mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt George Soros Versus Ekstrimis-Bush Minggu, 05 Oktober 2003 Menurut pengusaha Yahudi, George Soros, pemerintahan Presiden AS, George W. Bush banyak dipenuhi para ektrimis. Baca siapa dibalik Bush di Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-25. Salah satu berita menarik yang diungkap oleh sejumlah media Islam pekan ini adalah berita tentang pernyataan George Soros yang menghantam Presiden AS, George W. Bush. Eramuslim.com (1-10-2003) mengangkat berita ini dalam judul: “George Soros: Pemerintahan Bush Adalah Pemerintahan Ekstrimis!” Dalam acara peluncuran dana yang digagas masyarakat bawah senilai hingga 75 juta USD untuk mencegah terpilihnya kembali George W. Bush menjadi presiden AS, George Soros mengatakan, Washington hanya mungkin menghentikan kebijakan ekstrimisnya jika ada perubahan di dalam Gedung Putih. "Perubahan ini hanya mungkin terjadi, jika anda sanggup mengganti rezim yang kini berkuasa di AS. Dengan kata lain, jika Presiden Bush didepak dari kekuasaannya," ujar Soros pada Radio BBC dalam Program United Nations Or Not, Senin (29/9). Menurut Soros, peristiwa 11 September telah dibajak oleh komplotan ekstrimis untuk mengeluarkan kebijakan yang jauh telah dirancang sebelumnya untuk menginvasi Iraq. Ada suatu "ideologi yang salah" di balik kebijakan-kebijakan pemerintahan Bush. Aksi-aksi AS dalam membangun invasi ke Irak, kata Soros lagi, adalah bukti adanya elemen ekstrimis dalam pemerintahan Bush. "Ada suatu kelompok - saya menyebut mereka para ekstrimis - yang memiliki keyakinan sebagai berikut; bahwa hubungan internasional adalah hubungan kekuasaan, bukan hukum. Sehingga hukum internasional akan selalu mengikuti apa yang telah dicapai penguasa," katanya. "Dan karena itu (mereka percaya) AS telah menjadi negara paling kuat di dunia yang telah memainkan kekuatannya, memainkan keinginan dan kepentingannya di atas dunia. Dan AS melakukan itu semua demi memelihara kepentingannya," ujar Soros, sembari menekankan, bahwa Amerika yang sesungguhnya menjadi kekuatan dominan dalam mempertahankan ideologi ekstrim semacam ini, adalah negara sangat berbahaya bagi dunia. Itulah yang menjadi titik concern utama saya," papar Soros. Walaupun pernah menjadi pendukung perubahan rezim di Irak, namun kini Soros percaya, bahwa penggulingan Presiden Saddam Hussein akan dicatat sejarah sebagai salah satu kegagalan terbesar kebijakan luar negeri Bush. "Saya kira Presiden Chirac tidak akan menolak filosofi ini. Tapi dia tidak begitu cukup kuat. Jadi saya tidak begitu khawatir tentang apa yang diperbuat Perancis," ujar Soros merujuk pada soal kebijakan oposisi Perancis terhadap invasi AS ke Iraq. Itulah pernyataan Soros. Bagaimana kita memahami pernyataan semacam ini? Soros dikenal sebagai Yahudi yang sukses menggalang dana melalui berbagai perusahaan bisnis keuangannya. Namanya sering dikaitkan dengan berbagai gerakan berbau Yahudi dan Zionis. Seorang tokoh Islam di Malaysia, mengaku terkejut, mengapa di Indonesia ada organisasi Islam yang mau bekerjasama dengan Soros? Padahal, kenyataannya, tangan-tangan Soros memang sudah lama ada di Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu pemegang saham kelompok Bakti Investama, yang telah mengambil alih saham-saham kelompok Bimantara. Ia pun pernah dikabarkan akan mengambil alih saham sejumlah BUMN. Ketika krisis mata uang melanda sejumlah negara di Asia, nama Soros kembali disebut-sebut berada di balik tragedi itu. Pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia digoncang, dimulai dari anjloknya nilai rupiah. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad menuduh George Soros, seorang Yahudi pemain valas, sebagai aktor utama krisis ekonomi Asia. Paul Krugman, ekonom terkenal dari MIT, menyebutkan bahwa dalam krisis Asia, konspirasi dilakukan oleh AS dan sekutunya dengan George Soros, pemilik Quantum Fund. AS dan sekutunya yang khawatir dengan pertumbuhan ekonomi Asia mengutus Soros yang punya kompetensi untuk menggoyang pertumbuhan itu. Indonesia yang menjadi sasaran Soros terbukti tidak berdaya menghadapi pengurasan devisa akibat kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun dalam buku Krisis Kapitalisme Global yang ditulisnya, Soros membantah bahwa ia mengambil keuntungan dari krisis yang terjadi di Indonesia. Bahkan, ia katakan, The Quantum Funds sempat terpukul berat, karena telah membeli rupiah sekitar 4.000 per dolar atas pemikiran bahwa rupiah telah selamat ketika ia merosot dari 2.430 pada bulan Juli 1997. Ia merosot menjadi 16.000 dalam waktu pendek. “Suatu pengalaman yang sangat memilukan. Saya sudah menyadari sepenuhnya akan korupsi rezim Soeharto, dan saya bersikukuh untuk menjual saham kami di Indonesia dimana anggota keluarga Soeharto memiliki kepentingan besar, sebab saya tidak ingin dihubungkan dengan mereka. Namun, toh kami tidak bisa menghindarkan diri, dengan menderita kerugian besar pada saat keuntungan sudah hampir di tangan,” kata Soros. Dalam buku itu, Soros malah mengakui bahwa kapitalisme global telah menyebabkan “negara-negara pusat” berusaha menjadi penyelia (pengawas) “negara-negara pinggir” dengan mengendalikan pertumbuhan ekonomi mereka melalui berbagai cara yang merugikan negara-negara pinggir. Soros antara lain menyatakan, bahwa IMF dan Bank Dunia merupakan dua organisasi keuangan internasional yang sengaja dibentuk oleh negara-negara pusat (negara maju) untuk tetap bisa menguasai dan mengendalikan negara-negara pinggir (negara berkembang dan terbelakang). Konsep “negara pusat” dan “negara pinggir” merupakan bagian penting dari teori “dependensia” (teori ketergantungan). Teori ketergantungan beserta perubahan-perubahannya yang berkaitan dengan sistem dunia, mula-mula muncul sebagai reaksi dari Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju (Barat) karena timbulnya gejolak ketergantungan yang sukar untuk diatasi di Dunia Ketiga akibat intervensi kapital dan pinjaman luar negeri yang mengikat berat. Teori ini berpandangan bahwa kekuatan ekonomi Barat telah berkomplot untuk melestarikan sistem dunia yang mereka anut, membuat negara-negara sedang berkembang tetap terbelakang dan terus tergantung kepada negara-negara maju dalam segala hal. kalaupun tercapai kemajuan, ini terjadi secara pelan-pelan dan tetap saja harus tergantung. Dalam pandangan teori ini, sistem dunia terbagi menjadi tiga kekuatan: (a) negara-negara yang menjadi pusat industri, (b) negara sebagai semi periferi (semi pinggiran), dan (c) negara-negara pinggiran. Dalam bahasa lain, negara-negara pusat yang dulu merupakan negara kolonialis, tetap saja memainkan peran imperialnya, pasca kolonialisme klasik. Michael Barratt-Brown, dalam prakata untuk edisi kedua tahun 1970 dari karyanya After Imperialism (1963), mengatakan: “bahwa imperialisme tak diragukan lagi masih merupakan suatu kekuatan paling besar dalam kaitan-kaitan ekonomi, politik, dan militer yang dengannya negeri-negeri yang secara ekonomi kurang berkembang tunduk pada mereka yang secara ekonomi lebih berkembang.” Membaca berbagai informasi yang bertentangan semacam itu, bisa jadi cukup membingungkan. Apakah Soros memang sosok idealis, sosial, demokrat, dan dermawan, seperti yang tergambar dalam berita tentang George Bush tersebut. Sebab, kabarnya, melalui berbagai yayasan-nya, Soros telah mendermakan sekitar 1 milyar USD (sekitar Rp 8,5 trilyun) untuk berbagai kegiatan sosial di berbagai belahan dunia. Wallahu a’lam. Kini, dengan aktivitasnya menentang pemerintahan ekstrimis George Walker Bush, nama Soros menjadi harum di dunia internasional. Ia sepertinya tahu, “kemana angin bertiup”, kemana arah opini dunia sedang berjalan. Mungkin, ia pun tahu, kemana arah politik AS akan berjalan. Kita boleh menduga, dengan seperangkat analisis lembaga yang dibawahi