Pattimura Pattimura. Di manakah dia kini? Apakah dia masih hidup? Atau sudah tiada? Tanpa sadar kugigit bibirku. Asin. Bau darah. Ah, aku menyesal telah begitu membencimu, Pattimura. Tetapi apakah sesal yang berjejalan di dadaku dapat mengembalikanmu kemari? "Patti…, Patti…." Suara Ibu! Suara itu masih parau, pilu seperti bulan-bulan lalu. Kupandang wajah Ibu. Batin yang tertancap beliung kepedihan membuatnya tampak pias dan tubuh kurusnya yang telah beberapa hari ini terbaring semakin ringkih saja. "Patti…, apa sudah ada kabar dari Patti, Said?" "Belum. Tapi kita tak boleh berputus asa. Berdoa dan berusaha. Kita harus melacaknya. Bukan begitu, Said?!" Aku menatap ke arah pintu kamar dan mengangguk. Bapak masuk dengan kening berkerut dan meletakkan tas kerjanya begitu saja di atas meja rias Ibu. "Kau harus sembuh, Duma. Harus kuat. Insya Allah kita akan menemukannya," Bapak mencium kening Ibu dan menggenggam tangan pucat itu lama. Sambil duduk, di ujung tempat tidur, aku menatap mereka dan diriku dalam cermin di kamar Ibu bergantian. Ah, betapa miripnya aku dengan mereka. Kulitku yang legam, rambutku yang keriting, bola mata yang bulat, bibir tebal dan lebar, rahang persegi yang kokoh. Hanya hidungku lebih mancung, karena Ibu tak berhenti menariknya setiap hari sehabis bangun tidur, sejak aku kecil. Sementara Patti? Tentu saja ia tak mirip dengan siapa pun di rumah ini. Ia yatim piatu yang dipungut Ibu dari panti asuhan, tiga belas tahun lalu. "Nah, kalian sebaya, sekarang kau punya teman, Said!" Waktu itu umurku tujuh tahun dan aku cuma memandang dari atas ke bawah berkali-kali, sosok kurus dengan celana pendek dan baju yang kesempitan itu. "Assalaamualaikum," ia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. Ia tampan, hanya cara bicaranya mengingatkanku pada Om Suryono, teman Bapak yang orang Jawa itu. "Ini Said, anakku. Said Perintah. Itu nama pahlawan dari Maluku yang melawan Belanda tahun 1817." Ia mengangguk lagi. Dan ibuku, guru sejarah di sebuah sekolah lanjutan di Jakarta ini malah memberinya sebuah nama baru. Aku ingat, tiga belas tahun lalu, aku tertawa mendengar ucapan Ibu. < terbakar. hatiku Sementara hitam. merah bekas Meninggalkan tembem. yang pipiku di melayang itu gadis dari tamparan sebuah> Makanya, tak ada alasan untuk tak membenci Patti! Ia merampas semua perhatian dan cinta dalam keluarga ini! Bahkan Bi Iyem yang sudah bekerja di sini sejak aku belum lahir, lebih membela Pattimura daripada aku. Ini gila! "Kalau kamu takut tak diterima di UI atau ITB, kamu pilih Fakultas Teknik di Universitas Pattimura saja, Said!" seru Ibu saat kutanya pendapatnya setelah aku lulus SMU. "Di sana kan pusat keluarga besar Marabessy. Ada Om Saleh, Om Hasan, dan saudara-saudara kita yang lain. Lagipula kalau memilih Unpatti, kemungkinan kamu diterima lebih besar dari pada di UI atau ITB." "Aku mau di UI atau ITB saja," kataku bersikeras. "Mungkin Pattimura bisa, tetapi kamu? Ibu tak yakin. Nilai-nilaimu selama ini kan pas-pasan." Pattimura lagi! Dan saat kebencianku pada anak pungut itu semakin menggumpal, salahkah aku bila memintanya pergi? "Pergilah yang jauh, Patti…yang jauh," pintaku padanya malam itu di beranda. Sepi. Suara jangkrik mengerik-ngerik kepongahanku. Aku benar-benar datang untuk memohon. "Mengapa kau membenciku? Aku sudah menganggapmu seperti adik sendiri."Aku melihat segaris luka di matanya tertimpa cahaya bulan. "Kalau kau menyayangiku. Bila kau ingin menganggapku adik, pergilah…." "Tetapi…." "Aku tenggelam. Aku tercampak bila kau di sini. Biarkan aku mendapat perhatian keluarga dan teman-temanku lagi. Pergilah. Kau bisa ke Ambon. Bukankah ketika keluarga Marabessy berkunjung, selalu kau yang mereka cari? Aku janji, Patti, kau tak akan kekurangan. Aku janji…, tolong aku sekali