mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Tokoh Katolik Minta Mukaddimah UUD 1945 Diganti Sabtu, 14 Pebruari 2004 Tokoh CSIS, J Soedjati Djiwandono dalam tulisannya di sebuah koran mengatakan, secara logis RI seharusnya adalah negara sekuler merupakan sikap istiqomah kalangan Kristen sejak perjuangan Piagam Jakarta. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-43. Tulisan tokoh Katolik dari CSIS, J Soedjati Djiwandono, di Harian Suara Pembaruan (9 Februari 2004), sangat perlu untuk dicermati bangsa Indonesia. Kaum Muslim khususnya. Judulnya ialah ?Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti?. Soedjati adalah seorang pakar hubungan internasional yang banyak menulis masalah politik dalam negeri Indonesia. Ia juga kolumnis tetap di majalah Katolik Hidup. Ia bisa dikatakan, salah satu tokoh dan cendekiawan Katolik penting yang merumuskan pemikiran-pemikiran politik keagamaan di Indonesia. Gagasannya sangat jelas, pikiran bahwa Mukaddimah UUD 1945 tidak dapat diganti, adalah keliru. Sebab UUD 1945, termasuk mukaddimahnya, adalah buatan manusia, bukankitab suci, dan karena itu keliru membuat atau menganggapnya sakral atau keramat. Secara sekilas, kita bisa menyimak alasan yang dikemukakan Soedjati. Bagian Pemukaan UUD 1945, yaitu Pancasila, terutama Sila Ketuhanan YME, telah menimbulkan perbedaan pemahaman diantara berbagai golongan agama di Indonesia. Perbedaan, kerancuan atau ambivalensi pemahaman tentang makna sila pertama itu, telah selalu mengancam persatuan bangsa dan keutuhan negara. Hal itu lebih lanjut mengakibatkan kerancuan identitas negara Indonesia, yang "bukan negara sekuler", tetapi juga "bukan negara agama". Pihak sebagian golongan Islam, kata Soedjati, menganggap sila pertama, "Ketuhanan YME," sebagai kewajiban setiap warga negara untuk percaya pada Tuhan YME. Lebih dari itu, kepercayaan itu sekan-akan harus melalui agama dan itu pun terbatas pada agama yang diakui negara. Sebaliknya, pihak golongan-golongan non-Muslim memahaminya sebagai pernyataan kebebasan beragama, sehingga mereka merasa "aman" dalam menjalankan ibadah, mendirikan rumah ibadat, dan berganti agama kapan pun mereka menghendakinya, apa pun alasannya. Yang lebih serius lagi, menurut Soedjati, dalam jangka panjang, perbedaan pemahaman itu lebih berbahaya untuk persatuan, keutuhan maupun keamanan negara ini, sebab adanya kerancuan identitas negara RI, dan akhirnya juga menyangkut ketidaktegasan tentang sumber hukum negara. ?Apakah hukum agama merupakan sumber hukum negara, dan kalau ya, hukum agama yang mana, dalam bidang apa dan seberapa jauh? Kecenderungannya hingga sekarang adalah bahwa hukum agama mayoritas semakin berperanan, bahkan kalaupun semakin lama kurang dibungkus dengan "Syariat Islam". Usulan Soedjati dalam tulisannya sangat tegas: ?Secara logis dan jelas RI seharusnya adalah negara sekuler, dalam pengertian yang paling mendasar, yaitu dipisahkannya politik dari agama, antara "kekuasaan" agama dan kekuasaan politik atau negara.? Soedjati berargumen, ?Kenyataannya adalah bahwa negara-negara sekuler tidak menindas, apalagi melarang dan membunuh agama. Berbagai agama, Kristen, Yahudi, maupun Islam, justru hidup subur di negara-negara sekuler. Sebaliknya, sekularisasi menghalangi dan mencegah manipulasi agama dan intervensi negara dalam masalah-masalah internal agama.? Ia menyebut sumber rujukannya dari buku karya tokoh feminis Fatema Mernissi, berjudul ?Islam and Democracy: Fear of the Modern World?. Karena itu, kata Soedjati, menganggap Mukadimah itu kramat atau sakral sehingga tidak boleh diubah, dan dengan demikian membiarkan perbedaan, sekurang-kurangnya ambivalensi atau ketidakjelasan pemahaman tentang asas Ketuhanan YME; berarti juga mengabadikan benih perpecahan bangsa. Sebab itu pula, demi persatuan bangsa dan keutuhan negara, Mukadimah UUD 1945 pada ahirnya harus diganti, dan dengan demikian kita berganti UUD. Para pendiri republik ini bukannya tidak dapat berbuat salah. Mereka tidak bisa secara lengkap dan akurat mengantisipasi perkembangan zaman yang kita hadapi sekarang ini. Terakhir ia menutup tulisannya: ?Kompromi yang lebih menjamin keadilan antar golongan adalah sekularisasi.? Demikian gagasan Soedjati Djiwandono. Usulan tokoh Katolik ini menarik jika kita telaah dari aspek historis. Ada kemajuan pesat dalam pemikiran dan sikap politik pihak non-Muslim (khususnya Kristen/Katolik) dalam soal UUD 1945. Perlu kita catat, bahwa Mukaddimah UUD 1945 sekarang in adalah hasil ultimatum pihak Kristen Indonesia Timur, yang disampaikan melalui Bung Hatta. Isi ultimatum itu ialah: jika Indonesia tidak mengubah Mukaddimah UUD 1945 hasil Sidang BPUPKI (Piagam Jakarta), yan mengandung ?tujuh kata? ? Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ? maka Indonesia Bagian Timur tidak akan mau bergabung dengan negara Indonesia. Ultimatum pihak Kristen itu dilakukan, setelah mereka gagal menyampaikan aspirasi dalam sidang-sidang BPUPKI. Pada tanggal 11 Juli 1945, misalnya, seorang tokoh Kristen asal Maluku bernama Latuharhary memprotes Piagam Jakarta, dalam sidang BPUPKI. Ketika itu Soekarno dan KH Wachid Hasjim (bapaknya Abdurrahman Wahid), membela Piagam Jakarta. Soekarno mengatakan: ?Saya ulangi lagi, bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat ?dengan didasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sudah diterima oleh Panitia ini.? Maka, upaya Latuharhary untuk menjegal Piagam Jakarta gagal. Tetapi, kalangan Kristen tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian menggunakan tangan opsir Jepang dan Muhammad Hatta untuk mengganjal Piagam Jakarta. Akhirnya, Piagam Jakarta dapat digagalkan melalui ultimatum pihak Kristen. Moh. Natsir dalam tulisannya di buku Fakta dan Data, menyebut peristitiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai "Peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan". Ia juga mengingatkan, bahwa umat Islam jangan sampai lupa akan peristiwa 18 Agustus 1945 tersebut. Kata Natsir: ?Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insyaallah umat Islam tidak akan lupa.? (Lihat, Moh. Natsir dalam tulisannya berjudul "Tanpa Toleransi Takkan Ada Kerukunan", dalam buku Fakta dan Data, Media Dakwah, 1991). Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, sikap pihak Kristen terhadap Piagam Jakarta tidak berubah sama sekali. Majalah Katolik, Hidup, No. 27, Tahun 1989, memuat sebuah tulisan Pater Wijoyo S.J yang berjudul ?Tiada Toleransi untuk Piagam Jakarta?. Dalam sidang-sidang Konstituante, 1955-1959, pihak Islam masih tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Perlu dicatat, bahwa dalam Sidang-sidang BPUPKI, tahun 1945, mula-mula pihak Islam memperjuangkan terbentuknya sebuah negara Islam. Namun ditolak oleh golongan sekuler-Kristen. Akhirnya, seperti dikatakan Soekarno, tercapailah kata sepakat atau kompromi, yaitu Piagam Jakarta. Jadi, Piagam Jakarta adalah hasil kompromi, bukan kemenangan pihak Islam. Tetapi, dalam perjalanan sejarahnya, hasil kompromi itu pun digugat dan ditentang pihak Kristen, habis-habisan. Perubahan besar-besaran sikap tokoh-tokoh Muslim di era reformasi. Pucuk pimpinan NU, Muhammadiyah, dan juga sejumlah cendekiawan terkemuka, memelopori penolakan usaha memasukkan kembali ?tujuh kata? dalam UUD 1945. Para tokoh Islam in beralasan, bahwa memperjuangkan masuknya syariat Islam dalam konstitusi akan membuat bangsa Indonesia pecah belah. Para tokoh itu mencoba mengakomodir dan memahami jalan pikiran dan sikap pihak Kristen. sebagaimana yang juga dulu dilakukan saat mereka menerima ultimatum pihak Kristen melalui Bung Hatta. Pada tanggal 10 Agustus 2000, tiga tokoh ? M. Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, dan Nurcholish Madjid -- mengeluarkan pernyataan bersama di Hotel Indonesia, yang isinya menolak upaya mengembalikan Piagam Jakarta. Judul pernyataan mereka: ?Kami menolak Pencantuman Kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945.? Salah satu alasan penolakan mereka adalah, bahwa ?dimasukkannya kembali tujuh kata itu akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai ?negara Islam? di Indonesia. Prasangka-prasangka in jika dibiarkan kembali berkembang, akan dapat mengganggu hubungan-hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan menimbulkan ancaman disintegrasi.? Terlepas dari pro-kontra sikap ketiga tokoh tersebut, tampak bahwa semangat kaum Muslim untuk mempertahankan integritas negara kesatuan RI (NKRI) begitu besar. Gagasan negara Islam, Piagam Jakarta, Ketuhanan YME, didasari oleh sikap mempertahankan NKRI. Untuk itu, umat Islam bersedia mengalah, bersedia kompromi, meskipun mereka adalah mayoritas, dan sangat besar andilnya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI dan mengusir penjajah yang begitu banyak berjasa dalam menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Itu bisa dilihat dari perjalanan gagasan dari konsep ?negara Islam?, sampai akhirnya menerima ?Mukaddimah UUD 1945? dengan sila ?Ketuhanan YME?. Perlu dicatat, bahwa ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, Partai Islam Masyumi yang sangat dirugikan oleh Dekrit tersebut, juga menyatakan, menerima dekrit. Dalam notanya kepada Presiden RI tanggal 28 Juli 1959, Masyumi menyampaikan pernyataan: ?Mulai saat in (derkit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karena itu merasa berhak pula untuk meminta dan dimana perlu menuntut, kepada siapa pun, juga pemerintah dan Presiden, untuk tunduk kepada UUD sebagai landasan hidup bernegara.? Namun, tulisan Soedjati memberikan bukti, bahwa pihak Kristen tampaknya belum puas untuk terus menekan umat Islam Indonesia. Meskipun sudah menjadi kesepakatan semua kekuatan politik pada Sidang MPR terakhir, tokoh Katolik itu tetap melihat bahwa sila ?Ketuhanan YME? pun masih menguntungkan umat Islam. Jadi sila itu perlu diubah dan dinyatakan secara tegas, bahwa Indonesia adalah negara sekuler, dan tidak ada hak istimewa apa pun yang boleh dinikmati oleh umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia. Tidak boleh! Maka, pihak Kristen memang sangat geram ketika ada kalangan Muslim yang mempromosikan gagasan demokrasi rasional-proporsional, bahwa sebagai mayoritas bangsa yang begitu besar jasanya kepada bangsa ini, seyogyanya umat Islam juga terwakili secara proporsional dalam berbagai aspek kehidupan: politik, militer, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Pemikiran yang wajar dalam sebuah kerangka pemikiran demokrasi. Seperti halnya, sekarang dikembangkan oleh kalangan aktivis perempuan, yang menuntut kuota politik tertentu di lembaga legislatif. Seorang seorang pendeta, bernama Oktavianus, menulis dalam buku ?Beginikah Kemerdekaan Kita??, bahwa "Jika ide demokrasi rasional dan proporsional diterapkan dan bukan demokrasi Pancasila, Indonesia bagian Timur tentu akan terangsang untuk memisahkan diri dari Republik." Ini adalah ultimatum seperti halnya, pada tahun 1945. Bagaimana pun, kita perlu salut pada sikap ?konsisten? pihak Kristen dalam menentang ide negara Islam, Piagam Jakarta, sampai sila Ketuhanan YME. Mereka konsisten, dan kokoh sikapnya. Tidak bergesar sedikit pun sejak 1945, sampai sekarang, bahkan terus maju. Ibarat jual beli, sejak awal kemerdekaan, pihak Kristen membuka harga Rp 100, dan tidak bergeser. Sementara pihak Islam, semula mengajukan tawaran Rp 100, kemudian tinggal Rp 70, dan seterusnya, sampai akhirnya muncul berbagai seruan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler, sebagaimana yang diserukan oleh pihak Kristen. Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 31 Januari 2001, bersama Nurcholish Madjid, A. Syafii Ma'arif, Ulil Abshar Abdalla, dan Ja'far Umar Thalib, saya sempat sampaikan, bahwa saya salut pada sikap pihak Kristen yang sejak awal ?konsisten? dalam soal Piagam Jakarta, syariat Islam, dan sebagainya. Sementara, pihak Islam, justru kemudian bergeser jauh dan semakin mendekati sikap pihak Kristen. Ini fakta. Sekarang terbukti, bahwa sikap ?mengalah? dan ?toleran? pihak Islam itu masih tidak dianggap cukup. Sila Ketuhanan YME masih dianggap ada celah-celah yang menguntungkan Islam, sehingga perlu diubah, itu bukanlah hal baru. Sikap Soedjati terhadap sila Ketuhanan YME dapat dijadikan bahan pelajaran, bahwa dalam satu pergulatan ideologi, politik, di Indonesia, pertarungan ideologis ini masih terus berlangsung dengan hebat. Seperti kita bahasa dalam catatan sebelumnya, kita bisa mempertanyakan, mengapa pihak-pihak Kristen begitu gencar, mempromosikan ide sekularisme ini? Betulkah di negara-negara sekuler, agama berkembang dengan baik, seperti klaim Soedjati? Ini adalah ucapan tanpa bukti yang nyata. Betapa banyak keluhan dari pihak Kristen sendiri, bahwa sekularisme di Barat, telah meruntuhkan sendi-sendi bangunan Kristen. Jika negara-negara Kristen Barat kemudian terpaksa menerima sekulerisme, itu adalah karena trauma Barat terhadap dominasi dan kekuasaan Gereja Kristen yang menindas masyarakat, atas nama agama. Sebab Paus diposisikan sebagai wakil Kristus (Vicar of Christ), sehingga boleh berbuat apa saja atas nama Tuhan. Kita sungguh tidak habis mengerti, pihak Kristen begitu benci dan takutnya dengan syariat Islam, dan sekuat tenaga menghalangi orang Islam menjalankan hukum-hukum agamanya, tetapi mereka sendiri tidak mengajukan hukum-hukum agama mereka untuk diterapkan di tengah masyarakat. Padahal, Kitab mereka, Bible, penuh dengan ketentuan dan hukum-hukum Tuhan. Mengapa? Karena mereka, orang-orang Kristen sekuler, itu sendiri sudah tidak yakin dengan agama mereka, dengan kitab agama mereka. Keraguan, ketidakyakinan mereka itu, kemudian ingin dipaksakan kepada kaum Muslim. Jika ada kaum Muslim yang mengikuti jalan mereka, maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah saw, tentang fenomena Muslim yang mengikuti sunnah, jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani, meskipun mereka masuk ke lubang biawak sekalipun. Perlu dicatat, Soedjati adalah seorang tokoh Katolik yang sejak puluhan tahun lalu sudah punya hubungan dengan Zionis Israel. Maka, ia sangat geram ketika kaum Muslim menentang rencana pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia-Israel. Di Majalah Katolik Hidup, edisi 14 November 1999 ia menulis kolom berjudul: ?Hubungan Dagang dengan Israel.? Di situ, ia mengecam politik luar negeri Indonesia selama ini yang hanya berpihak kepada Palestina. Ia menulis: ?Tetapi mengapa kita hanya mendukung bangsa Palestina, dan tidak mendukung Israel? Apakah bangsa Yahudi bukan suatu bangsa yang juga mempunyai hak menentukan nasib sendiri? Kalau kita secara mutlak hanya memikirkan bangsa Palestina, lalu mau diapakan bangsa Israel? Dipunahkan sama sekali, dibuang ke laut? Kalau benar ada, pemikiran semacam itu sejajar dengan pemikiran komunis, yang mana kelas lain di luar kelas proletar (buruh) harus dimusnahkan.? Begitu tulis Soedjati! Tampak, bahwa sebagai pakar hubungan internasional, pemikiran Soedjati sangat bias, sengaja memanipulasi sejarah. Umat Islam, dan dunia internasional, tidak mendukung Israel, karena negara Zionis itu adalah negara penjajah dan kolonial, yang terus melakukan kekejaman dan pembantaian serta pendudukan terhadap wilayah Palestina. Puluhan Resolusi PBB telah diabaikan oleh Israel. Dunia internasional tahu akan hal itu. Kristen Palestina sendiri terus menjadi korban kekejaman Israel. Beratus-ratus tahun, Umat Islam menjadi pelindung bangsa Yahudi, saat mereka ditindas dan dibantai habis-habisan oleh kaum Kristen Eropa. Semua fakta sejarah itu begitu gambling. Sikap Indonesia hingga kini jelas, berdasarkan Mukaddimah UUD 1945 yang ?anti-penjajahan? maka, Indonesia menolak membuka hubungan dengan Israel, karena negara Zionis itu adalah kolonial. Tetapi, mengapa Soedjati meminta Indonesia mendukun Israel? Itulah Soedjati Djiwandono. Wallahu a?lam. (KL, 12 Februari 2004). Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt