Mencari Cinta Sejati SEBUAH RENUNGAN DI HARI KASIH SAYANG UNTUK PENULIS KHUSUSNYA DAN UMUMNYA UNTUK SIAPA SAJA YANG MENCARI CINTA SEJATI. by Cecep Wijaya Sari mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Ujang, sebut saja demikian. Dia adalah teman seperjuangan saya ketika kami sama-sama menimba ilmu agama dulu di sebuah pondok pesantren yang terletak di kampung kami. Namun, tidak seperti kebanyakan santri pada umumnya yang benar-benar ingin mendalami ilmu agama, Ujang masuk pesantren karena sebelumnya ia telah melakukan sebuah “transaksi’ dengan orangtuanya. Ujang minta dibelikan sebuah sepeda motor sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengisi hari-harinya mengaji kitab kuning dan mendengarkan khotbah sang kyai di pondok pesantren tersebut. Melihat niat baik anaknya yang sedikit berbeda dengan saudara kandungnya yang lain yang rata-rata pengangguran, orangtuanya mengabulkan permintaannya. Sebuah sepeda motor bergigi empat berem cakram dan irit bahan bakar akhirnya jatuh ke tangan Ujang. Entah bagaimana orangtuanya bisa membelikannya motor mengingat harganya cukup untuk merenovasi rumah mereka yang tak terawat dan sudah hampir roboh. Dalam novel best seller Laskar Pelangi yang diangkat dari kisah hidup sang penulisnya sendiri, Andrea Hirata, terdapat dua sosok guru, Ibu Muslimah dan Bapak Harfan, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik anak didiknya. Mereka mengorbankan seluruh pemikirannya, tenaganya, hartanya, dan mungkin nyawanya untuk membuat anak didiknya berguna bagi nusa, bangsa, terutama agama. Mereka rela bekerja di sekolah kampung yang sudah hampir dibubarkan itu berpuluhpuluh tahun lamanya walaupun tanpa menerima imbalan berupa materi. Entah bagaimana mereka menghidupi keluarganya sendiri. Mengapa orangtua Ujang dan dua tokoh guru dalam novel tersebut sedemikian besar hasratnya untuk memberi sesuatu kepada orang lain? Mengapa mereka seolah tak peduli dengan nasib yang menimpa diri mereka sendiri? Mengapa mereka justru mengorbankan segala yang mereka miliki untuk orang yang mungkin saja tidak membalas budi baiknya kelak? Kiranya Anda sependapat dengan saya, mereka melakukannya karena sebuah kata suci, keramat, dan ajaib yang terdiri dari lima huruf: CINTA! Ya, cinta adalah anugerah Illahi yang sangat indah. Ia tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa ditukar dengan emas ataupun diganti dengan kedudukan. Ia bisa membuat orang mabuk kepayang, membuat pikiran tak waras, ataupun membuat lupa dimana dia berpijak. Tak heran orang mendambakan cinta sejati. Cinta yang dapat memberikan kekuatan dikala manusia lemah tak berdaya. Cinta yang membuat manusia selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Cinta yang membuat manusia tidak pernah putus asa dan selalu optimis menghadapi kenyataan. Pertanyaannya, adakah cinta sejati itu? Sebagian orang mungkin memandang kasus di atas, yaitu cinta orangtua Ujang terhadap anaknya, dan cinta seorang guru terhadap anak didiknya sebagai cinta sejati. Sebagian lagi memandang cinta sepasang kekasih yang setelah bertahun-tahun pacaran dan akhirnya menikah sebagai cinta sejati. Bahkan ada yang menganggap cinta sejati seperti orang yang selalu memberikan sesuatu kepada orang yang dicintainya walaupun ia tidak bisa memilikinya. Dengan kata lain cinta yang bertepuk sebelah tangan. Beragam orang menafsirkannya dan bermacam-macam pula orang mengekspresikannya. Seperti yang terjadi setiap tanggal 14 Februari yang dinobatkan umat manusia sebagai Hari kasih Sayang ini misalnya. Mulai dari yang paling irit seperti mengucapkan “I love you” 5 kali dalam sehari, persis seperti shalat fardlu, sampai yang paling boros seperti memberikan apapun yang diminta orang yang dicintainya itu dalam bentuk materi. Berbagai EO pun berlomba-lomba membuat acara yang paling romantis guna memperingati hari yang selalu dikaitkan dengan nama Saint Valentino itu. Sesuatu yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana jadinya manakala orang yang kita cintai itu pergi dari hadapan kita atau kandas di tengah jalan? Mengingat tidak sedikit kita mendengar tindakan menghabisi nyawa sendiri karena ditinggalkan sang kekasih, atau menghabisi nyawa orang lain karena rasa cemburu yang berlebihan, bahkan pikirannya menjadi tidak waras karena ditinggal mati istri ataupun suami karena membayangkan beban hidup yang begitu berat setelahnya. Atau sebaliknya, bagaimana apabila sesuatu itu menimpa diri kita sendiri. Ketika kita mengerahkan segenap daya upaya untuk membahagiakan orang yang kita cintai ataupun untuk meraih sesuatu yang kita cintai dan kita telah mengagendakan dengan rapi apa saja yang harus dilakukan esok hari. Tiba-tiba Tuhan berkehendak lain dan otomatis mengubur semua ambisi kita dengan segenap cinta di dalamnya. Seperti yang menimpa almarhum Adi Firansyah misalnya, seorang aktor ganteng yang menjadi tulang punggung bagi keluarga ibunya menggantikan ayahnya dan bagi keluarganya sendiri. Atau almarhum komedian Basuki yang memiliki keinginan untuk mendirikan pondok pesantren namun semua itu sirna manakala maut menjemputnya. Akankah kita tetap semangat menjalani sisa usia kita setelah sekian lama menghabiskan waktu bersamanya setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik? Akankah kita tetap optimis memandang hidup setelah segala sesuatu kita korbankan hanya untuk seseorang atau sesuatu yang kita cintai pupus dimakan waktu? Walaupun hal ini lebih pantas disampaikan seorang ustadz yang berilmu ketimbang saya yang masih awam, namun tak dapat kita pungkiri bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan titipan dari Sang Pencipta dan ketika Dia memintanya kembali, maka kita tidak kuasa menolaknya. Keicntaan kita terhadap keluarga, anak, jabatan, atau apapun di dunia ini hanyalah ekspresi naluriah manusia (gharizah an nau’) yang akan lenyap manakala semua itu diambil pemiliknya. Padahal kita sedang mencari cinta sejati. Cinta yang selalu memberikan energi positif bagi penyandangnya. Cinta yang tidak pernah mati dimakan usia dan tidak habis ditelan waktu. Dimanakah cinta sejati itu? mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt