Sarwo Edhie Wibowo Perintis Orde baru yang Tersisih Peter Kasenda Edisi Khusus 20 tahun Majalah Prisma, Tahun 1991. Nama Sarwo Edhie Wibowo tidak terlalu berarti apa-apa bagi kebanyakan orang sampai sebelum peristiwa kudeta Gerakan 30 September 1965. Namanya menjadi begitu dikenal ketika dia dengan kedudukan strategis sebagai Komandan RPKAD, melalui momentum yang tepat berhasil melumpuhkan markas Gestapu di Halim, dan mengeliminasi PKI di Jawa Tengah. Sarwo Edhie Wibowo mempunyai sikap tanpa kompromi dalam mempertahankan prinsip-prinsip sehingga menjauh dirinya dari pusat kekuasaaan. Sebagai Komandan RPKAD yang terlalu keras dalam menurunkan Presiden Soekarno dari kursi kekuasaannya sehingga Sarwo Edhie Wiwobo harus berpindah tempat jauh dari Jakarta. Sebagai Pangdam Bukit Barisan, sikap Sarwo Edhie Wibowo yang ingin membubarkan PNI karena dianggap menganut ajaran Marxisme dan dekat dengan Presiden Soekarno, karena pilihannya itu Sarwo Edhie Wibowo harus berpindah tempat jauh di ujung Timur Indonesia. Keberhasilan Sarwo Edhie Wibowo memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (Irian Jaya) ternyata hanya mengantar Sarwo Edhie Wibowo menjadi Gubernur AKABRI Umum dan Darat. Sebuah jabatan tanpa memiliki pasukan dan tanpa ada alasan yang bisa diketahui dengan pasti, Sarwo Edhie mengundurkan diri sebelum Indonesia diguncang dengan Peristiwa Limabelas Januari 1974. Sejak itu Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah terlibat dalam dunia militer dan perjalanan kariernya lebih banyak dihabiskan dalam Kekaryaan. Ketika Sarwo Edhie Wibowo menjadi calon anggota DPR mewakili Golkar daerah pemilihan Jakarta dengan nomor urut 1 pada tahun 1987. Ada dugaan kalau Sarwo Edhie Wibowo akan menjadi orang nomor satu dalam lembaga legislatif tersebut. Ternyata dugaan tersebut meleset, Sarwo Edhie Wibowo malahan mengundurkan diri dari DPR yang baru disandang belum sampai tujuh bulan. Perjalanan waktu telah memperlihatkan bahwa semakin jauhnya dari peristiwa yang menyebabkan nama Sarwo Edhie Wibowo menjadi sedemikian terkenal, posisi Sarwo Edhie Wibowo selanjutnya, banyak dinilai orang, tidak sepandan dengan jasa yang dimilikinya. Tulisan ini sendiri menyoroti sumbangan Sarwo Edhie Wibowo dalam ikut menegakan Orde Baru. Berawal dari Purworejo Sarwo Edhie Wibwo, lahir di Purworedjo, Jawa Tengah, Sabtu Pon 25 Juli 1925. Ia anak bungsu dari empat bersaudara keluarga R. Kartowilogo, kepala rumah gadai di Zaman Belanda. Pekerjan ayahnya adalah gambaran ideal bagi Sarwo Edhie Wibowo, model seorang pegawai negeri. Namun cita-cita itu kandas, setelah Sarwo Edhie yang doyan membaca mulai terpesona akan kemampuan serdadu Jepang mengalahkan Rusia di Manchuria. Juga karena melihat kenyataan bahwa pasukan Jepang menggulung serdadu 1 serdadu Belanda yang menduduki Nusantara. Oleh karena itu, Sarwo Edhie Wibowo setelah tamat MULO mohon izin pada ibunya, R.A. Sutini Kartowilogo untuk menjadi Heiho (pembantu tentara). Ibunya menangis, karena dia merupakan anak bungsu dan gambaran tentang militer ketika itu, mabuk-mabukan, kasar, tinggal di tangsi dan anakanaknya tinggal di kolong ranjang. Ketika Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk dididik menjadi Heiho, selama beberapa hari ibunda tercinta menangis.1 Di asrama, Sarwo Edhie hanya memotong rumput, membersihkan WC dan mengatur tempat tidur tentara Jepang. Ia nyaris keluar. Tiga bulan di sana, ajudan Kohara Butai membawa Sarwo Edhie ke Magelang untuk mengikuti latihan calon bintara Pembela Tanah Air. Belum selesai dididik di sana, ia diboyong ke Bogor buat megikuti latihan sebagai calon perwira. Ternyata Sarwo Edhie memang berbakat. Ia menjadi salah satu lulusan Shodancho (Letnan Dua) terbaik, karena itu ia memperoleh pedang samurai yang agak berbeda. Ketika dia kembali ke Purwokerto, ibunya merasa senang, karena anaknya menjadi seorang tentara yang terhormat dan gagah.2 Kemampuan militer Sarwo Edhie diuji, setelah Jepang kalah perang melawan Sekutu. Ketika itu bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya, mendapat ancaman dengan akan kembalinya Belanda. Para pemuda Indonesia berusaha mencegah kedatangan kembali Belanda ke Indonesia, tetapi tidak mempunyai senjata. Untuk memperoleh senjata para pemuda Indonesia (termasuk Sarwo Edhie) terlibat dalam bentrokan dengan alat kekuasaan Jepang. Di sinilah pertama kalinya pemuda eks PETA itu diuji ketrampilan militernya bahkan melawan guru-gurunya. Sesudah itu Sarwo Edhie mengikuti ajakan sahabatnya semasa pendidikan PETA, Achmad Yani agar bergabung dalam Batalyon III Badan Keamanan Rakyat, yang dikomandani oleh Achmad Yani sendiri. Kemudian Sarwo Edhie pun terlibat dalam pertempuran melawan Sekutu (yang datang untuk melucuti bala tentara Jepang) yang diboncengi tentara NICA di Magelang. Kapten Sarwo Edhie yang ketika itu dikenal sebagai Komandan Batalyon V Brigade IX/Diponogoro bertempur bukan saja melawan kekuatan asing tetapi dia harus melakukan penumpasan terhadap Pemberontakan PKI-Madiun dan DI/TII di Jawa Tengah. Pada saat perang kemerdekaan, Sarwo Edhie selalu menyelipkan sebilah keris dipinggangnya dan sekaligus membawa mortir 3 inci di pundaknya. Tembakan Sarwo Edhie senantiasa tepat mengenai sasaran karena lewat perhitungan yang matang, yang diterimanya ketika dididik menjadi tentara. Karena kebiasaan membawa sebilah keris itu menyebabkan ada orang-orang tertentu yang menganggap kalau Sarwo Edhie sebelum menembak dengan mortir, terlebih dahulu memutar-mutar keris.3 Keberhasilan tak selalu berpihak pada Sarwo Edhie, ia pun pernah mengalami kegagalan. Ketika terjadi Agresi Militer II, daerah Kulon Progo, yang merupakan daerah Achmad Yani bergerilya sudah dibom. Sarwo Edhie dari Pring Surat mencari Komandan Brigade IX/Diponogoro Achmad Yani daerah yang disebut Wetan Elo dengan cara memecah-mecah menjadi kecil pasukannya. Ternyata Sarwo Edhie melakukan kesalahan besar dengan pilihan semacam 1 Pertiwi No. 62-5 September 1988. 2 Sarinah No. 48-9 Juli 1984. 3 Ibid. 2 itu. Anak buah Sarwo Edhie ternyata belum terlatih untuk bergerilya sehingga banyak yang menangis, bingung dan minta pulang.4 Dalam dunia militer, Sarwo Edhie menghadapi cobaan yang nyaris membuat Sarwo Edhie mengundurkan diri dari dunia ketentaraan. Kejadian pertama terjadi pada masa perang kemerdekaan. Sarwo Edhie bentrok dengan Sukamdani mengenai kebijaksanaan, yang mana menyebabkan Sarwo Edhie patah semangat dan meninggalkan kompinya dan akhirnya menganggur di Purworedjo. Komandan Batalyon III, Kapten Achmad Yani yang mengetahui peristiwa itu menyusul ke Purworedjo untuk mencari Sarwo Edhie dan mengajak Sarwo Edhie untuk bergabung kembali. Sarwo Edhie tak kuasa menampik ajakan teman dan atasannya itu. Kejadian serupa tapi tak sama terjadi pula pada masa sesudah revolusi Indonesia. Sarwo Edhie yang berpangkat Kapten diturunkan menjadi Letnan Satu, sebagai hukuman dari komandannya yang menganggap Sarwo Edhie tak becus mengatasi anak buahnya yang tak berdisiplin. Sarwo Edhie mengundurkan diri dan keinginan tersebut diurungkan setelah mendapat hardikan serta wejangan orang tua.5 Setelah pengakuan kedaulatan, karier Sarwo Edhie Wibowo mulai menanjak. Sarwo Edhie menjadi Komandan Kompi Bantuan Resimen 13, Tentara dan Teritorium IV Diponogoro (1952—1953) dan Komandan Balatyon 439, T & T IV Diponogoro (1955— 1957). Sarwo Edhie kemudian terpilih sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna, Akademi Militer Nasional (1957—1958) dan Komandan Sekolah Para Komando (sekarang Kopassus). Sarwo Edhie akhirnya menjadi Komandan RPKAD, yang merupakan masa paling gemilang dalam perjalanan pengabdian Sarwo Edhie Wibowo ini terhadap Republik Indonesia. Pertikaian TNI-AD versus PKI Menjelang pertenghan tahun 1960-an, posisi PKI semakin kuat karena salah satu faktornya adalah adanya perlindungan dari Soekarno. Presiden Soekarno sendiri memakai PKI untuk mengimbangi kekuatan TNI-AD. PKI mulai melancarkan gerakan ofensif revolusionernya dengan menuntut agar SOKSI (saingan SOBSI-PKI) dilarang, dan mendesak tentara (yang menjalankan program Civic Mission) merampingkan organisasi teritorialnya, khususnya yang ada di pedesaan. Sementara itu, elite TNI-AD pun dituduh melakukan korupsi dan mengulur waktu dalam kampanye anti-Malaysia. Kemudian PKI/BTI melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria melalui aksi sepihak yang sengit dan paling tidak kenal ampun di Jawa dan Bali. Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964, kelihatannya membenarkan kebijaksanaan dan sikap yang diambil PKI tersebut. Bulan Februari 1965, PKI melontarkan gagasan mengenai perlunya dibentuk Angkatan Kelima, milisi rakyat yang dipersenjatai dan terdiri dari buruh dan tani. Mereka juga mengusulkan supaya dalam TNI dibentuk Komisaris Politik yang lazim terdapat di negara-negara sosialis. KSAB A.H. Nasution dan KSAD Achmad Yani dengan caranya 4 Amelia Yani, Achmad Yani Seorang Prajurit TNI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hal. 52—59. 5 Ibid dan JAKARTA-JAKARTA, No. 223, 6—12 Oktober 1989. 3 sendiri menolak gagasan seperti itu. Posisi TNI-AD kembali semakin terdesak dengan tersebarnya Dokumen Gilchrist, yang isinya antara lain terdapat kata-kata “our local army”. Seolah-olah ada kesan persekongkolan antara TNI-AD dengan Inggris-AS untuk merebut kekuasaan negara. Dan ini mencapai puncaknya ketika munculnya desas desus adanya sekelompok jenderal TNI-AD, yang tergabung dalam Dewan Jenderal, akan mengadakan perebutan kekuasaan negara dan menghancurkan PKI. Sementara itu, tim dokter RRC yang memeriksa Soekarno mengeluarkan pernyataan bahwa Soekarno, karena penyakitnya, umurnya tidak lama lagi. Keadaan ini semakin menimbulkan dugaan baik di kalangan PKI maupun TNI-AD, ada kemungkinan terjadinya kudeta. Situasi terus dan semakin memanas ketika Harian Rakyat, surat kabar PKI, secara terbuka mengecam kenaikkan harga besar yang distribusinya berada di tangan TNI-AD. Kecaman tersebut diikuti dengan demontrasi besar-besaran yang digerakan oleh Pemuda Rakyat dan Gerwani. TNI-AD menjadi sasaran massa demontrasi, yang dianggap sebagai bertanggung jawab dalam pelaksanaan distribusi beras dan bahan pokok lainnya. Menjelang akhir September 1965, agitasi politik mengecam TNI-AD terus berjalan, dan semakin meningkat. Jenderal-jenderal TNI-AD dituduh sebagai pencoleng ekonomi, kapitalis birokrat, koruptor, rekasioner dan agen Nekolim. Bahkan Soekarno sendiri dalam rapat umum pada tanggal 29 September 1965, mengatakan bahwa ada beberapa jenderal yang dulunya setia tetapi sekarang telah menjadi pelindung unsur-unsur kontra revolusioner dan untuk itu mereka semua harus dihancurkan.6 Dini hari, 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September menculik dan membunuh sejumlah jenderal TNI-AD. Komplotan penculik itu melakukan serangan yang sedemikian mendadak sehingga dengan mudah melumpuhkan pengawal rumah dari para jenderal yang akan diculik itu. Para jenderal itu diculik dari rumahnya dengan dalih dipanggil oleh Presiden Soekarno agar segera ke Istana. Hanya satu orang yang lolos, yakni Menko Hankam KSAB Jenderal A.H. Nasution, meskipun demikian putrinya, Ade Irma Suryani dan ajudannya, yang disangka Jenderal A.H. Nasution, Lettu Piere A. Tendean, ikut menjadi korban.7 Melumpuhkan Markas G-30-S/PKI Satu jam setelah kejadian tersebut pada pukul 05.00 WIB 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie dibangunkan dari tidurrnya karena kedatangan tamu Kapten Subardi, ajudan Men/Pangad Achmad Yani, menghadap dan meminta agar Sarwo Edhie berangkat ke 6 Mengenai pertikaian TNI-AD versus PKI lebih lengkap. Lihat: Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945—1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hal. 121—179. 7 Peristiwa itu telah menimbulkan penafsiran yang berbeda. Ada yang menyebutkan sebagai masalah internal TNI-AD, didalangi PKI dan Presiden Soekarno yang memprakarsai peristiwa tersebut. Secara berturut-turut periksa: B.R.O’G Anderson and Ruth T. McVey, A Prelimanary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971); Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional – Percobaan Kup G 30 S / PKI di Indonesia, (Jakarta: PT Intermassa, 1989); Antonie A.C. Dake, In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communist Between Moscow and Peking, (Mouton: The Hague, 1973). Penafsiran Gerakan 30 September 1965 didalangi PKI menjadi versi resmi. 4 rumah Achmad Yani karena sejam sebelumnya atasannya telah diculik oleh sejumlah anggota Cakrabirawa setelah terlebih dahulu ditembak. Pada awalnya dia berminat memenuhi permintaan tersebut, tetapi akhirnya diputuskan untuk mengumpulkan seluruh para perwira yang tinggal di kompleks Cijantung.8 Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I. Santosa langsung pergi ke Senayan dan menarik pasukannya yang sedang latihan untuk menyambut HUT ABRI, 5 Oktober 1965, agar segera kembali ke Cijantung. Memang ada masalah saat itu karena sebagian besar pasukan RPKAD sedang bertugas dalam konfrontasi dengan Malaysia di perbatasan.9 Pada pukul 07.00 WIB, Sarwo Edhie dan sejumlah perwira berkumpul untuk mendengarkan siaran berita RRI yang mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Sarwo Edhie sendiri saat itu mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kudeta, dan menduga Soekarno telah disingkirkan mengingat tidak disebut-sebut dalam dewan tersebut. Meskipun demikian, Sarwo Edhie tidak mengetahui secara pasti siapa yang berada di balik pembentukan dewan baru. Akhirnya, Sarwo Edhie memerintahkan delapan orang perwiranya, dengan pakaian preman, untuk menghubungi markas-markas yang dianggap paling penting seperti Staf Umum AD, Cakrabirawa, Kodam Jaya dan Kostrad.10 Pasukan RPKAD yang ditarik dari Senayan kemudian dikumpulkan di Lapangan Merah. C.I. Santosa memerintahkan kepada mereka untuk tidak bergerak terlebih dahulu sebelum ada perintah dari Sarwo Edhie. Jika ada yang melanggar, maka C.I. Santosa sendiri yang akan menembaknya di tempat.11 Beberapa saat kemudian Sarwo Edhie datang dan menjelaskan kepada pasukannya mengenai penculikan para jenderal TNI-AD. Menurutnya, ini adalah akibat fitnah dari salah satu partai politik. Sementara itu kedudukan baik lawan maupun kawan tampaknya belum diketahui secara jelas. Tetapi yang pasti, dia menegaskan, pasukan RPKAD siap di tempat dan wajib mencarinya.12 Pada saat yang menegangkan Kapten Herman Sarens Sudiro, dengan memakai panser, datang menghadap Sarwo Edhie dengan membawa sepucuk surat dari Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.”Keadaan sangat gawat Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat saya ambil oper. Harap pasukan dikonsinyir dan segera temui saya.“ demikian isi surat tersebut. Namun demikian, Sarwo Edhi tidak langsung percaya mengingat Herman Sarens Sudiro bukanlah anggota pasukan Kaveleri yang 8 Cerita Sarwo Edhie mengenai 1 Oktober 1965, Jawa Pos, 1 Oktober 1987. Ada pendapat yang berbeda mengenai kedudukan Sarwo Edhie Wibowo di RPKAD ketika itu. Ada yang menyebutkan Sarwo Edhie Wibowo sebagai Penjabat Komandan RPKAD dan ada pula yang menyebutkan sebagai Komandan RPKAD. Lihat. Hasya W. Bachtiar, Siapa Dia TNI-AD, (Jakarta: PT Djambatan, 1968) dan Tempo, Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, (Jakarta: Grafitipers, 1984) 9 Sebenarnya Pangkopur IV Kostrad, Brigjen Supardjo menginginkan agar pasukan RPKAD yang tersisa dikirim ke daerah perbatasan tetapi ditolak RPKAD karena di sana tidak menunjukkan adanya kegiatan yang berarti. (Wawancara dengan C.I. Santosa - di Jakarta, 23 Oktober 1992). Ketika itu kekuatan TNI-AD di Jawa terlalu lemah karena ada 47 batalyon infanteri bertugas di Sumatra dan Kalimantan dan 17 batalyon lainnya bertugas di Sulawesi, B. Wibowop dan Banjar Chaerudin, Memori Jenderal Yoga, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1990), hal. 152. 10 Jawa Pos, loc. cit. 11 Wawancara dengan C.I. Santosa. 12 Editor No. 11/Thn III/18 November 1989. 5 memiliki hak memakai kendaraan lapis baja. Dia menduga surat tersebut diperoleh dengan cara menodong Soeharto, dan akibatnya Herman Sarens Sudiro dilucuti dan ditahan.13 Satu jam kemudian, Kapten Daryono, kurir yang diperintah Sarwo Edhie untuk memantau situasi Kostrad, menghadap dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah Herman Sarens dibebaskan, dengan segera Sarwo Edhie pergi ke Kostrad untuk menghadap Soeharto.14 Selanjutnya Sarwo Edhie mengadakan pembicaraan dengan Soeharto mengenai kemungkinan penyerangan ke RRI dan Kantor Telekomunikasi (Telkom)—yang diduduki oleh komplotan Overste, Untung. Kemudian Sarwo Edhie kembali ke Cijantung dan di sana, kira-kira pukul 13.30 WIB Sarwo Edhie memerintahkan prajurit RPKAD untuk menyetop truk untuk mengangkut pasukan RPKAD (Kompi Urip, Kayak, Tanjung, Sungkaryo, Muhadi, Sembiring, Edi Sudrajat dan Ramelan). Alasan yang dikemukakan Sarwo Edhie adalah untuk menjaga semangat para prajurit agar tidak putus asa.15 Pada sore hari, Sarwo Edhie mendapat perintah untuk menguasai RRI dan Telkom sebelum pukul tujuh malam. Ketika ditanya oleh Soeharto berapa waktu yang diperlukan untuk menduduki RRI dan Telkom, dia menjawab sekitar 20 menit. Setelah menjawab Kolonel Sarwo Edhie pun bingung sendiri dengan jawabannya. Bagaimana mungkin mampu merebut dua obyek vital tersebut dalam waktu sesingkat itu.16 Sementara itu, Batalyon 530/Brawijaya, yang diperalat Overste Untung untuk menjaga Istana, telah kembali ke Kostard atas pendekatan Soeharto, meskipun satu kompi telah berada di Halim. Kemudian, Batalyon 545/Diponogoro menjelang pukul 18.00 WIB meninggalkan istana menuju ke Halim, namun ada dua kompi akhirnya memisahkan diri dan selanjutnya bergabung dengan Kostrad. Menjelang magrib, Kompi Kapten Heru menyerang Telkom, sedangkan Kompi Kapten Urip menyerbu RRI. Ternyata kedua kompi tersebut, tidak menghadapi perlawanan berarti. Anak buah Untung nyatanya telah melarikan diri. Operasi ini berjalan lebih singkat dari waktu yang diperkirakan dan ternyata juga tidak ada sebutir peluru pun yang harus dilepaskan.17 Di tengah malam ketika Soeharto sedang memikirkan langkah berikutnya, Sarwo Edhie tiba-tiba muncul dan menanyakan kepastian pelaksanan menguasai Halim. KSAB A.H. Nasution yang duduk di kursi sambil meletakkan satu kakinya, yang sakit, di atas meja, menyela, ”Sarwo Edhie, jij mau bikin tweede Mapanget ya?“. Soeharto yang sedang berpikir saat itu langsung memerintahkan Sarwo Edhie untuk segera melakukan operasi penyerangan.18 Bersamaan dengan itu, Markas Kostrad dipindahkan ke Senayan sehubungan adanya informasi kalau AURI akan melakukan pemboman. Dua kompi Para Pomad di bawah Letkol Norman Sasono yang mengamankan Kostrad dan keluarga 13 Sarinah, loc. cit. 14 Ibid. 15 G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 123—125. 16 Jawa Pos, loc. cit. 17 G. Dwipayana dan Ramdhan KH, ibid., hal. 127. 18 Cerita Sarwo Edhie Wibowo mengenai1 Oktober 1965, Sinar Harapan, 28 September 1984. 