ini saja. Pergilah…." Patti termangu lama. "Kau bisa jadi pengganti anak lelaki Om Saleh yang sudah meninggal itu. Ia pasti senang dan akan cepat sembuh bila kau tinggal di sana." Patti tidak menjawab. Ia cuma memandang bintang. "Jangan egois, Patti. Jangan renggut semua yang kumiliki!" tegasku saat itu. Patti masih terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk perlahan tanpa berkata sepatah kata pun. Dan sebulan kemudian…. "Apa?" Ibu dan Bapak nyaris tak percaya mendengar Patti memilih Fakultas Teknik di Universitas Pattimura! "Ganti pilihanmu, Patti. Lebih baik kau di ITB. Insya Allah kau bisa diterima." "Maaf, Pak, saya sudah terlanjur memilih. Lagi pula saya ingin suasana yang lain. Saya juga belum pernah ke Ambon. Wah, pasti keluarga Marabessy di sana senang, apalagi Om Saleh…bisa-bisa Patti dimanja, Bu!" Tak ada yang tertawa mendengar gurauan Pattimura waktu itu. Bahkan ketika ia di terima di Universitas Pattimura, Bapak dan Ibu masih mencoba menghalangi. "Tidak usah diambil, Patti. Terlalu jauh." "Ya, biar Bapak kuliahkan kamu di Trisakti saja. Said yang tidak dapat di universitas negeri juga akan ikut tes di Trisakti." Pattimura menatapku lama dan aku terhempas saat menemukan segaris luka yang belum hilang di matanya. "Maafkan saya, Pak, Bu, saya ingin sekali pergi." Patti berlutut di hadapan Bapak dan Ibu. "Saya juga ingin berbakti di sana…, mengajarkan anakanak dan remaja mengaji, misalnya." Bapak dan Ibu menghela napas panjang hampir bersamaan, seperti ada sebuah peti besar menghimpit mereka. Sepeti cinta yang menyesakkan dan itu bukan untukku. "Saya akan kirim surat setiap minggu, Bu. Ya, Bu, ya?! Ibu ndak usah membalas. Saya akan telepon juga setiap minggu. Ya, Pak, ya?" Gurat-gurat kesedihan tampak di wajah kedua orang tuaku. Lama mereka memandang Pattimura. "Bila itu keinginanmu…," kata mereka pada akhirnya. Dan…tibalah hari itu. Batinku bersorak: Patti pergi! Tetapi Bapak, Ibu, dan Bi Iyem menangis kala melepasnya di bandara. Sementara wajahku kaku, saat ia memelukku erat "Said, jaga Bapak dan Ibu baik-baik…aku menyayangi kalian…." *** Setelah kepergiannya Agustus 1998, hampir setiap minggu Patti telepon atau mengirim surat pada kami. Ia bercerita tentang keluarga Om Saleh Marabessy dan suasana di Jalan Baru, tempat tinggalnya kini. Ia bercerita tentang universitasnya, teman-teman barunya, kegiatannya di Masjid Al- Fattah. Ia mengirimkan beberapa fotonya yang diambil di depan masjid hijau tersebut, di Pantai Hunimoa, Taman Laut dan Museum Siwa Lima. Ada juga fotonya di depan baileo sambil memakai pakaian adat, berupa setelan jas berwarna merah hitam, baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Ah, orang Jawa yang aneh, pikirku, saat Ibu memperlihatkan foto tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, sedikit pun tak tampak perasaan sedih pada surat atau foto-foto itu. Hanya suara Patti di telepon yang selalu terdengar bergetar. Pernah aku yang mengangkat telepon dari Patti dan kutahu ia masih menyimpan sedih yang sama seperti saat ia berangkat. "Kau harus pulang Lebaran ini, Nak!" kata Bapak padanya di telepon, seminggu sebelum Lebaran. "Iya, Pak…tetapi saya tidak mendapatkan tiket pesawat dan kapal. Saya hanya mendapatkan tiket pada hari Lebaran. Itu pun naik kapal dari Pelabuhan Ambon," begitu cerita Patti pada Bapak. *** Aku masih ingat. Hari Lebaran pertama, kami sampai di rumah malam hari, setelah sebelumnya berkeliling ke tempat saudara dan relasi perusahaan Bapak. Keesokan harinya, melalui berita pagi, kami mendengar terjadi kerusuhan di Ambon. "Bu, lihat, Bu! Desa Jalan Baru, Pasar Mahardika, itu semua kan dekat rumah Om Saleh!" teriakku. "Ya Allah…Patti….," suara Ibu terdengar lirih. Tak lama airmata Ibu sudah menderas. Bapak memegang dadanya sesaat, bangkit dari tempat duduk dan memutar nomor telepon Om Saleh. "Tidak ada yang mengangkat…," Bapak mulai panik. Kini ia menelepon Om Hasan yang rumahnya di Batu Merah, tak jauh dari rumah Om Saleh. Tak jua ada yang mengangkat. Dengan tangan gemetar Bapak menelepon beberapa nomor kenalannya di Ambon. Sia-sia. Tetapi Bapak terus menelepon tanpa henti. ‘Ha…halo? Pak Loko? Ya…apa yang terjadi, Pak? Apa? Ya…, saya ingin menanyakan keluarga Marabessy…Anda tak tahu? Ya…, apa? Ya Tuhan, Ya Allah? Halo…Halo Pak Loko? Anda masih di sana? Halo…." "Pak Loko, kenalanku dan keluarganya sedang bersiap-siap untuk mengungsi. Ia bilang orang-orang yang sedang salat Id kemarin telah… ditembak dan dibantai secara biadab. Sampai hari ini masih terjadi pembantaian dan pembakaran. Orang-orang Islam banyak yang mengungsi…." "Tidaaaaaaaaakkkkk!" Ibu berteriak histeris. "Tidaaaaak!" Bapak memeluk Ibu dengan mata berair dan aku…aku…. Tiba-tiba bayangan Pattimura dengan senyuman khasnya melintas di benakku. "Aku akan pergi untuk kebahagiaanmu, Said. Aku akan pergi…." Suara itu seperti dikirimkan kembali oleh angin dan terus bergema di telingaku. Dua bulan kemudian, suasana di Ambon semakin memanas. Lewat koran dan televisi kami mengetahui bahwa konflik SARA itu meluas ke daerah Maluku lainnya. Ibu semakin kurus, wajahnya tirus sekali. Konsentrasi Bapak di kantor terganggu dan aku…mencari informasi tambahan dari teman-teman Rohis di kampus. Menurut mereka terjadi pembantaian besar-besaran dan konspirasi pemusnahan umat Islam di sana. Suatu hari, setelah hampir berputus asa, kami mendapat telepon dari Ambon! Dari Patti! "Apa kabar, Bu?" "Patti, Patti anakku…!" "Saya baik-baik saja, Bu…saya meminjam handphone seorang wartawan televisi. Di sini semua serba sulit…tapi saya yakin dengan doa Ibu. Bu, jangan berhenti berdoa…." "Patti…,pulang, Nak…pulang…!" "Tidak ada kendaraan apa pun, Bu. Kami bahkan harus mengungsi…kami…." "Patti, suara apa itu, Patti? Gemuruh apa itu? Itu suara bom kan? Suara tembakan? Ya Allah…!" "Mana Bapak, Bu? Saya ingin bicara…." "Bapak belum pulang…." "Said, Bu…cepat, Bu…." Ibu menyerahkan telepon di tangannya padaku. Gamang aku menerimanya. "Said, sampaikan pada Bapak…Om Saleh sekeluarga sudah tewas. Mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah oleh orang-orang biadab itu. Aku dan Om Hasan pindah ke masjid Al-Fattah…." "Apa? Innalillahi…ya Allah…." "Hati-hati menyampaikannya pada Bapak dan Ibu, ya…." "Patti…aku…aku…." "Said, ada yang menyerang kami! Ada yang menyerang kami!" "Patti! Pattiiiii!"teriakku. "Patti, aku menunggumu di sini! Kau dengar, Patti! Kembalilah…." Aku mendengar suara letusan dan teriakan sebelum kontak dengan Patti terputus. Ibu menangis sesenggukan dan tersungkur di sudut ruangan. Dan rasa bersalah berdebam-debam menohok dadaku. *** Kami tak lagi mendengar kabar apa pun dari Patti sesudah itu. Apakah…apakah ia sudah meninggal? Sungguh, aku tak berani mendugaduga. Hari-hariku selain di kampus adalah pergi ke tempat-tempat diskusi, tabligh akbar dan penggalangan dana untuk kaum Muslimin Ambon. Di tempat itulah aku merasa jiwaku diiris-iris. Ampuni aku, Allah! Bagaimana bisa aku mengabaikan-Mu selama ini? Bagaimana aku bisa tak peduli dengan saudara-saudaraku, kaum Muslimin yang miskin, yang mengungsi dan yang dibantai keji di negeri sendiri? Bagaimana aku bisa tak tahu kasus Tanjung Priok, Lampung, Aceh, pembantaian ulama di Banyuwangi…, sementara aku di sini bersenang-senang. Duduk dari satu kafe ke kafe lainnya, mengejar-ngejar cinta Kania, melawan Ibu dan Bapak, mengusir Patti…. "Saudara seiman itu lebih kuat dari saudara sekandung!" suara ustadz pada sebuah tabligh akbar penggalangan dana untuk Ambon, membuatku tak bisa memaafkan perbuatanku mengusir Patti. Begitulah, setiap ada kesempatan aku mencari kabar tentang Patti. "Lihat, foto-foto itu…, itu serpihan tubuh bayi." "Iii, darah membasahi jilbab dan jubah putih perempuan itu…." "Mayat-mayat gosong dalam reruntuhan masjid…." "Biadab, dua pemuda itu ditelanjangi, dibunuh, dipalang dan diarak berkeliling…." "Kasihan nasib mereka yang di pengungsian, ya…, lihat berjejal-jejal seperti itu." "Juru fotonya hebat…." "Pasti ia bertaruh nyawa untuk mendapatkan foto-foto ini!" Aku berjalan mengitari papan hitam panjang, tempat foto-foto Ambon itu dipasang oleh panitia solidaritas Ambon. Aku hampir tak sanggup melihatnya secara detil…tetapi aku harus…siapa tahu…siapa tahu ada gambar Pattimura di sana…. Sementara itu lima bulan berlalu. Ibu semakin jarang bicara. Kalau pun bicara pasti Patti yang ditanya. Bapak juga begitu. Rumah kami bisu. "Kita mengaji, Bu…supaya tenang…dan mendapat kekuatan dari Allah…," bisikku suatu malam, pada Ibu. Ibu membelai wajahku. "Semakin lama kau semakin mirip dengan Patti…mengajilah, Nak…mengaji…." Perlahan aku mulai mencoba meneguhkan Bapak dan Ibu. Bagaimanapun keberadaan Patti harus dipasrahkan pada Allah, sebab Allah saja yang mampu melindunginya dari kegilaan para biadab itu. Kini setahun sudah kami tak mendengar kabar apa pun dari Patti. Aku dan teman-teman remaja masjid beberapa kali mengadakan kegiatan solidaritas Maluku. Ah, betapa lambannya aparat dan pemerintah mengatasi kasus Ambon! Setahun lebih! Korban jiwa sudah puluhan ribu orang…., pembakaran dan pembantaian semakin menjalar merambah Halmahera, Tobelo, Galela, Haruku…Betapa diskriminatifnya komnas HAM! Sementara banyak LSM yang tiba-tiba terserang sariawan. "Kita tidak boleh mengadakan tabligh akbar lagi, Id. Katanya takut rusuh…," keluh Ahmad, temanku yang aktivis dakwah, di musala kampus hari ini. "Ironis. Bahkan hak dan kewajiban ukhuwwah kita kini dikebiri…," gumamku. "Akhir Desember lalu dalam semalam, dua ribu saudara kita dibantai di Galela…, lalu dikatakan cuma lima. Ah, di mana keadilan? Di Mataram, kasus seperti ini langsung bisa diredam. Hari pertama langsung para perusuh ditembak di tempat…sedang kasus Maluku…," gigi-gigiku beradu. "Ah, Ahmad…betul kata Patti. Demokrasi dan hak asasi manusia memang berlaku untuk seluruh manusia di dunia ini…, tetapi tidak untuk umat Islam…." "Padahal kita adalah bangsa Muslim terbesar di dunia…," cetus Ahmad prihatin. "Tetapi kualitas kita hanya seperti buih di atas lautan. Astaghfirullah…,"aku merasakan angin berdesiran di wajahku. "Said! Said Perintah!" Aku urung berwudhu dan menemukan Ridwan terengah-engah berlari menuju ke arahku. Tak jauh dibelakangnya kulihat dua orang pemuda berkulit gelap dan memakai songkok putih mengikutinya. "Ada apa, Wan?" "Mereka dari Ambon. Mereka mencarimu." Aku terbelalak. Patti! Dua pemuda itu mengucapkan salam dan memelukku. Aku menarik mereka ke dalam musala. "Apakah ini tentang Pattimura?" Dua pemuda sebayaku itu mengangguk. Ada air mengambang di pelupuk mata mereka. Tanpa berkata-kata salah seorang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa helai foto. Tanganku gemetar meraih foto itu. Lalu aku seperti dihempaskan dalam jurang kenyataan yang dalam. Patti terbaring dalam balutan baju putih yang merah oleh darahnya. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Kepalanya pecah dan…sebagian isi kepalanya tampak dalam foto itu. Hanya senyumnya…senyum itu yang bisa kukenali. "Ia kapitan kami. Ia termasuk yang pertama kali syahid. Ia syahid saat melindungi para Muslimah dan anak-anak." "Ia kapitan kami. Ia selalu berada paling depan…." Airmataku jatuh menetes di atas potret itu. Tubuhku bergetar hebat. Selamat jalan, mujahid! Bagiku kau tak pernah pergi! Bagi kami kau tak pernah mati! Tak pernah mati, Pattimura! Helvy Tiana Rosa 5 Februari 2001