan beberapa operasi tempur di Timor-Leste. Pengurangan pasukan ini dilaporkan dalam dokumen militer Indonesia: Dalam kerangka pelaksanaan pemilihan umum tahun 1977 total kekuatan TNI di Timor-Leste berkurang hingga sepertiga yang ada (yang lain ditugaskan) sebagai petugas keamanan pemilihan umum tahun 1977 di bagian lain di Indonesia.389 292. Bukti dan berbagai laporan Fretilin di bawah ini menengarai bahwa antara bulan Maret dan Juni 1977 terjadi pengurangan pasukan ABRI dan sejumlah operasi tempur yang cukup berarti. 293. Ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Fretilin. Selama paruh pertama tahun 1977, Radio Maubere Fretilin berulang kali menyiarkan pemberitahuan mengenai rendahnya semangat Indonesia dan berbagai kemenangan Falintil. Pada tanggal 20 Mei, misalnya, Menteri Informasi dan Keamanan Nasional, Alarico Fernandes melaporkan melalui radio bahwa 1.500 tentara Indonesia telah ditarik mundur dari wilayah itu.390 Pada tanggal 4 Juni dia melaporkan: Serangan-serangan utama Indonesia yang terakhir terjadi sejak November [1975] hingga Februari [1976]. Meskipun mengerahkan ribuan pasukan, serangan-serangan ini dikalahkan dengan meminta banyak korban pasukan Indonesia…Sejak bulan Februari, serangan-serangan Indonesia dilakukan dengan skala kecil, yang bertujuan meraih sedikit kesuksesan menghancurkan posisi Fretilin di pegunungan dengan mengabaikan kota-kota yang dikuasai Indonesia.391 294. Sementara propaganda Fretilin mebesar-besarkan keberhasilannya, paruh pertama tahun 1977 relatif merupakan periode yang positif bagi Resistensi. Pada bulan Mei, Alarico Fernandes menyatakan bahwa: Produksi makanan di wilayah yang dikuasai Fretilin adalah sektor lain yang dibangun bersamaan dengan perjuangan bersenjata. Kami telah mencapai produksi maksimum yang diraih pada masa dominasi kolonial Portugis, ketika terjadi kelaparan dan penyakit.…Penduduk di Timor-Leste bekerja keras melakukan rekonstruksi nasional. Kelaparan tidak sebanyak sebelumnya.392 AS memimpin dalam mempersenjatai kembali militer Indonesia 295. Pada awal tahun 1977 sebuah delegasi Subkomite Kongres AS mengunjungi Timor- Leste. Kunjungan mereka diatur dengan seksama oleh militer Indonesia, dengan membatasi - 78 - mereka ke berbagai daerah yang sudah mantap berada di bawah penguasaan Indonesia. Mereka tidak berupaya untuk bertemu dengan Fretilin atau pun sejumlah besar penduduk sipil di wilayah pedalaman. Selama masa kunjungan mereka sangat sedikit terjadi operasi tempur. Delegasi ini “tidak membuat kesimpulan tegas” sehubungan dengan perang.393 Pada tahun 1978, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Zbigniew Brzezinski memerintahkan bahwa “tekanan” terhadap masalah hak asasi di Indonesia agar diredam.394 Selanjutnya selama tahun 1978, Amerika Serikat dan pemerintah asing lainnya memberikan dukungan militer yang luas untuk Indonesia. Pada bulan Januari Amerika Serikat mengumumkan penjualan 16 unit F5, sebuah Skuadron A4, dan sebuah fasilitas pembuatan senapan M-16.395 Pada tahun yang sama Inggris mengumumkan niatnya untuk memasok pesawat Jet Hawk untuk serangan darat,396 sementara Australia memasok helikopter serta pesawat angkut.397 Ini menjadi pertanda yang jelas bagi Indonesia bahwa negara-negara Barat tidak menentang operasi militernya di Timor-Leste. 296. Pada tahun 1979, Amerika Serikat berusaha untuk menjelaskan kebungkamannya mengenai penggunaan berbagai senjatanya di Timor-Leste atas dasar bahwa perang tersebut sudah selesai. Sumbernya untuk membuat kesimpulan ini adalah Militer Indonesia: Beberapa perlengkapan militer yang dipasok Amerika Serikat saat ini ada di Timor-Leste. Meskipun demikian, skala dan frekuensi perselisihan di Timor-Leste sudah begitu berkurang, sehingga menurut informasi terbaik yang ada perlengkapan itu sangat jarang digunakan dalam pertempuran.398 Perpecahan internal Fretilin dan pembersihan berdarah 297. Walaupun optimisme pada awal 1977 Fretilin menghadapi permasalahan dan perpecahan internal, yang berakibat pada terjadinya kekerasan. Pada tahun 1976* partai tersebut membunuh Aquilis Soares, liurai Quelicai, atas tuduhan menempatkan kepentingan lokal di atas kepentingan nasional.399 Belakangan pada tahun yang sama, satu lagi unit yang memisahkan diri, yang dipimpin Francisco Hornai di Illiomar, juga ditangkap dan dibunuh.400 Berbagai kejadian ini merupakan indikasi awal adanya perbedaan pandangan di antara para pemimpin Fretilin mengenai bagaimana menjalankan perjuangan, dan sebuah pertanda awal berbagai kekerasan yang akan digunakan oleh Fretilin untuk mendisiplinkan para kadernya.401 298. Pada akhir tahun 1977 perawatan kepada orang yang sakit dan terluka, serta penyediakan makan kepada penduduk sipil, menjadi beban yang semakin berat bagi Fretilin. Presiden Fretilin ketika itu Francisco Xavier do Amaral mengatakan kepada Komisi bahwa kurangnya obat-obatan bahkan untuk penyakit yang biasa mengakibatkan semakin banyak penduduk sipil yang mati. 402 299. Para anggota Komite Sentral Fretilin tidak sepaham mengenai beberapa persoalan, ketika para kader politik dan militer berselisih mengenai siapa yang seharusnya mengatur perjuangan. Yang menjadi kontroversi utama adalah peran penduduk sipil. Bagi para pemimpin Falintil, keharusan untuk membela penduduk sipil dalam jumlah besar membatasi kemampuan mereka untuk melakukan berbagai ofensif yang efektif. Presiden Fretilin Xavier do Amaral mendukung pandangan ini, dan menganggap perlu diambil suatu tindakan untuk menghindari penghancuran, dan sebagian besar penduduk diperbolehkan untuk menyerahkan diri dan melanjutkan resistensi dari berbagai kota dan desa. Para anggota Komite Sentral lainnya yakin bahwa rakyat adalah komponen penting dalam perjuangan rakyat, khususnya untuk memungkinkan partai melakukan revolusi sosial yang berdasar pada pendidikan politik bagi semua.403 * Sumber bulan bermacam-macam; Taylor, Indonesia’s Forgotten War, hal. 95 mengatakan November, sementara Chamberlain, The Struggle in Iliomar, mengutip Gusmao, To Resist, mengatakan Maret. - 79 - 300. Pada bulan Agustus 1977 Komite Sentral Fretiliin bertemu di Laline (Lacluta, Distrik Viqueque) dan bersepakat mengenai prinsip mengandalkan kekuatan sendiri. Dengan tidak adanya kemungkinan dukungan dari luar, Resistensi memutuskan untuk memerangi ABRI sendiri. Terjadi pertentangan mengenai masalah ini. Menteri Informasi Alarico Fernandes menganggap kemerdekaan tidak mungkin dicapai tanpa dukungan dari luar.404 Karena penentangannya, Presiden Fretilin Xavier do Amaral tidak menghadiri rapat di Laline. Tidak lama kemudian, pada bulan September 1977, Fretilin menangkap dan memecatnya sebagai Presiden. Amaral menceritakan kejadian itu kepada Komisi: Jadi seperti inilah ide saya. Kami harus mengirim penduduk untuk menyerah. Hanya laki-laki yang kuat dan dapat bertempur di peperangan tetap tinggal bersama Komite Sentral. Karena kami tidak tahu berapa tahun lagi perang ini berakhir…[Pada tahun 1976] mulai ada perbedaan pendapat dalam Fretilin.…Beberapa orang berkata bahwa doktrin [Fretilin] ini tidak benar. Beberapa orang menyatakan bahwa doktrin ini benar tetapi orangorang tidak mengikutinya secara tepat. Beberapa berkata doktrin ini baik. Kami mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain…Sejak saat ini mereka menangkap saya, memenjarakan saya, dan menuduh saya…Bahwa saya mengirim penduduk untuk menyerah supaya di masa yang akan datang ketika saya menyerahkan diri kepada Indonesia, indonesia akan memberikan jabatan sebagai jenderal atau menteri kepada saya. Inilah argumen mereka yang menyerang saya…405