Dua Biografi Terkait Supersemar Oleh : Asvi Warman Adam Ahli Peneliti LIPI dan Visiting Fellow di KITLV Leiden mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Meskipun ada undang-undang yang menyatakan bahwa seseorang yang menyimpan arsip negara dapat dihukum penjara, naskah asli Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 tak kunjung bersua. Entah siapa yang menyimpan dokumen yang begitu penting dalam proses peralihan kekuasaan di Indonesia. Penelitian sejarah tentu tidak tergantung semata-mata kepada adanya arsip yang otentik, tetapi juga menyangkut antara lain tentang proses keluarnya surat perintah yang berdampak sangat besar dalam sejarah negara. Pada buku sejarah yang diajarkan di sekolah terkesan bahwa surat itu didapatkan secara spontan. Tiga orang jenderal seusai sidang kabinet yang dihentikan secara mendadak tanggal 11 Maret 1966 berembuk di tangga Istana Negara lalu menemui Soeharto di rumahnya di Jalan Agus Salim, Menteng. Setelah berunding, mereka bertiga pergi ke Istana Bogor. Malamnya setelah memperoleh surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto mereka pulang ke Jakarta. Seakan-akan semuanya berjalan mulus. Tidak ada tekanan apalagi paksaan. Bahkan dalam buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA yang disunting oleh Nugroho Notosusanto dan Yusmar Bari digambarkan bahwa ketiga jenderal itu sengaja berkunjung ke Bogor agar Presiden Soekarno tidak kesepian. Bujukan Betulkah surat itu diberikan oleh Presiden dengan sukarela atas inisiatifnya sendiri? Kesaksian Wilardjito dari Yogyakarta yang menghebohkan itu --penyerahan surat itu melalui todongan senjata terhadap Bung Karno-- bisa saja dibantah. Namun tidak pelak lagi bahwa proses keluarnya Supersemar diwarnai dengan bujukan dan tekanan. Hal ini terlihat pada dua biografi tokoh yang terlibat dalam proses tersebut sebelum tanggal 11 Maret yaitu Jenderal Alamsjah Ratuprawiranegara (Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, 1995) dan pengusaha Hasjim Ning (Pasang Surut Pengusaha Pejuang, 1986). Rasanya mustahil keduanya bersekongkol mengarang cerita bohong. Memang pada biografi itu terdapat perbedaan mengenai terjadinya peristiwa yang melibatkan mereka, yang satu menyebut tanggal 6 Maret dan satu lagi mengatakan tanggal 9 Maret 1966. Namun mengenai substansinya mereka sejalan. Jadi pada tanggal 6 Maret malam Hasjim Ning dipanggil oleh Alamsjah untuk datang ke rumah pengusaha Dasaat di Pegangsaan, Jakarta. Baik Dasaat maupun Hasjim dikenal dekat dengan Bung Karno. Kedua pengusaha itu diminta oleh Alamsjah untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaannya kepada Mayor Jenderal Soeharto. Terjadi perdebatan mengenai istilah penyerahan kekuasaan atau pemerintahan. Jadi Soekarno tetap berkuasa (sebagai Presiden) sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah Soeharto. Apa pun yang disepakati di rumah itu, Soeharto telah menanti hasilnya di tempat lain. Pada tengah malam dibuat surat keterangan yang ditandatangani Soeharto bahwa kedua pengusaha diutus untuk menemui Presiden Soekarno. Surat ini memperlihatkan bahwa Soeharto mengetahui dan mendukung manuver yang dijalankan oleh Alamsjah. Berkat surat itu pula kedua pengusaha bisa menembus dua lapis penjagaan di sekitar Istana Bogor. Pada lapis terdalam terdapat pasukan Cakrabirawa yang setia kepada Bung Karno. Di lingkaran sebelah luar terdapat pasukan Kostrad yang mengepung Istana. Kedua pengusaha itu sempat bermalam di Istana Bogor dan Hasjim tidak lupa membawakan makanan kesukaan Bung Karno. Bila saatnya tiba, mereka menyampaikan pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno. Soekarno tidak banyak bicara mengenai hal ini, tetapi pada pokoknya ia menolak permintaan tersebut. Akhirnya Dasaat dan Hasjim Ning pulang ke Jakarta tanpa membawa hasil. Meskipun demikian dari kisah nyata ini dapat diambil kesimpulan bahwa Soeharto telah berupaya sebelum keluarnya Supersemar untuk membujuk Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan atau apa pun istilahnya. Karena bujukan itu tidak berhasil maka dilakukan usaha yang lebih keras yaitu tekanan atau mungkin dapat disebut paksaan. Masyarakat Indonesia yang minus dokumen sejarah terbantu oleh adanya biografi kedua tokoh tadi. Memang ada kesan bahwa riwayat hidup seorang besar hanya ''kecap'' tentang kehebatan dirinya, tetapi sesungguhnya dalam hal tertentu atau menyangkut suatu peristiwa, kisah itu --setelah dicek-silang-- bisa dijadikan rujukan. Dengan demikian, ketiga jenderal (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M Jusuf) yang datang ke Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966 bukanlah untuk menemani Bung Karno agar beliau tidak kesepian seperti ditulis dalam buku pelajaran sejarah pada era Orde Baru. Missi mereka itu tercakup dalam konteks situasi yang dibangun sebelumnya, yaitu kekuasaan harus direbut dengan segala cara, baik dengan bujukan atau, kalau tidak bisa, dengan tekanan dan paksaan. Semoga suksesi kekuasaan semacam ini tidak terulang lagi dalam sejarah Indonesia. Rabu, 09 Maret 2005, Republika Date: 2005/10/11 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=51 Ini Pelajaran Sejarah, Bung! Ini Pelajaran Sejarah, Bung! http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/22/humaniora/1980569.htm Senin, 22 Agustus 2005 Melalui berita di TV swsata, kemudian diperkuat oleh tulisan Asvi Warman Adam ( Kompas, 1 Juli 2005), penulis mendengar/membaca bahwa mata pelajaran Sejarah kembali bermasalah. Dikatakan kembali bermasalah karena pada tahun 1980-an muncul mata pelajaran PSPB (di samping masih ada PMP dan Sejarah), sehingga terjadi tumpang tindih antara mata pelajaran PMP dan Sejarah. Kemudian, belum lama ini, tahun 2002, ada berita yang menghebohkan, yakni mata pelajaran Sejarah akan dihapus dan digabung dengan mata pelajaran PPKN/PKN. Heboh yang menyangkut mata pelajaran Sejarah kali ini adalah bahwa Departemen Pendidikan Nasional belum akan menerapkan Kurikulum 2004 untuk bidang studi Sejarah. Khusus untuk mata pelajaran Sejarah, pemerintah akan menerapkan kembali Kurikulum 1994 beserta Suplemennya (1999). Buku mata pelajaran Sejarah yang sempat beredar akan ditarik kembali. Tepatkah kebijakan Depdiknas tersebut? Isi Suplemen 1999 Kurikulum 1994, Suplemen GBPP Mata Pelajaran Sejarah, Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru Sekolah Menengah (SMU/MA/SMK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 1999, sudah tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang G30S. Lebih dari itu, suplemen ini juga tidak menyebut lagi PKI sebagai pelaku G30S, apalagi sebagai dalang G30S. Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi itu, sekelompok pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan aksi bersenjata di Jakarta. Kelompok bersenjata ini bergerak meninggalkan daerah sekitar Bandar Udara Halim Perdanakusumah pada tengah malam di penghujung hari Kamis tanggal 30 September dan awal 1 Oktober 1965. Mereka menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat. Di dalam operasi itu, para tentara itu berhasil menculik 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat. Jenderal AH Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil meloloskan diri, dan mereka hanya berhasil menangkap ajudan KSAB. Penculikan dan pembunuhan terhadap perwira Angkatan Darat juga terjadi di Yogyakarta (Suplemen, 8). Kutipan di atas ini tidak menyebut PKI sebagai pelaku, namun hanya menyebutkan nama Letkol Untung. Mengenai apakah PKI berperan sebagai dalang G30S, Suplemen Sejarah mengatakan demikian. Tidak mudah menjawab pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya G30S selain Letnan Kolonel Untung, karena sumber-sumber yang tersedia sampai saat ini hanya menghasilkan interpretasi yang berbeda. Setiap interpretasi menunjukkan pada orang atau kelompok yang berbeda, sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Satu pendapat menyatakan bahwa peristiwa itu berkaitan erat dengan strategi blok Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris dalam rangka perang dingin. Berkaitan dengan pendapat pertama ini, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan ini dilakukan oleh Angkatan Darat yang berhasil memperalat PKI dengan dukungan dinas intelijen asing. Pendapat lain menuju pada keterlibatan Presiden Soekarno yang memanfaatkan ketergantungan PKI kepadanya untuk melawan kelompok oposisi, khususnya dari Angkatan Darat. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa PKI yang menjadi dalang gerakan ini dengan memperalat unsur ABRI, dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya. Selain itu ada yang berpendapat bahwa gerakan ini merupakan akibat dari konflik di dalam tubuh Angkatan Darat, yang melibatkan kelompok pendukung dan anti-Presiden Soekarno, yang berhasil memanfaatkan PKI. Dalam hubungan inilah muncul pendapat bahwa Mayor Jenderal Soeharto memiliki keterkaitan dengan gerakan tersebut. Akhirnya, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam tragedi nasional itu (Suplemen, 9). Kutipan di atas ingin mengatakan bahwa dalang G30S bisa saja AS/blok Barat, bisa saja PKI, bisa Soekarno, bisa saja Angkatan Darat/Soeharto. Siapa pelaku yang benar, belum jelas, karena memang keterbatasan sumber. Dalam ilmu sejarah, siapa pun tidak boleh menyatakan suatu peristiwa sebagai benar-benar terjadi kalau sumbernya tidak cukup kuat. Sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan perkiraan. Bahwa indikasi keterlibatan PKI, AS/Blok Barat, Soekarno, Angkatan Darat/Soeharto ada, bukan serta merta bahwa pihak-pihak (salah satu pihak, PKI misalnya) adalah dalang dari G30S. Apakah Letnan Kolonel Untung dkk yang melakukan aksi bersenjata orang PKI atau digerakkan oleh PKI, harus dibuktikan dulu. Bukan semata-mata karena Harian Rakyat mendukung G30S, lalu disimpulkan bahwa G30S dilakukan oleh PKI. Tentu tidak semudah ini bukan? Dengan uraian di atas, sekali lagi mengatakan bahwa Suplemen Sejarah tahun 1999 sudah tidak menyebut lagi PKI sebagai dalang G30S. Hal ini juga bukan berarti bahwa PKI pasti bukan dalangnya. Tentang siapa dalang G30S, masih harus diteliti lebih lanjut. Penulis belum memiliki buku sejarah yang baru itu, apalagi membacanya. Haya saja, kok agak aneh, gara-gara buku itu tidak menguraikan pemberontakan PKI tahun 1965, lalu ditarik dari peredaran. Lalu pelajaran sejarah akan dikembalikan sesuai dengan Kurikulum 1994 dan Suplemennya 1999. Sedangkan dalam Suplemen 1999, jelas-jelas ditulis bahwa PKI belum terbukti sebagai pelaku tunggal G30S. Lalu? Secara kebetulan penulis menemukan buku sejarah untuk SMU kelas III, satu dari terbitan PT Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2001; satunya lagi dari penerbit Erlangga, Jakarta, 2003; lainnya terbitan Grafindo Media Prtama, 2003. Baik buku terbitan Grafindo (halaman 40-47), serta buku terbitan Erlangga (halaman 42-47) tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang nama G30S. Hanya buku terbitan Galaxy Puspa Mega (halaman 51-63) mencantumkan nama PKI di belakang nama G30S. Putusan MK Kebijakan Mendiknas Nomor 7/2005 yang menghentikan uji coba Kurikulum 2004 untuk mata pelajaran Sejarah dan larangan penggunaan buku teks mata pelajaran Sejarah yang disusun berdasarkan standar kompetensi Kurikulum 2004 tersebut bahkan dapat bertentangan dengan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi soal eks PKI. Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 (g) Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Pasal itu adalah larangan bagi anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau yang terkait dengan G30S/PKI, untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak membenarkan diskriminasi terhadap warga negara (Kompas, 26 Februari 2004). Semangat keputusan MK ini adalah mengampuni orang-orang eks PKI (yang belum tentu benar-benar bersalah). Lebih-lebih lagi, pemojokan nama PKI sebagai pelaku G30S (dan nyatanya belum benar-benar terbukti), membawa akibat buruk bukan saja kepada orang-orang PKI (karena tidak jelas posisinya pada tahun 1965), namun juga (terlebih) bagi keturunan PKI yang sepertinya harus menanggung dosa asal. Kasihan mereka, memperoleh sanksi sosial, sulit mencari sekolah, sulit mencari pekerjaan, dan sebagainya. Sebagai catatan penutup, kebijakan Depdiknas untuk menarik buku pelajaran sejarah, hanya karena buku tersebut tidak mengulas pemberontakan PKI tahun 1965, sebaiknya dikaji ulang karena keterlibatan PKI secara tunggal pada tahun 1965 belum terbukti. Beban eks PKI dan keturunannya jangan diperpanjang lagi. Akan lain halnya dengan ulah PKI pada tahun 1948. AA PADI, Mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Date: 2005/10/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=54 Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Konspirasi dan Genosida: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal OLEH BONNIE TRIYANA Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya. Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi coup d¡¦ etat. Menurut mereka, coup d¡¦ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20. Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara. Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4 Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.5 Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran. Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring. Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ¡§maju¡¨ itu kocar-kacir. Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d¡¦etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia. Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah. Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa. Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.8 Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat Islam telah mengobarkan ¡§Jihad¡¨ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok. Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot. Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam pembunuhan massal. Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini. Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11 Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI. Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI. Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak. Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun. Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia ¡V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman ¡V militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno ¡V Sentris atau dikenal sebagai SS.13 Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap. Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya. Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15 Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh. Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.: ¡§saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI.¡¨17 Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18 Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya. Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun 1968. Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: ¡§saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya¡¨21 di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi. Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar. Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI. Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23 Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24 Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya. Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan komunisme.25 Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 ¡V 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.26 Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27 Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi. Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ¡§kampung janda¡¨ karena suami-suami mereka diciduk oleh militer. Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 ¡V 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa. Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa. Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979. ¡§Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi¡¨31 Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik. Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri. Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ¡§elek terus¡¨ (Indonesia: Jelek Terus). Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.* „h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002. *Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. 3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8 4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138. 5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498. 6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129. 7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal. 457. 8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001) 9 ¡§Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ¡§kaum atheis¡¨ dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48. 10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969. 11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205 12 Memorandum Intelejen CIA, ¡§Indonesian Army Attitudes toward Communism¡¨ Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1. 13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali Sastroamidjojo ¡V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya. 14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and unity nescessary for development. Far better to let the population ¡¥float¡¦ without party contact in the five year period during elections¡K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto¡¦s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109. 15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ¡§Think ¡V Tanks¡¨ dalam Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237. 16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246 17 Wawancara dengan Bapak Sp. 18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969. 19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa¡Klebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103. 20 ¡§Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak¡¨. Wawancara dengan Bapak A 21 Wawancara dengan Bapak Wt 22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik, kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76. 23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil ¡V Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50. 24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376. 25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas. 26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44. 27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220. 28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969. 29 Wawancara dengan Bapak S. 30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It¡¦s the Military, Stupid! Dalam Freek Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002), hal. 199. 31 Wawancara dengan Bapak Rk. Date: 2005/9/13 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28 Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim Para hadirin yang terhormat! Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebihdahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective storyyang cari pemecahan suatu teka-teki. Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?. Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya. Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekal i: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah pun ya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story". Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari oeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965. Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka ¡V tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak t ermasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum." Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar. Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan. Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderaljenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya di kurangi. Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S! Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta. Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu. Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim. Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit. Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya, tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono. Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka. Soeharto Dalang G30S ? Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno. Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro. Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR. Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya. Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979. Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media). Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barangbarang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65. Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini. Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar-kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung-jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!". Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas. Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagibagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderaljenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu. Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri. Terima kasih! Date: 2005/11/2 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=71 Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Konspirasi dan Genosida: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal OLEH BONNIE TRIYANA Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya. Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi coup d¡¦ etat. Menurut mereka, coup d¡¦ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20. Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara. Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4 Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.5 Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran. Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring. Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ¡§maju¡¨ itu kocar-kacir. Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d¡¦etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia. Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah. Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa. Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.8 Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat Islam telah mengobarkan ¡§Jihad¡¨ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok. Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot. Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam pembunuhan massal. Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini. Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11 Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI. Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI. Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak. Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun. Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia ¡V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman ¡V militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno ¡V Sentris atau dikenal sebagai SS.13 Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap. Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya. Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15 Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh. Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.: ¡§saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI.¡¨17 Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18 Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya. Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun 1968. Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: ¡§saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya¡¨21 di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi. Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar. Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI. Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23 Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24 Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya. Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan komunisme.25 Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 ¡V 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.26 Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27 Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi. Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai ¡§kampung janda¡¨ karena suami-suami mereka diciduk oleh militer. Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 ¡V 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa. Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa. Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979. ¡§Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi¡¨31 Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik. Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri. Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ¡§elek terus¡¨ (Indonesia: Jelek Terus). Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.* „h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002. *Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. 3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8 4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138. 5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498. 6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129. 7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal. 457. 8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001) 9 ¡§Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ¡§kaum atheis¡¨ dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48. 10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969. 11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205 12 Memorandum Intelejen CIA, ¡§Indonesian Army Attitudes toward Communism¡¨ Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1. 13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali Sastroamidjojo ¡V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya. 14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and unity nescessary for development. Far better to let the population ¡¥float¡¦ without party contact in the five year period during elections¡K.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto¡¦s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109. 15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ¡§Think ¡V Tanks¡¨ dalam Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237. 16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246 17 Wawancara dengan Bapak Sp. 18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969. 