6 Pangkostrad sejak pagi hari, mengawal kepindahan pimpinan Kostrad ke Senayan. Di sana sudah ada sejumlah kompi dari Batalyon 328 Kujang/Siliwangi yang berjaga-jaga.19 Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I. Santosa, sebagai komandan penyergap, segera mengatur strategi. Batalyon 328 Kujang dan pasukan tank diperintahkan lalu-lalang di jalan utama untuk menarik perhatian. Penyerangan itu sendiri dilakukan lewat Klender karena jika melalui Bogor di sana ada beberapa markas militer yang belum ketahuan sikap kesatuannya terhadap Gerakan 30 September. Di Klender ada jalan sejajar menuju Halim yang biasanya dipakai latihan militer oleh RPKAD. Mayor C.I. Santosa memerintahkan pasukannya untuk melakukan manuver menghambat kemungkinan digunakannya pesawat-pesawat terbang oleh pihak musuh.20 Pasukan itu sendiri, yang diangkut dengan truk, mendapat kawalan ketat dari beberapa panser.21 Akhirnya pertempuran antara RPKAD dan pendukung Gerakan 30 September, tidak dapat dihindari lagi. Di saat pertempuran masih berlangsung dan pasukan Untung mulai terdesak, Sarwo Edhie ingin menemui Presiden Soekarno. Keinginan ini menimbulkan dilema bagi C.I. Santosa karena di satu pihak, dia harus memimpin pertempuran, namun di pihak lain, dia harus juga menjaga keselamatan atasannya.22 Ketika panser yang dinaiki Sarwo Edhie baru saja bergerak beberapa menit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datang Jeep Toyota, mengibarkan bendera putih, dengan penumpangnya Komodor Dewanto. Kemudian terjadi pembicaraan yang intinya Komodor Dewanto menginginkan adanya gencatan senjata, sedangkan Sarwo Edhie mengatakan bahwa pasukan hanya tunduk pada pimpinan tertinggi. Akhirnya Sarwo Edhie setuju untuk memenuhi permintaan Dewanto agar menemui Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang. Melalui Sri Mulyono Herlambang, Sarwo Edhie mendapat penjelasan bahwa ada panggilan dari Presiden Soekarno. Kemudian, Sarwo Edhie, Dewanto, Sri Mulyono Herlambang dan dua pilot, dengan memakai helikopter, menuju ke istana menemui Presiden Soekarno yang telah meninggalkan Halim pada malam hari.23 Sarwo Edhie menunggu selama satu jam karena Presiden sedang menerima Panglima Divisi Siliwangi, Ibrahim Adjie. Setelah bertemu, Sarwo Edhie mendapat penjelasan dari Soekarno bahwa saat ini Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada di tangannya. Selanjutnya, Soekarno menjelaskan bahwa apa yang terjadi terhadap para jenderal TNI-AD tersebut hanyalah setitik ombak di lautan revolusi. Di saat Sarwo Edhie menyatakan bahwa Komandan Batalyon 545 akan meletakkan senjata jika ada surat dari 19 “Cerita Norman Sasono mengenai 1 Oktober 1965”, Merdeka, 1 Oktober 1990. 20 Wawancara dengan C.I. Santosa. 21 Di daerah Pangkalan Udara Halim ada beberapa pos. Kelompok Central Komando yang semula menganbil menepati gedung Penas, dan kemudian pindah ke rumah Sersan Udara Anis Sujatno. Kelompok Aidit dan pembantu-pembantunya menempati rumah Sersan Satu Udara Suwardi. Kelompok Presiden Soekarno dan pembantu-pembantunya, yang baru tiba pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari dan menempati rumah Komdor Udara Susanto. Kelompok Omar Dhani yang menempati Kops AU dan Kelompok Lettu Dul Arief dengan pasukan penculiknya berada di daerah Lubang Buaya. 22 Wawancara dengan C.I. Santosa. Kepergian Sarwo Edhie Wibowo menemui Presiden Soekarno pernah menjadi bahan pembicaraan dan menyebabkan Sarwo Edhie mencoba meluruskan masalahnya (wawancara dengan Marsilam Simandjuntak, di Jakarta, 23 Oktober 1992). Sebenarnya Sarwo Edhie tak mengetahui kalau Presiden Soekarno telah meninggalkan Halim menuju ke Istana Bogor. 23 Penjelasan Sarwo Edhie mengenai Film Pengkhianatan G 30 S / PKI, Sinar Harapan, 30 September 1984. 7 presiden, maka Soekarno melalui ajudannya Brigjen Sabur, memerintahkan untuk menyiapkan nota kepada Brigjen Supardjo, yang dalam Gerakan 30 September bertindak sebagai Wakil Komandan. Sarwo Edhie setengah tidak percaya mendengar apa yang baru didengarnya. Dia menanyakan kepada Soekarno mengenai bagaimana hirarkinya sehingga perintah tersebut diberikan kepada Supardjo? Soekarno menjawab bahwa masalah hirarki itu bukan soal, karena Supardjo adalah komandan dari seluruh pasukan yang ada di Halim. Akhirnya, Sarwo Edhie mendapat tembusan surat perintah dari Presiden Soekarno, sedangkan aslinya diberikan kepada Sri Mulyono Herlambang untuk diserahkan kepada Supardjo.24 Kolonel Sarwo Edhie yang kecewa dengan perkataan Soekarno yang menganggap ringan nasib para jenderal tersebut, kembali ke Halim. Setibanya di sana kegiatan tembak-menembak telah berhenti. Sebagian Batalyon 454 menyerahkan diri, dan sisanya lari dari Halim. Di saat pasukan pendukung Gerakan 30 September yang menyerah tahu bahwa lawan mereka adalah bekas instruktur yang baru saja melatih mereka di Batujajar, mereka kelihatan terkejut dan kemudian saling berangkulan. Sebagai anak buah memang sulit bagi mereka untuk menolak perintah atasannya yang terlibat dalam gerakan tersebut Dalam pertempuran yang baru berlangsung ini, telah gugur satu orang dari pasukan penyergap, sedangkan dari pihak Angkatan Udara meninggal dua orang.25 Pada hari yang sama, di Istana Bogor terjadi pembicaraan antara Presiden Soekarno dengan Pangkostrad Soeharto, dan merupakan permulaan dari serangkaian panjang pertentangan-pertentangan yang berlangsung selama dua tahun selanjutnya. Walaupun Soekarno berusaha mengecilkan arti peristiwa berdarah itu itu sebagai suatu kejadian yang biasa dalam revolusi, namun inti persoalan itu sesungguhnya adalah pertentangan politik dengan segala akibat-akibatnya yang jauh. Pada hari berikutnya wakil dari partai-partai politik dan organisasi massa diundang rapat, bertempat di Mabes KOTI. PKI, Partindo dan PNI golongan Ali-Surachman tak hadir. Mayjen Sutjipto S.H. Ketua Gabungan V KOTI, memberi penjelasaan kepada hadirin. Kemudian menanyakan pilihan, apakah memilih Komunis atau Angkatan Darat. Dan kebulatan tekad tercapai untuk berdiri di belakang Mayor Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat.26 Tanggal 3 Oktober 1965 siang hari, pasukan RPKAD mulai mencari jenazah para jenderal TNI-AD. Pencarian ini dibantu oleh seorang polisi, Sukitman yang pernah ikut ditawan tetapi dapat meloloskan diri dari pasukan Gerakan 30 September. Akhirnya diketemukan markas komplotan gerakan, tempat yang digunakan untuk membunuh para jenderal itu, di sekitar Lubang Buaya, pinggiran Pangkalan Udara Halim. Demikian juga dengan sumur kecil yang dipakai untuk mengubur para jenderal. Mengingat sudah larut malam, upacara pencarian tersebut ditunda. Besoknya, di bawah komando C.I. Santosa, operasi pencarian dan penggallian terus dilanjutkan, dengan mendapat bantuan dari Kesatuan Inti Para Amphibi dari KKO AL.27 24 A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6, (Jakarta: CV Gunung Agung, 1989), hal. 248—250. 25 Sinar Harapan, 28 September 1984. Menurut Sarwo Edhie Wibowo pada tahun 1969, sebenarnya korban pertempuran di Halim tidak pernah diumumkan langsung setelah kejadian itu. O.G. Roeder, Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1976), hal. 48. 26 O.G. Roeder, ibid., hal. 48—49. 27 Wawancara dengan C.I. santosa. 8 Penggalian jenazah para jenderal TNI-AD itu diliput televisi tentunya dengan harapan agar massa rakyat yang terbakar menaruh simpati dan berpihak kepada TNI-AD. Pada hari HUT ABRI iring-iringan jenazah para jenderal TNI-AD disaksikan oleh ratusan ribu yang sedih sepanjang jalan menuju Taman Makam Pahlawan. Pada hari yang sama, NU di Jakarta menuntut agar PKI dengan ormas bawahannya dilarang serta dibubarkan dan kemudian diikuti oleh Perti, Partai Katolik dan PNI pimpinan Hardi. Presiden Soekarno dalam sidang kabinet yang diadakan pada tanggal 6 Oktober 1965 di Bogor, mencoba membendung gelombang perasaan anti-PKI dengan menyatakan harapannya agar rakyat tidak saling tuduh sehingga membahayakan persatuan nasional, karena itu yang diharapkan oleh Nekolim. Kematian para jenderal yang dianggap Presiden Soekarno sebagai riak gelombang dalam Samudra Revolusi hanya membuah marah TNI-AD saja. Setelah sidang kabinet, TNI-AD melancarkan kampanye tanpa mengindahkan sama sekali imbauan Soekano untuk memilihara ketenangan. Untuk membuat emosi kian mendidih. Dikabarkan bahwa para jenderal yang terbunuh itu dicukil matanya dan dipotong kemaluannya dan mereka menuntut digunakan kekerasaan untuk menegakkan keadilan.28 Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu pada tanggal 8 Oktober 1965 mengadakan rapat umum dan dikabarkan dihadiri setengah juta orang. Mereka menuntut PKI dilarang dan orang komunis dibersihkan dari semua lembaga negara. Sejumlah pendukung KAP Gestapu mendatangi kantor CC PKI dan membakarnya, dan hari-hari berikutnya kantor-kantor PKI serta rumah tokoh komunis dihancurkan. Sementara itu tuntutan agar PKI dilarang, terus mengalir dari berbagai pelosok daerah. Ketika itu Presiden Soekarno berhadapan dengan massa yang anti-komunis yang terbakar suasana yang panas yang sudah siap untuk menentang dia dan kebijaksaannya untuk melindungi PKI. Bersamaan dengan itu TNI-AD tidak lagi mengindahkan Presiden Soekarno dan terus memburu orang-orang Komunis dan yang dicurigai terlibat atau yang bersimpati terhadap Gerakan 30 September. Bisa jadi PKI sebagai partai masih bisa diselamatkan seandainya Soekarno segera mengambil tindakan terhadap pimpinan PKI yang terlibat dalam Gerakan 30 September. Menjelang pertengahan Oktober, sentimen anti-komunis semakin menjadi-jadi, PKI tidak dapat diselamatkan lagi dengan cara apa pun. Aksi-aksi kekerasaan oleh massa terhadap PKI telah dimulai di Aceh setelah kabar angin yang menyatakan orang-orang Muslim telah dibunuh komunis di Yogyakarta. Mereka membunuh orang komunis di Aceh. Kekerasan-kekerasan kemudian pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur .29 Penumpasan PKI Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan komunis di Indonesia. Stasiun radio di Semarang, Yogyakarta dan Surakarta, menyiarkan pengumuman Gerakan 30 September, Dewan Revolusi Daerah kemudian dibentuk. Walikota Surakarta yang komunis menyatakan dukungannya terhadap pembunuhan para jenderal TNI-AD. Di Yogyakarta, kaum komunis segera turun ke jalan-jalan memberi dukungan terhadap Gerakan 30 September. Sementara itu, di Semarang, kaum komunis mengambil alih pimpinan Kodam 28 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1867, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 376—380. 29 Ibid . 9 VIII Diponogoro. Panglima Diponogoro, Brigjen Suryo Sumpeno, berhasil meloloskan diri, tetapi kedudukannya diambil alih oleh perwira intlejen, Kolonel Sahirman yang komunis.30 Namun dalam perkembangannya, lima dari tujuh batalyon infanteri yang ada di Jawa Tengah, kemudian menyatakan kesetiannya kembali ke Suryo Sumpeno dan Presiden Soekarno. Tetapi Suryo Sumpemo meragukan loyalitas mereka sehingga dia bermaksud mengirim pasukan-pasukan tersebut ke posisi tempur di Sumatra dalam menghadapi Malaysia. Dalam pelaksanaannya tidak dapat segera terwujud karena tidak tersedianya sarana angkutan. Akibatnya kewibawaan Suryo Sumpeno masih tetap lemah. Mendengar keadaan seperti ini, Soeharto di Jakarta memutuskan segera mengambil keputusan untuk mengirim RPKAD ke Jawa Tengah.31 Tanggal 17 Oktober 1965, RPKAD di bawah Komando C.I. Santosa bergerak menuju Semarang. Keesokan harinya, mereka sampai di Semarang dan langsung melakukan pameran kekuatan. Yon III RPKAD di bawah Komandan Mayor Kosasih dibebani tugas, dengan nama Operasi Muria, di daerah Demak – Purwodadi. Daerah Banyumas menjadi tanggung jawab KKO di bawah komando tanggung jawab KKO di bawah komando Kapten Sukarno, sedangkan Yon 431 PARA menempati posisi di daerah Pekalongan. Tanggal 19 Oktober 1965, kelompok komando RPKAD di bawah Sarwo Edhie dengan kawalan pasukan Letnan Dua Sintong Pandjaitan tiba di Semarang. Selanjutnya, dengan menumpang kereta api, telah tiba Yon Kavaleri di bawah pimpinan Mayor Kaveleri Sunarjo.32 Pada hari yang sama, pasukan RPKAD mulai bergerak menuju rumah dan gedung yang diduga menjadi sarang pendukung Gerakan 30 September. Dalam gebrakan pertama berhasil ditahan sekitar 1.050 orang yang dicurigai dan berbagai barang bukti juga disita. Adanya gerakan RPKAD ini mendorong kaum anti-komunis mulai juga mengadakan perusakan dan pembakaran terhadap gedung PKI, Gerwani, Baperki, RRT dan pabrik rokok yang pemiliknya mendukung Gerakan 30 September. Menghadapi situasi seperti ini, pihak komunis pun tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangkitkan sentimen anti-Cina dengan cara membakar toko dan rumah Cina di kompleks Pekojan. Situasi yang semakin tegang dan panas tersebut menyebabkan pasukan RPKAD secara terus menerus melakukan patroli, di samping tetap menjalankan operasi pembersihan. Ternyata operasi ini kurang mendapat perlawanan. Diduga para pendukung Gerakan 30 September telah melarikan diri ke arah Barat Daya dan Timur.33 Pada tanggal 21 Oktober RPKAD menuju Magelang. Tugas RPKAD di Semarang menjadi tanggung jawab Mayor Subechi, Wa Dan Yon III dengan kekuatan Ki Urip, Ki Ramelan dan Ki Dakso. Sedangkan pasukan yang bergerak ke Magelang kemudian diperkuat oleh pasukan Ki Tejo dari Yon II RPKAD Magelang. Sebagaimana sebelumnya, kembali RPKAD melakukan pameran kekuatan bersenjata. Seperti di Semarang masyarakat yang anti-komunis memakai kesempatan ini membakar milik PKI, Baperki dan bahkan rumah Walikota Argo Ismojo yang komunis turut menjadi sasaran.34 30 Sejarah Militer Kodam VII/Diponogoro, (Semarang: Sendam VII/Diponogoro, 1971), hal. 190—212. 31 Harlod Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 159—162. 32 Sejarah Militer Kodam VII/Diponogoro, op.cit. 33 Ibid. 34 Ibid. 10 Adanya keputusan pembekuan PKI beserta ormas-ormas yang bernaung di bawahnya oleh Suryo Sumpeno selaku Penguasa Pelaksana Dwikora pada tanggal 20 Oktober, menyebabkan pendukung Gerakan 30 September mengadakan gerakan pemogokan. Mulai pukul 20.00 WIB, pegawai DKA (SBKA) Balapan Solo mogok sehingga KA Jurusan Solo–Semarang, Solo–Jakarta, Solo–Surabaya tak ada yang jalan. Sampai pagi KA tidak ada yang keluar masuk stasiun. Bus-bus tak bisa jalan karena dihalangi oleh Pemuda Rakyat. Pemogokan terjadi pula di pabrik Karung Delanggu, PN Gondangwinangun Klaten dan PN Infietx Tembakau Klaten. Demikian pula jalan antara Delanggu–Gondang dirintangi dengan batang pohon.35 Ada informasi Kodim Boyolali sedang dikepung oleh ribuan Pemuda Rakyat yang bersenjatakan bambu runcing. Pada tanggal 22 Oktober, pukul 00.00 WIB, RPKAD langsung ke Boyolali. Satu kompi ditinggalkan di Yogyakarta untuk mengikuti upacara pemakaman Kolonel Katamso (Dan Rem 072) dan Letkol Sugijono (Kas Rem 072) yang menjadi korban Gerakan 30 September. Pukul 05.30 WIB, Satu Yon Panser dan Ki Kajat bergerak menuju Boyolali. Sisa-sisa pasukan bergerak ke Surakarta dan kemudian mengadakan pameran kekuatan. Pasukan RPKAD bergerak menuju ke stasiun Balapan untuk membubarkan pemogokan. Di depan para pemogok, Sarwo Edhie mengatakan “Siapa yang mau mogok ke sebelah kiri saya, dan yang tidak mau mogok ke sebelah kanan. Saya beri waktu lima menit“. Belum lima menit berselang, semua pemogok pindah ke sebelah kanan. Sarwo Edhie kemudian melanjutkan berkata, ”Kalau begitu tidak ada alasan kalian untuk tidak bekerja, dan silahkan bekerja seperti biasa.” Selanjutnya Sarwo Edhie mengatakan agar mereka jangan terpengaruh oleh Gerakan 30 September dan diminta untuk tidak usah ragu-ragu membantu ABRI menghancurkan gerakan tersebut sampai ke antek-anteknya. Setelah itu, gerakan pengejaran dan penggeledahan di tempat yang dicurigai terus berlangsung.36 Boleh dibilang RPKAD cepat bergerak dan bertindak ketika mendengar informasi di daerah-daerah tertentu terjadi kerusuhan. Kehadiran RPKAD secara umum membuat rakyat senang. Menghadapi pemberontakan di Boyolali, Sarwo Edhi mengadakan rapat umum. Dia berkata, ”Siapa mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu.” Karena tidak ada yang tunjuk tangan, dia melanjutkan bertanya, ”Siapa yang mau dipotong kepalanya saya bayar seratus ribu.” Karena tetap tidak ada reaksi, dia melanjutkan lagi,” Dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya, dan agar kepala massa pendengar tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus dilawan“.37 Meskipun demikian, dengan gerak cepat pasukannya bukan berarti Sarwo Edhie dapat menanamkan kewibawaannya ke seluruh daerah dan mampu menyapu bersih desadesa untuk menangkap para aktivis PKI. Sarwo Edhie sadar dengan pasukan yang ada tak mungkin bisa mencapai tujuan. Untuk itu, Sarwo Edhie minta bantuan tambahan dari Jakarta. Namun permintaan ditolak karena kebanyakan pasukan tentara masih berada di luar Jawa. Meskipun begitu dia mendapatkan izin untuk mempersenjatai sukarelawan 35 Ibid . 36 Cerita Hendro Subroto, yang meliput operasi RPKAD di Jawa Tengah, Suara Pembaruan, 10 November 1989. 37 Ibid. 11 dari kelompok Pemuda PNI dan NU. Para sukarelawan tersebut diberi latihan selama dua atau tiga hari sebelum dikirim ke desa-desa dalam kesatuan yang dipimpin oleh anggota baret merah. Tugas mereka dalah menghancurkan PKI.38 Pada perkembangannya, operasi yang dipimpin RPKAD tidak mendapat perlawanan dari para pendukung Gerakan 30 September. Sesudah diadakan pemeriksaan singkat mereka yang dipandang sebagai aktivis dibunuh dan para pendukung pasif ditempatkan di kamp-kamp tahanan serta penjara.39 Lagi pula kepulangan Brigade Infanteri 4/Diponogoro dari wilayah perbatasan, pimpinan Kolonel Jasir Hadibroto, lebih meringankan beban yang dipikul oleh RPKAD. Brigif 4 ini berhasil menangkap dan membunuh D.N. Aidit dan Ir. Surachman. Selanjutntya, Brigif ini juga turut serta membantu RPKAD dalam melancarkan Operasi Merapi yang pelaksanaannya di bawah komando C.I. Santosa, yang akhirnya berhasil menghabisi Kolonel Sahirman dan kawankawan. 40 Pertengahan bulan Nomber 1965, para pemimpin AD di Jawa Tengah mulai kuatir atas pembunuhan massal yang berlangsung dan cenderung tidak terkendali. Para Pemuda PNI dan NU seakan-akan sudah tidak bisa mengekang diri, sehingga menghantam aktivis-aktivis PKI, mereka melanjutkan ke korban-korban lain yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan PKI Sarwo Edhie sendiri mulai ngeri dan kuatir melihat bagaima mereka mengamuk. Akhirnya dia memberi peringatan, “Kita tidak boleh menjawab teror dengan teror, karena Al-Quran sendiri memperingatkan kita untuk tidak melampui batas… Kita semua adalah manusia yang percaya kepada Tuhan dan kelima sila dari Pancasila. Sebab itu, tidaklah baik jika membalas kejahatan dengan kejahatan.” 41 Tujuan Sarwo Edhie ke Jawa Tengah sendiri sebetulnya bukan untuk mencari kemenangan, tetapi mencoba membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Gestapu /PKI dan menunjukkan siapa sebenarnya yang berada di balik peristiwa Gerakan 30 September. Sarwo Edhie mengatakan lebih lanjut bahwa pasukannya bertindak sejalan dengan permintaan Presiden yang meminta fakta sebanyak mungkin tetang keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September.42 Ketika pembunuhan yang kelewat batas tetap berlangsung, Presiden Soekarno menentang kejadian-kejadian yang merupakan ‘epilog‘ Gerakan 30 Septmber dan Soekarno menyatakan, ”Terjadi Epilog ini telah mengganggu sukmaku, telah membuatku sedih, membuatku khawatir… Dengan terus terang kukatakan aku meratap kepada Allah, bertanya kepada Tuhan, bagaimana ya Allah, robbi, bagaimana semua ini dapat terjadi?”. Presiden Soekarno benar-benar ngeri melihat suatu bangsa yang bersatu dan cintai damai diremukkan oleh pemandangan di mana orang-orang Indonesia membunuh secara kejam orang Indonesia lainnya. Dari sudut Soekarno sendiri disadari sepenuhnya implikasi dan semangat anti-PKI ini. Lenyapnya PKI sebagai suatu kekuatan politik, 38 Berdasarkan wawancara dengan Sarwo Edhie Wibowo, 5 September 1970, sebagaimana dikutip oleh Harlod Crouch, hal. 166—167. 39 Harlod Crouch, ibid, hal. 167—168. 40 Tiga Puluh Tahun Divisi Infanteri I/Kostrad 1961-1991, (Malang: Tim Penyusun Sejarah Divif 2/Kostrad, 1991), hal. 237—240. 41 Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 385—386. 42 John Hughes, Indonesia Upheaval, (New York: Fawcett Publication Inc, 1967), hal. 130—131. 12 dapat diartikan Angkatan Darat telah berhasil menumbangkan sistem yang memberikan kekuasaan kepada Soekarno. Tanpa adanya PKI untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Darat, maka kekuasaan Soekarno menjadi terbatas.43 Setelah menghancurkan PKI di Jawa Tengah dengan Kompi Benhur-nya dikirim ke Bali untuk memulihkan keamanan atas situasi pembunuhan massal yang semakin tidak terkendali. Tugas Sarwo Edhie di sana, sebagaimana dikatakannya, adalah untuk mengekang mereka terutama Pemuda PNI, agar tidak melakukan perbuatan yang kelewat batas. Kehadiran RPKAD tetap diwarnai dengan pembunuhan, tetapi sekarang di bawah koordinasi dan hanya aktivis-aktivis PKI-nya saja yang dieksekusi.44 Menggeser Soekarno Kepopuleran Sarwo Edhie atas keberhasilannya menumpas PKI di Jawa Tengah menyebabkan dia diundang untuk menyemarakkan acara rapat umum yang diadakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di halaman FK UI pada tanggal 10 Januari 1966. Sarwo Edhie disodori konsep awal Tritura yang berisi; Bubarkan PKI, Susun Kembali Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga Sangan Pangan. Mengomentari konsep tersebut Sarwo Edhi mengatakan, ”Tritura adalah hati nurani rakyat. Seandainya mahasiswa merasa yakin dengan rumusan tersebut ,maka saya anjurkan jalan terus. Kalau tidak, ada baiknya pulang saja, sebab perjuangan tanpa keyakinan percuma saja dilakukan.“ 45 Dalam rapat umum tersebut Sarwo Edhi diminta berbicara. Setelah memperkenalkan staf perwiranya, Mayor C.I. Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono, dia mengatakan bahwa kehormatan besar baginya selaku komandan pasukan dapat berbicara di hadapan massa KAMI. Ia pun menyatakan terima kasih kepada Aidit dengan Gestapu yang telah membuat huru-hara, dan akibatnya dapat mempersatukan mahasiswa kembali. Kemudian terjadi dialog antara Sarwo Edhie Wibowo sebagai berikut : Sarwo Edhie: “Apakah masih ada yang belum diamankan ?” Mahasiswa: “Aidit, Pak ….!” Sarwo Edhie: “Lho, kok di mana-mana banyak orang masih kangen sama Aidit itu?” Mahasiswa: “Biar mampus Pak….!” Sarwo Edhie: “Biar seribu Aidit, kalau bumi Indonesia subur dengan Pancasila, 43 Harlod Crouch, op. cit, hal. 172-174. 44 John Hughes, op.cit., hal. 150-158. 45 Cerita Sarwo Edhie Wibowo mengenai 10 Januari 1966, Estafet No. 39, Th. V, Jan 1090. Sebenarnya konsep Tritura tidak orsinil dari KAMI. Ketika KAMI akan mengadakan demonstrasi, Kas Dam Jaya Witono memperbolehkan asal masalah pembubaran PKI dan retooling kabinet dimasukan sebagai tuntutan KAMI. Witono menganggap kalau masalah ekonomi saja yang menjadi tuntutan, fokus perhatian penggayangan PKI akan berpindah dan terabaikan, (wawancara dengan Marsilam Simandjuntak). 13 mereka tidak mungkin melakukan kup. Apalagi satu Aidit. Dan kamu tidak perlu merisaukan Aidit. Biarlah dia istirahat di tempat lain.“46 Pernyataan Sarwo Edhie ini pada dasarnya merupakan konfirmasi resmi atas desas-desus telah meninggalnya D.N. Aidit. Terlepas apakah pembunuhan tersebut bermoral atau tidak, tetapi yang pernyataan Sarwo Edhie tersebut telah menaikkan semangat mahasiswa yang tergabung dalam KAMI.47 Usai rapat umum, massa mahasiswa mulai bergerak menuju gedung Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan dan kemudian ke Sekretariat Negara guna menyampaikan pernyataan Tritura. Pernyataan tersebut dibacakan di depan Waperdam Chaerul Saleh yang menangani masalah ekonomi. Setelah itu, KAMI menyatakan mogok kuliah sampai tuntutan Tritura dipenuhi.48 Pada tanggal 15 Januari 1966, ribuan mahasiswa dengan truk-truk yang disediakan oleh Kepala Staf Kodam Jaya, Kolonel Witono dan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris, mendatangi Istana Bogor untuk mengikuti sidang kabinet.49 Soekarno dalam sidang kabinet tersebut, berpidato yang mengandung kemarahan dan kritik keras atas cara-cara mahasiswa menyampaikan tuntutannya. Akhirnya Soekarno menyerukan kepada siapa saja yang membutuhkan dan setuju dengannya, supaya membentuk Barisan Soekarno. Keinginan ini dapat dukungan dari Subandrio yang disampaikan melalui siaran RRI keesokan harinya. Bahkan dia pun mencoba menghasut Soekarno agar menyeret Soeharto, Nasution dan Sarwo Edhie ke depan Mahmilub, karena mereka bertanggung jawab terhadap pembunuhan 250.000 orang komunis.50 Ketika berlangsung pelantikan kabinet Dwikora pada tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa kembali berdemontrasi di depan istana. Pada saat itu meletus tembakan dari pasukan Cakrabirawa yang menewaskan salah seorang demonstran, bernama Arief Rachman Hakim, anggota Gerakan Pemuda Marhaenis. Esok harinya kematian Arief Rachman Hakim telah mengundang lautan api di jalan-jalan yang dilalui mobil jenazah mahasiswa FK UI tersebut. Langkah berikutnya, setelah konsultasi dengan Sarwo Edhie dan Kemal Idris, mahasiswa KAMI membentuk Laskar Arief Rachman Hakim . Adapun nama ketujuh batalyonnya masing-masing diberi nama para perwira yang terbunuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Secara simbolis ini mengingatkan perjuangan mereka melawan G-30-S/PKI.51 46 Yozar Anwar, Angkatan 66 Catatan Harian Seorang Mahasiswa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 4— 12. 47 Editor, loc. cit. 48 Christianto Wibisono, Aksi-aksi Tritura, (Jakarta: Deperatemen Pertahanan – Keamanan, Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 1970), hal. 11-19. Demonstrasi KAMI itu mendapat dukungan moral dari Soeharto, yang dikatakan bahwa aksi-aksi itu sebagai perwujudan dari kontrol sosial. Lihat Kata Sambutan MenPangad Soeharto, dalam The leader, the man dan the gun, (Jakarta: PT Matos, 1066), hal. 20—24. 49 Harlod Crouch, op.cit., hal. 187—188 dan Ulf Sundhaussen, op,.cit , hal. 398—399. 50 O.G Roeder, op.cit., hal. 81-82. Barisan Soekarno yang diharapkan akan dapat menunjang dan mengokohkan kembali kedudukan Soekarno, ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya. Karena penguasa militer daerah kuatir adanya front semacam itu hanya memperuncing situasi yang ada maka tak dijinkan front itu bergerak di daerah kekuasaannya. 51 Harlod Crouch, op.cit., hal. 206—208. 14 Tanggal 8 Maret 1966, Laskar Arief Rachman Hakim menyerang dan menduduki Departemen Luar Negeri. Besoknya, bersama KAPPI, mereka menduduki gedung departemen gedung Departemen P dan K, dan kemudian menyerang Kantor Berita Hsin Hua. Hari selanjutnya, Kantor Konsulat RRT dan Gedung Kebudayaan Cina, menjadi sasaran berikutnya. Pada hari yang sama, di istana, Soekarno meminta dukungan para pimpinan partai politik untuk mendatangani suatu pernyataan yang mengutuk demontrasi tersebut. Permintaan tersebut disetujui oleh para pemimpin partai.52 Tetapi sehari kemudian semua partai politik, kecuali PNI dan Partindo, mencabut kembali dukungan terhadap pernyataan tersebut.53 Selama ini TNI-AD menghendaki agar Soekarno melarang PKI secara resmi, dan kemudian memberhentikan para menteri seperti Subandrio dan lainnya yang pro-PKI atau anti-Angkatan Darat. Namun perombakan kabinet yang dilakukan Soekarno masih mempertahankan para menteri yang tidak dikehendaki TNI-AD. Pada saat yang bersamaan, TNI-AD juga menyadari ketidakmungkinannya untuk berhadapan frontal secara langsung dengan Soekarno. Jika dilakukan ini hanya akan melahirkan dukungan terhadap Soekarno, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, ada kemungkinan AU, AL dan Kepolisian akan berada di belakang Soekarno. Ini belum lagi TNI-AD memperhitungkan perwira AD yang Soekarnois seperti Ibrahim Adjie dan Suryo Sumpeno. Untuk itu, Sarwo Edhie dan Kemal Idris, mendorong mahasiswa untuk terus bergerak sebagai salah satu cara menekan Soekarno memenuhi harapan mereka.54 Menjelang sidang kabinet, Soeharto memberikan perintah kepada Kemal Idris untuk menangkap Subandrio dengan mempercayakan pelaksanaannya pada dirinya. Kemal Idris merencanakan untuk memasang pasukan tanpa insial untuk mengelilingi istana pada saat sidang kabinet, dan untuk itu RPKAD mendapat tugas untuk menjalankan operasi tersebut.55 Kemudian C.I. Santosa memilih Kompi Benhur (yang dikenal dengan julukan “Pasukan Jenggo“ karena kepiawaian dalam bertempur) sebanyak 3 kompi. Pada tanggal 10 Maret 1966, sekitar jam sebelas malam Pasukan Jenggo dikumpulkan. Kepada mereka ditawarkan siapa yang berminat menjadi anggota pasukan tanpa inisial. Ternyata hampir semua menawarkan diri dan kemudian dipilih 15 prajurit untuk tugas itu. Sebenarnya tugas ini berat karena bukan pasukan resmi maka jika gagal bisa saja RPKAD lepas tangan untuk tidak bertanggung jawab.56 Tanggal 11 Maret 1966, sebelum pasukan RPKAD tanpa inisial berangkat ke istana, Sarwo Edhie berpesan kepada pasukannya bahwa mereka boleh menembak “Si Tikus“ (Subandrio), asal tidak dekat dengan Soekarno. Tim pertama yang terdiri dari 7 prajurit mengambil posisi di pintu masuk Istana di Jalan Merdeka Utara. Sementara tim yang lain berjaga-jaga di sekitar Harmoni.57 Pada saat bersamaan, menjelang pasukan bergerak, Kemal Idris diperintahkan Pangkostrad (Umar Wirahadikusuma) atas perintah Wakil Panglima AD (Maraden Panggabean) untuk menarik kembali pasukannya. 52 Ibid. 53 Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 408. 54 Harlod Crouch, op.cit., hal. 193—197. 55 Memoar Achmad Kemal Idris, Tempo, 20 Oktober 1990, hal. 51—64. 56 Editor, loc. cit. 57 Ibid. 15 Meskipun Kemal Idris dikatakan sebagai petualangan dan akan dilaporkan pada Pangad Soeharto, Kemal Idris menolak perintah penarikan pasukan tersebut.58 Ketika Soekarno mengetahui adanya pasukan liar istana, dengan segera bersama Subandrio dan Chaerul Saleh meninggalkan sidang kabinet menuju helikopter yang ada di halaman Istana. Ketika itu Prajurit Ngadiri yang berada di posisi pintu masuk Istana nyaris menembak Subandrio yang berdekatan dengan Soekarno, dengan menggunakan Roket Launcher. Seandainya prajurit Suwarso tak mendekap Ngadri dan mengeluarkan isi peluru dari moncongnya, bisa jadi helikopter akan hancur dan demikian pula sebagian istana. Pertempuran antara Pasukan Baret Merah dengan Cakrabirawa tak akan terelakkan lagi.59 Mungkin jalan sejarah Bangsa Indonesia tidak sebagaimana yang diketahui pada saat ini. Keesokan harinya, Men/Pangad Soeharto berdasarkan Surat Perintah Presiden Soekarno, Jakarta 11 Maret 1966, yang kemudian dikenal dengan Supersemar, mengeluarkan surat perintah mengenai pembubaran PKI beserta ormas bawahannya.60 Untuk menyambut pembubaran ini, Sarwo Edhie memprakarsai diadakan pameran kekuatan. Ketika dia dengan pasukannya beserta tank-tank siap bergerak, dia mendapat perintah membatalkan pawai tersebut dan pasukannya diminta untuk menempati pos-pos tertentu di Ibukota Jakarta. Situasi dilema ini menimpa diri Sarwo Edhie. Kalau dilanggar berarti mempertaruhkan pangkat dan jabatannya. Sebaliknya kalau dibatalkan akan menurunkan semangat Orde Baru dan juga memalukan dirinya, pada akhirnya dia menolak perintah tersebut.61 Peserta pawai terdiri dari RPKAD, Brigade Para Kostrad, Yonif 314 dan 315 Siliwangi, Batalyon Raider 328 Siliwangi, Yonif 527 Brawijaya, Brigade Kaveleri, Satuan Penerbang TNI-AD dan ribuan pelajar-mahasiswa Pawai bergerak dari lapangan Parkir Timur Senayan. Pawai kemenangan itu berlangsung semarak, meskipun diakui oleh Sarwo Edhie sendiri, sebagai pawai yang paling kacau yang pernah dipimpinnya.62 Meskipun secara resmi PKI dan ormas bawahannya sudah dilarang, tetapi Soekarno masih belum juga memecat Subandrio dan menteri lainnya yang bergaris kiri. Untuk itu, anggota Laskar Arief Rachman Hakim dan KAPPI yang mulai resah, setelah berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Sarwo Edhie melakukan aksi menculik para menteri tersebut seperti Astrawinata, Sudibjo dan Prijono. Hari-hari berikutnya, Sarwo Edhie dan RPKAD mendapat tugas mengepung Istana. Pangdam Jaya V Amir Machmud, meminta Soekarno merelakan Subandrio untuk ditangkap. Soekarno memberikannya 58 Memoar Achmad Kemal Idris, ibid. 59 Editor, loc. cit. Pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno mendapat informasi dari Brigjen Suadi, duta besar Indonesia untuk Ethiopia yang baru saja pulang ke Jakarta, yang mengabarkan bahwa pasukan RPKAD akan menyergap istana. Karena itu Soekarno kemudian menghubungi Panglima KKO, Hartono, yang mengulangi jaminan bahwa KKO siap menghadapi RPKAD (Harlod Crouch, hal. 208). 60 Adanya penafsiran yang berbeda mengenai Surat Perintah Presiden Soekarno (Surat Perintah Sebelas Maret). Ada yang menyebutkan Surat Perintah Sebelas Maret itu dibuat di Bogor dan ada pula yang menyatakan telah disiapkan dari Jakarta. Secara berturut-turut periksa. Amir Machmud, Amir Machmud Menjawab, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), hal. 50—63 dan John Hughes, op.cit., hal. 201—202. Versi Amir Machmud menjadi versi resmi. 61 Artini, Pelita, 5 Oktober 1985. 62 Kompas, 10 November 1989. 16 dengan pesan kepada Amir Machmud untuk tidak membunuhnya. Penangkapan tersebut, terus berlangsung, baik di istana maupun tempat lain, kecuali Achmadi dan Surachman yang sempat meloloskan diri.63 Akhirnya, Soekarno mau mengadakan pembaruan kabinet pada akhir bulan Maret 1966 dan komposisi keanggotannnya mencerminkan hasil kompromi antara Soekarno dan Soeharto. Paruh kedua tahun 1966, Yusuf Muda Dalam, Subandrio dan Omar Dhani diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa. Dalam kesaksian mereka muncul pernyataan yang menjelaskan bahwa Soekarno sudah mengetahui akan terjadinya G-30-S. Sebagai reaksi, kesatuan aksi yang didukung oleh Sarwo Edhie, Kemal Idris dan H.R. Dharsono, mengeluarkan pernyataan kekurangpercayaan mereka terhadap Soekarno. Mereka menuntut agar Soekarno diturunkan dari jabatannya dan kemudian diadili.64 H.R. Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie mengadakan pertemuan di Cipanas untuk mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi. Mereka sepakat untuk menghancurkan Orde Lama secepat mungkin, dan mulai terlihat bahwa tuntutan diturunkannya Soekarno dibarengi dengan adanya tanda-tanda dukungan militer terhadap Soekarno di Jawa Tengah dan Jawa Timur.65 Akhirnya, bulan Maret 1967, diselenggarakan sidang MPRS yang memutuskan mengenai larangan terhadap Soekarno mengambil bagian dalam kegiatan politik sampai Pemilihan Umum. Untuk memberlakukan keputusan ini maka mandat MPRS dan semua kekuasaan Soekarno dicabut sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Kemudian MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI. Meskipun Soekarno sudah dicopot dari kekuasaannya, Sarwo Edhie, Kemal Idris dan HR Dharsono masih bersikeras menghendaki agar Soekarno diadili. Untuk menghindari situasi yang lebih buruk lagi, khususnya pertikaian antara pro dan anti-Soekarno, maka dalam melangkah, dilakukan mutasi terhadap faksi-faksi yang berseteru.66 Tidak lama setelah Soekarno diturunkan dari kekuasaanya, pada bulan Juni 1967, Sarwo Edhie pun dipindahtugaskan menjadi Panglima Kodam II/ Bukit Barisan.67 Membekukan PNI Keruntuhan kekuasaan Soekarno ternyata telah menyeret PNI. Karena kedekatan partai berlambang kepala banteng dengan Soekarno, PNI di berbagai daerah mengalami cobaan dalam mempertahankan eksistensinya. Di satu pihak PNI menghadapi tekanan 63 Harlod Crouch, op.cit., hal. 215-216. 64 Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 427-431. 65 Harlod Crouch, op.cit., hal. 235-238. 66 Ketika itu dalam tubuh TNI-AD terdapat 4 faksi. Faksi Soeharto, yang paling kuat didasarkan pada rumpun Diponogoro. Faksi Panglima Se-Jawa yang dipimpin oleh perwira perwira Siliwangi (termasuk Sarwo Edhie). Faksi Nasution yang berjumlah lebih kecil dan tak mempunyai basis Kodam. Faksi para perwira yang dekat dan setia pada Soekarno. Lihat, Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 154-155. 67 Kepindahan Sarwo Edhie sebagai awal tergesernya Faksi Panglima Se-Jawa, yang mana kemudian diikuti oleh Dharsono yang ditunjuk sebagai duta besar Indonesia untuk Thailand dan Kemal Idris yang dipromosikan menjadi Komandan Wilayah Indonesia Timur, karena radikalisme politiknya. Dengan demikian tulang punggung posisi ‘radikal‘ telah patah dan keunggulan Faksi Soeharto bertambah pasti (Harlod Crouch, hal. 263—264). 17 yang dilakukan kesatuan aksi maupun partai politik yang menginginkan agar PNI dibubarkan saja. Di lain pihak PNI menghadapi begitu kuatnya posisi penguasa daerah khususnya Panglima Kodam (TNI-AD). Eksistensi PNI tergantung sekali dengan kebijaksanaannya yang diambil oleh penguasa daerah itu. Pada saat Sarwo Edhie menjadi penguasa militer di Sumatra Uatara, dia menyatakan perang terhadap para pendukung dan simpatisan Orde Lama. Untuk itu, dia melakukan pembekuan terhadap eksistensi PNI di wilayah kekuasaannya. Memang sukar buat partai politik berkepala banteng ini, mengingat dalam perjalanan sejarahnya partai tersebut sangat dekat mantan Presiden Soekarno. Adapun alasan digunakan Sarwo Edhie dalam membekukan partai PNI adalah, karena tuntutan dari bebagai organisasi massa, partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi. Di samping itu, Marhaenisme ajaran Soekarno pada hakekatnya adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia, dan ini sama sekali tidak sejalan dengan Pancasila. Menurut Sarwono Edhie, pembekuan tersebut, akan berlangsung terus selama PNI masih berpegang pada ajaran-ajaran marxismemarhaenisme tersebut, dan tidak ada itikad baik untuk menyesuaikan diri dengan perjuangan Orde Baru. Konon ada informasi yang mengungkapkan bahwa Sarwo Edhie akan berusaha keras untuk memotong keanggotaan massa PNI, dan kemudian menyalurkan mereka ke dalam partai-partai politik yang lain, khususnya IPKI (partai yang didirikan oleh sejumlah perwira TNI-AD menjelang pemilu 1955). Tampaknya Sarwo Edhie memiliki alasan yang cukup kuat untuk membubarkan keberadaan PNI secara permanen.68 Sikap anti terhadap PNI ini ditunjukkan Sarwo Edhie ketika menolak permohonan audiensi dari pimpinan PNI di Sumatra Utara. Bahkan dia pun menolak permohonan serupa yang diajukan oleh Sunawar Sukowati, yang saat itu adalah pimpinan pusat PNI.69 Ternyata sikap Sarwo Edhie ini memperoleh dukungan dari Pejabat Panglima Angkatan Darat, Jenderal Maraden Panggabean. Bahkan dinyatakan bahwa kebijaksaaan Sarwo Edhie ini juga sejalan dengan keinginan Panglima Antar Daerah Pertahanan Sumatra, Mayjen Kusno Utomo. Dia menyatakan keraguannya mengenai itikad baik PNI terhadap Orde Baru, dan baginya, marxisme-marhaenisme sudah tidak memiliki tempat lagi dalam masyarakat. Meskipun demikian, dia mengusulkan agar PNI lebih baik meneruskan perjuangannya dalam bidang kekaryaan-keormasan saja.70 Pada akhirnya PNI memenuhi keinginan pemerintah untuk meniadakan gelar Bapak Marhaeinisme atas diri Soekarno, dan sepakat untuk tidak menghendaki kembalinya Soekarno sebagai pimpinan nasional.71 Pada tanggal 21 Desember 1967, Pejabat Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi kepada para penguasa daerah agar membantu dan memberikan kesempatan kepada PNI untuk mengadakan konsolidasi dan kristalisasi di dalamnya, dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan yang digariskan pusat. Sarwo Edhie sebagai penguasa menerima dan menjalankan instruksi itu, meskipun dia tidak terlalu setuju dengan kebijaksanaan pemerintah pusat terhadap keberadaan PNI tersebut. Baginya, merangkul PNI yang menganut ajaran-ajaran 68 Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hal. 180-191. 69 Wawancara dengan J. Mailoa di Cipayung, 30 Oktober 1991. 70 Nazaruddin Sjamsuddin, ibid. 71 Hardi, Api Nasionalisme – Cuplikan Pengalaman, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 49—53. 18 Soekarno adalah suatu hal yang kontradiktif dalam memenangkan Orde Baru. Dia tetap yakin bahwa PNI masih tetap menganut ajaran yang bersumber dari marxisme, sebagaimana yang dianut oleh PKI yang ditumpasnya.72 Dengan sikap Sarwo Edhie ini maka akhir bulan Desember 1967, Kepala Staf Komando Wilayah di Sumatra, Brigjen J. Muskita, merasa perlu mengambil-alih secara pribadi kepemimpinan Sarwo Edhie untuk lebih menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah pusat. Tak lama kemudian, pada tahun 1968, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat (Irian Jaya).73 Kebijaksaan pemerintah yang didominasi TNI-AD tak membubarkan PNI, meskipun terdapat desakan yang begitu kuat dari kesatuan aksi maupun partai politik yang menginginkan agar PNI yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dibubarkan saja, karena TNI AD mempunyai kepentingan. PNI yang mempunyai basis di kalangan abangan dan pamong praja, bisa digunakan TNI-AD dalam rangka perimbangan kekuataan antara golongan nasionalis dan Islam. Mengenai politik balance of power itu dianggap oleh Sarwo Edhie sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Jaman itu tidak mengingikan cara-cara devide et impera, memecah belah masyarakat agar mudah dikuasai, karena kita semua merasa menerima Pancasila.74 Masalah Irian Barat Salah satu prestasi Sarwo Edhie yang patut diketengahkan adalah peranannya dalam soal integrasi Irian Barat ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kisahnya dimulai ketika pada kuartal pertama tahun 1968, Kepala Suku Arfak, Lodewijk Mandatjan dan rakyatnya memutuskan kembali ke gunung-gunung di Irian Barat. Sejak saat itu gangguan terhadap keamanan mulai meningkat. Padahal sesuai dengan New York Agreement, pada akhir tahun 1969 akan diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan apakah masyarakat Irian akan atau tidak bergabung ke dalam jurisdikasi negara kesatuan Indonesia. Sementara itu, pemerintah Orde Baru melihat apa yang dilakukan oleh gerakan Lodewijk sebagai gerakan separatis, dan sudah pasti akan membahayakan pelaksaan Pepera. Keberhasilan akan kelangsungan Penentuan Pendapat Rakyat, tentunya akan mengangkat citra pemerintah Orde baru yang didominasi milier di mata internasional. Untuk meredam gangguan keamanan tersebut, Sarwo Edhie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam XVII/Cendrawasih, memutuskan menggerakan pasukannya untuk menghancurkan basis pasukan Lodewijk Mandatjan. Namun disadari, bahwa operasi ini akan berjalan tidak terlalu mulus. Masalahnya jelas, medan Irian Barat yang bergunung-gunung dan berhutan-hutan lebih memberikan keuntungan pada organisasi Papua Merdeka yang memang telah terbiasa dengan medan seperti itu. Namun demikian, melalui berbagai serangan yang dibangun Sarwo Edhie dan pasukan lambat laun daya tempur pasukan Lodewijk semakin merosot dan posisi mereka semakin 72 Nazaruddin Sjamsuddin, ibid. 73 Harlod Crouch, op.cit., hal. 263-264. 74 Nazaruddin Sjamsuddin, op.cit. 19 terdesak. Ruang gerak mereka menjadi terjepit dan akhirnya mereka hanya bergerak untuk melarikan diri. Di samping melalui pertempuran untuk menghindari lebih banyak korban, Sarwo Edhie melalui pasukannya menyebarkan selebaran ke berbagai tempat, yang berisi anjuran bagi mereka untuk bersedia turun dari hutan dan gunung, dan kemudian kembali ke kampung halaman mereka. Dijamin mereka tidak akan mendapat tuntutan atas apa yang telah mereka kerjakan selama ini. Seruan tersebut berlaku dari tanggal 1—30 November 1968. Akhir bulan November, telah turun sebanyak 1.869 orang, di antaranya 257 orang pasukan dengan kekuatan 99 pucuk senjata. Langkah berikutnya, Sarwo Edhie menugaskan Mayor Heru dan Sersan Mayor Udara Djon Seleky (keduanya anak angkat Lodewijk Mandatjan) untuk memanggil mereka yang masih ada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tanggal 28 November 1968, terjadi pertemuan yang mengharukan antara anak dan ayahnya. Akhirnya Lodewijk Mandatjan setuju untuk turun dari persembunyiannya bersama kedua anak angkatnya, dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tanggal 7 Januari 1969, Lodewijk Mandatjan, Barrent Madatjan, Heru, Djon Seleky, Sarwo Edhie dan R. Askari (Pangda Indonesia Timur) berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden Soeharto, KASAD dan penjabat pemerintah lainnya.75 Harus diakui gerakan Lodewijk ini ternyata memang membawa inspirasi bagi sejumlah penduduk Irian Barat penduduk Irian Barat di berbagai tempat untuk menyatakan dukungannya kepada Organisasi Papua Merdeka. Menurut beberapa informasi, basis dukungan gerakan tersebut tersebar sekitar Sukarnapura, Fakfak, Kaimana, Sorong dan Merauke.76 Untuk mengantisipasi hal ini, diperkenalkan Operasi Wibawa yang merupakan panduan antara operasi tempur, teritorial dan intelejen. Operasi tempur bertujuan untuk menghancurkan kekuatan fisik musuh, sedangkan operasi teritorial dipakai untuk melakukan seruan kepada pihak lawan agar membawa kembali ke kampung halaman masing-masing, dan bersamaan dengan itu diupayakan peningkatan kesadaran masyarakat. Ini terutama diarahkan untuk memenangkan Pepera dengan dasar keyakinan bahwa Irian Barat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Sementara itu, operasi inteljen diarahkan untuk membongkar dan sekaligus menetralisir organ-organ pendukung gerakan separatis. Di samping paduan operasi tersebut, Sarwo Edhie juga melakukan pendekatan psikologis melalui unsur zending dan missi, yang diminta bantuannya untuk menghubungi tokoh-tokoh utama gerakan separatis 75 Sejarah Militer Kodam XVII /Cendrawasih, (Jayapura: Pradja Gupta Wira, 1971), hal. 158—168. Ketika masa pendudukan Jepang, Suku Arfak menolak kerja paksa yang diadakan tentara Jepang dan melawan Jepang. Perlawanan yang dilakukan mengakibatkan banyak korban dari suku Arfak. Ketika Perang Dunia Kedua Suku Arfak membantu Sekutu melawan Jepang dengan menggunakan panah dan senjata api milik tentara Sekutu. Karena jasanya itu, Kepala Suku Arfak, Hotmoes Mandatjan diberi pangkat kehormatan sebagai Kapten dan bergelar Lodewijk. Pada pertengahan tahun 1965, suku Arfak meninggalkan kampung halaman dan bergabung dengan oprganisasi Papua Merdeka. Tak lama kemudian Lodewijk Mandatjan beserta rakyat pulang ke kampung halamannya untuk memenui uluran tangan damai dari pemerintah. Ia medapat pangkat Mayor Tituler dari pemerintah RI dan kecewa dengan pemerintah RI pada awal tahun 1967, Lodewijk Mandatjan beserta rakyatnya kembali ke hutan. 76 Robin Osborne, Indonesia‘s Secret War – The Guerilla Struglle in Irian Jaya, (Sidney: Allen & Unwin, 1985, hal. 37. 20 dan sekaligus menetramkan daerah-daerah yang belum diatasi. Tokoh-tokoh berpengaruh di berbagai daerah, tempat pendukung gerakan separatis beroperasi, diminta untuk membantu memadamkan gerakan-gerakan separatis yang ada.77 Berbagai upaya yang dilakukan Sarwo Edhie ternyata membuahkan hasil positif Pelaksaaan Pepera dapat berjalan dengan relatif aman, dan uniknya Pepera ini tidak dijalankan sebagaimana yang berlaku dalam praktik internasional, tetapi berdasarkan tradisi masyarakat Indonesia. Pepera dilaksanakan berdasarkan perwakilan dari wakilwakil kabupaten Jayapura, Cendrawasih, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke, Paniai dan Jayawijaya Tercatat 1.025 wakil yang duduk sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera, dan mereka mewakili sekitar 800.000 orang Irian Barat. Keputusan mereka jelas yakni tetap bersatu dalam wilayah Republik Indonesia. Atas segala upaya Sarwo Edhie dan pasukannya dalam meredam gangguan keamanan, yang memungkinkan terlaksananya Pepera, dia mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah dan DPR.78 Kekaryaan Pada tahun 1970, tidak sampai dua tahun bertugas di Irian Barat (sekarang Irian Jaya), Sarwo Edhie dipindahkan ke Magelang menjadi Gubernur AKABRI Umum dan Darat. Di sana, pengaggum Mac Arthur dan Rommel ini, tidak memiliki pasukan yang langsung berada di bawah kepemimpinnya. Pada masa awal jabatannya, dia sempat mengeluarkan pernyataan bahwa dia mempunyai sikap anti terhadap Operasi Karya, dan saat itu pernyataannya sempat menjadi headline dan berbagai surat kabar. Meskipun kemudian dia meralatnya dengan menyatakan bahwa yang dimaksud adalah ketidaksetujuannya terhadap para militer yang menggunakan kendaraan kantor atau dinas untuk kepentingan pribadi.79 Dalam jabatannya ini, Sarwo Edhie yang pernah mengikuti berbagai pendidikan seperti Infantery Officier’s Advanced Collge, Fort Benning, USA dan Command and General Saff Collge, Queensciff, Australia, memutuskan untuk menghapuskan tradisi perpeloncoan yang dianggap tidak berperikemanusian. Dia pun menulis falsafah hidupnya, Hidupku adalah untuk negara dan bangsa, dalam buku tahun AKABRI, yang kemudian dijadikan pegangan bagi setiap taruna.80 Sebagai orang yang akrab dengan mahasiswa, Sarwo Edhie berusaha mendekatkan para calon pemimpin sipil dan militer dengan cara mengundang mahasiswa untuk mengadakan pertandingan olahraga persahabatan dan juga temu diskusi. Harapannya agar mereka, sebagai calon pemimpin masa depan, tidak saling asing satu sama lain. Namun demikian, kebijaksanaan ini sendiri banyak ditafsirkan sebagai upaya Sarwo Edhie untuk mengumpulkan mahasiswa demi 77 Sejarah Militer Kodam XVII/Cendrawasih. 78 Ibid. 79 Operasi Karya (Bakti) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua kegiatan ABRI nonmiliter, terutama apa yang dikerjakan oleh unit eingineering (Zeni). Ia mencoba memberi kontribusi terhadap stabilitas politik dengan cara membantu mengubah kondisi yang mengarah kearah kekacauan sosial serta diharapkan memberi image lebih baik terhaap ABRTI dan peranannya dalam masyarakat. 80 Sarinah. loc. cit. 21 kepentingannya sendiri. Pada kenyataannya, kebijaksaaan ini kemudian tidak pernah diteruskan oleh para penggantinya.81 Pada akhir tahun 1973, Sarwo Edhie menyatakan akan mengundurkan sebagai Gubernur AKABRI. Tidak pernah ada penjelasan resmi mengapa dia berbuat demikian.82 Namun yang pasti, pada bulan Januari 1974, sesudah peristiwa Malari, dia diberhentikan dari jabatan Gubernur AKABRI dan selanjutnya diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan.83 Bisa jadi jabatan sipil yang pertama ini semakin menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan, dan konon kabarnya pernah menimbulkan pikiran dalam dirinya untuk meninggalkan dunia ketentaraam. Pada bulan Agustus 1978, dia diangkat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Ketika ia melakukan inspeksi ke perwakilan Republik Indonesia di Timur Tengah pada bulan Desember 1978, Sarwo Edhie meluangkan waktunya untuk melakukan ibadah Umroh. Dalam masa jabatannya ini, dia kembali menunjukkan reputasinya dengan mengungkapkan berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan, dan sekaligus menertibkan dan menindak para pelakunya dengan tegas. Seperti biasa tindakannya menjadi berita besar dalam media massa. Selanjutnya, bulan juni 1984, dia kembali menduduki jabatan baru sebagai sebagai Kepala BP7. Dalam jabatannya ini dia lebih memiliki kesempatan berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara.84 Halaman-halaman di media massa memberi tempat baginya untuk mengartikulasikan pemikiran-pemikirannya selama ini yang terutama berkaitan dengan pekerjaannya yang dianggap begitu strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karier selanjutnya, dan yang terakhir, pada tanggal 1 Oktober 1987, dia dilantik menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar dari daerah pemilihan kota Jakarta. Namun kemudian, Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen DPR RI menjadi bahan berita media massa, ketika dia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai anggota DPR dengan alasan merasa tidak bisa berbuat banyak untuk kepentingan rakyat jika tetap di DPR. Surat pengunduran dirinya disampaikan pada tanggal 15 Maret 1988, empat hari setelah usainya Sidang Umum MPR. Konon kabarnya 14 hari setelah dilantik menjadi anggota DPR/MPR, ia telah menyampaikan permohonan mundur dari DPR. Ketika itu Ketua Umum Golkar (Sudharmono) menghendaki agar keinginan itu dibicarakan setelah Sidang Umum usai. Pengunduran dirinya ini memang menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu yang santer adalah karena urungnya dia menjadi Ketua DPR/MPR. Sarwo Edhie sendiri 81 Julius Pour, Kompas, 10 November 1989 dan keterangan yang diberikan oleh Ketut Surajaya, di Depok, 25 Oktober 1991. 82 Abadi, 17 November 1973. 83 Menurut Harlod Crouch, Pen-dubes-an Sarwo Edhie ini merupakan akibat kekalahan kelompok militer profesional (Hankam) yang dimotori oleh Soemitro melawan kelompok Jenderal ‘politik‘ dan ‘uang’ yang dimotori oleh Ali Mertopo. Kedua kelompok ini bersaing untuk mendapat perhatian Presiden dan memaksakan strategi ekonomi mereka, paling tidak dominasi politik mereka. Pertarungan yang mencapai puncaknya pada terjadinya Peristiwa Malari itu diakhiri dengan dibebastugaskan sejumlah kelompok militer profesional. Soemitro menolak pengangkatannya selaku duta besar di Washington, Sutopo Yuwono diangkat sebagai duta besar di Negeri Belanda, Kharis Suhud diangkat sebagai Kepala Kontingen Indonesia di Vietnam dan Sayidiman dipindahkan ke Lembaga Pertahanan Nasional. Dan Sarwo Edhie menerima pengangkatan sebagai duta besar di Korea Selatan (Harlod Crouch, hal. 343—356). 84 Kompas, 15 Juni 1984. 22 menolak dugaan seperti itu. Dengan tegas dia menyatakan bahwa jika ada dugaan semacam itu maka datangnya pasti dari PKI. Kalau melihat sumbangannya pada pemerintah Orde Baru sebenarnya jabatan sebagai ketua DPR/MPR rasanya layak untuk berikan kepada Sarwo Edhie Wibowo. Tetapi pemerintah Soeharto tentu punya alasan lain untuk tidak memberikan kepada perintis pemerintah Orde Baru. Apapun alasan di balik pengunduran dirinya, Sarwo Edhie adalah figur yang sudah terlanjur diselubungi mitos tertentu, dan bahkan juga diselimuti tragedi. Dia tidak pernah diperhitungkan orang sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tiba-tiba namanya mencuat karena keberhasilannya menampilkan dirinya sebagai Komandan RPKAD yang maupun menyerbu Halim dan menumpas PKI di Jawa Tengah. Dia berada dalam kedudukan strategis dan momentum yang tepat, tidak menyia-nyiakan kesempatan sejarah yang diberikan kepadanya. Untuk itu dia memang berhasil dan mencatatkan namanya dalam Sejarah Indonesia. Tetapi dari sini juga mitos dan tragedi muncul. Figur dirinya seringkali dilebih-lebihkan oleh berbagai pihak, dan akibatnya penempatan dirinya dalam aktor sejarah Indonesia pun kadangkala di luar proporsinya. Sudah pasti, hal seperti ini pun tidak disukai oleh Sarwo Edhie sendiri. Mungkin benar kata Mircae Elaide: ‘Setelah sesuatu peristiwa penting berlalu biasanya memang terjadi pembesaran makna. Fakta berubah menjadi legenda, pesan berubah menjadi mitos. Dan bukan liku-liku peristiwanya yang penting, tetapi kesan yang hendak disampaikan lewat kenangan peristiwa itulah yang penting“. Jika pembicaran diarahkan ke soal keberhasilan Sarwo Edhie dan RPKAD menyerbu Halim dan menumpas PKI di Jawa Tengah, maka seharusnya orang tidak pernah melupakan peranan yang dimainkan oleh C.I. Santosa. Dia dijuluki jagoan perang dan juga sangat disegani mahasiswa demonstran. Selanjutnya jika soal kedekatan hubungan RPKAD dengan mahasiswa KAMI diangkat ke permukaan, maka seharusnya orang pun tdak bisa melupakan jasa yang dilakonkan oleh Kepala Staf RPKAD, Prioyo Pranoto, dan Asisten intel RPKAD, Mayor Rudy Manoppo. Sarwo Edhie, harus diakui, memang telah berhasil menfaatkan dengan baik kesempatan sejarah, yang diberikan kepadanya. Namun keberhasilan itu pula yang selanjutnya mengakhiri peranannya dalam menentukan jalannya Orde Baru. Promosi jabatan yang selama ini diterimanya, semakin menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan. Karier dirinya selama Orde Baru lebih banyak dihabiskan dalam bidang kekaryaan ABRI dibandingkan dengan dunia militer, tempat digumulinya sejak perang kemerdekaaan. Hari-hari Terakhir Setelah mengundurkan diri secara resmi dan dunia pemerintahan pada pertengahan tahun 1988, Sarwo Edhie tidak bersikap oposisi terhadap pemerintah. Sebagai orang yang mengagumi tokoh wayang, Bima. Dia memang tidak mengikuti jejak beberapa pensiunan militer yang memilih jalan oposisi terhadap pemerintah. Sarwo Edhie pun tidak memiliki naluri menjadi pengusaha dan kemudian menjadi kaya raya. Kesederhanan hidupnya tercermin dari rumahnya di Cijantung, tempat di mana dia pernah menjadi Komandan RPKAD. Meskipun telah mengundurkan diri, bukan berarti dia sepi dan kesibukan. Sebaliknya, kesibukannya masih menyertai dirinya. Dia masih menjadi Ketua Umum Pengawas Bank Bumi Daya, Dewan Penyantun Universitas 23 Pancasila. Pelindung Universitas Proklamasi, saat yang bersamaan dia pun menjabat Ketua Bidang Pembina Generasi Muda Lembaga Veteran Republik Indonesia, Ketua Umum Taekwondo Indonesia, Pelindung Pamor (Perguruan Silat yang berpusat di Madura) dan Pelindung Organisasi Pencita Alam Wanadri. Meskipun tetap sibuk, tetapi dia pun menyempatkan diri dan meluanghkan waktu untuk menggarap seri biografinya, yaitu Buku Kapten Sarwo Edhie, Buku Harian Kolonel Sarwo Edhie dan Buku Letnan Jenderal Sarwo Edhie, yang semuanya didasarkan pada catatan harian pribadi yang sudah mulai ditulis sejak tahun 1943. Melalui biografi ini harapannya, dapat dibaca oleh generasi muda. Tentu saja berbagai teka-teki dan informasi yang belum terungkap selama ini dari peranannya dalam pembentukan Orde Baru, bisa jadi akan terungkap secara tuntas. Namun harapan tersebut, tinggal menjadi harapan. Sarwo Edhie, tanggal 9 November 1989 dini hari, telah menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dia meninggalkan seorang istri, Sunarti Sri Hadiyah, lima putri dan dua putra, serta delapan cucu. Dia dimakamkan di tempat kelahirannya, di desa Ngupasan Puworejo, tepat bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1989. 24