EKSISTENSI DAN FUNGSI MANTRA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUNDA Oleh: Elis Suryani N.S. 1. Pengantar Beraneka ragam kebudayaan yang dimiliki Propinsi Jawa Barat patut dipandang sebagai salah satu unsur kebudayaan Nasional. Keragaman tersebut tentunya dapat memberikan dan memperkaya corak maupun karakteristik kepribadian bangsa. Oleh karena itu usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional, baik yang sedang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta tidak dapat dipisahkan dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah yang banyak tersebar di seluruh peloksok Nusantara. Keanekaragaman kebudayaan sebagai aset daerah secara universal di era millenium ke-3 saat ini cukup mendapat perhatian dari pemerintah. Perhatian ini terutama dicurahkan kepada unsur-unsur kebudayaan yang dapat menarik minat para wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik. Melaui sapta pesonanya, para wisatawan siap disuguhi dengan berbagai keindahan alam yang mempesona dari berbagai daerah juga suguhan menarik lainnya, baik yang mengangkat khasanah kesenian rakyat setempat, maupun acara-acara yang bernuansa religi. Ternyata di balik pesona yang ada dari suasana religi ini terdapat beberapa fenomena, khususnya mengenai kebiasaan sebagian masyarakat yang begitu dekat dengan mantra dan pemanfaatan mantra untuk kepentingan tertentu guna tercapainya tujuan tertentu pula. Mantra oleh sebagian masyarakat dipercayai mempunyai kekuatan gaib. Dengan demikian masyarakat ini begitu sukar melepaskan kebiasaannya dalam memanfaatkan mantra karena dirasakan banyak diperoleh manfaatnya. Hal ini mengundang banyak reaksi dari masyarakat lainnya yang secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dalam kehidupan sehari-hari. 2 Riset terdahulu dari para ahli, di antaranya James Danandjaja, menerangkan tentang bantahan orang awam berpendidikan Barat yang menyebutkan perilaku yang ditimbulkan mantra, salah satunya, adalah takhayul belaka dan merupakan perbuatan bodoh. Danandjaja membantah penilaian orang awam yang berpendidikan Barat tersebut dengan menyertakan fakta bahwa tidak ada orang yang bagaimanapun modernnya, dapat bebas dari takhayul, baik dalam hal kepercayaan maupun dalam hal kelakuannya. Suara katak terdengar dipercayai masyarakat Amerika Serikat sebagai tanda akan turun hujan, begitu juga dengan kepercayaan orang Sunda, jika kita memandikan kucing, maka akan segera turun hujan (1994: 153-154). Memang, fenomena seputar kepercayaan masyarakat, terutama yang menyangkut penilaian terhadap karya lisan yang satu ini begitu tampak pada jaman modern ini. Di berbagai daerah di Indonesia dengan lapisan masyarakat yang beragam menghasilkan dua golongan masyarakat dihubungkan dengan kehadiran dan sikap masyarakat terhadap mantra pada jamannya, yaitu golongan masyarakat penghayat dan bukan penghayat mantra baik secara aktif maupun pasif menerima atau menolak mantra. Penghayat aktif yang dimaksud adalah dukun dan pengamal mantra yang membacakan sendiri mantranya dan kesediaan memenuhi segala peraturan dan larangan dukun atau gurunya. Penghayat pasif adalah pengamal mantra dengan bantuan dukun untuk membacakan mantra, ia tinggal menyediakan persyaratan dan bersedia mematuhi segala peraturan dan larangan demi dukun atau gurunya. Selain itu yang termasuk penghayat pasif adalah orang yang mengakui dan percaya terhadap mantra dengan kemampuannya menghasilkan kekuatan gaib dan percaya bahwa mantra akan mampu menjawab hal-hal atau masalah-masalah yang ada di dalam kekuatan supernatural, yaitu di luar jangkauan pemikiran dan kekuatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat bukan penghayat mantra adalah masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dan dianggap sebagai perbuatan syirik atas tindakan masyarakat yang menggunakan mantra secara aktif atau pasif dalam kehidupannya. 3 Pandangan masyarakat terhadap mantra telah memunculkan beberapa prasangka. Bagi masyarakat penghayat mantra, kegiatan sehari-hari kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud, misalnya, para petani ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, jika panen tiba hasilnya melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris; dan pengharapan-pengharapan lainnya. Pemanfaatan mantra oleh Abdulwahid dibagi ke dalam tiga fungsi utama, yaitu sebagai perlindungan, kekuatan, dan pengobatan (1991:2-3). Secara sepintas, karena keterbatasan kemampuan manusia, mantra merupakan keuntungan bagi masyarakat penghayatnya didasarkan pada fungsi mantra tersebut di atas. Oleh karenanya, mantra dengan mudah diterima kehadirannya sebagai warisan nenek moyang yang begitu berarti. Sedangkan bagi masyarakat bukan penghayat mantra, prasangka yang muncul adalah negatif. Hal ini didasarkan atas penilaian masyarakat bukan penghayat yang menegaskan bahwa permohonan sesuatu melalui mantra-mantra adalah perbuatan syirik. Penilaian golongan masyarakat ini lebih tegas lagi pada jenis mantra untuk tujuan jahat yang dikenal dengan magis hitam. Di samping itu ketidakpercayaan terhadap kekuatan gaib yang terkandung dalam mantra dan adanya persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya harus berendam di sungai, dan sebagainya menimbulkan antipati yang cukup kuat. Kenyataan yang ada mengenai pandangan dan kepercayaan masyarakat menarik untuk dibahas. Kehadiran mantra ternyata mampu memberi pengaruh kepada masyarakat dan menerima pengaruh dari masyarakat, misalnya, adanya pengaruh Islam, maka yang menjadi nafas dalam mantra sekarang ini adalah nafas Islam yang sering menyertakan kalimat Tayyibah, Syahadat, dan kalamullah lainnya. Kenyataan yang telah diuraikan di atas mengandung beberapa masalah: Mantra diperlukan untuk apa? Kapan mantra mempunyai kekuatan gaib? Aspekaspek apa yang memberi ciri kekuatan mantra sehingga mantra diterima dan dipercaya memiliki kekuatan gaib? Sejauh mana masyarakat penghayat mantra menerima mantra? Sejauh mana masyarakat bukan penghayat mantra menolak 4 mantra? Bagaimana halnya dengan masalah syirik menurut pandangan masyarakat bukan penghayat mantra? Adakah penengah untuk kedua golongan tersebut? Beberapa pertanyaan di atas perlu mendapat jawaban yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, melalui pengkajian pargmatik ini, diharapkan dapat memberi gambaran yang jelas mengenai kehadiran mantra yang mengundang banyak reaksi dan prasangka. Adapun harapan yang lebih jauhnya adalah mampu mengikis sikap apriosi dan antipati yang berlebihan terhadap mantra. 2. Keyakinan Sebagai Tolok Ukur Atas Kekuatan Mantra Modal utama para penghayat mantra menekuni mantra dan lebih jauhnya merasakan manfaat mantra adalah adanya keyakinan; keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang dihasilkan di luar kemampuan manusia. Mereka menyandarkan diri sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Sikap merasa bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apa-apa menjadi dorongan yang dominan bagi usaha pemakaian mantra secara mantap. Dengan demikian, kesiapan jiwa dan raga dicurahkan secara optimal demi tercapainya suatu tujuan. Kalaupun gagal, manusia menyadari bahwa itu semua berpangkal dari kehendak Yang Maha Kuasa dan berintrospeksi diri bahwa kekurangannyalah yang membuahkan ketidakberhasilan suatu tujuan. Adapun penyertaaan nama-nama nenek moyang di samping Allah SWT, Muhammad SAW, dan nama-nama lainnya ditujukan sebagai penghormatan. Sehingga dengan penyebutan nama-nama nenek moyangnya manusia terpanggil lebih dapat menghargai peninggalan berharganya, salah satunya adalah mantra. Ketentraman hati pun tercipta manakala dirasakan adanya suasana keakraban non fisik dengan leluhurnya. Hal ini merupakan kondisi yang menguntungkan bagi terciptanya konsentrasi penuh, memohon kepada Allah agar mengabulkan permintaannya. Tentang syarat-syarat yang harus diperhatikan, baik keharusan atau larangan merupakan alat pengsugesti atau penguji. Seseorang yang berminat penuh terhadap mantra dan siap menjalankan apa yang disyaratkan untuk 5 menghindari hal-hal yang dilarang, sudah membuktikan bahwa pada tahap awal ia telah berhasil menciptakan kekuatannya sendiri; segenap jiwa dan raganya dicurahkan demi mencapai hasil yang memuaskan. Contohnya, Jampe Kasieun 'Jampi Menghindarkan Rasa Takut': Sima sia sima aing Sima sia aya di aing 'Wibawamu wibawaku Wibawamu ada padaku' Jampi ini mempunyai syarat bahwa orang yang memakainya harus menghentakkan kaki ke bumi sebanyak tiga kali. Kesiapan orang yang ketakutan untuk menghentakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali adalah modal utama keberhasilan menghindarkan rasa takut. Kesiapannya adalah cermin keberhasilan selanjutnya. Hal ini dikarenakan tidak semua orang yang berada dalam keadaan takut atau hampir berada dalam keadaan takut mampu menghentakkan kaki secara keras ke tanah. Ketegaran mengubah dengan sendirinya ketakutan yang ada atau yang hampir ada. Contoh lain yang senada dengan Jampe Kasieun adalah: Jampe Geumpeur 'Jampi Grogi': Bismillahirrahmanirrahim Allahumma roh madep Cahaya hurip hurip ku cahaya Roh kudus madep hurip ku cahaya Allah Somad somud kalawan roh idofi Kang angadeg Hurip ku cahaya Allah Roh hurip ku cahaya Allah Madep maring Allah ku Allah (2X) 'Bismillahirrahmanirrahim Allahumma ruh menghadap Cahaya hidup hidup oleh cahaya Ruh kudus hiduplah oleh cahaya Allah Somad somud beserta ruh idofi Yang berdiri Hidup karena cahaya ruh Menghadap Allah karena Allah (2x) 6 Nyarang Hujan Mega mengkol ka kulon Haseup mawa ka kaler Hujan mawa ngetan Tungkul tuluy ka kidul Aki tumenggung ajeg di tengah panggung Disered meped ngaler, ngetan, ngidul, ngulon Laahaula wala quwwata illa billaah Menahan Hujan Mega belok ke barat Asap ke utara Hujan ke timur Tunduk lalu ke selatan Kakek tumenggung tegak di tengah panggung Diseret menepi ke utara, timur, selatan, barat Laahaula wala quwwata illa billaah Jampi tersebut digunakan untuk menghindarkan hujan pada saat boga gawe 'ada pekerjaan besar', baik upacara pernikahan, khitanan, mendirikan rumah, atau panen padi yang memerlukan cuaca cerah. Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar maksud terlaksana misalnya: pada malam hari harus menyediakan pais beunyeur 'pepes menir', dupa serta kemenyan lalu ngaruahkeun 'mempersembahkan sesaji dan doa' kepada Uyut Jinem agar besok hari tidak terjadi hujan. Pagi harinya harus mendiangkan mutu 'kayu pipisan bumbu' di depan tungku yang terus menyala sepanjang hari sambil membaca mantra tersebut. Selama beberapa hari yang diperlukan, si penyarang tidak boleh minum, mandi, dan terkena air. Jika pantangan itu dilanggar maka hujan pun akan turun. Itu adalah hanya sebagian contoh kecil saja dari sekian kasus yang berhubungan dengan bekal niat atau keyakinan. Sejalan dengan kenyataan dari kaum penghayat mantra terhadap adanya kekuatan mantra yang dapat merealisasikan maksud yang hendak dicapainya, tentunya menarik sekali apabila dilakukan penelaahan secara tekstual terhadap mantra guna menemukan rambu-rambu yang mensinyalkan adanya kekuatan yang ditimbulkan dari pembacaan mantra oleh masyarakat penghayat mantra tersebut. Salah satu contoh yang mensinyalkan adanya kekuatan mantra 7 berdasarkan persepsi yang diarahkan kepada kemampuan si pengguna mantra untuk memusatkan segenap indra dan hatinya adalah: Jampe Lumpat Bismillahaahir rahmaanir rahim Pur puyuh Cleng peucang Jagat ngariut Batu beukah Durungkeun ku sang dewa 'Jampi Lari' Bismillaahir rahmaanir rahim Berlarilah puyuh Meloncatlah kancil Jagat mengkerut Batu mengembang Doronglah hai dewa (angin) Menyimak contoh teks di atas, tampak adanya pengerahan imaji taktil (rasa) dari pengguna mantra yang didukung melalui imaji audio dan visual. Betapa dalam kenyataan yang dihadapi saat berlari, si pelaku harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan waktu tempuh yang memadai pula atau malah dengan waktu yang begitu cepat untuk sampai pada tujuan. Melalui pemusatan imaji terhadap contoh hewan (puyuh dan kancil) yang terkenal memiliki kemampuan luar biasa dalam berlari, si pengguna mantra tersugesti sehingga di bawah kesadarannya dia telah benar-benar berlari secepat kilat seperti puyuh dan kancil. Apalagi ketika larik /Jagat ngariut/ Batu beukah/ Durungkeun ka sang dewa/ '/Jagat mengkerut/ Batu mengembang/ Doronglah hai Dewa Angin, dibacakan, semakin memicu semangat untuk berlari mengingat anggapannya bahwa jalan yang ia tempuh tidaklah terlalu jauh karena dunia dijadikannya mengecil dan hamparan batu yang mengembang telah memperlancar gerakannya untuk berlari secepat kilat. Puncak dari segala pengerahan kekuatannya disandarkan kepada Yang Maha Kuat, Yang Maha Menguasai Angin. Mengamati kekuatan yang terhimpun di dalam teks mantra di atas, benarlah kiranya pernyataan Pritcherd, 1967 yang dirujuk pendapatnya oleh Sianipar, yang mengatakan bahwa semua perbuatan magis yang penting meliputi 8 ritus, mantra, kondisi pelaku, tradisi magis, dan faktor keyakinan. Unsur keyakinan mengikat segenap perbuatan magis dan paling menentukan berhasil atau tidak (1992:69). Bandingkan semangat yang melatarbelakangi pembacaan mantra tersebut di atas dengan teks berikut ini: Jampe Sare Dug raga Neut nyawa Ati tanghi Badan turu Roh madep Maring ka Allah Laa ilaaha illallaah 'Jampi Tidur' Tidurlah raga Bangkitlah jiwa Hati terjaga Badan tidur Ruh menghadap Menghadap Allah Laa ilaaha illallaah Tampak dalam teks jampi Tidur tersebut, terdapat penyerahan yang begitu penuh dan tulus dari seseorang saat menjelang tidur. Dengan segenap keyakinannya bahwa yang menghidupkan dan mematikan hanyalah Allah SWT, sudah dengan sendirinya dapat membuat si pembaca mantra tidak terbebani oleh hal-hal lain yang sekiranya dapat menggangu ketenangan tidurnya. Dengan memasuki tahap awal menjelang tidur dalam kondisi yang tenang dan damai, tentunya dapat menggiring suasana yang serupa setelah ia tertidur lelap. Gangguan-ngangguan tidur, seperti mimpi buruk, dapat lenyap dengan sendirinya karena muatan alam pikiran dan bathin yang tidak memungkinkan bersarangnya gangguan-gangguan tersebut. Larik /tidurlah raga/ bangkitlah jiwa/ hati terjaga…/ menyiratkan adanya pengharapan dan kesediaan si pelaku untuk selain meninabobokan dirinya, juga 9 mengumpulkan segenap kemampuannya untuk tertidur lelap tetapi jiwa tetap terjaga manakala menghadapi berbagai gangguan. 3. Batas Penerimaan Mantra Bagi Penghayat Mantra Mantra putih pada dasarnya diterima seratus persen oleh para penghayat mantra; masyarakat penghayat menyandarkan diri kepada Allah atas permohonan yang diucapkannya. Adapun permintaan bantuan kepada suatu faktor alami atau non alami disertai itikad bahwa efektivitasnya bersandar kepada Allah dan diyakini bahwa Allahlah yang memberi ijin efektivitas kepada faktor-faktor itu. Jika Allah menghendaki, sewaktu-waktu akan ditariknya kembali efektivitas tersebut dan dijauhkan darinya. Seorang dukun beranak mencoba membantu seorang ibu yang akan melahirkan, sekuat tenaga mencoba menolong kelahiran calon bayi dengan disertai permohonan agar si ibu dilancarkan dalam melahirkan; dukun beranak dan si ibu yang sedang ditolongnya menyadari bahwa semua keselamatan dan musibah Allahlah yang menentukan, manusia hanyalah berusaha, sebagaimana tampak dalam mantra untuk memudahkan yang melahirkan: Jampe keur Nu Ngajuru Bismillahirrahmanirrahim Gusti Allah neda bismillah Ka Gusti Allah Ka Nini Gurantil Ka Aki Gurawil Panggurawilkeun bayi Pangmucatkeun pamucatan Tagog kolot cleng geura ngacleng. 'Jampi Memudahkan Orang Melahirkan' Bismillahirrahmanirrahim Gusti Allah mohon bismillah Kepada Gusti Allah Kepada Nenek Gurantil Kepada Kakek Gurawil Tolong gelayutkan bayi Pecahkan ketuban Sikap orang tua keluar melesat cepat keluar. 10 Keberterimaan lainnya dari masyarakat terhadap mantra adalah sejauh mana berfungsi untuk kebaikan serta dirasakan manfaatnya oleh sendiri dan atau orang lain, maka mantra dapat diterima. Tetapi tidak ada toleransi untuk mantra yang berfungsi mencelakai atau memperdayakan orang lain. Masyarakat penghayat mantra menolak kehadiran dan penggunaan black magic tersebut. 4. Penengah antara Dua Golongan Penghayat Mantra Pihak penengah dalam menentukan konsep keberadaan mantra karena adanya tanggapan sebagian masyarakat yang tidak menerima mantra putih (apalagi hitam), sangat perlu disertakan dalam tulisan ini. Konsep mendasar dikemukakan Syaih Ja'far Subhani, berupa dua buah pertanyaan, yaitu: (1) apakah meminta bantuan kepada selain Allah adalah syirik? (2) apakah meminta penyembuhan selain kepada Allah adalah syirik? Untuk pertanyaan pertama dijelaskannya bahwa meminta bantuan (isti'anah) kepada selain Allah dapat terwujud dalam dua bentuk: a. Meminta bantuan kepada suatu faktor alami atau nonalami (dalam arti memanfaatkan faktor-faktor tersebut) disertai I'tikad bahwa efektivitasnya bersandar kepada Allah, yakni bahwa ia mampu menolong manusia dan menghilangkan problem-problem mereka dengan kekuatan dan kemampuan yang diperolehnya dari Allah SWT. Ini merupakan beristi'anah juga karena di dalamnya mengandung pengakuan bahwa Dialah yang telah memberi efektivitas tersebut kepada faktor-faktor itu. Dan dengan izin-Nya pula, jika Allah menghendaki, sewaktu-waktu akan ditarik-Nya kembali efektivitas tersebut dan dijauhkan dari padanya. b. Jika seorang meminta bantuan kepada seorang manusia lainnya, atau faktor alami atau nonalami, disertai I'tikad bahwa ia bebas mandiri sepenuhnya dari Allah SWT, dalam eksistensinya atau perbuatannya, sudah barang tentu I'tikadnya itu adalah syirik dan isti'anahnya itu adalah ibadah kepada manusia tersebut. Menanggapi dua wujud permintaan, kunci untuk menghilangkan kontradiksi antar keduanya adalah harus disadari bahwa di alam raya ini hanya terdapat satu 11 pemberi pengaruh Yang Sempurna dan Mandiri sepenuhnya, yang tidak bersandar kepada siapa pun selain diri-Nya baik dalam eksistensi-Nya maupun aktivitas- Nya, yaitu Allah SWT. Sedangkan faktor-faktor lain, semuanya membutuhkan, dalam eksistensi dan aktivitasnya, kepada Allah SWT. Faktor-faktor ini melaksanakan kerjanya dengan izin-Nya, kehendak-Nya, dan kekuatan-Nya. Seandainya Dia tidak memberikan kekuatan, dan kehendak-Nya tidak menetapkan pemberian suplai kepadanya, niscara semua itu tidak memiliki kekuatan atau kemampuan apa pun. (lihat Subhani, 1992:168-190) Pertanyaan kedua: apakah meninta penyembuhan dari selain Allah itu adalah syirik? Kiranya perlu dijelaskan bahwa kesembuhan adakalanya dinisbahkan kepada Allah SWT, dan adakalanya kepada sebab-sebabnya yang dekat dan berpengaruh terhadapnya, dengan izin Allah. Adakalanya Allah menisbahkan kesembuhan kepada selain-Nya, seperti Al-Quran dan madu, seperti dalam firman-Nya: "Di dalamnya (madu) terdapat kesembuhan bagi manusia." (QS, XVI:69) "Dan kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang menjadi penawar (penyembuh) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS, XVII:82) Cara memadukan ayat-ayat tersebut, yaitu menyatakan bahwa penyembuhan yang hakiki dan mandiri sepenuhnya adalah termasuk perbuatan Allah sendiri. Namun sebagai suatu yang bersifat mengikuti dan tidak mandiri, penyembuhan dapat pula dinisbahkan kepada sebab-sebab lain. Dialah (Allah) yang telah menciptakan sebab-sebab ini dan menyimpankan efek dan khasiatkhasiat ke dalamnya, maka ia pun bekerja dan berefektivitas dengan izin serta kehendak-Nya. Jadi, dalam contoh di atas, jika seorang meminta penyembuhan kepada seorang di antara wali-wali Allah dengan memandang kepada segi ini (yakni bahwa mereka hanya berefektivitas dengan izin, kehendak, dan kekuatan-Nya), maka perbuatannya itu adalah jaiz (dibolehkan) dalam syariat, dan benar-benar bersesuaian dengan tuntutan tauhid. Hal ini mengingat bahwa tujuan permintaan kesembuhan dari para wali ini ialah benar-benar seperti meninta kesembuhan dari madu dan obat-obatan kedokteran. Hanya saja dapat dikatakan bahwa madu dan 12 obat-obatan memberi pengaruh tanpa adanya kehendak dan pencerapan pada dirinya sedangkan yang dilakukan Nabi dan wali ialah dengan kehendak dan ikhtiar (kemampuan memilih). Maja tujuan meminta penyembuhan dari seorang wali, tak lain adalah pengimbaunya agar mempergunakan kekuatan yang diberikan dengan izin Allah. Hanya yang perlu dipertimbangkan apakah permintaan seperti itu bersesuaian dengan tauhid atau tidak (Subhani, 1992:168). Demikianlah uraian mengenai permintaan bantuan dan kesembuhan. Dengan menelaah kembali keterangan lainnya, penjelasan di atas dapat dijadikan pegangan sehubungan dengan adanya penggunaan fungsi mantra putih, yaitu untuk permohonan perlindungan , kekuatan, dan pengobatan; dan tentunya dapat disangkutpautkan pada jenis perilaku magi yang bersesuaian dengan batas-batas yang telah ditentukan seperti di atas. Perilaku magi yang ada di masyarakat tidak terlepas dari kehidupan keislaman yang mendasari seluruh tingkah lakunya dalam hidupnya. Keyakinan utama mereka adalah apa yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan tertentu semata-mata hanyalah mencari keridlaan-Nya dan berserah diri bahwa apa yang telah diusahakannya hanya Allah jua yang menentukan. 5. Penutup Mantra yang termasuk folklor dan merupakan arsip kebudayaan ternyata memiliki fenomena tersendiri dalam kehadirannya di masyarakat sekarang ini. Kehadiran mantra dihadapkan kepada dua sisi yang berbeda, yaitu penerimaan sebagian masyarakat secara positif dan sebagian masyarakat yang lainnya menanggapi secara negatif. Mantra mempunyai kekuatan gaib karena si pengguna mempunyai bekal kepercayaan yang kuat disertai kepatuhan memenuhi segala persyaratan yang harus diperhatikan. Dengan bekal keyakinan, segenap rasa dicurahkan demi tercapainya segala tujuan. Oleh karenanya, secara psikologis pada tahap awal pun si pengguna mantra sudah berada dalam keadaan siap; minat yang tinggi membentuk kesiapan yang tinggi pula dalam mencapai suatu tujuan. 13 Adapun aspek filosofis lebih dominan memberi ciri adanya kekuatan mantra yang dipercaya masyarakat. Bekal ketauhidan masyarakat menjadi hal penting; manusia percaya bahwa kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya atau kejadian langsung yang menimpanya tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Manusia meminta bantuan kepada suatu faktor alami atau nonalami disertai I'tikad bahwa efektivitasnya bersandar kepada Allah, yakni bahwa ia mampu menolong manusia dan menghilangkan problem-problem mereka dengan kekuatan dan kemampuan yang diperolehnya dari Allah SWT dan dengan izin-Nya. Demikian juga dengan yang dimintai pertolongan hanya mampu memberikannya dengan bersandar pada kekuasaan dari Allah, bukan dari dirinya sendiri dan bukan secara mandiri sepenuhnya. Masyarakat penghayat mantra menolak sepenuhnya terhadap kehadiran mantra hitam karena tidak ada satu hal pun dari perilaku magi ini memberi keuntungan bagi masyarakat secara umum, malahan yang ada hanyalah mengganggu ketentraman saja. Perbedaan pandangan terhadap mantra dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kepercayaan masyarakat. Tidak semua masyarakat bukan penghayat mantra mengetahui secara jelas kedudukan mantra bagi penghayatnya, sehingga yang muncul sikap antipati; begitu juga dengan orang yang sedikit mengerti tentang fungsi dan kedudukan mantra pada masyarakat penghayatnya tidak mengubah sikap, tetapi tetap mencurigai sebagai perbuatan yang salah. Dengan kejadian tersebut masih terciptanya sekat walaupun dalam kegiatan sehari-hari malah tidak menampakkan gejala perbedaan pandangan tersebut. Masyarakat tetap rukun; selama tujuannya baik dalam pemanfaatan mantra oleh penghayatnya, maka masyarakat bukan penghayat masih bisa bekerja sama untuk menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat desa. Hal yang paling khusus menyangkut pengaruh mantra terhadap masyarakat adalah pengaruh positif jelas tampak bagi penghayat mantra. Hal ini berawal dari muatan teks yang dirasakan bermanfaat bagi mereka; mantra perlindungan, kekuatan, dan pengobatan digunakan untuk kepentingan yang positif. Demikian juga dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan 14 mantra semakin tampak. Kepercayan ini semakin diperkuat dengan adanya penyertaan kalamullaah, kalimat tayyibah, dan lain-lain; masyarakat percaya apa yang diusahakannya ditentukan oleh Allah yang mempunyai kekuasaan mutlak. Pengaruh negatif mantra terhadap masyarakat penghayat adalah tersedianya jenis mantra hitam yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan jahat; dalam keadaan terdesak mantra ini dapat dijadikan pilihan dalam menentukan tindakan. Akan tetapi pengaruh negatif ini, menurut analisis lapangan menunjukkan jumlah yang kecil. Pengaruh positif mantra bagi masyarakat bukan penghayat sama sekali tidak ada. Kekuatan mantra tidak dipercaya sebagaimana adanya. Pengaruh negatif mantra bagi masyarakat bukan penghayat adalah adanya muatan teks yang mencampuradukan nama Allah dan nenek moyangnya memperkukuh sikap antipatinya. Hal ini diperkuat karena adanya mantra yang digunakan untuk tujuan jahat. DAFTAR PUSTAKA Abdulwahid, Idat. 1991. Kajian Semiotik Folklor (Mantra) di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. ----------------------, 1992. Kajian Semiotik Mantra Perlindungan di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Jakarta:Grafiti. Djajasudarma, T. Fatimah. 1992. Mantra Pengobatan: Suatu Studi Kasus Folklor di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. 15 Rukmini, Min. 1992. Kajian Semiotik Mantra Kekuatan di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Rusyana, Yus. 1970. Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda. Sianipar, T., dkk. 1992. Dukun-Mantra: kepercayaan Masyarakat. Jakarta:Grafikatama Jaya. Subhani, Syaikh Ja'far. 1992. Tauhid dan Syirik. Bandung: Mizan. Suryani Elis, 1999. Magic Sebagaimana Terungkap dalam Khazanah Naskah Sunda: Sebuah Fenomena Pragmatik. Jakarta: Manassa. 16 EKSISTENSI DAN FUNGSI MANTRA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUNDA Oleh: Elis Suryani NS Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Makalah ini disampaikan dalam kegiatan Pertemuan Anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Yang Diselenggarakan di Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 5 Desember 2002 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2002