11/9 dan Perang Besar Ketiga Oleh Peni Hanggarini MA Penulis Adalah Pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta Peristiwa 11 September 2001 alias serangan teroris terhadap dua bangunan bergengsi di Amerika Serikat, yakni menara kembar World Trade Centre, New York dan Markas Angkatan Bersenjata AS Pentagon, Washington DC, telah satu tahun berlalu. Namun, peristiwa tersebut hingga kini mampu memberikan wacana besar bagi hubungan internasional, termasuk bagi pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Bersama begara-negara ASEAN. Indonesia telah sepakat berjuang melawan terorisme berkat berbagai bentuk tindakan kejahatan lintas negara lainnya. Kekhawatiran akan terjadinya “perang besar ketiga” di dunia berkaitan dengan peristiwa Perang Dunia I dan II juga muncul pada saat itu. Peristiwa 911 seolah menjadi isyarat bagi tahapan awal bagi pecahnya Perang dunia III. Terlebih,banyak kalangan yang mencoba mengaitkannya dengan perikan ramalan Nostradamus (1654) yang tiba-tiba menjadi perbincangan menarik terutama di jalur internet. Isinya menyatakan bahwa “In the city of God there will be a great thunder. Two brothers torn apart by Chaos, while the fortress endures, the great leader will surcumb. The third big war will begin when the big city is burning”. Peristiwa hancurnya WTC di negara besar (in the City of God) seperti AS oleh aksi terorisme ( a great thunder) tersebut seolah mengisyaratkan ramalan ini mendekati kenyataan. Tapi meski AS masih gencar hingga saat ini memburu Osama bin Ladin, sang teroris tertuduh, dengan menggalang kekuatan dunia internasional untuk berperang melawan terorisme, perang besar ketiga yang melibatkan seluruh dunia internasional tak terwujud atau barangkali masih tertunda. Berdasarkan perbandingan atas penyebab Perang Dunia I dan II, Tragedi 911 tampaknya (baca semoga) tidak akan sampai berujung kepada Perang Dunia III. Tragedi tersebut lebih pantas dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan lintas negara (international organized crime) yang dilakukan oleh aktor nonnegara, namun mampu berbuah kerugian yang masih terutama korban jiwa yang diperkirakan melebihi jumlah korban pada saat Pearl Harbour. Faktor perbandingan pertama terlihat pada kecenderungan yang berbeda atas pemicu atau pelaku (aktor) meletusnya perang besar serta peranan dari sistem aliansi. Dalam Perang Dunia I dan II, keberadaan aktor negara sangatlah didukung oleh kuat dan kompleksnya sistem aliansi antarmereka. Pecahnya Perang Dunia I pada mulanya bermuara dari konflik yang tergolong kecil, namun perang yang melibatkan negaranegara besar akhirnya terjadi. Konflik berawal dari terbunuhnya pewaris takhta Austria-Hungaria, Franz Ferdinand, oleh seorang nasionalis Serbia yang mengharapkan kemerdekaan dari Austria (1914). Konflik melebar menjadi perang besar karena hubungan antarnegara saat itu didukung oleh adanya sistem aliansi yang dipandang cukup kompleks. Dalam konflik Austria-Hungaria dan Serbia itu, Jerman menjalin persekutuan dengan Austria-Hungaria, sementara Rusia bersekutu dengan Prancis dan Inggris. Alhasil, konflik Austria-Hungaria dan Serbia menjadi kian pelik akibat adanya sistem aliansi yang tercipta tersebut. Sedangkan, meletusnya Perang Dunia II, antara lain, diakibatkan oleh kondisi-kondisi pasca Perang Dunia I yang berdampak bagi kehancuran sistem perekonomian internasional serta meningkatnya ekspansionisme Jerman, Italia, dan Jepang. Sementara itu, dalam peristiwa 911, sejauh ini belum ditemukan atau terlihat peranan utama aktor negara yang mendalangi terorisme. Aktor utama serangan terorisme tersebut hampir dipastikan didalangi oleh kelompok teroris alias nonnegara yang terogranisasi. Lebih jauh, tidak tampak pula kehadiran sistem aliansi yang melibatkan aktor pemerintah suatu negara tertentu yang serupa dengan sistem pada masa Perang Dunia I dan II. Salah satu penyebab penting kuatnya sistem aliansi pada masa Perang Dunia I dan II adalah masih belum tegasnya pemberlakuan hukum internasional saat itu. Hukum internasional, apalagi posisi lembaga pencipta perdamaian seperti Persatuan Bangsa- Bangsa, belumlah relatif kuat. Pada masa itu, keberadaan peranti penegak hukum internasional masih relatif lemah terutama dalam memberi sanksi bagi pelanggar upaya penciptaan perdamaian. Tugas pemerintah negara-negara dan masyarakat di dunia untuk menjaga perdamaian dunia, yang salah satunya adalah memerangi tindakan para teroris belum menjadi agenda yang berhasil diserukan oleh lembaga perdamaian pada masa itu. Sementara di masa kini, kekuatan hukum internasional semakin jelas terlihat bahkan turut didukung oleh beberapa kekuatan kerja sama kawasan seperti halnya ASEAN. Sehari setelah terjadinya aksi serangan terorisme, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun segera bertindak dengan mengeluarkan Resolusi 1368 (2001), yang berisi seruan larangan bagi pemerintah negara mana pun untuk melindungi para teroris. Faktor perbandingan kedua ialah berbedanya upaya menjalankan strategi yang dilakukan oleh para aktor Perang Dunia I dan II dengan aktor dalam peristiwa 911. Pada masa Perang Dunia I, terutama pada Perang Dunia II, tujuan strategi para aktor lebih terarahkan kepada perluasan pengaruh kekuasaan (ekspansi) geografis, seperti yang diupayakan oleh Jerman. Sedangkan peristiwa terorisme di AS lebih cenderung mengarah kepada upaya perluasan teror. Bahkan, pemerintah AS telah beritikad melancarkan tindakan balasan sapu bersih dan berkelanjutan terhadap aksi terorisme. Dengan demikian, perkembangan atas reaksi tersebut hingga saat ini mengesankan adanya perimbangan teror dalam derajat tertentu. Setahun setelah persistiwa 911 berlalu, ungkapan perang dan damai sebagai dua sisi berbeda dari satu koin mata uang sepertinya tidak terbantahkan. Hal ini terbutki karena di tengah kondisi politik dunia yang multipolar bila tidak menyebutnya sebagai unipolar, yang relatif damai pada masa kini ternyata serangan teroris terhadap suatu negara adikuasa pun dapat tiba-tiba muncul tak terelakan. Maka, dengan mengenang peristiwa 911, tampaknya (baca:semoga) kita akan semakin disadarkan bahwa kondisi damai ataupun perang dapat tercipta bukan karena power besar yang dimiliki sang aktor melainkan oleh kesanggupan (willingness) untuk melakukannya. Begitu pun halnya dalam menghadapi aksi teror di daerah-daerah konflik Tanah Air. Meski pemerintah memegang otoritas tertinggi dalam mengatasi permasalahan, kesanggupannlah yang lebih penting untuk menghindari pecahnya perang terbuka Diterbitkan di KORAN TEMPO, Rabu, 11 September 2002