dan diaksesnya, boleh jadi, periode ini adalah akhir dari pemerintahan Bush. Sebagai seorang “pedagang”, Soros tentu Jika Soros tidak lepas dari lobi Yahudi, maka berarti Soros tidak menjadi bagian dari lobi Yahudi sayap kanan yang pro-Israel. Mungkin, ia bagian dari lobi Yahudi liberal yang lebih moderat sikapnya terhadap perjuangan rakyat Palestina. Apa pun dan siapa pun Soros, kita perlu menelaah isi dan makna ungkapan-ungkapannya tentang pemerintahan AS yang dipimpin Bush saat ini, secara faktual. Ia menyebut pemerintahan Bush dikendalikan elemen-elemen ekstrimis, yang membahayakan politik internasional. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan Bush sudah tidak terhitung lagi. Bukan hanya Osama bin Laden yang mengecam, tetapi justru dari dalam tubuh AS sendiri. Sayang, Soros tidak menyebut, siapakah yang dia maksud sebagai elemen ekstrim itu. Namun, banyak orang akan menduga, bahwa yang dimaksud adalah para hawkish, atau kelompok elang, yang diantaranya mencakup Menhan Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan sebagainya. Sebenarnya, ada tiga elemen ekstrim yang berpengaruh terhadap pemerintahan AS: yaitu kelompok Kristen fundamentalis, yahudi Zionis sayap kanan; dan ilmuwan-ilmuwan konfrontasionis (istilah yang digunakan oleh Prof. Fawaz Gerges, untuk mengkontraskan dengan ilmuwan akomodasionis). Dalam catatan kali ini, kita fokuskan pada kelompok yang pertama, yaitu Kristen fundamentalis AS, yang lebih dikenal sebagai Kristen Sayap Kanan (The New Christian Right/NCR). Dalam bukunya, Religion and Globalization, Peter Beyer menyebutkan, bahwa kelompok ini mulai terkenal pada akhir 1970-an. Ketika itu masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelompok yang dalam politik AS dikenal sebagai “gerakan politik keagamaan konservartif” atau “a conservative religio-political movemen”. Gerakan yang berakar pada “American evangelical Protestantism” ini bertujuan untuk mendirikan agama Kristen tradisional sebagai kekuatan dominan dalam seluruh aspek sosial kemasyarakatan, termasuk politik. Pesan dari NCR adalah menyerukan kebangkitan agama, regenerasi moral, dan kebangkitan kembali bangsa Amerika. Jerry falwell, seorang tokoh NCR, menyatakan, bahwa Amerika membutuhkan dampak dari kebangkitan spiritual murni, yang dibimbing oleh pastor-pastor yang percaya pada Bible; bahwa ‘kanker moral’ telah menyebabkan pembusukan masyarakat dari dalam. Dalam kaitan ini, Presiden George Walker Bush dikenal luas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kalangan Kristen fundamentalis di Amerika Serikat. Bahkan, sejumlah istilah yang digunakan olehnya dalam menjalankan politik luar negeri AS, seperti “crusade”, “evil”, dan sebagainya, mencerminkan pengaruh fundamentalis Kristen terhadap dirinya. Malah ada yang menyebut, Bush sendiri memang Kristen fundamentalis. Soal keterkaitan erat Bush dengan kaum fudamentalis Kristen banyak diungkap oleh pengamat politik AS. Dalam bukunya berjudul The Eagle’s Shadow: Why America Fascinates and Infuriates the World, Mark Hertsgaard mencatat tentang Bush junior ini: “George W. Bush, who cited Jesus Christ when asked to name his favorite philosopher, is a ‘born again’ believer who happens to owe fundamentalists a major political debt.” Menurut Hertsgaard, sejak awal 2000, kelompok Kristen sayap kanan memang telah memilih berdiri di belakang Bush. Presiden AS ini pun kemudian membuat politik balas budi terhadap kelompok yang memiliki basis kuat terutama di AS bagian Selatan. Diantaranya dengan menggeser tanggung jawab sosial dari pemerintah kepada gereja dan mengangkat hakim serta pejabat-pejabat federal yang bersimpati terhadap kepentingan fundamentalis. Kekuatan Kristen sayap kanan bisa dilihat saat “the two most powerful Republicans” Trent Lott dan Tom Delay berhasil menggerakkan proses impeachment terhadap Clinton dalam kasus skandal seksnya dengan Monica