19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupa¡Klebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103. 20 ¡§Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak¡¨. Wawancara dengan Bapak A 21 Wawancara dengan Bapak Wt 22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik, kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76. 23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil ¡V Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50. 24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376. 25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas. 26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44. 27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220. 28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969. 29 Wawancara dengan Bapak S. 30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It¡¦s the Military, Stupid! Dalam Freek Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002), hal. 199. 31 Wawancara dengan Bapak Rk. Date: 2005/9/13 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28 tniad Page 1 of 7 SOB Dalam Perspektif Sejarah Oleh: M Amin Zuhri Di samping untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayahnya terhadap segala macam ancaman dan gangguan. Setiap negara pasti mempunyai tujuan untuk memberikan rasa aman dan tenteram kepada warganya. Dalam situasi dimana negara terancam kedaulatan atau keutuhannya maka pucuk pimpinan pemerintahan akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya atau Staat van Oorlog en van Beleg (SOB). Keputusan tersebut diambil agar persoalan hidup bangsa dan negara cepat teratasi. Demikian halnya dengan NKRI yang telah beberapa kali dinyatakan dalam SOB. Masa perang Belum genap setahun Indonsia merdeka, Presiden Soekarno menetapkan Indonesia dalam keadaan bahaya (Staat van Oorlog en van Beleg). Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno sehari setelah diculiknya PM Sutan Syahrir. Perculikan terjadi pada tanggal 27 Juni 1946 oleh lawan politiknya pada saat berkunjung ke Solo. Hilangnya simbl kenegaraan tentu membuat pemerintah RI yang masih muda itu bertekad untuk segera mengatasi. Dengan keputusannya itu presiden memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna penyelesaian yang cepat dan tepat. Wewenang selanjutnya diberikan kepada pucuk pimpinan militer untuk dapat menguasai keamanan dan ketertiban. Keadaan harus segera dapat dikendalikan agar tidak menjalar menjadi konflik vertikal maupun horizontal. Kejadian lain adalah pada waktu Belanda melakukan Agresinya pada tanggal 19 Desember 1948. Pada wkatu Agresi Milier Belanda II pemerintahan negara RI benar-benar lumpuh, demikian juga pemerintahan daerah. pucuk pimpinan pemerintahan ditawan oleh Belanda. Sedang aparat pemerintahan daeah mengungsi menyelamatkan diri. Walaupun ada PDRI (Pemerintahan Darurat RI) baik di dalam maupun di luar negeri tetapi tidakd apat berjalan sebagai mana mestinya. Situasi negara Indonesia benar-benar berada dalam jurang kehancuran. Belanda senantiasa terus menyusun organisasi pemerintahan bonekanya untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Dalam kondisi yang sedang sakit Panglima Besar Jenderal Sudirman tetap bertekad untuk meneruskan perjuangan bersenjata "met of zonder pemerintah". Untuk mengantisipasi kevakuman pemerintahan maka PTTD (Panglima Tentara dan Teitorium Djawa) dipimpinan Kolonel AH Nasution segera melakukan antisipasi. Tiga hari setelah agresi Belanda segera menyatakan berlakunya pemerintahan militer seluruh Jawa. Pernyaaa tersebut kemudian dikukuhkan dnegan Instruksi No 1/MBKD/1948 berisi tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer di Indonesia tiga hari kemudian. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah "colaps" serta untuk membangkitnya kembali struktur pemerintahan yang sempat hilang sesuai dengan tingkat komando kewilayahan. Setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 secara otomatis Pemerintahan Militer berakhir dan diserahkan kembali kepada pemerintahan sipil tanpa konsesi apapun. Masa parlementer Dalam perjalanan selanjutnya bangsa Indonesia terus mengalami berbagai macam krisis yang menganca dan membahayakan keutuhan NKRI. Krisis multi dimensional terutama diakibatkan oleh http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 2 of 7 tarik ulur kepentingan partai-partai politik. Sistem multi partai dan sistem parelementer telah menyeret seluruh elemen bangsa dalam konflik vertikal maupun horizontal. Negara dijadikan sebagai kuda beban untuk menarik kepentingan masing-masing partai politik. Sering terjadi bongkar pasang kabinet karena tidak ada kompromi politik antar partai yang berkuasa. TNI yang pada waktu itu merupakan organisasi yang otonom terus berusaha ditarik ke dalam lingkaran pengaruh atau kekuatan partai. Negara betul-betul dalam kondisi instabilitas politik dan keamanan. Konstituante tidak dapat menjalankan lagi fungsinya. Bahkan pad atahun 1957 Konstituanter terjadi reses sampai batas waktu yang ti dak ditentukan. Melihat gelagat yang kurang baik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara maka presiden memaklumkan negara dalam keadaan bahaya. Tidak lama kemudian Kasad Jenderal Nasution sebagai Penguasa Peang Pusat mengeluarkan larangan untuk melakukan kegiatna politik. Untuk mengatasi kebuntuan poitik maka TNI (AD) mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk segera kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dektit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Waktu G 30 S/PKI Konstelasi politik di Indonesia awal tahun 1960-an tidak kunjung reda bahkan cenderung meningkat. PKI (partai komonis Indonesia) semenjak Pemilu pertama tahun 1955 menjelma menjadi partai besar dan sangat berpengaruh. Partai yang berideologi komunis itu berusaha terus melemahkan lawanlawan politiknya, termasuk TNI/ABRI. Sebagai titik puncak konstelasi politik adalah pemberontakan PKI tahun 1965 yang kita kenal dengan G 30 S/PKI. Suatu pemberontakan yang mengakibatkan gugurnya putra-putra terbaik bangsa. Sekali lagi ABRI tampil ke depan untuk mengatasi kemelut politik dan bersenjata dengan dibantu oleh berbagai elemen masyarakat yang tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan selanjutnya ABRI/TNI terus berusaha memposisikan dirinya sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara Nasional. Ada niat kudeta Melihat dari awal perkembangan sejarahnya, TNI digariskan untuk tidak melakukan kudeta. Padahal dalam situasi tertentu sebenarnya jalan untuk ke arah itu sangat memungkinkan dan mendukung. Namun "merebut kekuasaan" tetap tidak dilakukan karena TNI terikat oleh kewajiban moril dan ikatan emosional seperti yang telah digariskan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tekad tersebut akan terus terpelihara dan tetap dipegang teguh oleh setiap prajurit yang Sapta Margais. Dalam suatu pidatonya tanggal 5 Juli 1946 di Yogyakarta Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan antara lain: Pertama: "......Kini per satuan telah tergalang antara pemeritnah, tentara, dan rakyat... Meskipun di sana-sini persatuan ini kadang- kadang terlihat retak tetapi pada umumnya persatuan bathin telah terasa dan persatuan telah nampak....Pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara terus berupaya untuk mencurahkan segala kekuatan guna keselamatan negara dari marabahaya sedang mengancam...." Kedua: ".....telah dikabarkan bahwa saya, Panglima Besar Jenderal Sudirman, akan merebut kekuasaan dan akan menempati singgahsana kepala negara. Berhubung dengan desas desus semacam ini maka dengan ini saya menyetakan kepada khalayak ramai bahwa saya tidak akan berusaha ke jurusan itu, bahwa saya akan menolak apabila kursi presiden disodorkan kepada saya...". Ketiga: "....Tentara tidaka akan ikut campur dalam lapangan politik.... Tentara terikat oleh sumpah untuk tetap mempetahankan kemerdekaan dengan sebulat-bulatnya....". Kalau kita jujur, bahwa perjalanan bangsa Indonesia ditaburi dengan kerjasama yang manis antara sipil dan militer demi cita-cita proklamasi. Kesantunan dan keharmonisan hubungan dalam perjuangan telah mereka contohkan dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa. Mereka berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang berbeda adalah tentang tugas dan http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 3 of 7 tanggung jawabnya. Di negara manapun tidak ada perjuangan sipil dan militer semanis perjuangan mereka di Indonesia. Dan tidak selayaknya kita membandingkan hubungan sipil-militer Indonesia dengan negara lain karena masing-masing memiliki latar belakang sejarah yang berbeda- beda dan telah mengalami proses/waktu yang panjang. Dikotomi sipil- militer sah-sah saja dilakukan dalam rangka pendewasaan diri tetapi jangan sampai dipertentangkan. Kalau kiranya boleh diibaratkan bawha hubungan sipil-militer di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya adalah seperti simbiose mutualisma. Berbeda bentuk dan rupa tetapi saling ketergantungan dan saling menguntungkan kedua belah pihak dalam rangka mempertahankan hidup. Sipil-militer di Indonesia berbeda dalam tugas dan tanggung jawabnya tetapi tetap memiliki tujuan yang mulia. Yaitu membela kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penulis Mayor CAJ Drs M Amin Zuhri adalah, Kasi Sejarah Bintaldam IM http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 4 of 7 http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 5 of 7 http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 6 of 7 http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 tniad Page 7 of 7 Copyright ©2003 Dispenad, Jakarta-Indonesia. All rights reserved. Webmaster: Dispenad. Jalan Veteran Nomor 5 Jakarta Pusat http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm 9/2/2005 Soebandrio; Kesaksianku Soebandrio; Kesaksianku tentang G30S BAB I: PROLOG G-30-S KONFLIK KUBU Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri. Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar. Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang. Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu: 1. Unsur Kekuatan Presiden RI 2. Unsur Kekuatan TNI AD 3. Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia). Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri. Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Landreform. Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI. Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah. Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD. Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak. Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk. Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya. Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk. Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR. Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah. Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan. Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution. Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili. Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI. Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno. POLITIK MUKA DUA Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro. Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem. Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara. Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution. Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri. Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto. Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersamasama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa. Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI. Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta. Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung. Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu. Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak. Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan. Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri. Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya. Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung. Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi. Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara. Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu. 2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya. SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno. Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik. Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua. EMBRIO DEWAN JENDERAL Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT. Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat. Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima? Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut. Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT. Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu. Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia. Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya? Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup. Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu. Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima. Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto. Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden. BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965. Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah. Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S. Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran. Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno. Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin. Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta. Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku. Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan. Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar? Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih. Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas. Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. DEWAN JENDERAL Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu. Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden. Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh. Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa – ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama). Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta. Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru. Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal. Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet. Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan. Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada. Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo. Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer. Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army friends.’ Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik. Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu. Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi? Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan. Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu. Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti. Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani. Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali. Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani. Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis. PERAN AMERIKA SERIKAT Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman. Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya. Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin. Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer. Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan? Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI. Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S. Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri. Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones. Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal. Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan. Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh. Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng. Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. MENJALIN SAHABAT LAMA Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya. Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anakbuahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa. Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam. Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen. Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar. Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran. Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta. Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka. Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto. Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana. Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam. Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II). Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar. Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya. Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal. Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto. Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief. Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo. Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada temantemannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka. Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik. Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah. Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965? Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum. MELETUSLAH PERISTIWA ITU Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan. Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor. Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor. Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak. Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding. Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi. Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas. Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto. Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh: 1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal. 2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah malam seperti itu? 3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB. Yang sebenarnya terjadi: Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung. Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur. Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad. Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB. Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi. Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan. Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman. Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya). Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto. Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberondong tembakan. Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi. Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme internasional. Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain. Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI. Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto. DARI DETIK KE DETIK Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana. Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya. Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawankawan. Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap. Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto. Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri- II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu. Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir. Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno. Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik. Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah. Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan). Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto. Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah. Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara. Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa. Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden. Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto: 1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka. 2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto). 3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto. 4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud. NASIB AH NASUTION Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa. Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution. Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik). Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi. Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib BAB IIIA: KUASA BERPINDAH PERAN MAHASISWA Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad. Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI. Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak. Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap: 1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi. 2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno 3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden 4. Melumpuhkan Bung Karno. Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi. Untuk mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat): 1. bubarkan PKI 2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI 3. turunkan harga kebutuhan pokok. Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto. Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah). Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara. Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya. Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat. Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan. Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu. Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah: bubarkan PKI. Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998. Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad. Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya. Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando… Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S. Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno. Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara. Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia. SUPERSEMAR Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad. Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka. Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara. Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju. Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadaphadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat. Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas. Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar. Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto: 1. dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas. 2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden. 3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga. Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri. Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburuburu sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu. Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan. Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter. Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor. Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya. Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal menjadi buktinya. Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno. Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: 1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya. 2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan 3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya 4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu. Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting. Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi. Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju? Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang. Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak.. Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar. Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI. Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap: -habisi para jenderal saingan -hancurkan PKI -copoti para menteri -jatuhkan Bung Karno. Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto. Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya. 15 menteri yang ditangkapi adalah: 1. Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI) 2. Waperdam-II Chaerul Saleh 3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo 4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo 5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat 6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam 7. Menteri Pertambangan Armunanto 8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman 9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo 10. Menteri Kehakiman Andjarwinata 11. Menteri Penerangan Asmuadi 12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i 13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka 14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi 15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian. Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah? MELENGGANG KE ISTANA Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu. Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S. Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional. Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia. Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman. Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno. Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas. Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963. Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama. Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri. Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut: - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang - Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu. - Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. - Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden. Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI. Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno. Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu kuat. AKHIR HAYAT UNTUNG Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan – seperti naik banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi. Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu. Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi. Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya. Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini. Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana. Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama. Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati. Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik. Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain. Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.