Lewinsky. Di jajaran Republikan, hanya sedikit senator yang dapat terpilih tanpa dukungan kelompok Kristen sayap kanan ini. Memang, dalam soal agama, AS sering bersifat ambigu. Pada satu sisi tetap memegang prinsip sekuler, bahwa negara tidak melakukan campur tangan dalam urusan agama. Tetapi, kata Hertsgaard, “Religion is key to understanding much about the United Staes.” Maka, tak heran, jika politisi Demokrat pun sering menampilkan diri sebagai sosok yang religius. Clinton dan Al Gore, misalnya, juga bangga menyatakan dirinya sebagai ‘born again’ Baptists. Clinton juga melakukan ritualitas Kristen saat melakukan pengakuan dan permohonan maaf kepada rakyat AS atas skandalnya dengan Lewinsky. Kita bisa melihat dan memprediksikan, bagaimana semakin kacaunya dunia jika kelompok-kelompok seperti ini mengendalikan jalannya politik dunia, melalui otak dan kebijakan kepala negara adikuasa, seperti AS. Ironisnya, jika AS kini sibuk mengejar-ngejar apa yang mereka sebut sebagai fundamentalis Islam, justru di dalam negerinya sendiri, kelompok fundamentalis Kristen mencengkeram pusat kekuasaannya. Yang lebih ironis, kelompok fundamentalis Kristen ini juga mengekspor pengaruhnya ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Beberapa waktu lalu, seorang pendeta menulis di sebuah milis dialog antar-agama, bahwa di Indonesia sendiri fenomena fundamentalisme Kristen sangat marak. Dari sekian banyak itu salah satunya ialah GRI (Gereja Reformed Injili). Pandangan GRI yang fundamentalistik terhadap Alkitab dapat dilihat dalam Pengakuan Iman GRI tentang Alkitab. Bagi mereka Alkitab adalah "tidak salah pada naskah aslinya", "memadai/lengkap secara teologis", dan "tidak salah dalam sejarah dan ilmu". Apa yang telah ditawarkan oleh GRI memang telah mempesona warga muda, yang dalam usia itu sangat membutuhkan topangan dari dan di dalam gereja. Warga muda menjadi egosentris. Iman "reformed" sejati yang ditawarkan oleh GRI justru dikhianati oleh seperangkat doktrin fundamentalistik. Iman diganti dengan ketergantungan pada pembuktian rasionalistik. Kewibawaan Alkitab digantikan oleh doktrin ketiadasalahan Alkitab termasuk dalam hal sejarah dan ilmu. Tujuan GRI yang tadinya mau membawa iman Kristen seperti yang dicita-citakan pada zaman Reformasi justru membawa orang terpisahkan dari masa lalunya di dalam gereja. Penjelasan seorang pendeta Kristen seperti itu merupakan kritik internal yang menarik di kalangan Kristen. Memang, doktrin ketiadasalahan Alkitab (Bible) sudah begitu banyak dibuktikan kekeliruannya oleh kalangan Kristen dan Yahudi sendiri. Tahun 2002 lalu, penerbit Touchtone, New York, menerbitkan buku berjudul The Bible Unearthed: Archaelogy’s New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts, karangan Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman. Buku ini banyak memberikan kritik-kritik mendasar terhadap aspek historisitas Bible. Dalam bukunya, Finkelstein dan Silberman membuat judul-judul yang menantang, yang membongkar tradisi kepercayaan dalam Bible, seperti: “The Bible as History?”, “Did the Exodus Happen?”, “Did David and Solomon Exist?”, dan sebagainya. Faktanya, doktrin Kristen fundamentalis sulit diterima di kalangan Kristen sendiri. Maka, kiprah Soros dalam menentang Bush di AS, yang didukung kalangan Kristen fundamentalis, perlu dikaji secara factual oleh kaum Muslim, agar Muslim tidak memberikan penilaian terhadap fakta yang salah. Meskipun alat yang digunakan untuk menilai (al-Quran dan Sunnah) adalah benar. Harus diakui, di kalangan Muslim, studi tentang Yahudi, Kristen, Orientalis, Zionisme, dan sebagainya, belum begitu berkembang. Sementara Barat telah jauh melangkah dalam hal studi tentang Islam, dan telah banyak menghasilkan “kader-kader” yang rajin “mengobok-obok” Islam. Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur, 2 Oktober 2003). Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt